(New York) - Pihak berwenang Cina harus segera menghentikan gangguan dan penahanan anggota keluarga tersangka korupsi yang tinggal di luar negeri untuk memaksa mereka kembali ke Cina, kata Human Rights Watch hari ini. Organisasi polisi global Interpol dan pemerintah asing seharusnya menolak penyalahgunaan yang dilakukan Cina terhadap sistem “red notice” Interpol, yang memperingatkan pemerintah berbagai negara terhadap orang-orang yang berusaha untuk ditangkap.
Wawancara Human Rights Watch dengan lima orang yang masuk dalam daftar “red notice” menemukan bahwa pihak berwenang Cina mengincar anggota keluarga mereka di Cina untuk membentuk hukuman kolektif – secara tidak sah menghukum seseorang atas tindakan orang lain. Pihak berwenang juga telah menekan saudara-saudara mereka untuk pergi ke negara-negara di mana orang-orang yang masuk dalam daftar red notice tinggal, untuk membujuk mereka kembali ke Cina.
“Pihak berwenang Cina melakukan berbagai jenis tekanan yang tidak sah terhadap keluarga tersangka korupsi agar mereka kembali ke Cina,” kata Sophie Richardson, direktur Human Rights Watch untuk Urusan Cina. “Tidak ada dasar hukum bagi taktik bersalah karena hubungan yang menjengkelkan ini.”
Pada akhir 2012, Presiden China Xi Jinping meluncurkan sebuah “perang melawan korupsi.” Sebagai bagian dari kampanye tersebut, Cina meminta Interpol untuk mengeluarkan red notice terhadap orang-orang yang tinggal di luar negeri dan telah dituduh melakukan korupsi.
Red notice Interpol adalah peringatan pencarian untuk menangkap dan mengekstradisi orang-orang yang dicari, dikeluarkan atas permintaan pemerintah yang sedang mencari para buron itu. Namun, red notice itu bukan surat perintah penangkapan internasional, karena negara-negara anggota Interpol dapat menentukan tindakan hukum yang harus diambil untuk menanggapinya.
Di beberapa negara yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Cina, pihak berwenang Cina berusaha untuk memastikan kepulangan orang-orang yang masuk daftar red notice. Caranya adalah dengan menekan anggota keluarga mereka di Cina. Laporan resmi sering menggambarkan individu-individu yang pada awalnya menolak untuk kembali, namun kemudian berubah pikiran karena “efek jera dari hukum, kebijakan banding, dan pengaruh keluarga.”
Dalam penelitian Human Rights Watch terungkap bahwa pihak berwenang Cina, menggunakan red notice Interpol sebagai pembenaran, menggunakan berbagai cara yang secara sistematis mengusik anggota keluarga dari orang-orang yang masuk dalam daftar red notice. Polisi dan jaksa mengunjungi atau memanggil anggota keluarga tanpa membawa dokumen hukum dan mengancam akan menahan mereka, jika gagal meyakinkan orang yang masuk dalam red notice untuk kembali ke Cina. Human Rights Watch mengidentifikasi setidaknya ada dua kasus di mana pihak berwenang secara resmi menahan keluarga mereka.
Polisi juga melarang anggota keluarga – termasuk pasangan, anak-anak, orangtua, dan saudara kandung dan keluarga mereka – bepergian ke luar Cina. Beberapa anak dari orang-orang yang masuk red notice telah diblokir untuk bersekolah di luar negeri. Secara terang-terangan pihak berwenang juga memberlakukan hukuman kolektif pada keluarga dengan membekukan aset mereka, memecat mereka dari posisi mereka di perusahaan-perusahaan milik pemerintah, atau memperingatkan rekan bisnis mereka untuk tidak bekerja sama dengan mereka.
Human Rights Watch tidak mengambil sikap atas manfaat dari red notice Interpol yang dibahas di bawah ini. Namun, meski dikeluarkan dengan tepat, red notice tidak membenarkan hukuman kolektif terhadap anggota keluarga.
