(Sydney) – Militer dan polisi Myanmar bertanggung jawab atas sejumlah kematian dalam tahanan sejak kudeta militer 1 Februari 2021, kata Human Rights Watch hari ini.
Human Rights Watch mendokumentasikan kematian enam aktivis yang ditahan dan melibatkan penyiksaan maupun peniadaan perawatan medis yang memadai. Otoritas junta belum secara serius menyelidiki kematian ini atau mengambil tindakan terhadap para pihak yang bertanggung jawab.
“Enam kematian yang didokumentasikan Human Rights Watch hanyalah puncak gunung es dari penderitaan dan penyiksaan terhadap mereka yang ditahan oleh militer dan polisi Myanmar,” kata Manny Maung, peneliti Myanmar di Human Rights Watch. “Mengingat kekejaman junta dalam semua aspek pemerintahannya, tidak mengherankan bahwa tak ada tindakan nyata yang diambil untuk menyelidiki kematian dalam tahanan ini dan menyeret para pihak yang bertanggung jawab ke pengadilan.”
Seharusnya junta segera mengakhiri penyiksaan terhadap para pihak yang menentang kekuasaan militer, termasuk penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan dan perlakuan buruk lain, serta pengadilan yang tidak adil. Kematian dalam tahanan seharusnya segera dilaporkan kepada keluarga orang tersebut dengan dokumentasi yang pantas, jenazah tahanan itu semestinya dikembalikan, dan para pihak yang bertanggung jawab atas penyiksaan itu dimintai pertanggungjawaban.
Asosiasi Bantuan bagi Tahanan Politik yang berbasis di Thailand memperkirakan setidaknya 72 orang telah tewas dalam tahanan polisi atau militer di kantor polisi, pusat interogasi militer dan penjara sejak kudeta, yang secara efektif mengakhiri transisi demokrasi di bawah Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi. Kematian tersebut hanya sebagian kecil dari sedikitnya 690 orang yang terbunuh tak lama setelah ditangkap oleh pasukan keamanan, seringkali selama operasi militer di daerah etnis minoritas. Junta militer hanya mengakui beberapa kematian tahanan tetapi menghubungkannya dengan penyakit atau gagal jantung. Namun, sejumlah aktivis hak asasi manusia, saksi, dan sumber-sumber yang dekat dengan para korban mengatakan bahwa bukti fisik yang ada menunjukkan banyak dari orang-orang itu tewas karena penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya, termasuk kondisi tahanan yang menyedihkan dan kurangnya akses ke perawatan medis yang memadai.
Human Rights Watch mendokumentasikan enam kematian antara Mei dan Juli, melakukan sesi wawancara jarak jauh dengan 10 saksi serta orang dekat lain yang mengetahui kasus tersebut, memeriksa 40 foto dan lima video yang diunggah ke platform media sosial, dan memperoleh analisis medis independen dari bukti visual oleh dokter spesialis emergensi dengan keahlian dalam hal penyiksaan.
Keenam pria itu semuanya adalah para aktivis politik maupun orang-orang yang dengan lantang menghadapi junta militer di Daerah Yangon, Mandalay, dan Sagaing. Khin Maung Latt (58 tahun), Zaw Myat Lynn (46), dan Than Tun Oo (48), adalah para anggota NLD yang tampaknya ditangkap karena afiliasi politik mereka. Khet Thi (43), Tin Maung Myint (52), dan Kyaw Swe Nyein (55), bergabung atau memimpin gerakan protes setelah kudeta. Lima orang tewas dalam waktu 24 jam setelah ditangkap dan diinterogasi, sementara Kyaw Swe Nyein, meninggal dua bulan setelah penangkapannya.
Polisi dan tentara Myanmar menangkap lima dari enam korban selama penggerebekan malam hari; mereka menangkap yang keenam, Than Tun Oo, di Mandalay pada siang hari. Dalam semua kecuali satu kasus, penangkapan dilakukan selama operasi gabungan militer-polisi. Sebuah undang-undang yang diberlakukan pada bulan Maret secara resmi menempatkan polisi di bawah kendali junta, yang mengharuskan aparat kepolisian untuk mematuhi semua perintah militer, termasuk ambil bagian dalam operasi militer.
Dalam foto lima korban terlihat tanda-tanda fisik di tubuh atau kepala mereka yang menunjukkan adanya penyiksaan. Tidak ada foto tubuh Than Tun Oo karena otoritas junta mengatakan almarhum dikremasi segera setelah pria itu meninggal.
