Skip to main content

Berkaitan dengan: Permintaan untuk mengumpulkan kembali peserta Konferensi Paris soal Kamboja, sehubungan dengan perusakan demokrasi oleh pemerintah Kamboja

Bapak António Guterres,
Sekretaris Jenderal,
Perserikatan Bangsa-Bangsa

Bapak Joko Widodo,
Presiden,
Republik Indonesia (Ketua Bersama Konferensi Paris soal Kamboja Tahun 1991)

Bapak Emmanuel Macron,
Presiden,
Republik Prancis (Ketua Bersama Konferensi Paris soal Kamboja Tahun 1991)

                                                                                                                                                                                       23 Oktober 2017

Berkaitan dengan: Permintaan untuk mengumpulkan kembali peserta Konferensi Paris soal Kamboja, sehubungan dengan perusakan demokrasi oleh pemerintah Kamboja
 

Yang terhormat Sekretaris Jenderal Guterres, Presiden Widodo, dan Presiden Macron,

Kami, organisasi internasional dan regional yang bertanda tangan di bawah ini, menulis surat ini kepada Anda sekalian terkait peringatan 26 tahun Konferensi Perdamaian  Kamboja di Paris tahun 1991, yang diketuai bersama oleh Prancis dan Indonesia. Konferensi Paris menghasilkan penandatanganan Perjanjian Perdamaian Paris yang bersejarah, dan bertujuan untuk mengakhiri “konflik tragis dan pertumpahan darah berkelanjutan di Kamboja”. Dua puluh enam tahun kemudian, ada kebutuhan mendesak akan sebuah tindakan tegas dari masyarakat internasional, untuk memastikan bahwa visi demokratis untuk Kamboja yang digariskan dalam Kesepakatan Perdamaian Paris tidak sepenuhnya ditinggalkan.

Perjanjian Perdamaian Paris menghadirkan kewajiban hukum yang jelas bagi para penanda tangan – termasuk kewajiban untuk segera menjalankan konsultasi yang sesuai dengan para anggota Konferensi Paris – jika ada kesepakatan yang dilanggar.[1] Sejumlah kewajiban ada sampai hari ini, meskipun Perdana Menteri Kamboja Hun Sen baru-baru ini mengklaim bahwa “kesepakatan Perdamaian Paris seperti hantu”.[2]

Kami dengan hormat menyampaikan bahwa kewajiban Anda sekalian untuk mengambil tindakan nyata berdasarkan Perjanjian Perdamaian Paris yang kini dipicu kemerosotan parah perihal situasi hak asasi manusia dan demokrasi di Kamboja dalam beberapa pekan dan bulan terakhir, yang jelas-jelas merupakan pelanggaran terhadap Perjanjian Paris. Secara khusus, Pasal 29 dari Perjanjian tentang Penyelesaian Politik Menyeluruh bagi Kamboja (“ACPS”) yang menetapkan:

Tanpa berprasangka pada hak prerogatif yang disandang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta atas permintaan Sekretaris Jenderal, dua Ketua Bersama Konferensi Paris mengenai Kamboja [Prancis dan Indonesia], jika terjadi pelanggaran atau ancaman pelanggaran terhadap Perjanjian ini, akan segera melakukan konsultasi yang tepat, termasuk dengan para anggota Konferensi Paris mengenai Kamboja, dengan pandangan untuk mengambil langkah-langkah tepat guna memastikan penghormatan terhadap komitmen ini.

Sejak Juli 2017, Pemerintah Kerajaan Kamboja (RGC) telah mengambil tindakan keras terhadap oposisi politik, organisasi masyarakat sipil, serta media yang independen dan kritis, juga sejumlah individu yang menjalankan kebebasan mendasar mereka. Tingkat kekejaman tindakan keras ini belum pernah terjadi sebelumnya di era pasca-1991, dan merupakan ancaman eksistensial terhadap demokrasi Kamboja.

Pada 3 September, Kem Sokha, Ketua Cambodia National Rescue Party atau Partai Penyelamat Nasional Kamboja (CNRP), ditangkap dan kekebalannya selalu anggota parlemen dilanggar.[3] Ia tetap berada dalam tahanan pra-peradilan dan dikenai tuduhan melakukan makar. Tindakan ini disebut-sebut diambil untuk melawan teori konspirasi bermotif politik, yang menuduh bahwa oposisi politik dan masyarakat sipil sedang bertindak secara bersama-sama akan memicu “revolusi warna” untuk menggulingkan pemerintah Kamboja dengan dukungan terselubung dari Amerika Serikat. Tidak ada bukti kredibel yang mendukung plot semacam itu, dan tuduhan tersebut telah digunakan lebih jauh untuk menutup dan menekan sejumlah organisasi dan individu.

