Pekan lalu, Presiden Indonesia Joko "Jokowi" Widodo mengumumkan moratorium penerbitan izin pengembangan hutan menjadi perkebunan sawit hingga 2021. Pemilihan waktu moratorium ini ramai diperbincangkan dalam peluncuran Global Land Forum di Indonesia pekan ini serta memperbarui fokus pemerintah atas upaya-upaya reforma lahan dan agrikultur.
Indonesia sudah berkali-kali menyatakan komitmen terhadap reforma dalam beberapa tahun terakhir. Apabila dijalankan secara baik, program itu akan menambahkan bobot politis kepada agenda reforma agraria pemerintah, yang telah lama diketahui umum.
Pada 2015, pemerintah pasang target mengambil alih dan mendistribusikan kembali lahan seluas 9 juta hektare sebagai bagian dari sasaran pembangunan jangka menengah 2015-2019. Program ini ditujukan kepada lahan-lahan yang dilengkapi izin pengolahan lahan pertanian tetapi tak dipakai, sementara izin itu sudah kedaluwarsa atau tak diperbarui. Menurut Moeldoko, Kepala Kantor Staf Presiden, pemerintah menerbitkan 5 juta sertifikat lahan kepada petani-petani kecil pada 2017 dan akan memberi lebih banyak pada 2019.
Pemerintah juga mengumumkan target: menjamin hak guna 12,7 juta hektare lahan hutan milik negara bagi para petani kecil. Presiden Jokowi pernah membuat janji serupa tentang warga asli (indigenous). Ia bilang, mereka akan mendapatkan sertifikat atas lahan dan hutan adat. Tetapi prosesnya lamban, dan diiringi tuntutan agar pemerintah menyelenggarakan reforma yang adil.
Pada Februari, Jokowi meluncurkan sebuah program untuk mempercepat registrasi lahan, dengan tujuan: pada 2025, semua lahan di Indonesia sudah terdaftar. Pekan ini, presiden menandatangani ketetapan lain yang memuat panduan bagaimana target raksasa pemerintah dalam redistribusi dan sertifikasi lahan bakal diterapkan.
Secara keseluruhan, pendekatan-pendekatan baru ini bisa mengembuskan hidup baru kepada agenda reforma agraria pemerintah Indonesia yang sudah berumur puluhan tahun—sejak 1950an, untuk mengatur kepemilikan lahan yang bermasalah semasa kekuasaan kolonial Hindia Belanda, dan mendistribusikan ulang lahan-lahan pertanian untuk menutup jurang ekonomi serta mengurangi ketimpangan.
Namun, menerapkan kebijakan-kebijakan itu bakal jadi tantangan tersendiri, mengingat keruwetan perkara hak-hak atas tanah di Indonesia. Sengketa antara para petani, warga asli, perusahaan-perusahaan, dan pemerintah terjadi di mana-mana, karena ketakjelasan hukum soal kepemilikan, penggunaan, dan pembelian lahan.
Melawan ketimpangan berarti mengurai sengketa lahan. Reforma yang adil akan mengamankan hak kelompok-kelompok yang paling terpinggirkan atas tanah, serta melindungi hak warga asli atas hutan adat.