Hak asasi warga Indonesia menghadapi risiko lebih besar menyusul putusan Mahkamah Konstitusi pekan ini yang menyatakan bahwa pemerintah pusat tidak bisa lagi mencabut peraturan daerah Syariah (hukum Islam) yang diadopsi Indonesia.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah telah menganalisis kesesuaian sejumlah peraturan daerah untuk memenuhi konstitusi Indonesia yang sekuler, dan berjanji untuk mencabut sejumlah peraturan yang tidak sejalan dengan konstitusi negara. “Saya ingin menggarisbawahi bahwa Indonesia bukan negara berbasis agama,” kata Menteri Dalam Negeri tahun 2015. Namun saat itu pemerintah tampak enggan menerjemahkannya dalam tindakan nyata, dan menghindari kontroversi dengan membiarkan perda Syariah diterapkan secara utuh.
Sebuah kesempatan yang terlewatkan.
Mahkamah Konstitusi Rabu lalu dalam putusannya mencabut kewenangan Kementerian Dalam Negeri untuk membatalkan peraturan daerah bermasalah – sehingga kini pemerintah tidak lagi bisa meninjau peraturan daerah yang mengancam hak berekspresi dan berserikat. Putusan ini juga menunjukkan kegagalan pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk menjabarkan retorikanya soal penghapusan sejumlah peraturan yang secara terang-terangan melanggar hak-hak perempuan dan kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) dalam kenyataan.
Meski Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengklaim telah membatalkan lebih dari 3,000 perda bermasalah pada 2015 dan 2016, dia mengakui bahwa peraturan-peraturan yang dicabut hanyalah yang berdampak pada investasi, tidak mencakup perda syariah yang kejam. Perda-perda yang dibatalkan itu merupakan “peraturan-peraturan daerah bermasalah” karena melanggar semboyan negara dari “bhinneka tunggal ika,” bukan peraturan yang melanggar hak-hak fundamental.
Kini, setelah bertahun-tahun pemerintah pusat bergerak lamban, Mahkamah Konstitusi akhirnya memutuskan Kementerian Dalam Negeri tidak bisa lagi mencabut peraturan daerah.
Presiden Jokowi telah berkata bahwa dia akan mencari cara-cara lain untuk meningkatkan investasi. Namun dia juga harus menjelaskan bagaimana dia akan melindungi kalangan minoritas yang terancam dengan adanya hukum Syariah. Saat ini dua pria di Aceh sedang menunggu hukuman cambuk di hadapan publik atas hubungan sesama jenis di bawah perda dengan landasan Syariah. Keputusan Mahkamah Konstitusi tidak membuat Jokowi terbebas dari kewajibannya untuk menegakkan hukum internasional yang disandang Indonesia.
Untuk pertama kalinya, Jokowi harus menunjukkan kepemimpinan nyata melawan meningkatnya intoleransi di Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Kalangan minoritas di Indonesia, yang berada dalam tekanan hukum Syariah, membutuhkan seorang presiden yang akan memastikan “bhinneka tunggal ika” bagi seluruh warga Indonesia.