(Kuwait City) - Dalam laporannya yang diterbitkan hari ini, Human Rights Watch menyebutkan bahwa pekerja sektor domestik yang berusaha melepaskan diri dari penyiksaan majikan justru menghadapi tuntutan hukum karena dianggap "melarikan diri" dan tidak dapat berpindah tempat kerja tanpa ijin majikan mereka. Para pekerja sektor domestik tidak mendapat perlindungan yang cukup dari perilaku majikan yang menahan gaji, melakukan pemaksaan waktu kerja yang panjang dan tanpa libur, tidak memberi makan yang cukup atau melakukan penganiayaan fisik maupun pelecehan seksual.
Laporan setebal 97 halaman yang berjudul, "Jalan Buntu: Eksploitasi Pekerja Sektor Domestik Dalam Sistem Sponsor Di Kuwait," tersebut, menggambarkan keadaan pekerja sektor domestik yang terperangkap dalam eksploitasi kerja atau penyiksaan yang kemudian harus berhadapan dengan tuntutan kriminal karena meninggalkan kerja tanpa ijin majikan. Walaupun mereka sudah mengalami penyiksaan dan sedang menuntut ganti rugi, aparat yang berwenang akan menangkap pekerja yang dilaporkan telah "melarikan diri" dan melakukan deportasi.
"Di Kuwait, nasib para tenaga kerja berada dalam genggaman majikan," ujar Sarah Leah Whitson, Direktur Human Rights Watch untuk Timur Tengah. "Jika pekerja yang mengalami eksploitasi atau penyiksaan berusaha membebaskan diri atau melapor, peraturan yang ada justru memudahkan majikan untuk melakukan laporan balik terhadap pekerja tersebut atas upaya "melarikan diri" dengan sanksi deportasi. Dalam hal ini pemerintah Kuwait menggantungkan nasib tenaga kerja kepada kebaikan hati majikan atau harus tersiksa jika ternyata diperlakukan tidak baik," lanjut Sarah.
Kuwait, negara di Timur Tengah yang memiliki tingkat rasio pekerja domestik yang cukup tinggi dibanding jumlah penduduknya, pada tanggal 26 September 2010 mengumumkan akan menghapus sistem sponsor (yang dikenal dengan sebutan kafala) pada bulan Februari 2011. Pemerintah berencana akan mengganti sistem yang berbasis majikan tersebut dengan badan perekrutan pekerja yang dikendalikan oleh negara. Walaupun perubahan sistem tersebut merupakan langkah penting, pemerintah Kuwait masih belum memberikan penjelasan rinci mengenai apa saja perlindungan hukum tambahan yang akan diberikan terhadap pekerja migran di Kuwait, atau apakah perubahan tersebut juga akan menyentuh pekerja sektor domestik.
Hampir sepertiga dari total angkatan kerja yang ada di negara Teluk yang hanya berpenduduk 1,3 juta jiwa tersebut diisi oleh lebih dari 660.000 tenaga kerja migran sektor domestik. Namun tenaga kerja sektor domestik tidak tercantum dalam undang-undang perburuhan yang melindungi tenaga kerja sektor lain. Para pengambil keputusan semakin menyisihkan tenaga kerja sektor domestik ketika mereka mensahkan peraturan ketenagakerjaan untuk sektor swasta yang tidak mencakup pekerja rumah tangga pada bulan Februari 2010.
Seorang aktivis yang kerap menangani pekerja domestik yang meminta identitasnya dirahasiakan mengatakan, "Seharusnya membebaskan diri dari perilaku majikan yang menyiksa tidak bisa dianggap tindakan yang melawan hukum. Seringkali mereka berkata ‘Tahu tidak, apa yang terjadi dengan saya di rumah majikan? Mereka memukul, meludahi...kenapa sekarang malah saya yang dituntut?'"
