(Bangkok) - Sebuah kelompok etnis bersenjata di Myanmar utara telah menculik dan secara paksa merekrut warga sipil yang menyelamatkan diri dari pertempuran di Negara Bagian Shan, kata Human Rights Watch hari ini. Militer Myanmar juga memiliki catatan panjang menggunakan orang dewasa untuk kerja paksa dan merekrut anak-anak, tetapi sulit untuk mendapatkan informasi terbaru tentang berbagai praktik melanggar hukum di wilayah-wilayah yang dikuasai junta.
Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar (MNDAA), sebuah kelompok bersenjata etnis Kokang, seharusnya segera mengakhiri berbagai praktik kekerasan terhadap warga sipil, dan mengambil semua langkah yang ada guna melindungi mereka selama permusuhan dengan angkatan bersenjata Myanmar dan milisi pro-junta.
"Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar melanggar hukum perang dengan menculik dan secara paksa merekrut warga sipil, menempatkan mereka dalam risiko besar," kata Elaine Pearson, Direktur Asia di Human Rights Watch. "Warga sipil seharusnya dapat mencari tempat aman dari pertempuran tanpa takut militer Myanmar atau kelompok-kelompok etnis bersenjata akan memaksa mereka masuk barisan tempur."
Pada 27 Oktober 2023, Aliansi Tiga Persaudaraan – sebuah koalisi Tentara Arakan, Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar, dan Tentara Pembebasan Nasional Ta'ang – memulai Operasi 1027, sebuah serangan yang menyasar pos-pos militer Myanmar di Negara Bagian Shan utara. Serangan itu memicu serangan oleh kelompok-kelompok bersenjata oposisi di tempat lain di negara itu. Sejak akhir Oktober, pertempuran antara pasukan oposisi dan militer telah membuat lebih dari 600.000 orang mengungsi, termasuk hampir 100.000 orang di Negara Bagian Shan.
Puluhan ribu orang telah mengungsi dari Laukkai, ibukota Zona Otonomi Khusus Kokang di Negara Bagian Shan utara, sebelum serangan MNDAA yang diduga akan terjadi di kota itu, yang sebelumnya dikuasai kelompok tersebut. Meskipun MNDAA membantu mereka yang melarikan diri dengan membuka jalan hutan yang sebelumnya ditutup, unit bersenjata itu juga menyita ponsel serta menahan sejumlah orang yang tidak diketahui jumlahnya ketika mereka meninggalkan Laukkai, kata media lokal dan sejumlah saksi mata.
Pada 24 November, MNDAA menculik tujuh pria saat mereka menempuh perjalanan dari Laukkai ke Chin Shwe Haw, dekat perbatasan Myanmar-Tiongkok. Beberapa kerabat mereka mengatakan kepada Shan News Herald bahwa teman-teman dari para pria tersebut terakhir kali melihat mereka ditahan di pinggir jalan di luar Chin Shwe Haw, sebelum tentara Aliansi membawa mereka pergi. Menurut laporan The Shan News Herald, juru bicara MNDAA mengatakan bahwa Sai Ai Naw (18 tahun), Maung Nyi Ka (19), Sai Lianghan (20), Sai Ilaw (26), Maung Nor Goon (26), Sai Aung Heng (27), dan pria ketujuh berusia 20 tahun yang tidak disebutkan namanya akan menjalani wajib militer.
Pada 25 November, seorang dokter yang meninggalkan Laukkai di rute yang sama mengaku menyaksikan banyak pemuda ditarik dan ditahan oleh para pejuang MNDAA di luar Par Hsin Kyaw, sebuah desa antara Laukkai dan Chin Shwe Haw.
“Mereka [para militan MNDAA] menghentikan para pria yang sedang mengendarai sepeda motor dalam kelompok dua atau tiga orang,” katanya. Mereka tidak menghentikan pasangan suami-istri, dan saya dan salah satu perawat perempuan membonceng, jadi kami tidak dihentikan. Namun ada sejumlah pemuda yang dihentikan dan saya melihat mereka dikumpulkan. Saya terlalu takut untuk berhenti dan melihat, tetapi mereka dikumpulkan dan dibawa pergi ke suatu tempat.”
Pada 12 Desember, orang tua dari tujuh pemuda lain yang tidak pulang ke rumah setelah melarikan diri dari Laukkai pada akhir Oktober mengirim sebuah surat kepada MNDAA, memohon agar anak-anak mereka dibebaskan. Dalam surat yang diperoleh Human Rights Watch, keluarga-keluarga itu menulis, bahwa mereka terakhir kali melihat anak-anak mereka dibawa pergi oleh para militant MNDAA di dekat Chin Shwe Haw. Semua yang diculik adalah etnis Ta’ang dan berasal dari desa Man Khite, kotapraja Namhsan, di negara bagian Shan bagian utara.
Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar yang beroperasi di Negara Bagian Shan utara di sepanjang perbatasan Tiongkok-Myanmar. Aliansi ini didirikan setelah Partai Komunis Burma runtuh pada tahun 1989 dan kemudian menyetujui gencatan senjata dengan militer Myanmar pada tahun yang sama. Gencatan senjata berakhir pada tahun 2009, ketika sebuah faksi Tentara Aliansi yang bersekutu dengan militer menjadi Pasukan Penjaga Perbatasan Kokang dan ditugaskan di Laukkai, di mana aktivitas ilegal, yang baru-baru ini menjadi pusat penipuan siber, berkembang pesat. MNDAA telah beberapa kali berusaha untuk mendapatkan kembali wilayah itu, termasuk Laukkai, yang lepas pada tahun 2009.
Beberapa kelompok etnis bersenjata, termasuk MNDAA, memberlakukan kuota yang mewajibkan desa-desa maupun keluarga untuk mengirimkan calon anggota, yang dalam beberapa kasus mungkin bersedia untuk bertugas. Militer Myanmar dan milisi pro-junta juga menggunakan rekrutmen paksa, termasuk anak-anak, untuk memperkuat angkatan bersenjata mereka atau untuk peran lain seperti kuli angkut, juru masak, atau petugas kebersihan.
Dalam sebuah video yang dibagikan secara luas tertanggal 5 Desember yang ditinjau dan diverifikasi Human Rights Watch, seorang pejabat MNDAA berseragam memperingatkan keluarga-keluarga agar tidak melalaikan tanggung jawab mereka dan memastikan bahwa mereka yang direkrut setidaknya berusia 15 tahun dan kurang dari 50 tahun.
“Jika [Anda tidak] memiliki anak laki-laki… jika Anda memiliki anak perempuan… jika Anda memiliki tiga [satu harus mengabdi],” kata pejabat itu kepada kerumunan orang yang berkumpul di sebuah biara di Desa Pang Hseng, Kotapraja Monekoe, di Negara Bagian Shan bagian utara. “Kalau Anda punya lima anak, dua dari mereka harus mengabdi. Paham? Jika Anda memiliki lima laki-laki di rumah, dua di antaranya harus mengabdi.”
Ia melanjutkan: "Jadi, jika Anda berpikir untuk tidak membawa putra dan putri Anda karena Anda khawatir, jangan lakukan itu. ... Suatu hari ketika mereka kembali karena keadaan damai, kami akan mengumpulkan pendaftaran rumah tangga dan kami akan tahu bahwa mereka tidak mengabdi, dan kami akan menangkap mereka karenanya."
Di bawah hukum humaniter internasional, atau hukum perang, yang berlaku untuk konflik bersenjata non-internasional di Myanmar, pihak-pihak yang bertikai dilarang untuk secara sewenang-wenang merampas kebebasan siapa pun, termasuk melalui penculikan dan perekrutan paksa. Para pihak harus memperlakukan semua warga sipil secara manusiawi; perampasan kebebasan secara sewenang-wenang tidak sesuai dengan persyaratan ini.
Pada September 2019, Myanmar meratifikasi Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak tentang keterlibatan anak-anak dalam konflik bersenjata, yang mewajibkan angkatan bersenjata non-negara untuk tidak, “dalam keadaan apapun, merekrut atau menggunakan orang di bawah usia 18 tahun untuk dilibatkan dalam peperangan.” Undang-Undang Hak Anak Myanmar tahun 2019 juga melarang perekrutan siapa pun yang berusia di bawah 18 tahun ke dalam angkatan bersenjata atau kelompok bersenjata non-negara.
Pada 2023, laporan tahunan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang anak-anak dalam konflik bersenjata mengidentifikasi militer Myanmar sebagai pihak yang bertanggung jawab atas sebagian besar kasus yang telah diverifikasi PBB sebagai perekrutan dan penggunaan anak-anak pada tahun sebelumnya. Namun, laporan itu juga menyebut bahwa Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar telah merekrut hingga tujuh anak dan secara terpisah, menculik hingga tujuh anak lainnya. Pelapor khusus PBB untuk Myanmar, Tom Andrews, juga telah menerima berbagai laporan bahwa perekrutan dan penggunaan anak-anak oleh militer Myanmar telah meningkat sejak kudeta militer 2021.
"Pemerintah yang punya pengaruh atas oposisi dan kelompok-kelompok etnis bersenjata di Myanmar seharusnya memberi kesan kepada mereka, bahwa pelanggaran oleh angkatan bersenjata Myanmar tidak akan pernah bisa membenarkan pelanggaran yang dilakukan pasukan mereka sendiri," kata Elaine.