Pihak berwenang di negara-negara tempat berdiam mereka yang masuk red notice seharusnya menyelidiki kemungkinan gangguan serta pelanggaran lain, yang dilakukan para pejabat Cina atau agen mereka terhadap orang-orang ini atau anggota keluarga mereka. Pihak berwenang di negara tempat mereka tinggal seharusnya memastikan individu yang masuk dalam daftar red notice di negara mereka mendapatkan perlindungan memadai. Dalam sejumlah kasus di mana orang yang ada dalam daftar red notice dapat dikenai ekstradisi, pihak berwenang tersebut harus memberi mereka kesempatan yang memadai untuk mengikuti ekstradisi, dan tidak mengembalikan siapapun ke Cina jika mereka cenderung menghadapi penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan buruk di sana.
Interpol semestinya melakukan uji kelayakan yang cermat sebelum memproses informasi yang diberikan oleh pemerintah Cina, dan sebelum memfasilitasi proses berbagi informasi antara polisi Cina dan pasukan polisi di negara lain, sebut Human Rights Watch. Mereka juga seharusnya memastikan bahwa hak-hak dasar individu yang masuk daftar red notice dan anggota keluarganya dilindungi.
“Penganiayaan tanpa dasar yang dilakukan Cina terhadap keluarga tersangka korupsi sudah cukup buruk, tapi Interpol dan pemerintah lain seharusnya tidak membiarkan pelanggaran Cina ini terjadi di luar negeri,” kata Richardson.
Penahanan, Ancaman, dan Pelecehan pada Kerabat dari Individu yang Masuk Daftar 'Kartu Merah'
Human Rights Watch mewawancarai empat orang yang tinggal di Amerika Serikat dan satu di Kanada. Semua wawancara dilakukan secara langsung atau melalui telepon. Mereka berasal dari empat provinsi dan satu kotamadya di Cina, dan semuanya mengatakan bahwa mereka saat ini masuk dalam daftar “red notice” Interpol. Human Rights Watch juga berbicara dengan tiga pengacara selaku perwakilan dari klien yang masuk dalam daftar red notice. Tiga orang yang masuk daftar red notice meminta untuk tetap anonim, karena takut pada pembalasan pemerintah terhadap keluarga mereka di Cina. Human Rights Watch juga mengulas lusinan laporan pemerintah dan media tentang pulangnya orang-orang yang masuk dalam red notice, yang secara umum menguatkan laporan orang-orang ini.
Penahanan, Ancaman Penahanan
Kepada Human Rights Watch para responden mengatakan bahwa anggota keluarga mereka di Cina sangat takut setiap ada pejabat pemerintah yang berkunjung. Kata mereka, polisi dan jaksa meminta red notice Interpol sebagai pembenaran untuk menghukum anggota keluarga mereka.
Liang Jianguo (nama samaran), seorang pengusaha, mengatakan, “Polisi mengatakan kepada keluarga saya bahwa pemerintah dapat mengambil 'tindakan apapun untuk mengendalikan' keluarga dari orang-orang yang masuk dalam red notice dan bahwa mereka tidak akan hidup normal [kecuali jika saya] kembali ke Cina.”
Zhang Datong (nama samaran) berkata:
Mereka akan menelepon [istri saya] terlebih dahulu, dan berkata, “Kami akan datang besok pagi ke rumah Anda pukul 8:30, jangan pergi ke mana-mana.” Tentu saja, istri saya tidak akan berani mengatakan tidak ... mereka berulang kali mengancam istri saya jika saya tidak kembali, ia akan ditahan ... istri saya berkali-kali mengatakan itu kepada saya, “Anda tidak tahu tekanan mental yang kami alami.” Istri saya sangat khawatir jika ia melakukan kesalahan yang akan mengecewakan atau memprovokasi mereka, mereka tidak akan membiarkan anak-anak kami bersekolah.
Kata Zhang, polisi juga telah mengganggu orangtuanya yang sudah lanjut usia: "[Orangtua saya] juga sangat takut. Suatu ketika, setelah mereka berbicara dengan ibu saya, ia harus dirawat di rumah sakit selama sebulan karena tekanan darah tinggi.”