Kurang dari 40 persen anggota parlemen asal CNRP yang masih berada di Kamboja setelah beberapa dari mereka terpaksa meninggalkan negara tersebut, menerima ancaman penangkapan sebagai bagian dari penyelidikan makar serupa. Sekarang, partai itu sendiri menghadapi ancaman pembubaran yang bisa segera terjadi. Pada Februari dan Juli, pemerintah Kamboja memperkenalkan, dan Majelis Nasional dengan cepat mengesahkan, dua set amandemen Undang-undang tentang Partai Politik, yang memberikan kekuatan luas bagi Pemerintah Kamboja untuk menangguhkan dan membubarkan partai politik.[4] Pada 6 Oktober, Kementerian Dalam Negeri mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung guna memulai proses pembubaran CNRP.[5]

Langkah ini berlanjut pada 16 Oktober dengan berlakunya amandemen lanjutan terhadap Undang-undang Pemilu Kamboja – yang terdiri dari Undang-Undang tentang Pemilihan Anggota Majelis Nasional, Undang-Undang tentang Pemilihan Anggota Senat, Undang-Undang tentang Pemilihan Anggota Dewan Komune, dan Undang-Undang Pemilu Ibu Kota/ Provinsi dan Dewan Kotamadya/Distrik/Lingkungan – melalui Majelis Nasional Kamboja.[6] Jika diadopsi, seperti yang diharapkan, sejumlah amandemen ini akan memungkinkan (jika CNRP dibubarkan) redistribusi kursi Majelis Nasional milik CNRP kepada para pihak yang mendapat dukungan minimal pada pemilu nasional tahun 2013, dan mengalihkan semua 489 kursi Kepala Komune CNRP ke Partai Rakyat Kamboja (CPP) yang berkuasa, yang merupakan subversi langsung dari kehendak demokratis rakyat Kamboja.

Meski CNRP memenangkan lebih dari 44 persen suara rakyat dalam Pemilihan anggota Majelis Nasional 2013, dibandingkan partai berkuasa CPP yang meraih 48 persen, rancangan amandemen Undang-Undang pemilu ini akan memberi partai royalis Funcinpec – yang hanya meraih tiga persen suara rakyat – mayoritas kursi CNRP, dengan 41 kursi. Partai-partai kecil yang masing-masing meraih satu persen, atau kurang, suara rakyat akan mendapatkan sisa kursi.

Perkembangan ini bertentangan dengan Perjanjian Perdamaian Paris, yang menetapkan:

Kamboja akan mengikuti sistem demokrasi liberal, berdasarkan pluralisme. Negara akan menggelar pemilu secara berkala dan benar. [...] Negara akan menggelar pemungutan suara melalui pemungutan suara secara rahasia, dengan persyaratan bahwa prosedur pemilihan memberikan kesempatan penuh dan adil untuk mengatur dan berpartisipasi dalam proses pemilihan[7]

dan,

  1. Kamboja berusaha:

- untuk memastikan penghormatan dan kepatuhan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan fundamental di Kamboja;

- untuk mendukung hak semua warga Kamboja untuk melakukan kegiatan yang akan mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia dan kebebasan fundamental;

- untuk mengambil tindakan efektif untuk memastikan bahwa kebijakan dan praktik masa lalu tidak akan pernah diizinkan untuk kembali;

- untuk mematuhi instrumen hak asasi manusia internasional yang relevan.[8]

Di samping penyerangan hak partisipasi politik dan penghapusan semua oposisi politik sejati, pihak berwenang Kamboja telah melakukan tindakan keras terhadap media independen dan kritis serta organisasi masyarakat sipil. Koran terkenal Cambodia Daily dipaksa tutup pada 4 September atas dasar tagihan pajak sebesar USD 6,3 juta, yang tiba-tiba dikeluarkan tanpa ada audit formal atau proses hukum.[9] Sebanyak 31 stasiun radio independen juga tidak boleh mengudara dalam waktu dua pekan, di mana pemerintah mengutip pelanggaran lisensi yang masih samar-samar.[10] Radio Free Asia juga dipaksa menutup kantornya di Phnom Penh, dan sejumlah pejabat senior pemerintah mengancam wartawan mereka akan ditangkap jika mereka berusaha melanjutkan pekerjaan mereka di dalam Kamboja.[11] Sejumlah perkembangan ini memiliki efek gabungan dari penutupan akses terhadap informasi independen untuk warga pedesaan Kamboja, yang sekarang hampir sepenuhnya bergantung pada sumber media yang secara aktif mendukung CPP.

