Kasus ini bermula pada 15 Desember 2017, dalam sebuah protes di desa Nabi Saleh di Tepi Barat terhadap pengakuan Presiden Amerika Serikat Donald Trump atas Yerusalem sebagai ibukota Israel. Pada unjuk rasa itu, seorang tentara menembak sepupu Ahed yang berumur 15 tahun dengan peluru karet dan membuatnya mengalami cedera berat. Mengetahui kejadian itu, Ahed melawan dengan cara mendorong serta menempeleng dua tentara Israel yang memasuki halaman rumahnya. Video yang menampilkan peristiwa tersebut menyebar luas. Polisi perbatasan menangkap Ahed pada 19 Desember—tengah malam, sebagaimana lazimnya tentara Israel menangkap anak-anak Palestina.
Alasan buat melepaskan Ahed dengan jaminan terang belaka. Ia belum pernah diadili, dan kecil kemungkinan ia kabur, dan sulit untuk menimbulkan risiko keamanan atau penerbangan yang serius. Seorang hakim militer telah melepaskan sepupu Ahed yang berusia 20 tahun, Noor, yang diketahui juga terlibat pertengkaran serta mendorong tentara. Ia juga diancam dengan tuduhan penyerangan dengan maksud mencelakai. Kedua tentara dalam video itu menunjukkan pengendalian diri, tak menangkap atau menggunakan kekerasan terhadap mereka. Dari keseluruhan kasus dengan pelaku anak-anak Israel, hanya 18 persen yang tak dilepaskan dengan jaminan oleh pengadilan-pengadilan sipil.
Namun, agaknya para petugas dan politikus Israel hendak menjadikan Ahed, Noor, dan ibu Ahed Nariman—yang juga diancam pidana—sebagai contoh. "Mereka semestinya menjalani sisa hidup mereka di penjara," kata Naftali Bennett, menteri pendidikan Israel. Menteri Pertahanan Avigdor Lieberman menuntut hukuman "keras" terhadap Ahed dan keluarganya, "agar yang lain jera," serta melarang 20 anggota keluarga Ahed mengunjunginya di rumah tahanan di Israel, di mana ia dipindahkan tanpa proses hukum dari kawasan pendudukan.
Berbeda dari pemukim Israel di Palestina yang kerap mendapat kelonggaran – termasuk yang menempeleng tentara Israel – Ahed diancam dengan pelbagai tuduhan serius, antara lain belasan penyerangan, penghasutan, penghalangan kerja tentara, dan pelemparan batu dalam sejumlah insiden sejak 1 April 2016.
Dan berbeda dari perlakukan pengadilan sipil Israel terhadap warga Israel, pengadilan-pengadilan militer di Tepi Barat menolak pelepasan dengan jaminan dalam 70 persen kasus yang melibatkan anak-anak Palestina. Satu laporan UNICEF pada 2013 menyatakan bahwa hampir seluruh anak mengaku bersalah untuk mengurangi masa penahanan praperadilan mereka, karena itulah "cara tercepat supaya dilepaskan," dari sistem yang biasanya menghalangi akses anak-anak itu ke pengacara atau menolak kehadiran orangtua selama interogasi-interogasi penuh paksaan serta "tak mengizinkan mereka mempertahankan diri." Mempertimbangkan bahwa jaksa militer berencana memanggil 18 saksi, kebanyakan tentara, pengadilan Ahed dapat berlangsung selama berbulan-bulan.
Mengumumkan keputusan pembebasan dengan jaminan, yang didukung alasan-alasan memadai, memang takkan mengubah diskriminasi dan perlakuan buruk terhadap anak-anak Palestina dalam sistem hukum Israel. Namun, setidaknya itu menunjukkan kesediaan salah satu pihak dalam sistem itu mematuhi hukum, sebagaimana seharusnya.