Kata Li Gang, seorang laki-laki mantan pengusaha di Wuhan, Provinsi Hubei, ibunya menunjukkan tanda-tanda penyakit jiwa setelah terus-menerus diganggu:
Ketika pihak berwenang mulai mengganggu ibu saya, usianya saat itu 79 tahun. Selama September dan Oktober 2016, gangguan itu benar-benar intens. Pihak berwenang datang ke rumah kami hampir setiap hari. Pada akhir tahun lalu, ibu saya terserang stroke dan dirawat di rumah sakit ... Kata saudara laki-laki saya, ibu [kami] telah kehilangan akal. Ia bicara sendiri, menggumamkan kata-kata seperti “Ganggang [nama panggilan Li Gang], pulanglah. Kamu akan baik-baik saja, asalkan kamu menyelesaikan persoalan uang ini.”
Wang Lihe (nama samaran), seorang laki-laki mantan pengusaha, mengatakan:
Mereka memanggil saudara kandung saya berkali-kali, dari keduanya [nama prefektur] dan biro keamanan umum provinsi ... Hari ini mereka memanggil saudara perempuan saya, besok adik laki-laki saya, besoknya lagi keponakan saya, seperti itu ... [Polisi] akan mengancam jika saya tidak kembali, mereka juga akan ditangkap.
Liang mengatakan:
Awalnya, polisi datang [ke rumah kami] sekitar dua kali dalam sepekan; kemudian, dua atau tiga kali sebulan. Setiap kali selama satu atau dua jam. Ini sudah berlangsung lebih dari setahun. Mereka datang kapan pun mereka mau, bertindak seperti preman. Mereka mengancam istri saya, mengatakan bahwa jika ia tak melakukan apa yang mereka minta, ia akan dipenjara, dan sekali ia dipenjara, ia takkan bisa keluar lagi.
Liang mengatakan polisi menggunakan bahasa yang sama dengan keluarga lain, termasuk anaknya, seorang anak di bawah umur: “Mereka semua sangat ketakutan. Setiap kali istri saya menelepon saya, ia terus menangis, memohon saya untuk kembali ke Cina.”
Kata Xie Weidong, mantan hakim Pengadilan Tinggi Rakyat yang sekarang tinggal di Kanada, untuk memaksa dirinya kembali ke Cina, pihak berwenang menahan saudara perempuannya dan anak laki-lakinya yang sudah dewasa selama lebih dari setahun. Xie memperlihatkan kepada Human Rights Watch dokumen yang merinci kasusnya.
Jaksa Penuntut Umum Hubei menahan saudara perempuan Xie Weidong, Xie Weifang, pada September 2016 dan putranya, Xie Cangqiong, pada Desember 2016 di Beijing, tempat mereka tinggal, dan membawa mereka ke Provinsi Hubei. Jaksa menuduh Xie Weifang menerima sogokan, dan menuduh Xie Cangqiong terlibat konspirasi dengan Xie Weidong dalam kasus penggelapan. Xie Weifang dibebaskan pada Januari 2017, setelah dakwaan dibatalkan. Sementara Xie Cangqiong tetap ditahan di pusat penahanan di Hubei.
Dalam suratnya kepada badan disiplin Partai Komunis Cina, Komisi Sentral Inspeksi Disiplin (CCDI), ibu dari Xie Cangqiong, Wang Liwei, yang sudah bercerai dengan Xie Weidong, menuduh para petugas menyiksa Xie Cangqiong dan mengancam sang ibu: “Putra saya dan bibinya, setelah disiksa ... menulis surat yang mendesak Xie Weidong untuk kembali ke Cina. [Jaksa] mengancam saya ... memerintahkan saya untuk membuat Xie Weidong kembali ke Cina, jika tidak, saya juga akan ditahan.”
Sebuah laporan Jaksa Pengadilan Tinggi Rakyat pada 2017 mengungkapkan sebuah kasus di mana seorang anggota keluarga dari orang yang masuk daftar red notice ditahan. Chu Shilin, seorang laki-laki pengusaha di Provinsi Shandong, pulang ke Cina dari Kanada pada 2016, dua bulan setelah pihak berwenang menahan mantan istrinya, Xu Jianhong, karena dicurigai “menyembunyikan buronan,” dengan alasan bahwa Xu mentransfer uang dari Cina ke Kanada untuk membantu Chu bersembunyi.
