(New York) – Pemerintah Thailand seharusnya secara terbuka menentang dakwaan-dakwaan pencemaran nama baik di pengadilan melawan 14 pekerja migran Burma, karena mengajukan keluhan atas majikan mereka dengan komisi hak asasi manusia Thailand, kata Human Rights Watch. Persidangan tersebut dimulai pada 7 Februari 2018, di Don Muang Magistrates Court di Bangkok. Jika dinyatakan bersalah, para pekerja migran akan menjalani hukuman penjara sampai dengan satu tahun.
“Kasus pidana pencemaran nama baik oleh 14 pekerja migran karena melaporkan kondisi kerja yang kejam mengancam seluruh badan penegakan hak di Thailand,” ujar Brad Adams, direktur Asia. “Pemerintah semestinya secara terbuka menentang dakwaan-dakwaan sang majikan dan melindungi kemampuan badan-badan pemerintah untuk menindaklanjuti keluhan-keluhan mengenai pelanggaran [di tempat kerja].”
Baik jaksa penuntut umum maupun perwakilan Kementerian Ketenagakerjaan seharusnya berperan penting dalam mengajukan keberatan pada pengadilan dan mengupayakan perlindungan atas orang-orang dari aksi balas dendam karena mengajukan keluhan-keluhan pada badan-badan pemerintahan.
Pada Juli 2016, keempat belas pekerja migran mengajukan keluhan mereka pada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Thailand, menuduh Thammakaset Co. Ltd. – sebuah peternakan ayam di provinsi Lopburi – atas kondisi kerja yang sangat melelahkan. Mereka menyampaikan, perusahaan tersebut mewajibkan mereka bekerja sampai dengan 20 jam sehari tanpa hari libur selama 40 hari atau lebih, memaksa mereka lembur, membayar upah di bawah batas minimum, membatasi kebebasan mereka bergerak, dan menyita dokumen-dokumen identitas mereka.
Pada Agustus 2016, pejabat Kementerian Ketenagakerjaan memerintahkan Thammakaset untuk membayar kompensasi pada 14 pekerja migran sebesar 1.7 juta Baht (sekitar Rp 675 juta). Meski demikian, para pekerja migran belum menerima kompensasi tersebut karena pihak perusahaan mengajukan banding di pengadilan.
Thammakaset mengajukan keluhan pidana pencemaran nama baik pada Oktober 2016 melawan 14 pekerja migran, bersama dengan seorang aktivis buruh dari Migrant Worker Rights Network. Thammakaset berargumen bahwa keluhan para pekerja pada komisi nasional hak asasi manusia telah merusak reputasi perusahaan.
“Kementerian Ketenagakerjaan menetapkan bahwa perusahaan tersebut melanggar hukum dan memerintahkan mereka untuk membayar para pekerja,” ujar Adam. “Yang mengejutkan, bukan hanya perusahaan menolak membayar namun juga saat ini mencoba mengajukan dakwaan pidana terhadap pekerja mereka karena telah melaporkan perbuatan mereka.”
Pada 31 Mei 2017, Perdana Menteri Jen. Prayuth Chan-ocha menekankan pentingnya Prinsip-Prinsip Panduan PBB Mengenai Bisnis dan Hak Asasi Manusia. Ia berujar: “Pemerintah bertekad untuk mendorong operasi-operasi bisnis di Thailand agar sepenuhnya sesuai dengan tiga pilar Prinsip-Prinsip Panduan PBB mengenai proteksi [hak asasi manusia], respek [untuk hak asasi manusia], dan reparasi [atas kerugian dari penyelewengan] … Pemerintah telah mengambil tindakan-tindakan, termasuk menegakkan undang-undang perlindungan tenaga kerja yang memastikan perlakuan adil terhadap para pekerja dan melindungi mereka dari penyelewengan dan perlakuan buruk.”
Meski demikian, undang-undang Thailand mengenai pencemaran nama baik mengizinkan majikan untuk membalas para pekerja yang melaporkan tuduhan pelanggaran hak-hak buruh. Pasal 137 di KUHP menetapkan “memberikan informasi keliru pada pejabat manapun” yang “kemungkinan menyebabkan kerugian pada individu maupun publik” sebagai tindak pidana, dan dapat dihukum sampai dengan enam bulan penjara dan denda sampai dengan 10,000 Baht (sekitar Rp4,400,000). Pasal 326 menetapkan bahwa “menyalahkan apapun” terhadap seseorang “sebelum pihak ketiga dengan cara apapun kemungkinan merusak reputasi mereka … atau memaparkan individu lain tersebut pada kebencian atau hinaan” adalah tindak pidana dan dapat dihukum sampai dengan satu tahun penjara dan denda sampai dengan 20,000 Baht (sekitar Rp4,1 juta).
Human Rights Watch, bersama sejumlah lembaga pemerintah dan internasional, percaya bahwa undang-undang pencemaran nama baik seharusnya dihapus karena merupakan respon yang secara inheren tidak tepat atas keperluan melindungi nama baik. Hukum perdata soal pencemaran nama baik cocok untuk mencakup keperluan tersebut.
“Pemerintah seharusnya tak berdiam diri sementara Thammakaset menggunakan pengadilan untuk menghindari tanggung jawab korporat terhadap pelanggaran hak-hak buruh,” ujar Adam. “Komisi nasional hak asasi manusia Thailand sebaiknya berpartisipasi dan melindungi integrasi proses pengajuan keluhan mereka dengan cara menentang kasus-kasus pidana pencemaran nama baik yang melanggar.”