(New York, 29 Desember 2008) – Vonis pengadilan yang diputuskan besok, 31 Desember 2008, terhadap pejabat senior intelijen yang diduga terlibat pembunuhan Munir, advokat HAM di Indonesia, merupakan ujian penting independensi sistem peradilan Indonesia,demikian Human Rights First dan Human Rights Watch hari ini.
Purnawirawan Mayor Jenderal Muchdi Purwopranjono, mantan wakil direktur Badan Intelijen Negara dan mantan kepala Kopassus, pasukan elit tempur militer Indonesia, dituntut pembunuhan terencana dalam kasus Munir. Munir diracun arsenik hingga mati dalam penerbangan pesawat komersial menuju Belanda pada 2004. Meski dua orang telah divonis dalam keterlibatan pembunuhan ini, pengadilan terhadap Muchdi adalah pengadilan pertama terkait perencanaan pembunuhan dan memerintahkan kejahatan. Sejak kejatuhan Soeharto pada 1998, belum pernah ada seorang pun Jenderal yang berhasil dituntut untuk pelanggaran hak asasi manusia.
Human Rights Watch dan Human Rights First mengikuti secara dekat dengan menurunkan perwakilannya memantau beberapa sidang selama lima bulan.
“Jika Indonesia ingin menyudahi masa otoriter, sistem peradilan harus menunjukkan tak ada jenderal yang dapat mempengaruhi hukum,” kata Matt Easton, direktur Program Human Rights Defenders dari Human Rights First. “Penyidik, jaksa dan pengadilan harus siap ke mana pun bukti dan hukum membawa mereka.”
Human Rights Watch dan Human Rights First berpendapat bahwa pengadilan terhadap pejabat senior militer merupakan peristiwa penting di Indonesia, melihat kecenderungan hampir mustahil mendakwa anggota TNI dan badan intelijen dari era Soeharto.
Dibentuknya komisi kepresidenan, memperkuat kembali penyelidikan polisi, dan persidangan pembunuhan terhadap pilot bernama Pollycarpus Budihari Priyanto menyingkap bukti kuat kasus ini mengarah pada BIN. Berdasarkan bukti ini, dari catatan telepon, dokumen dan pernyataan di bawah sumpah agen intelijen, Muchdi akhirnya ditangkap pada Juni. Persidangannya dimulai pada bulan Agustus.
Human Rights Watch dan Human Rights First berpendapat bukti yang menjerat Muchdi sudah kuat. Namun, aspek-aspek yang menjadi keprihatinan kedua organisasi HAM ini adalah penarikan kembali keterangan saksi secara sistematis kepada polisi dan tekanan dari sejumlah kelompok di ruang sidang. Saksi berusaha mencabut pernyataan dalam dokumen badan acara pemeriksaan di kepolisian, mengkalim lupa akan fakta-fakta dasar, atau saksi gagal dihadirkan dalam persidangan. Sebagian besar saksi adalah mantan dan pejabat aktif intelijen serta sejumlah purnawirawan militer.
Beberapa saksi menyangkal pernyataan mereka sendiri kepada penyidik, menyatakan lupa atau tidak ingat mengenai jawaban yang pernah mereka ungkapkan sebelumnya. Namun, di ruang sidang, penyidik membantah klaim beberapa saksi yang menyatakan sakit, di bawah tekanan psikologi, tidak dapat melihat tanpa kacamata, atau mencabut pernyataan yang telah dibuat sebelumnya dalam BAP. Hakim memiliki tinjuan sendiri atas pernyataan dalam BAP kasus ini saat saksi gagal dihadirkan atau membantah keterangan sendiri.
Pemerintah Indonesia berada dalam tekanan kuat dari dalam negeri dan internasional untuk mengusut para pembunuh Munir. Sebaliknya, puluhan pendukung Muchdi muncul pada setiap sidang dengan memakai kaos bertulisan “ Lawan Intervensi Asing.” Para pendukung, dari kelompok bernama Brigade Merah Putih, sering bergabung dengan kelompok lain bernama Forum Betawi Rempug, yang bertanggung-jawab atas kekerasan masa lalu terhadap pembela HAM, termasuk Munir sendiri. Pada beberapa sidang, mereka berteriak kepada saksi yang memberatkan dan saksi yang meringankan Muchdi. Kelompok macam ini sering diundang atau disewa untuk menghadiri persidangan dan berdemonstrasi dalam upaya mempengaruhi proses sidang.