Pembatasan Gerak
Taktik lain yang digunakan otoritas Cina dalam memaksa orang dalam daftar red notice agar mau pulang, adalah dengan menghalangi keluarga yang tinggal di Cina untuk bepergian ke luar negeri. Para responden mengatakan tak satupun anggota keluarga mereka yang diperlihatkan dokumen hukum terkait larangan bepergian itu. Beberapa kerabat tahu kalau mereka dikenakan larangan bepergian, ketika mencoba untuk meninggalkan negara tersebut, sementara yang lain diberitahu oleh pihak berwenang.
Wang Lihe mengatakan:
Tak seorang pun di keluarga saya bisa keluar dari negara ini – ibu, saudara, saudara ipar dan anak-anak saya. Bahkan para karyawan perusahaan saya. Salah satu karyawan saya dulunya tinggal di Amerika Serikat. Setelah mereka kembali ke Cina, mereka sekarang tak bisa kembali ke Amerika. Saudara laki-laki saya dilarang bepergian di dalam negeri. Ia tak bisa naik kereta api atau pesawat.
Zhang Datong mengatakan:
Putri saya sudah menerima surat diterima masuk sekolah menengah di Amerika Serikat, tapi ia tak bisa meninggalkan negara itu. Kami harus mencarikan sekolah lain untuknya [di Cina]. Putra saya baru berusia 8 tahun. Ia dihentikan di perbatasan [di bandara]. Bahkan petugas bea cukai pun bingung, dan mengatakan, “Ia itu masih anak kecil. Apa yang terjadi?” Tapi tetap saja, ia tidak bisa pergi, dan harus pulang ke rumah.
Li Gang mengatakan:
[Pihak berwenang] menyita paspor adik laki-laki saya. Mereka mengancam ipar perempuan saya, "Kami tahu putra Anda sedang kuliah dan ini adalah program kerjasama dengan universitas Amerika Serikat. Jika Anda tidak meyakinkan [Li Gang] untuk kembali, anak Anda tidak dapat meninggalkan negara ini. Ia akan ‘dilarang keluar.’”
Xie Weidong bilang, “Saudara perempuan saya yang lain dan keluarganya berimigrasi ke Kanada bertahun-tahun yang lalu. Putrinya kembali ke Cina sekitar dua tahun yang lalu. Sekarang ia tidak bisa meninggalkan negara ini.”
Kata Liang Jianguo:
Orangtua saya, mertua saya, saudara saya, saudara ipar saya, dan semua anak mereka, semuanya “dilarang keluar.” Putra saya telah belajar di Inggris selama lebih dari setahun, di sebuah sekolah menengah. Ia kembali ke Cina saat liburan dan tak bisa kembali ke Inggris.
Pada 2010, Jiang Chunguang, kepala rumah sakit umum di Provinsi Yunnan, ditangkap dengan tuduhan korupsi. Segera setelah itu, pihak berwenang mengeluarkan red notice terhadap istri Jiang, Guo Xin, yang saat itu berada di Amerika Serikat, menuduhnya membantu sang suami. Guo kembali ke Cina pada Oktober 2017. Dalam sebuah surat terbuka yang ditulis sebelum pulang, Guo menulis:
Jaksa ... mencegah kakak laki-laki saya yang tinggal di Kanada, istri dan anak perempuannya memasuki Cina untuk mengunjungi ibu [kami] ... Jika saudara laki-laki [saya] masuk ke Cina, ia akan ditahan ... Deputi kepala biro [biro anti-korupsi ] ... menelepon kakak perempuan saya, menginformasikan kepadanya soal... larangan keluar ... akan diperluas sampai ke generasi ketiga dalam keluarga. Generasi keponakan saya akan dilarang meninggalkan Cina.