Dr. Rohini Haar, seorang dokter spesialis emergensi yang diajak berkonsultasi oleh Human Rights Watch, menganalisis foto maupun video jasad para korban: “Setelah memeriksa sejumlah foto dan video dari lima korban setelah kematian mereka, terlihat jelas dari tanda fisik pada tubuh dan wajah bahwa para pria ini mengalami penderitaan luar biasa, dan penyiksaan itu terjadi … Ada begitu banyak tanda kekejaman dan penyiksaan sehingga sulit untuk menentukan dengan tepat apa yang menghilangkan nyawa orang-orang ini.”
Tak seorang pun dari keluarga para korban menerima sertifikat medis resmi, penyebab kematian, atau laporan otopsi, meskipun ada bukti bahwa otopsi dilakukan terhadap empat dari enam jenazah. Junta seharusnya mengeluarkan sertifikat medis untuk semua kasus kematian dalam tahanan dan memberikan laporan otopsi kepada pihak keluarga jika otopsi dilakukan.
Empat keluarga korban mengaku merasa ditekan oleh para petugas agar jenazah segera dikremasi, yang tampaknya dilakukan untuk menyembunyikan bukti pelanggaran. Dua keluarga mengaku menguburkan orang-orang terkasih mereka dengan cepat karena takut pihak berwenang akan menyita jenazah tersebut.
Pelapor khusus PBB untuk Myanmar mengatakan pada Oktober 2021 bahwa ia telah menerima laporan tepercaya tentang “lebih dari 8.000 orang ditahan secara sewenang-wenang dengan banyak dari mereka yang mengalami penyiksaan, termasuk puluhan orang yang disiksa sampai mati.” Di Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada bulan Maret, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet mengatakan dia telah menerima laporan tepercaya bahwa setidaknya 21 persen kematian oleh pasukan keamanan telah terjadi saat para korban berada dalam tahanan.
Human Rights Watch menemukan bahwa kekejaman junta yang meluas dan sistematis sejak kudeta merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, yang meliputi pembunuhan, penyiksaan dan pemenjaraan yang tidak sah.
Protokol Minnesota PBB tentang Investigasi Kematian yang Berpotensi Melanggar Hukum (2016) menetapkan bahwa semua kasus kematian dalam tahanan seyogianya jadi sasaran “penyelidikan yang cepat, tidak memihak, dan efektif terhadap keadaan dan penyebab” kematian. Selain itu, “anggota keluarga seharusnya segera diberitahu dan setelah itu pemberitahuan kematian diumumkan dengan cara yang mudah diakses. Sedapat mungkin, anggota keluarga seharusnya juga diajak berkonsultasi sebelum otopsi. Mereka seyogianya diberi hak menghadirkan perwakilan pada waktu otopsi digelar. …[J]enazah seharusnya dikembalikan ke anggota keluarga, agar mereka bisa menguburkan almarhum sesuai dengan keyakinan mereka.”
PBB, badan-badan regional, dan pemerintah sejumlah negara — termasuk Uni Eropa, Amerika Serikat, Inggris, dan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) — seharusnya secara khusus menyampaikan keprihatinan tentang kematian dalam tahanan ini dan mendesak junta agar mengakhirinya, kata Human Rights Watch. Mereka seharusnya memperberat sanksi yang dijatuhkan pada militer dan kepemimpinan junta Dewan Administrasi Negara (SAC) di bawah Jenderal Senior Min Aung Hlaing dan bisnis milik militer.
Dewan Keamanan PBB seharusnya segera mengambil tindakan terhadap junta, termasuk dengan merujuk situasi di negara itu ke Makamah Pidana Internasional (ICC) dan mengeluarkan resolusi untuk memberlakukan embargo senjata global.
“Kematian orang-orang dalam tahanan adalah salah satu kekejaman tersembunyi yang dilakukan pasukan keamanan junta setiap hari,” kata Maung. “Pemerintah negara-negara yang peduli seharusnya memastikan adanya kecaman global atas pelanggaran mengerikan ini.”
Kematian dalam Tahanan
Riwayat kasus berikut ini didasarkan pada wawancara jarak jauh dengan anggota keluarga para korban dan saksi maupun sejumlah sumber informasi lainnya. Dalam semua kasus kecuali satu, para saksi mengaku tak ingin nama mereka disebut karena takut akan pembalasan dari militer atau polisi Myanmar.