Kelompok masyarakat sipil di Kamboja juga menghadapi tekanan tanpa henti sejak Pemilihan Anggota Dewan Komune pada Juni 2017. Pada 4 Juli, Kementerian Dalam Negeri menyatakan bahwa organisasi non-pemerintah (LSM) tidak akan diizinkan untuk berkumpul kembali dalam koalisi pemantauan pemilu masyarakat sipil yang dikenal sebagai "Ruang Situasi" untuk memantau pemilu nasional pada  2018, menyusul sebuah penyelidikan yang diperintahkan oleh Perdana Menteri Hun Sen.[12] Pada 23 Agustus, Kementerian Luar Negeri dan Kerjasama Internasional memerintahkan penutupan segera LSM yang didanai oleh Amerika Serikat, National Democratic Institute (NDI), dan pengusiran anggota staf internasionalnya dari Kamboja dalam tujuh hari. Perintah tersebut didasarkan pada dugaan kegagalan NDI untuk mendaftar ke Kementerian tersebut, yang bertentangan dengan Undang-undang tentang Asosiasi dan LSM yang represif dan mendapat banyak kritikan[13] – walaupun NDI telah menyerahkan semua dokumen registrasi yang diperlukan dan mendapat kepastian kalau mereka bisa terus beroperasi.[14] Pada 28 September, Kementerian Dalam Negeri memerintahkan penghentian sementara Equitable Cambodia, sebuah organisasi pegiat hak atas tanah yang cukup terkemuka, selama 30 hari kerja segera berlaku secara efektif, dengan tuduhan tidak mematuhi LANGO.[15] Pada 15 September, Mother Nature Cambodia, sebuah kelompok kampanye lingkungan, ditekan untuk membatalkan pendaftarannya menyusul kekerasan terhadap direksinya oleh pihak berwenang Kamboja.[16] Sejumlah organisasi yang kritis terhadap pemerintah, termasuk Cambodian Human Rights and Development Association (ADHOC), Cambodian League for the Promotion and Defense of Human Rights (LICADHO) dan Committee for Free and Fair Elections (COMFREL), juga menjadi sasaran penyelidikan pajak.[17] Penyalahgunaan Undang-Undang ini disertai dengan eskalasi intimidasi dan pengawasan yang besar terhadap para pekerja masyarakat sipil dan pembela hak asasi manusia.[18]

Pemilu nasional yang dijadwalkan berlangsung pada Juli 2018 tidak memiliki peluang legitimasi jika keadaan tetap berlangsung seperti sekarang ini, dan langkah-langkah perbaikan yang ekstensif akan diperlukan agar pemilu ini dianggap murni, partisipatif dan terbuka. Hak-hak atas kebebasan berekspresi, kebebasan berserikat, kebebasan berkumpul, dan partisipasi politik, secara sistematis dilanggar, bertentangan dengan konstitusi Kamboja dan kewajiban hak asasi manusia internasional Kamboja, termasuk di bawah Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, dan Perjanjian Paris.

Mengingat situasi yang mengkhawatirkan dan dengan cepat memburuknya kondisi hak asasi manusia, peraturan hukum dan demokrasi di Kamboja, kami mendesak Anda sekalian untuk memenuhi kewajiban sebagaimana tercantum dalam Kesepakatan Perdamaian Paris. Kami dengan hormat menyampaikan bahwa cara yang paling tepat untuk memenuhi kewajiban ini adalah dengan mengumpulkan kembali anggota Konferensi Paris soal Kamboja, bersama dengan pemangku kepentingan terkait lainnya, dan melakukan pertemuan darurat untuk membahas keadaan demokrasi Kamboja, dan untuk menjelaskan tindakan kolektif yang dapat dilakukan untuk mendorong RGC untuk membalikkan arah. Tindakan mendesak diperlukan untuk memastikan bahwa visi Kamboja yang demokratis yang digariskan dalam Kesepakatan Paris tidak dikhianati.

