Bayangkan kita dikurung sendirian di sel kecil selama lebih dari 20 jam sehari selama lebih dari 500 hari, dari periode 744 hari. Begitulah yang dialami Michael (bukan nama sebenarnya), seorang remaja Aborigin yang adalah orang dengan disabilitas intelektual, yang menghabiskan sebagian besar waktunya dalam tahanan prapersidangan di penjara remaja Townsville di Queensland, Australia.
Michael dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang tidak stabil di mana dia menghadapi penelantaran dan kekerasan dalam rumah tangga, menghadirkan trauma berat dalam dirinya. Namun, meski sudah dirujuk ke layanan kesehatan mental remaja di penjara, Michael tidak menerima dukungan apa pun. Layanan tersebut tidak dilengkapi untuk mengatasi trauma semacam itu.
Menurut otoritas penjara, Michael menjadi sasaran rezim sel isolasi yang “cukup rutin” sebagian besar karena kekurangan staf, bukan karena perilakunya. Investigasi Guardian baru-baru ini di penjara yang sama menemukan penguncian blok sel yang begitu meluas sehingga anak-anak seusia 13 tahun dikurung di sel isolasi dalam beberapa kasus hingga 45 hari sekaligus.
Isolasi dapat merusak para narapidana secara psikologis, tetapi hal ini menghancurkan bagi anak-anak dan orang-orang dengan kondisi psikososial (kesehatan mental) atau disabilitas intelektual. Stres akibat lingkungan yang tertutup dan diawasi secara ketat, tidak adanya kontak sosial yang berarti, dan kurangnya aktivitas dapat memperburuk trauma dan menyebabkan kerusakan jangka panjang, serius, dan tidak dapat diperbaiki bagi para penyandang disabilitas. Menurut ahli Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk urusan penyiksaan, penggunaan sel isolasi untuk jangka waktu berapa pun terhadap anak-anak dan para penyandang disabilitas mental “merupakan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat.”
Namun praktik brutal ini biasa terjadi di penjara-penjara Australia. Investigasi Human Rights Watch terhadap 14 penjara dewasa di Queensland dan Australia Barat menemukan bahwa penyandang disabilitas secara dramatis terwakili secara berlebihan di unit sel isolasi, sering kali disebabkan oleh kurangnya pelatihan staf dan kegagalan dalam memahami perilaku yang diakibatkan oleh disabilitas. Mengumpulkan tahanan penyandang disabilitas di sel isolasi menyebabkan tekanan psikologis yang parah serta dapat mendorong banyak orang lepas kendali, yang bisa mendorong mereka untuk melukai diri sendiri atau bahkan bunuh diri.
The Guardian dan Youth Detention Inspector melaporkan bahwa situasi di sejumlah pusat penahanan remaja Australia Selatan sangat mengerikan sehingga anak-anak yang dikurung selama lebih dari 23 jam berturut-turut setiap hari karena kekurangan staf terpaksa melukai diri sendiri “sehingga mereka bisa punya waktu istirahat [ dari sel mereka] dan pergi ke rumah sakit.”
Pada hari Jumat, Komisioner di Komisi Anak Nasional Australia meminta “semua negara bagian dan teritori Australia untuk melarang sel isolasi sebagai sarana pendisiplinan atau kontrol bagi anak-anak dalam tahanan,” dengan menyatakan bahwa “itu tidak pernah dapat diterima untuk jangka waktu berapa pun”.
Praktik tidak manusiawi ini tidak punya tempat dalam masyarakat Australia. Pemerintah seharusnya melarang sel isolasi bagi anak-anak dan penyandang disabilitas dan memastikan adanya akses memadai ke layanan kesehatan mental yang berkualitas.