Kyaw Swe Nyein, Kota Ngaung U, Wilayah Mandalay
Polisi berpakaian preman dan unit intelijen militer menangkap Kyaw Swe Nyein (55 tahun) di rumahnya di Wilayah Mandalay pada 30 Januari 2022 setelah ia beberapa kali mengikuti aksi protes di Nyaung U, Wilayah Mandalay.
Pihak berwenang menuduh Kyaw Swe Nyein menyebarkan “berita palsu” dan membagikan unggahan di Facebook yang mendukung protes anti-kudeta. Pengadilan tertutup pada bulan Maret memvonisnya enam bulan penjara karena penghasutan berdasarkan pasal 505A KUHP. Bagian ini, yang diamendemen oleh junta tak lama setelah kudeta, menyatakan komentar yang “menimbulkan ketakutan” dan menyebarkan “berita palsu” sebagai tindak pidana, dan terancam hukuman hingga tiga tahun penjara.
Pada 9 Maret, suara Kyaw Swe Nyein terdengar baik-baik saja ketika berbicara dengan keluarganya menggunakan telepon genggam pinjaman salah seorang penjaga penjara di penjara Nyaung U. Namun, dia memberi tahu seorang anggota keluarganya bahwa dia telah dipukuli habis-habisan di pusat interogasi Myingyan, di mana dia sudah menjalani 10 hari pertama penahanannya. Kepada keluarganya pria tersebut mengaku mengalami pusing sebagai akibat pemukulan itu. Pada 11 Maret, otoritas penjara memberi tahu istri Kyaw Swe Nyein bahwa dia telah meninggal malam itu setelah mengeluh pusing. Beberapa dokter di rumah sakit Nyaung U, tempat jenazahnya dibawa, memberi tahu kerabat bahwa pria tersebut meninggal karena gagal jantung.
Keluarga tidak menerima surat kematian atau laporan otopsi, meskipun pihak berwenang telah melakukan otopsi. Menurut keterangan seorang anggota keluarga, petugas polisi mengatakan kepada keluarga agar menandatangani dokumen kosong yang menyatakan bahwa mereka telah diberitahu tentang kematian Kyaw Swe Nyein.
Seorang anggota keluarga mengatakan:
Saya sangat tertekan. Saya hanya menandatangani dokumen, tetapi saya tidak tahu apa itu dan saya tidak memiliki salinannya.… Jika dia meninggal karena sebab alami, maka saya bisa memaafkan diri saya [bahwa dia meninggal di penjara] tetapi sekarang, penyebabnya tidak diketahui dan itu meresahkan. Tentu saja, sangat sulit bagi kami untuk menerima kematiannya dengan jawaban amat terbatas, tapi kami tak bisa berbuat apa-apa sekarang.
Setelah memeriksa foto maupun video di pemakaman Kyaw Swe Nyein, Dr. Haar mengatakan sebuah foto menunjukkan ada bukti trauma di kepala, dari memar di sekitar kedua mata dan telinga.
Than Tun Oo, Kota Mandalay, Wilayah Mandalay
Pada 26 September 2021 sekitar pukul 15.30, beberapa tentara dan polisi menangkap Than Tun Oo (48), seorang mantan tahanan politik dan aktivis, di rumahnya di Mandalay dan membawanya ke Kantor Polisi Area No. 7. Beberapa tetangga dan anggota keluarga menyaksikan pasukan keamanan memukuli pria itu dengan kondisi tangan terikat ke belakang dan kemudian menembak kakinya, diduga karena lambat menanggapi perintah. Seorang saksi mata mengatakan:
Ada sekitar 50 hingga 100 tentara dan polisi dengan beberapa truk tentara dan mobil pribadi. Beberapa tentara dari komando 33 LID [Divisi Infanteri Ringan] dan ada polisi dari kantor polisi lokal di sini di Mandalay…. Mereka menyuruh [Than Tun Oo] untuk berlutut tetapi beratnya 400 pon (181 kg), jadi mereka menembak kaki pria itu untuk membuatnya berlutut.
Keesokan harinya, 27 September, kata seorang saksi, pejabat polisi dan militer memberi tahu keluarga Than Tun Oo bahwa pria itu meninggal di kantor polisi karena gagal jantung. Pihak berwenang tidak memberikan sertifikat medis kepada keluarga, kata seorang saksi mata, tetapi pasukan keamanan memaksa anggota keluarga menandatangani sebuah dokumen yang menyatakan bahwa pihak keluarga telah diberitahu tentang kematian Than Tun Oo.