Hormat kami,

  1. AdilSoz - International Foundation for Protection of Freedom of Speech
  2. Africa Freedom of Information Centre (AFIC)
  3. Americans for Democracy & Human Rights in Bahrain (ADHRB)
  4. ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR)
  5. Asia Democracy Network (ADN)
  6. Asian Forum for Human Rights and Development (Forum-Asia)
  7. Asian Network for Free Elections(ANFREL)
  8. Boat People SOS
  9. Bytes for All (B4A)
  10. Canadian Journalists for Free Expression
  11. Center for Human Rights and Development (CHRD) (Mongolia)
  12. Center for Independent Journalist - Romania
  13. Center for Media Freedom and Responsibility (CMFR)
  14. Center for Media Studies & Peace Building (CEMESP)
  15. Centro Prodh (Mexico)
  16. Civil Rights Defenders
  17. Commission for the Disappeared and Victims of Violence (KontraS) (Indonesia)
  18. Committee Against Torture (CAT) (Russia)
  19. Community Resource Centre Foundation (CRC) (Thailand)
  20. Equality Myanmar (EQMM)
  21. Fortify Rights
  22. Freedom Forum
  23. Global Witness
  24. Globe International
  25. Greek Helsinki Monitor (Greece)
  26. Human Rights Watch
  27. International Commission of Jurists (ICJ)
  28. International Federation for Human Rights (FIDH)
  29. International Federation of Journalists (IFJ)
  30. International Press Centre (IPC)
  31. Judicial System Monitoring Program (JSMP) (Timor-Leste)
  32. Korean House for International Solidarity (KHIS)
  33. Mahila Sarvangeen Utkarsh Mandal (MASUM) (India)
  34. Media Institute of Southern Africa
  35. Media Watch
  36. Media, Entertainment and Arts Alliance
  37. Mizzima News
  38. National Union of Somali Journalists (NUSOJ)
  39. Odhikar (Bangladesh)
  40. P24 Platform for Independent Journalism
  41. PEN American Center
  42. PEN Canada
  43. People's Empowerment Foundation (PEF) (Thailand)
  44. Sohram-Casra (Turkey)
  45. SOS-Torture/Burundi (Burundi)
  46. South East Europe Media Organisation
  47. Southeast Asian Press Alliance (SEAPA)
  48. Synergie des Femmes pour les Victimes des Violences Sexuelles (SFVS) (DRC)
  49. UDEFEGUA (Guatemala)
  50. Vietnamese Women for Human Rights (VNWHR)
  51. Vigilance for Democracy and the Civic State
  52. World Association of Newspapers and News Publishers
  53. World Organisation Against Torture (OMCT)
  54. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  55. Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (SAMIN)
     

Tembusan:

  • Yang Mulia Raja Norodom Sihamoni, Raja Kamboja
  • Samdech Hun Sen, Perdana Menteri Kerajaan Kamboja
  • Kem Sokha, Ketua, Partai Penyelamat Nasional Kamboja (CNRP)
  • Zeid Ra'ad Al Hussein, Komisioner Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Urusan Hak Asasi Manusia
  • Retno Marsudi, Menteri Luar Negeri Indonesia
  • Jean-Yves Le Drian, Menteri Luar Negeri dan Pengembangan Internasional Prancis
  • Julie Bishop, Menteri Luar Negeri Australia
  • Yang Mulia Sultan Hassanal Bolkiah Mu'izzaddin Waddaulah ibni Sultan Omar Ali Saifuddien Sa'adul Khairi Waddien, Sultan dan Menteri Luar Negeri dan Perdagangan Brunei Darussalam
  • Chrystia Freeland, Menteri Luar Negeri Kanada
  • Wang Yi, Menteri Luar Negeri, Republik Rakyat Cina
  • Sushma Swaraj, Menteri Luar Negeri India
  • Fumio Kishida, Menteri Luar Negeri Jepang
  • Saleumxay Kommasith, Menteri Luar Negeri Laos
  • Dato' Sri Anifah Aman, Menteri Luar Negeri Malaysia
  • Alan Peter Cayetano, Sekretaris Luar Negeri, Filipina
  • Vivian Balakrishnan, Menteri Luar Negeri Singapura
  • Don Pramudwinai, Menteri Luar Negeri Thailand
  • Sergey Lavrov, Menteri Luar Negeri Russia
  • Boris Johnson, Menteri Luar Negeri Inggris
  • Rex W. Tillerson, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat
  • Phạm Bình Minh, Menteri Luar Negeri Vietnam
 

