Pemerintah Indonesia merendahkan supremasi hukum dengan memberikan penghargaan Bintang Bhayangkara Utama, penghargaan tertinggi bagi polisi, kepada Direktur-Jenderal Kepolisian Nasional Filipina Ronald dela Rosa hari ini.
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian menyanjung dela Rosa untuk “Inspirasi layaknya bintang rock bagi aparat penegak hukum di Indonesia dan mendemonstrasikan bagaimana melancarkan perang terhadap narkoba.” Hal itu adalah penilaian ganjil terhadap petugas negara yang mungkin terlibat kejahatan terhadap kemanusiaan yang menghasut pembunuhan-pembunuhan terkait "perang narkotika" yang digelar pemerintah.
Sejak Juni 2016, kampanye itu telah membunuh lebih dari 12 ribu orang, menurut perkiraan sejumlah organisasi nonpemerintah dan Konferensi Uskup Katolik Filipina yang dapat dipercaya. Sebagian besar korban, termasuk anak-anak, adalah warga kampung-kampung miskin kota. Human Rights Watch dan para jurnalis investigatif mencatat: banyak di antara kematian itu layak dianggap sebagai pembunuhan di luar hukum oleh para polisi Filipina serta orang-orang suruhan mereka. Dela Rosa menolak seruan untuk membuka tabir kematian-kematian tersebut. Ia menolak permohonan penyelidikan-penyelidikan independen, menyebut hal itu sebagai "gangguan hukum" yang "melemahkan semangat" para polisi.
Sejumlah penuntutan dari para personil kepolisian yang terlibat pembunuhan-pembunuhan itu tak berujung hukuman. Pada Juli, dela Rosa memperkuat kultur impunitas kampanye anti-narkotika dengan mempekerjakan kembali sebanyak 18 polisi yang menghadapi ancaman hukuman karena membunuh Rolando Espinosa Sr., walikota Albuera, pulau Leyte. Padahal, ada bukti-bukti kuat bahwa polisi-polisi itu melakukan pembunuhan terencana saat mereka menembak mati Espinosa di penjara Manila pada 5 November 2016.
Sebelum ini, Kapolri Karnavian telah menunjukkan kesukaannya terhadap pendekatan-pendekatan dengan kekerasan di luar hukum terhadap penyalahgunaan narkotika. Pada Juli ia mengatakan: penembakan terhadap para bandar narkotika adalah cara yang ideal. Itu bisa dianggap hasutan, mengingat analisis jaringan peneliti University of Melbourne menunjukkan bahwa kepolisian Indonesia telah membunuh 49 terduga pengedar narkoba dalam enam bulan pertama tahun 2017. Ada peningkatan tajam dari 14 pembunuhan sepanjang 2016 dan 10 pada 2015. Yang mengerikan, lebih dari sepertiga pembunuhan oleh polisi Indonesia sejak Januari hingga Juni 2017 terjadi setelah tersangka menyerahkan diri kepada polisi.
Presiden Indonesia Joko Widodo semestinya ikut dalam seruan penyelidikan internasional pimpinan Perserikatan Bangsa-Bangsa atas "perang narkotika" Filipina, bukan malah memberi penghargaan kepada salah satu arsitek utamanya.