Keluarga mengatakan Than Tun Oo dalam keadaan sehat sebelum ditangkap. Ketika keluarga meminta jenazah Than Tun Oo, otoritas junta mengaku segera mengkremasi jenazah setelah meninggal karena pria itu dinyatakan positif Covid-19 saat berada di tahanan.
Seorang anggota keluarga mengatakan:
Setiap orang punya mimpi, begitu pula [Than Tun Oo]. Dia tertarik pada seni dan suka menulis. Banyak orang menyukainya. Saya bisa menahan rasa sakit kehilangan jika dia meninggal saat berperang melawan [junta]. Tapi dia meninggal selama interogasi di mana mereka memiliki kekuatan untuk melakukan apapun yang mereka mau. Sangat menyakitkan untuk menerima bahwa dia meninggal dengan cara ini.
Khet Thi, Kota Shwebo, Wilayah Sagaing
Khet Thi (43), seorang penyair populer yang dikenal karena kecerdasan politiknya yang tajam, mengambil peran kepemimpinan menentang kudeta militer. Dia beberapa kali mengorganisir demonstrasi dan berbicara dalam serangkaian aksi unjuk rasa untuk mendorong penolakan terhadap militer. Puisi karya Khet Thi menjadi bagian dari perlawanannya terhadap kekuasaan militer. “Mereka menembak di kepala, tetapi mereka tak tahu bahwa revolusi ada di hati,” tulisnya.
Pada 8 Mei 2021, sekitar 40 tentara dan polisi menangkap Khet Thi di rumahnya di kota Shwebo, Wilayah Sagaing, dan menuduhnya memimpin rencana untuk meletakkan ranjau darat yang mengincar pasukan keamanan. Pihak berwenang junta juga menangkap istri Khet Thi, Chaw Suu, dan saudara iparnya, Aye Pyo, karena diduga membantu merencanakan serangan itu.
Kata seorang saksi mata, polisi memborgol ketiganya, kemudian membawa mereka dengan kendaraan polisi ke Myo Ma, kantor polisi utama di Shwebo, di mana mereka dipisahkan di sel laki-laki dan perempuan untuk diinterogasi.
Setelah diinterogasi berjam-jam semalaman, Chaw Suu dan saudara iparnya dibebaskan pada pagi hari tanggal 9 Mei. Seorang petugas polisi memberi tahu Chaw Suu bahwa suaminya telah dibawa ke Rumah Sakit Umum Monywa, hampir 90 kilometer dari kantor polisi Myo Ma. Sumber yang mengetahui kasus tersebut mengatakan bahwa Chaw Suu mengira suaminya sakit, dan meminta kepala kantor polisi untuk membawanya ke rumah sakit agar dia bisa merawat Khet Thi. Petugas yang bertugas kemudian memberitahu Chaw Suu bahwa suaminya sudah meninggal.
Sekitar pukul 2 siang, pada 9 Mei, pejabat junta di rumah sakit Monywa memberi tahu keluarga Khet Thi bahwa pria tersebut meninggal karena serangan jantung. Namun, anggota keluarga menyangkal bahwa dia memiliki masalah jantung, dan mengatakan bahwa pria itu dalam keadaan baik selain penglihatannya yang buruk. Sebuah sumber mengatakan staf rumah sakit menekan pihak keluarga agar jenazah dikremasi di rumah sakit pada hari yang sama. Karena khawatir pejabat junta akan memaksa mereka untuk segera mengkremasi Khet Thi, pihak keluarga membawa jenazahnya untuk persiapan pemakaman keesokan harinya.
Pejabat junta tidak memberikan sertifikat medis atau laporan otopsi kepada keluarga, dan tidak ada penyelidikan atas kematiannya.
Seorang anggota keluarga mengatakan:
Kami bergegas ke kota lain lain dengan jenazahnya karena kami takut mereka akan mengambil jenazahnya kembali… Saat kami pergi untuk menyiapkan jenazah, kepalanya bergerak sedikit dan saat itulah darah keluar dari kepalanya. Mereka telah melakukan otopsi di kepalanya dan ada luka tetapi ada juga dua memar di sisi kanan wajahnya dan tanda hitam di hidungnya. Dia memiliki bekas luka bakar berbentuk persegi di pahanya. Kami tidak memeriksa punggungnya karena takut jahitan dari otopsi akan terbuka.
