(New York) – Pemerintah Indonesia harus menyusun investigasi yang cermat, imparsial, dan transparandengan memakai video testimoni terbaru tentang korban penyiksaan, menurut Human Right Watch hari ini. Penyiksaan terhadap Tunaliwor Kiwo, petani Papua, dan tetangganya, direkam dengan telepon genggam pada 30 Mei 2010. Video ini terekspor pada Oktober. Belakangan, Kiwo menceritakan ulang rincian penyiksaan dalam rekaman testimoni yang dibikin untuk diketahui publik.
Tentara-tentara Indonesia menangkap Kiwo dan Telangga Gire pada 30 Mei di kabupaten Puncak Jaya, provinsi Papua. Pada video penyiksaan berdurasi 10 menit ini, serdadu-serdadu Indonesia terlihat menendang wajah dan dada Kiwo, menyundut mukanya dengan rokok, membakar penis, dan menodongkan pisau ke leher Gire. Pada video testimoni, Kiwo menceritakan rincian penyiksaan yang dideritanya selama dua hari sebelum melarikan diri pada 2 Juni. Tentara-tentarajuga menyiksa Gire, yang akhirnya dilepaskan setelah campur-tangan istri dan ibunya. Pemerintah berjanji akan mengusut kasus ini, tapi takkan pasti menemukan para pelakupenyiksaan.
“Sekali lagi, pihak berwenang lepas tangan ketimbang memenuhi kewajiban mereka secara proaktif untuk mengidentifikasi dan mengusut tentara-tentara yang bertanggung-jawab,”kata Phil Robertson, wakil direktur divisi Asia dari Human Rights Watch. “Kiwo telahmenunjukkan keberanian luar biasa untuk muncul dalam video testimonyanya – diapantas mendapatkan keadilan dan perlindungan, bukan malah menutupi dan ragu-ragu menyelidiki pelaku militer itu.”
Indonesia terikat dalam Konvensi PBB Anti-Penyiksaan dan berkewajiban untuk menginvestigasi dan menuntut dengan segera semua yang terlibat penyiksaan. Ia juga perlu menjamin perlindungan terhadap korban dan saksi dari segala bentuk perlakuan kejam atau intimidasi atas kesediaan mereka memberi keterangan dan bukti-bukti.
Kiwo dalam testimoninya mengatakan dia dan Gire sedang mengendarai sepedamotor dari kampung merekadi Tingginambutke Mulia, ibukota Puncak Jaya, saat para tentara menghentikan mereka di pos pemeriksaan militer di Kwanggok Nalime, Yogorini. Kiwo menceritakan para tentara menangkap dan memukul mereka, mengikat tangan dengan tali, menyeret mereka ke bagian belakang pos militer, mengikat kaki mereka dengan kawat berduri. Dia berkata tentara-tentaramenyiksanya selama 3 hari, memukulinya dengan tangan kosong dan tongkat, menghancurkan jari kaki dengan tang, mencekik dengan kantong plastik, membakar alat kelamin dan bagian tubuh lain, menyilet wajah dan kepala serta menaburkan cabe pada lukanya, dan berbagai bentuk penyiksaan lain.
Testimoni Kiwo yang direkam dengan video bisa dilihat di situs Engage Media(http://www.engagemedia.org/Members/dewanadatpapua/videos/kiwotestimony_en/view), dengan terjemahan bahasa Indonesia dan dan bahasa Inggris.
“Pemerintah Indonesia harus menjamin perlindungan ketat kepada Tunaliwor Kiwo dan Telangga Gire dari aksi balas dendam dan mempertimbangkan mereka sebagai saksi atas penyiksaan yang diterimanya,” kata Robertson. “Testimoni dua pria ini sangat penting untuk menuntut para tentara yang telah menyiksa mereka, jadi melindungi mereka menjadi prioritas utama.”
Liputan media pada bulan Oktober tentang video penyiksaan 30 Mei itu membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggelar rapat kabinet tertutup pada 22 Oktober, setelah menteri koordinator politik, hukum, dan keamanan Marsekal TNI (Purn) Djoko Suyanto, mengakui bahwa video itu menunjukkan tentara-tentaraIndonesia menyiksa penduduk Papua. Menurut laporan, Yudhoyono memerintahkan TNI melakukan investigasisegera, tapi pemerintah tidak memberitahukan perkembangan investigasi ini.
Komnas HAM memperkirakan ada sekitar 50 warga sipil terbunuh di kampung itu sejak TNI dan kepolisain Indonesia memulai operasi militer tahun lalu.
Perwakilan Dewan Adat Papua memberikan video testimoni Kiwo kepada Komnas HAM pada 5 November. Komisi lantas membentuk sebuah tim untuk menginvestigasi episode penyiksaan serta pelanggaran hak asasi manusia lain di Puncak Jaya. Komisi juga menjadwalkan kunjungan ke Papua pada akhir Oktober untuk investigasi lebih lanjut karena sebelumnya tak mendapatkan akses dan kerjasama dari militer dan pejabat pemerintah setempat.