Dari data yang dihimpun oleh Human Rights Watch menunjukan bahwa pada tahun 2009, lebih dari 10.000 kasus yang berhubungan dengan perilaku majikan yang tidak baik telah diadukan oleh tenaga kerja sektor domestik dari Sri Lanka, Indonesia, Filipina dan Ethiopia ke Kedutaan negara masing-masing di Kuwait.
Menurut Human Rights Watch, perubahan yang dilakukan pemerintah Kuwait atas sistem pemberian sponsor saat ini harus mencakup langkah-langkah untuk menghapus pasal "melarikan diri" sebagai tindakan melawan hukum, dan mengijinkan pekerja berpindah tempat kerja tanpa memerlukan ijin majikan. Pemerintah Kuwait juga harus menghentikan penangkapan dan pendeportasian pekerja yang meninggalkan tempat kerja karena kesewenangan majikan, dan sebaliknya memberikan tempat tinggal sementara serta mempersingkat mekanisme pengaduan.
Tilkumari Pun, seorang pekerja rumah tangga berusia 23 tahun dari Nepal bercerita kepada Human Rights Watch bahwa dia sudah bekerja selama 13 bulan tanpa gaji. Berulangkali permintaan pembayaran gaji tersebut diajukan agar ia dapat pulang ke Nepal dan membantu biaya operasi jantung ayahnya. Namun setelah 10 bulan menunggu pembayaran gaji tanpa hasil, Tilkumari akhirnya meminta bantuan polisi yang belakangan justru menangkapnya. "Dari kantor polisi saya harus dibawa ke Departemen Penyidikan Kriminal (CID). Baba dan Mama [majikan saya] melaporkan saya ke polisi," tuturnya.
"Jalan Buntu" ditulis berdasarkan wawancara kepada 49 pekerja sektor domestik, perwakilan Kedutaan negara yang mengirim tenaga kerja di Kuwait dan para pejabat negara Kuwait termasuk pejabat dari Kementerian Urusan Sosial dan Ketenagakerjaan serta Kementerian Dalam Negeri. Human Rights Watch juga mewawancarai para majikan, aktivis masyarakat madani dan hak asasi manusia, pengacara serta akademisi.
Para tenaga kerja yang diwawancarai menceritakan berbagai kesewenangan yang dilakukan para majikan diantaranya gaji yang tidak dibayar, tidak memberikan hari libur serta penyiksaan fisik dan pelecehan seksual. Mereka mengatakan bahwa mengharapkan agar pengaduan mereka ditindaklanjuti merupakan hal yang mustahil.
Berdasarkan pengalaman mereka, para pekerja hanya dapat mengajukan langkah hukum jika mereka bersedia menunggu berbulan-bulan di tempat penampungan kedutaan yang sudah penuh sesak selama proses negosiasi dengan sponsor berlangsung atau selama birokasi hukum yang sangat panjang terus bergulir. Kasus "melarikan diri" yang dilaporkan majikan lansung menggugurkan keabsahan status visa pekerja sehingga menutup kesempatan kerja dan akibatnya pekerja tidak dapat mengirim uang ke kampung halaman selama menunggu proses hukum atas laporan mereka.
"Tenaga kerja rumah tangga sangat bergantung pada gaji bulanan untuk menunjang keluarga mereka di kampung halaman," ujar Sarah. "Mereka seharusnya tidak perlu menunggu berbulan-bulan di tempat penampungan yang penuh sesak tanpa bebas bepergian atau kesempatan kerja, padahal kebanyakan dari mereka telah dilanggar hak-haknya," lanjutnya.