[1] Untuk tinjauan umum tentang kewajiban hukum Pemerintah Kerajaan Kamboja, serta kewajiban penandatangan lainnya dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang dihasilkan Perjanjian Perdamaian Paris, lihat: http://cchrcambodia.org/admin/media/factsheet/factsheet/english/2016_10_21_CCHR_fs_dhr_in_the_ppa_ENG.pdf
[2] Bok Sokhean dan Erin Handley, ‘Perdamaian seperti ‘Hantu’, kata Hun Sen, menolak perjanjian untuk menegakkan demokrasi di Kamboja’ (Phnom Penh Post, 12 Oktober 2017) https://goo.gl/w9ekaT
[3] Richard C. Paddock dan Julia Wallace, ‘Kamboja Tangkap Pemimpin Oposisi Dengan Tuduhan Makar’ (New York Times, 2 September 2017) https://goo.gl/CNm9Yd
[4] Lihat: UN OHCHR di Kamboja, ‘Sebuah Analisis HAM Terhadap Amandemen UU Soal Partai Politik (2017)’ (28 Maret 2017) https://goo.gl/JwWM51 dan CCHR, ‘Analisis Hukum Usulan Amandemen Juli 2017 soal LLP’ (2017) https://goo.gl/tXFuLR
[5] Mech Dara dan Erin Handley, ‘Berita Terbaru: Kementrian Dalam Negeri Ajukan Pengaduan untuk Membubarkan CNRP’ (Phnom Penh Post, 6 Oktober 2017) https://goo.gl/vDN5Gn
[6] Niem Chheng, Ananth Baliga dan Erin Handley, ‘CPP kembali tulis ulang aturan, berencana mengamandemen UU politik untuk mendistribusikan kursi CNRP) (Phnom Penh Post, 11 Oktober 2017) https://goo.gl/Mf56dv
[7] ACPS Lampiran 5, ‘Prinsip-prinsip Sebuah Konstitusi Baru Bagi Kamboja’, Pasal 4 dan 5
[8] Perjanjian tentang Kedaulatan, Kemerdekaan, Integritas dan Kemutlakan Teritorial, Netralitas dan Persatuan Nasional Kamboja (ASIT) Pasal 3(2)(a) dan ACPS Pasal 15(2) (a)
[9] The Cambodia Daily, Cambodia Daily Umumkan Penutupan Segera Di Tengah Ancaman, (The Cambodia Daily, 4 September 2017) https://goo.gl/NQTaur
[10] Abby Seiff, ‘Kamboja: Menutup Stasiun Radio Independen’ (Al Jazeera, 22 September 2017) https://goo.gl/Wo45gn
[11] Kann Vicheika, ‘Kamboja Ancam Tangkap Jurnalis Radio Free Asia’ (VOA, 20 September 2017) https://goo.gl/bKVST9
[12] Ben Sokhean dan Ben Paviour, ‘Kementerian Dalam Negeri Hentikan Koalisi LSM untuk Pemilu’ (The Cambodia Daily, 5 Juli 2017) https://goo.gl/TUywKr
[13] Untuk analisis detail LANGO, lihat: Kantor Komisioner PBB Untuk Hak Asasi Kamboja, ‘Analisis HAM dalam UU Asosiasi dan  Organisasi Non Pemerintah’ < http://bit.ly/2xIh7A4 >
[14] George Wright, ‘NDI Diperintahkan Hentikan Operasional, Staf Asing Hadapi Pengusiran’, The Cambodia Daily, 23 Agustus 2017.
[15] Ben Sokhean dan Kong Meta, ‘LSM Hak Atas Tanah Dibekukan’, Phnom Penh Post, 29 September 2017  
[16] Mech Dara dan Ananth Baliga, ‘LSM Lingkungan Mother Nature Ditutup’ (Phnom Penh Post, 18 September 2017) https://goo.gl/iVa6K7  
[17] Phan Soumy, ‘Pemerintah Bantah Ada Motif Politik Di Balik Penyelidikan Pajak’ (The Cambodia Daily, 16 Agustus 2017) https://goo.gl/XXLqEg
[18] Brendan O’Byrne, ‘Kelompok HAM Peringatkan Ancaman, Pengawasan’ (The Cambodia Daily, 16 Agustus 2017) https://goo.gl/UxsqEk  

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country