Tanpa diduga, Mayor Jenderal Hotma Marbun, komandan militer Indonesia di Papua, dipecat dari posisinya pada 12 November. Pengumumannya disebut sebagai “mutasi rutin”meskiMarbun baru bertugas di Papua sejak Januari. Human Rights Watch tak punya informasi yang mengindikasikan apakah mutasi itu peristiwa biasa atau terkait video penyiksaan. Penggantinya,Brigjen Erfi Triassunuharus memastikan bahwa investigasi dalam kasus penyiksaan ini berjalan serius dan imparsial serta serdadu-serdadu di bawahnya bisa diajak bekerjasamadengan penuh, pendapat Human Rights Watch.
“Mengganti komandan militer bukan berarti bebas dari hukuman,”kata Robertson. “Para korban berhak mendapat keadilan. TNI dan Polri di Papua harusbekerjasama sepenuhnya dengan para investigator dari Komnas HAM.”
Tambahan: Kebingungan dari dua video berbeda yang merekam penyiksaan di Papua.
Video 17 Maret 2010
Pada 5 November 2010, pengadilan militer Jayapura memulaisidang terhadap Prajurit Kepala Sahminan Husain Lubis, Prajurit Dua Joko Sulistiono, Prajurit Dua Di Purwanto, dan komandan mereka,Letnan Dua Cosmos N. dari batalyon Kostrad 753 yang dituntut “melanggar perintah.”Cosmos memimpin kesatuannya, terdiri 12 serdadu, menjaga pos di desa Kolome, distrik Illu, Puncak Jaya. Banyak wartawan nasional maupun internasional, serta pejabat Indonesia, salah mengira bahwa sidang ini berkaitan dengan kasus video penyiksaan Kiwo-Gire, 30 Mei 2010.
Selama sidang, sudah jelas bila kasus yang diusut merupakan insiden penyiksaan berbedayang juga direkamtapi pada 17 Maret 2010. Pada sidang lanjutan, tentara-tentara ini mengakui penyiksaan dalam video. Menurut Cosmos, insiden itu terjadi saat timnya melakukan patroli rutin. Dia bilang menerima kabar dari informan yang mengatakan ada senapan AK-47 dan Mausser di desa Gurage.
Pasukan ini lantas mendatangi desa dan memisahkan pria dan perempuan. Satu demi satu mereka menanyakan semua pria, dan saat menerima jawaban tak memuaskan, serdadu-serdadu ini menendang dan memukul penduduk desa. Prajurit Dua Ishak menggunakan telepon genggam Nokia N-70 untuk merekam interogasi dan pemukulan. Dia berkata di depan pengadilan bahwa Cosmos yang menyuruhnya.
Pemantau sidang ini melaporkan kepada Human Rights Watch bahwa hakimLetkol CHK Adil Karo Karoberkata kepada Ishak, “Kamu itu bodoh. Sudah tahu ini sensitif, kenapa masih saja merekamnya?”Sidang berlangsung cepat dengan hanya menggelar dua sesi mendengarkan keterangan saksi dan tak ada seorang pun dari saksi selain tentara yang dihadirkan oleh pengadilan. Pada 12 November, pengadilan militer Jayapura mendakwa Cosmos dan tiga prajuritnya bersalah karena “melanggar perintah.” Cosmos divonis 7 bulanpenjara. Tiga prajurit dihukum masing-masing 5 bulanpenjara.
Video 30 Mei 2010
Video ini menunjukkan beberapa tentara serta dua pria Papuadiikat terbaring di jalan berlumpur. Penanda elektronik video itu memperlihatkan rekaman ini diambil pada pukul 13.30. Pejabat Dewan Adat Papua di Puncak Jaya melaporkan pada Agustus 2010 bahwa dua pria disiksa pada siang hari, 30 Mei: Tunaliwor Kiwo dan Telangga Gire. Moribnak kemudian mewawancarai Gire pada bulan Juli. Moribnak menulis penyiksaan ini kemungkinan terjadi di desa Yogorini, distrik Tingginambut, kabupaten Puncak Jaya. Diduga penyiksaan dilakukan anggota batalyon Kostrad 753. Karena adanya aturan pembatasan dari pemerintah kepada organisasi internasional memasuki Papua, Human Rights Watch kesulitan menemukan lokasi persis di mana penyiksaan ini terjadi atau mengidentifikasi kesatuan serdadu-serdadu yang terlibat.
Kiwo melarikan diri dari tentara-tentara Indonesia pada 2 Juni, dan serdadu militer juga melepaskan Gire setelah ibu dan istrinya memohon.
Human Rights Watch mengeluarkan pernyataan (https://www.hrw.org/en/news/2010/10/20/indonesia-investigate-torture-video-papua) pada 20 Oktober, menyerukan pemerintah Indonesia agar serius menginvestigasi insiden ini.