Khet Thi dimakamkan pada 10 Mei 2021, kurang dari 48 jam setelah penangkapannya.
Dr. Haar, dokter spesialis emergensi, mengatakan bahwa foto-foto Khet Thi yang diambil setelah kematiannya menunjukkan kemungkinan adanya trauma kepala.
Zaw Myat Lynn, Kota Shwe Pyi Thar, Yangon
Zaw Myat Lynn (46), adalah mantan anggota NLD yang mengelola sekolah pendidikan kejuruan yang dinamai Aung San Suu Kyi di kota Shwe Pyi Thar, Yangon. Pria itu dan keluarganya tinggal bersama para siswa.
Pada 9 Maret 2021 sekitar pukul 1 lewat tengah malam, polisi dan tentara tiba di sekolah, tampaknya mengincar Zaw Myat Lynn untuk ditangkap karena unggahan pro-demokrasi di akun Facebook-nya. Dia berlari dan melompati pagar tetapi dikelilingi oleh polisi dan tentara yang membawanya ke dalam kendaraan militer.
Seorang guru mengatakan:
Saya mendengar dari para siswa sekitar pukul 2 lewat tengah malam pada 9 Maret 2021. [Mereka memberi tahu saya] sekitar 40 polisi dan tentara berada di Sekolah Kejuruan Suu. Beberapa siswa ditangkap lebih dulu ketika pasukan militer masuk dari pintu depan. Zaw Myat Lynn melompati pagar dan berhasil, tetapi bangunan itu dikepung, dan dia ditangkap. Tetangga sebelah juga memberi tahu saya bahwa mereka mendengar Zaw Myat Lynn berkata, “Jangan tembak, saya akan menyerah dan ikut dengan Anda sekalian.” Dia tidak terluka karena melompati pagar itu.
Keluarga Zaw Myat Lynn diberitahu keesokan harinya untuk datang dan mengidentifikasi jenazahnya.
Dr. Haar, yang memeriksa 12 foto dan dua video jenazah Zaw Myat Lynn, mengatakan luka yang terlihat menunjukkan cairan panas dituangkan ke wajahnya.
Setelah memeriksa foto-foto serupa, surat kabar The Guardian menyimpulkan bahwa sifat cedera pada jasad Zaw Myat Lynn konsisten dengan penyiksaan: “Tampaknya air mendidih atau larutan kimia telah dituangkan ke dalam mulutnya. Lidahnya meleleh dan giginya hilang. Kulit wajah terkelupas. Jenazahnya telah dibungkus untuk menyembunyikan luka traumatis lebih lanjut.”
Kata seorang sumber yang dekat dengan keluarga, pejabat junta memberi tahu keluarga Zaw Myat Lynn bahwa pria itu meninggal karena gagal jantung. Para pejabat tidak memberikan sertifikat medis atau laporan otopsi kepada keluarga.
Tin Maung Myint, Kota Yin Mar Bin, Wilayah Sagaing
Pada tanggal 4 April 2021, sejumlah tentara menangkap Tin Maung Myint (52) dalam sebuah penggerebekan di desanya di kota Yin Mar Bin, Wilayah Sagaing. Ia adalah seorang petani dan pemimpin desa yang bergabung dengan oposisi junta. Beberapa saksi mata mengatakan bahwa para tentara itu menangkap pria itu pada sekitar pukul 4 dini hari bersama tujuh orang lain yang berjaga dari formasi militer yang bersiap untuk menyerang desa mereka.
Jasad Tin Maung Myint, bersama dengan seorang warga desa lain yang ditangkap bersamanya, muncul keesokan harinya pada sekitar pukul 2 siang di Rumah Sakit Umum Monywa, dengan tanda-tanda penyiksaan. Seorang saksi yang melihat jenazah itu mengatakan:
Saya melihat memar dan tanda bengkak di sekujur wajahnya dan satu korban lain. Mereka berada dalam kondisi sangat buruk. Kami hanya memeriksa wajah mereka, bukan seluruh tubuh mereka. Rasanya tidak tenang untuk mendekati jenazah mereka. Saya tidak ingin melihat sedekat itu, jadi saya tidak tahu tentang sejumlah tanda pada tubuh mereka, tetapi wajah mereka terlihat lebam.