Pengawasan Keuangan
Para responden mengatakan pihak berwenang telah membekukan semua aset mereka di Cina, termasuk rekening bank bersama dan properti real estate, namun tidak memperlihatkan dokumen hukum yang membenarkan tindakan tersebut kepada anggota keluarga mereka. Para kerabat baru menyadari ada pembekuan saat mereka mencoba menarik uang. Pihak berwenang memasang segel di properti-properti mereka.
Salah satu yang diwawancarai mengatakan pekerjaan kerabatnya dihentikan karena ia berada dalam daftar red notice.
Li Gang mengatakan:
Saudara laki-laki saya bekerja di sebuah perusahaan milik negara. Mereka menghentikan pekerjaannya. Mereka membawanya ke kantor jaksa setiap hari untuk membantu penuntasan kasus saya, tapi ia tidak digaji. Ia diberi tahu bahwa gajinya hanya bisa diterima lagi bila saya kembali. Setiap hari ia hanya duduk di kantor [jaksa]. Ini seperti dipenjara.
Li Gang mengatakan saudara dari mantan istrinya juga harus pergi ke kantor jaksa setiap hari untuk “membantu penyelidikan” kasus Li.
Zhang Datong mengatakan, “[Pihak berwenang] membekukan semua rekening kami, bahkan uang sekolah anak perempuan saya. Ia sudah menyimpan sejumlah uang untuk biaya sekolah menengah yang akan ia masuki.”
Xie Weidong mengatakan aset saudara perempuannya di Cina yang berimigrasi ke Kanada, “yang tak ada hubungannya dengan kasus saya ... semuanya dibekukan. Saudara perempuan saya baru tahu soal ini saat mencoba menjual salah satu rumah yang dimilikinya.”
Liang Jianguo mengatakan pihak berwenang “menyita semua properti kami, bahkan tempat tinggal istri dan putra saya. Mereka tak punya tempat tinggal. Tak ada uang untuk biaya pendidikan putra saya. Mereka berada di tepi jurang.”
Gangguan di Luar Negeri
Pihak berwenang Cina telah mengirim pejabatnya ke negara-negara di mana orang-orang yang masuk daftar red notice tinggal dan meminta mereka untuk kembali, kadang-kadang menggunakan ancaman. Sebuah laporan CCDI tahun 2017 menyebutkan polisi Cina pergi ke Prancis untuk membawa kembali pebisnis yang masuk daftar red notice Zheng Ning. Pada Mei 2017, para petugas berangkat ke Amerika Serikat dan diam-diam menemui Guo Wengui, miliarder Cina yang namanya masuk red notice Interpol, untuk menekannya kembali ke Cina. Operasi rahasia ini kemudian diketahui oleh otoritas penegak hukum Amerika Serikat dan kemudian diungkap oleh media di AS.
Para responden mengatakan pihak berwenang Cina mengirim anggota keluarga, sejumlah pengacara, dan teman untuk menemui mereka di negara tempat mereka tinggal. Kata para pengacara yang berbicara dengan Human Rights Watch, para petugas biasanya menemani kerabat dalam kunjungan luar negeri tersebut, dan, dalam beberapa kasus, bahkan hadir dalam pertemuan antara keluarga itu dan orang yang masuk dalam daftar red notice.
Xie Weidong mengatakan kepada Globe and Mail bahwa pihak berwenang telah mengirim mantan pengacara saudara perempuannya yang ditahan dan istrinya ke Kanada untuk mengusik dirinya dan saudara perempuannya yang lain. Pada Desember 2017, pengacara dan istrinya muncul di rumah Xie di Toronto pada pukul 2 dini hari; mereka juga mengunjungi rumah saudara perempuan Xie di Ottawa.
“Polisi tidak melakukan tindakan apapun terhadap pengacara tersebut, karena mereka menganggapnya tak melanggar hukum," kata Xie kepada Human Rights Watch. “Sekarang kami bahkan lebih takut.”
Otoritas Hubei juga telah meminta mantan istri Xie, Wang Liwei, di Cina untuk menemani mereka pergi ke Kanada untuk membantu membawa Xie kembali. Mereka mengancam jika Wang membangkang, mereka akan terus menahan putranya tanpa batas waktu.
