LAHORE, PAKISTAN - Pembunuhan berdarah dingin pekan ini terhadap Salman Taseer, gubernur Provinsi Punjab, menjawab beberapa pertanyaan dengan penjelasan mutlak, sebagaimana disadari banyak orang.
Pembunuhan Tasser menggambarkan suatu peringatan tegas dan buruk terhadap pemerintah dan masyarakat sipil bahwa negara tak bekerja dalam menekan kelompok ekstrimis. Pemerintahan provinsi Punjab, dikendalikan Kepala Menteri Shahbaz Sharif, perlu menyadari bahwa sejarah kekerasan toleransi yang terus-menerus oleh kelompok ekstrimis tak dapat dipertahankan. Pemerintah federal Pakistan yang dipimpin Partai Rakyat Pakistan juga harus serius berupaya mencari petunjuk yang memicu pembunuhan Tasser.
Ketika Asia Bibi pada 8 November 2010 menjadi perempuan pertama di Pakistan yang divonis hukuman mati karena pasal penodaan, putusan tersebut ditentang secara luas, termasuk oleh pejabat teras pemerintah seperti Taseer. Dia dengan berani mengunjungi Bibi di penjara demi menunjukkan solidaritas. Presiden Asif Ali Zardari memerintah kementerian meninjau keputusan tersebut, yang secara hukum lemah dan merekomendasikan pengampunan. Pemerintah mengumumkan niatnya untuk mengamandemen undang-undang penodaan. Mantan menteri informasi, Sherry Rehman, mengusulkan peraturan yang mengamandemen undang-undang tersebut.
Namun pada akhir November, pemerintah menyerah pada tekanan ekstrimis. Zardari melalui Menteri Hukum Babar Awan mengumumkan takkan ada perubahan undang-undang penodaan di bawah wewenangnya. Pada 29 November, dalam suatu kasus yang jelas melampaui batas yang ditentukan pengadilan, Pengadilan Tinggi Lahore mengeluarkan perintah melarang presiden mengajukan pengampunan. Akhirnya, pada 30 Desember, pemerintah secara terbuka mengumumkan "tak ada niatan" untuk mencabut atau mengamandemen undang-undang penodaan.
Dalam putaran yang dramatis, pemerintah di depan umum menyingkirkan Taseer, kolega dekat Zardari, dan Rehman, yang turut menulis manifesto pemilu Partai Rakyat Pakistan.
Presiden, yang dibuat sibuk atas perkara Asia Bibi, secara mencolok justru menyelesaikan masalah dia pada bulan Mei, ketika dia memakai wewenang kontitusional untuk mengampuni Menteri Dalam Negeri Rehman Malik, dalam hitungan jam, yang dihukum atas dua kasus korupsi.
Dengan membiarkan Bibi menjadi sebuah pion dalam perdebatan luas antara pengadilan dan kelompok Islamis, pemerintah terganggu kredibilitasnya, meminggirkan suara logis dan toleran dalam partai berkuasa dan membikin peluang lebih berbahaya bagi kehidupan kelompok minoritas agama.
Ini menuntun Taseer dan mereka yang menentang undang-undang diskriminatif dan penodaan lebih rentan menghadapi serangan. Para Islamis, bertindak di bawah payung Tehreek Tahaffuz-e-Namoos-e-Risalat (TTNS), mengadakan demonstrasi di seluruh negeri untuk mendukung undang-undang penodaan agama dan menawarkan imbalan bagi siapa saja yang membunuh Asia Bibi.
Mereka mengeluarkan ancaman mati bagi penentang undang-undang penodaan - termasuk Taseer dan Sherry Rehman. Secara luas, pemerintah federal dan provinsi memilih tak bereaksi atas ancaman tersebut. Konsekuensinya, Taseer tewas.
Pemerintah Zardari, sejak menyingkirkan Jenderal Pervez Musharraf dari kekuasaan dan mengadakan pemilu pada 2008, telah lama menjadi tawanan para politisi koalisi sayap kanan, yang tak ramah terhadap ide-ide toleransi. Media takut memeriksa perilaku hakim karena bisa dituduh pasal "pencemaran," yang diproses oleh pengadilan karena bisa sewenang-wenang mengadakan sidang dimana parlemen dapat mengamandemen konstitusi. Jurnalis melakukan swa-sensor karena takut pada militer dan badan intelijen. Namun media bebas menyebarkan propaganda Islam, paham nasionalis dan sikap anti-Barat.
Gubernur dibatasi oleh anggota kemananan dia sendiri sementara pasukan pengawal lain berdiri mendukung para ekstrimis dan para simpatisan memasuki lembaga-lembaga penegak hukum. Ini juga yang menegaskan pemerintah provinsi Punjab tak mampu atau enggan membersihkan elemen-elemen ekstrimis dari lembaga-lembaga tersebut.
Kecuali ada perubahan kebijakan signifikan terhadap peredaran para ekstimis, yang didukung militer, peradilan dan kelas politik, bangunan negara berada dalam bahaya kehancuran secara permanen.
Dalam suasana tegang dan penuh kebencian, keberanian politik untuk mendukung Asia Bibi - dan demokrasi Pakistan yang rapuh - merupakan anasir yang mudah goyah.
Kecaman Salman Taseer atas undang-undang penodaan dan dukungannya kepada korban merupakan sikap seorang pejabat publik yang memiliki prinsip dan pemberani. Dia muncul, sebagaimana Benazir Bhutto sebelumnya, sebagai politisi langka yang bersedia memertaruhkan nyawa dalam mengemban posisi jelas terhadap diskriminasi dan penganiayaan. Pembunuhan dia memunculkan kesedihan di antara mereka yang berjuang untuk toleransi dan demokrasi Pakistan. Ini juga bencana politik besar bagi partai berkuasa, dan kerugian pribadi untuk Presiden Zardari.
Sementara harapan akan demokrasi transisional di sebuah negara yang penuh dengan militansi harus diperkuat secara realistis, Pakistan membutuhkan lebih banyak pahlawan yang masih hidup, bukan yang mati.
Ali Dayan Hasan peneliti senior Asia Selatan, Human Rights Watch.