“Dengan dukungan kelompok kanan dan pola kepemimpinan Indonesia, upaya kepolisian untuk menjerat dan menangkap pejabat senior terasa mustahil,” kata Brad Adams, direktur divisi Asia Human Rights Watch. “Sekarang beberapa saksi mendadak mengubah cerita mereka, semua mata berpaling kepada para hakim untuk melihat apakah mereka dapat melawan tekanan dari institusi-institusi militer berpengaruh.”
Muchdi telah lama terlibat dalam pelanggaran HAM serius, termasuk penghilangan paksa terhadap para mahasiswa yang menyerukan Soeharto turun pada 1998, saat Muchdi menjabat kepala Kopassus. Karier militer Muchdi berakhir pada 1998 setelah pengadilan militer memutuskan serdadu-serdadu Kopassus bersalah atas kasus penculikan para aktivis, 13 di antaranya masih belum ditemukan. Munir memimpin investigasi kasus penculikan aktivis itu saat menjadi direktur Komisi untuk orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Situs resmi Departamen Pertahanan menyatakan: “Kepala TNI memiliki kewenangan … pejabat Kopassus Mayjen Muchdi PR … dengan keputusan mencopotnya dari jabatan menyusul kegagalan mengendalikan kegiatan bawahannya.” Jaksa berpendapat bahwa Munir mungkin dibunuh Muchdi sebagai aksi balasan atas peran Munir memberi bukti-bukti penculikan yang menyebabkan pemecatan Muchdi.
“Sekalipun diatur dan sangat mungkin pencabutan keterangan para saksi dipaksa, penuntut telah mengajukan bukti kuat,” ujar Easton. “Pengadilan harus bersandar pada bukti yang begitu gamblang dan membuat putusan yang independen.”
Apapun putusan pada 31 Desember, kedua belah pihak dapat mengajukan banding, tapi pencarian keadilan untuk kasus Munir tidak akan berakhir. Pertanyaan masih akan mengarah pada apakah pemimpin senior BIN lain mengetahui dan terlibat dalam pembunuhan terencana ini. Dan pernyataan inkonsisten selama persidangan, berputar soal catatan telepon dan dokumen lain, memerlukan investigasi terhadap saksi yang bersumpah palsu dan disuap.
Munir dikenal pendiri dan direktur KontraS, juga direktur Imparsial, pada saat kematiannya.Kariernya sebagai advokat HAM dimulai di Surabaya pada 1989 , termasuk bertugas sebagaidirektur Lembaga Bantuan Hukum Semarang dan wakil ketua bidang operasional Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia di Jakarta. Dia mewakili para korban dan aktivis pelanggaran HAM dalam kasus-kasus penting. Dia menjadi pembicara rutin untuk keadilandalam menghadapi intimidasi, termasuk ancaman pembunuhan. Pekerjaannya mencakupsegudang perkara hak asasi manusia di Indonesia, dari pelanggaran militer dan polisi Indonesia terhadap para aktivis buruh, dari impunitas pelanggaran HAM serius di Aceh, Timor Timur dan Papua hingga hak-hak minoritas etnis Tionghoa di Indonesia.
Atas prestasinya, Munir meraih sejumlah penghargaan, termasuk Man of the Year pada 1998 yang diberikan majalah Muslim terkenal UMMAT, dan “young leader for the Millenium” oleh Asiaweek pada 2000. Pada tahun yang sama dia juga menerima “The Right Livelihood Award”—dikenal “Penghargaan Nobel Alternatif”—untuk “keberanian dan dedikasinya dalam memperjuangkan hak asasi manusia dan kontrol sipil atas militer di Indonesia.”
“Pembunuhan Munir merupakan sebuah luka menganga di Indonesia yang tidak akan sembuh sampai semua pelakunya diminta pertanggung-jawaban,” ujar Adams.