“[Pihak berwenang mengatakan kepada mantan istri saya bahwa] memiliki seorang perantara ke Kanada untuk menyembunyikan identitas pejabat yang ingin berbicara langsung kepada saya [ketika mereka berada di Kanada],” kata Xie.
Li Gang mengatakan:
Sekitar Musim Semi tahun ini, para pejabat di kejaksaan secara jelas mengatakan kepada saudara lelaki saya, bahwa mereka akan pergi ke Amerika Serikat, pada Maret atau April [2017]. Enam orang. Tiga dari kejaksaan. Dua dari CDI lokal, ditambah saudara lelaki saya. Saudara lelaki saya itu diberitahu bahwa tujuan dari perjalanan ini adalah untuk “membujuk Li Gang agar kembali ke Cina.” Mereka menunjukkan kepada adik saya jadwal perjalanan.
Sebuah laporan CCDI menunjukkan bahwa pihak berwenang mengirim seorang kerabat ke luar negeri untuk menemui seorang individu yang masuk daftar red notice dan berhasil memulangkannya: Pada 2013, pihak berwenang mengeluarkan red notice terhadap Chen Yijuan, seorang perempuan bekas manajer di sebuah perusahaan energi milik negara di Provinsi Yunnan, dengan tuduhan menerima suap dan terlibat dalam pencucian uang. Menurut laporan itu, sepupu Chen dan pengacara dari suami Chen pergi ke Inggris, tempat Chen tinggal, membujuknya untuk kembali ke Cina. Chen kembali pada 2016.
Liang Jianguo mengatakan, “[Pihak berwenang] mengirim teman-teman saya – orang-orang yang menurut polisi sangat dekat dengan saya – untuk mencari saya. Saya menolak untuk bertemu dengan mereka. Saya tidak akan memberitahu mereka di mana saya berada.”
Meskipun praktik itu biasa dilakukan, Human Rights Watch saat itu menyadari ada satu kasus di mana pihak berwenang Cina mengerahkan orang-orang dari Cina – yang sudah berada di negara tersebut – untuk mengganggu orang yang berada dalam daftar red notice.
Seorang warga negara Cina di Amerika Serikat, yang menyewakan sebuah kamar di rumahnya kepada Wang Lihe, mengatakan bahwa sejak Wang masuk, tiga bekas kenalannya berulang kali menelepon, mengirim pesan pendek, dan mengunjunginya, mendesaknya untuk mengusir Wang: “Mereka terus mengatakan pada saya bahwa [Wang] dicari oleh Interpol dan adalah orang yang sangat jahat. Seharusnya saya tidak membiarkan ia tinggal di rumah saya. Mereka datang ke rumah saya untuk mengganggu saya dan Tuan [Wang].”
Perempuan tersebut mengaku yakin ketiga pria tersebut bertindak atas nama pemerintah Cina:
Suatu saat, saya secara tidak sengaja mengatakan kepada orang-orang itu bahwa Tuan [Wang] pergi bersama putrinya ke [sebuah acara]. Tuan [Wang] kemudian mengatakan kepada saya bahwa kerabatnya di Cina meneleponnya, mengatakan kepadanya bahwa sehari setelah [kejadian itu], [pihak berwenang] memberi tahu mereka kalau Tuan [Wang] pergi ke [acara itu].
Perempuan itu juga bilang bahwa pihak berwenang memberi tahu keluarga Wang karena Wang punya hubungan amat baik dengan putrinya, mereka akan berusaha membawa pulang anak perempuannya ke Cina sebagai cara untuk memaksa Wang kembali.
Latar belakang soal Skynet, Fox Hunt
Sejak Presiden Xi Jinping berkuasa pada 2013, pemerintah Cina telah menggelar kampanye antikorupsi besar-besaran. Di dalam negeri, sebagian melalui shuanggui – sebuah sistem penahanan rahasia yang ditunggangi dengan pelanggaran yang telah secara lengkap didokumentasikan oleh Human Rights Watch – kampanye tersebut berhasil menyaring ribuan pemimpin partai dan pejabat pemerintah berposisi tinggi. Secara internasional, pemerintah telah meluncurkan operasi yang dikenal sebagai “Fox Hunt” dan “Skynet.”