Satu foto jenazah Tin Maung Myint yang diunggah di media sosial menunjukkan banyak luka. Kata Dr. Haar, yang memeriksa foto itu, dia mengamati trauma besar yang konsisten dengan robekan kulit dan avulsi – atau robekan paksa – di bahu Tin Maung Myint yang tampak seperti luka bakar. Memar terlihat di wajah, seperti luka dalam di dahi. Dr. Haar mengatakan, tidak jelas cedera mana yang menjadi penyebab kematian.
Pihak berwenang junta tidak bisa memberikan sertifikat kematian kepada keluarga atau menjelaskan bagaimana Tin Maung Myint meninggal. Staf rumah sakit yang menemukan mayat-mayat itu memberi tahu keluarga bahwa para pria tersebut sudah meninggal ketika ditemukan tergeletak di rumah sakit.
Khin Maung Latt, Kota Pabedan, Yangon
Pada 6 Maret 2021, sejumlah tentara dan polisi tiba di rumah Khin Maung Latt (58), seorang ketua lingkungan dan anggota NLD, di Pabedan, Yangon. Sejumlah saksi mata mengatakan bahwa setelah secara paksa memasuki rumah Khin Maung Latt, pasukan keamanan memukul dan menendang pria tersebut di depan keluarganya, kemudian membawanya pergi dengan todongan senjata. Keluarga Khin Maung Latt diberitahu keesokan paginya bahwa dia meninggal karena gagal jantung, dan mereka mengambil jenazahnya pada pukul 8 pagi.
Seorang teman Khin Maung Latt yang menghadiri pemakamannya pada 7 Maret mengatakan kaki jenazah tampak patah, kain kafan putihnya berlumuran darah, dan wajahnya tampak biru dan bengkak. Teman itu mengatakan:
Ketika saya tiba di pemakaman Ye Way, jenazah Khin Maung Latt sudah disiapkan di kamar mayat, dalam tradisi Muslim. Tetapi kami telah menginstruksikan kontak kami yang memandikan jenazahnya untuk mengambil foto segera setelah mereka membuka seluruh pakaiannya. Air mengalir bersama darah dan tubuhnya ditandai seperti dipukuli habis-habisan…. Ada darah keluar dari kedua telinganya dan ada luka memar di sekujur tubuhnya; kakinya tampak rusak dan patah. Orang yang memandikan jenazahnya telah memasang kain kasa di telinga dan hidungnya, tetapi darah masih menetes…. Kain putih itu tidak lagi putih, melainkan berlumuran noda merah dan warna karat.
Pria itu mengatakan bahwa pihak berwenang tampaknya telah melakukan otopsi:
Mereka bilang, Khin Maung Latt meninggal karena serangan jantung, tetapi mereka melakukan otopsi pada tubuh dan kepalanya. Kepalanya dibelah, seolah-olah mereka mengambil satu sisi dan menariknya kembali seperti penutup. Tapi mengapa mereka melakukan ini? Tidak ada penjelasan yang diberikan.… Anda bisa melihat jahitan di kepalanya dan di tubuhnya dan jahitannya masih merembes. Tidak peduli bagaimana kami mencuci jahitannya, jahitannya terus merembes dan darahnya masih hangat saat itu. Ada tanda biru dan coklat di sekitar mata dan tubuhnya, tanda di sana-sini.
Kata seorang anggota komunitas Muslim yang membantu mempersiapkan jenazah Khin Maung Latt untuk dimakamkan menurut tata cara agama Islam, ada luka dalam di punggung dan tangan pria itu yang konsisten dengan penyiksaan.
Dr. Haar, yang memeriksa sembilan foto dan satu video tubuh Khin Maung Latt, mengamati penjahitan luka otopsi yang tidak terampil dan serampangan di kepala dan dada: “Penjahitan sangat tidak biasa dan tidak sesuai dengan praktik medis terbaik. Bahkan dengan melakukan otopsi dalam keadaan yang tidak biasa seperti itu, dapat juga menunjukkan keterlibatan medis terhadap tindakan penyiksaan yang jelas-jelas terjadi pada individu tersebut.”
Jenazah Khin Maung Latt dikremasi di pemakaman Ye Way pada 7 Maret, kurang dari 24 jam setelah penangkapannya. Teman itu mengatakan para pejabat tidak memberikan sertifikat medis atau laporan otopsi kepada keluarga.