Pekerja rumah tangga yang tidak dilindungi peraturan ketenagakerjaan, menghadapi perjuangan hukum yang sulit untuk mendapat gaji yang tidak dibayarkan. Membuktikan eksploitasi dan kesewenangan sangat sulit dilakukan karena minimnya bukti-bukti yang dapat dikumpulkan dari rumah majikan. Walaupun di Kuwait terdapat banyak tenaga kerja migran dan kasus-kasus gaji yang tidak dibayar merupakan kasus yang paling sering dilaporkan, sejauh ini tidak ada upaya untuk mempercepat peradilan ketenagakerjaan. Panjangnya waktu tunggu, informasi seputar hak dan pilihan yang minim dan kecilnya kemungkinan mendapat perlakuan hukum yang adil mengakibatkan banyak pekerja yang membatalkan upaya untuk mendapat kompensasi.
Bahkan, walaupun pekerja rumah tangga memilih untuk tidak mengajukan laporan, mereka tetap harus menunggu beberapa waktu untuk dapat keluar dari Kuwait. Hanya sedikit dari pekerja yang diwawancarai oleh Human Rights Watch berhasil mendapatkan paspor kembali setelah meninggalkan majikan mereka. Majikan menahan paspor pekerja untuk menunda kepulangan serta menggunakan dokumen tersebut dalam proses negosiasi. Walaupun dalam kasus-kasus dimana jelas-jelas seorang pekerja harus melarikan diri dari perilaku majikan yangmenyiksa atau memang telah menyelesaikan masa kontraknya, pekerja yang dilaporkan telah "melarikan diri" sering kali harus menunggu lebih lama agar pejabat berwenang menghapus kasus hukum yang melilit mereka sebelum dapat kembali ke negara asal.
Nur W., tenaga kerja wanita (TKW) asal Indonesia yang diwawancarai di pusat penampungan milik pemerintah Kuwait, mengatakan bahwa majikan tidak mengijinkannya pulang setelah kontrak kerja selama dua tahun berakhir dan menolak mengembalikan paspor ketika Nur melarikan diri. "Saya pergi ke kantor Kedutaan Indonesia," tuturnya. "Petugas Kedutaan menelpon Mama [majikan saya]. Tapi Mama tetap menolak [mengembalikan paspor]. Jadi saya harus dideportasi."
"Pekerja yang dipaksa bekerja tanpa gaji, tidak diberi makan yang cukup, atau tidak diperlakukan dengan layak seharusnya tidak ditempatkan di penampungan atau tahanan atau harus dipulangkan melalui proses deportasi," kata Sarah. "Pemerintah seharusnya menyediakan tempat tinggal sementara bagi tenaga kerja yang mengadukan kesewenangan majikan dan menghilangkan rintangan-rintangan hukum yang timbul dari laporan balik majikan walaupun TKW yang sudah mengalami kesewenangan," lanjut Sarah.
Saat ini pemerintah Kuwait memiliki tempat penampungan sementara dengan kapasitas 50 tempat tidur. Seorang tenaga kerja hanya dapat ditempatkan di penampungan tersebut jika telah mendapat surat pengantar dari Kedutaan negara yang bersangkutan serta setelah mendapat keterangan baik dari kepolisian. Dengan begitu, seorang TKW biasanya harus menunggu beberapa waktu di penampungan kedutaan sebelum dapat tinggal di penampungan milik pemerintah. Ketika Human Rights Watch mengunjungi penampungan milik pemerintah, tempat itu terlihat beroperasi jauh dibawah kapasitas maksimum. Hal ini bertolak belakang dari kondisi nyata di lapangan yang dihadapi oleh ratusan tenaga kerja yang memang memerlukan tempat tinggal sementara serta padatnya tingkat hunian di penampungan Kedutaan.
"Jika ada majikan yang sewenang-wenang dan mengeksploitasi tenaga kerja, seharusnya pemerintah justru tidak memberi hukuman tambahan kepada pekerja yang bersangkutan. Pemerintah Kuwait sendiri sudah membahas perubahan kafala selama bertahun tahun, tetapi yang jelas sudah waktunya untuk memberikan perlindungan yang nyata kepada tenaga kerja sektor domestik bukan hanya diatas kertas saja," pungkas Sarah.