Pada Juni 2014, pihak berwenang mendirikan Kantor Internasional untuk Pengejaran Buronan dan Pemulihan Aset Curian (国际追逃追赃工作办公室) – terdiri dari personel dari delapan instansi pemerintah termasuk CCDI, Kementerian Keamanan Publik dan Kementerian Luar Negeri – untuk memburu tersangka koruptor yang telah melarikan diri ke luar negeri. Pada Oktober 2017, sebanyak 3.587 buronan asal lebih 90 negara telah dikembalikan ke Cina, menurut CCDI.
Pada bulan April 2015, China menerbitkan daftar orang paling dicari, yang disebut “100 orang dalam daftar red notice” (百名红通), terhadap 100 pejabat dan pimpinan perusahaan atas tuduhan terlibat dalam kasus korupsi besar. Menurut statistik pemerintah, pada Desember 2017, sebanyak 51 dari “100 orang dalam daftar red notice” telah kembali ke Cina. Di antara mereka, 10 orang dilaporkan dipulangkan oleh pemerintah asing, sementara 35 orang kembali “dengan sukarela” setelah “dibujuk”.
Jumlah total orang yang masuk dalam red notice yang telah dikeluarkan oleh Interpol atas permintaan pemerintah Cina dalam beberapa tahun terakhir tidak jelas, seperti jumlah saat ini, karena banyak pemberitahuan hanya diketahui oleh aparat penegak hukum nasional, dan banyak dari mereka yang diincar tidak tahu soal pemberitahuan ini. Saat ini, ada 83 warga negara Cina terdaftar di situs web “red notice” Interpol.
Pelanggaran Red Notice Cina; Netralitas Interpol
Konstitusi Interpol menetapkan bahwa kerja sama polisi internasional harus dilakukan dengan semangat Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, seperangkat standar hak asasi manusia yang diharapkan bisa dijunjung tinggi oleh semua negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Aturan Interpol mengenai Pengolahan Data menyatakan bahwa pengolahan data dalam Sistem Informasi Interpol “sepantasnya menghormati hak-hak dasar dari orang-orang yang menjadi subyek kerja sama.”
Menurut Interpol, red notice tidak boleh melanggar kebijakan netralitas organisasi, yang ditemukan dalam pasal 3 konstitusi Interpol, yang melarang organisasi tersebut untuk “melakukan intervensi apapun atau kegiatan bersifat politik, militer, agama, atau ras.” Namun, Cina telah mengeluarkan red notice bermotif politik terhadap pembangkang dan pihak lain di luar negeri yang coba untuk ditangkap oleh Cina. Dolkun Isa, yang berkampanye dari Jerman atas nama komunitas etnis Uighur di Xinjiang, telah masuk dalam daftar red notice selama lebih dari satu dekade namun tidak dapat mengakses atau menghapusnya, mengganggu perjalanan internasionalnya. Aktivis Cina yang tinggal di Amerika Serikat Wang Zaigang percaya bahwa red notice terhadapnya merupakan pembalasan atas aktivisme pro-demokrasinya di luar Cina.
Mengingat catatan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, penghilangan paksa, dan pemulangan paksa yang dilakukan Cina secara tidak sah, Human Rights Watch dalam sebuah surat pada September 2017 kepada Interpol mengemukakan kekhawatiran bahwa orang-orang yang masuk dalam daftar red notice Interpol dari Cina berisiko disiksa dan mendapat perlakuan buruk lainnya.
Human Rights Watch juga mengemukakan kekhawatiran tentang kemampuan Meng Hongwei, yang terpilih menjadi Presiden Interpol pada November 2016, untuk mempertahankan kebijakan netralitas Interpol, dan menghormati dan melindungi hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam konstitusi lembaga itu. Meng adalah wakil menteri di Kementerian Keamanan Publik Cina, pasukan polisi yang telah mengganggu, secara sewenang-wenang menahan, dan menyiksa banyak orang karena telah menjalankan hak-hak dasar mereka. Human Rights Watch belum mendapat jawaban dari Interpol atas surat ini.