(New York) – Pihakberwenang Indonesia harus segera membebaskan aktivis kemerdekaan Maluku yang ditangkap di Ambon awal Agustus 2010, menurut Human Rights Watch hari ini. Aktivis-aktivis ini diduga hendak melepaskan bendera kemerdekaan Maluku yang dilarang dengan balon sebagai protes kedatangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 3 Agustus.
Sumber-sumber lokal melaporkan antara 7 dan 15 aktivis ditangkap terkaitrencana melepaskan balon sebagai ekpresi politik perlawanan terhadap pemerintah Indonesia di Kepuluan Maluku. Polisi dilaporkan menyita barang bukti berupa 133 poster bertuliskan “Bebaskan Tahanan Politik Alifuru dan Papua,”dua salinan laporan Human Rights Watch Juni 2010 berjudul “Kriminalisasi Aspirasi Politik: Pesakitan Politik di Indonesia,”17 bendera Republik Maluku Selatan, dan sebuah tabung gas 12 kg untuk menerbangkan balon. Yudhoyono datang ke Ambon untuk membuka acara “Sail Banda”, diadakan Kementrian Pariwisata dan pemerintah provinsi Maluku guna mempromosikan pariwisata di Laut Banda.
“Sangat disayangkan kebebasan berpendapat di Indonesia makin terancam seiring ditahannya para aktivis ‘balon’itu,”kata Phil Robertson, wakil direktur Asia dari Human Rights Watch. “Pemerintah Indonesia mengklaim di depan umum bahwa mereka menghormati kebebasan berekspresi, jadi harusnya ditepati dan membebaskan segera para demonstran damai itu.”
Human Rights Watch mengungkapkan keprihatina mendalam atas penyiksaan dan tindakan kejam sebelumnya terhadap para pesakitan politik di Ambon, dan ditangkapnya aktivis baru-baru ini, menempatkan risiko serius.Para tahanan itu harus segera diberiakses kepada anggota keluarga dan penasihat hukum, menurut Human Rights Watch.
Mereka yang ditangkap termasuk Benny Sinay, Izak Sapulete, Andy Marunaya, Edwin Marunaya, Ongen Krikof, Marven Bremer, Steven Siahaya, dan Ony Siahaya. Jacob Sinay, yang dipecat sebagai PNS karena aktivime politikpada Desember 2009, juga ditahan. Sebagian besar dari mereka ditangkap di rumah pada 2 dan 3 Agustus. Beberapa ditangkap karena membentangkan bendera RMS di tempat umum di beberapa daerah di jazirah Maluku, termasuk di Ambon dan kepulauan Saparua.
Para penonton kegiatan “Sail Banda”di pelabuhan Yos Sudarso, Ambon, menjelaskan banyak polisi dan tentara Indonesia diturunkan dalam jumlah besar. Aparat keamanan jelas tak ingin mengulangi kejadian saat Yudhoyono datang ke Ambon pada 29 Juni 2007di mana 28 penari Maluku memasuki stadiondan memeragakan tarian perang Cakalelesambil membentangkan bendera RMS.
Lebih dari 70 pria ditangkap setelah insiden tarian 2007 itu. Sebagian besar disiksa sesudah dibawa ke Densus Anti-Teror 88 yang bermarkas di Ambon. Pengadilan negeri Ambon mendakwa lebih dari tiga lusin orang, termasuk pemimpin tarian, Johan Teterisa, dengan pasal “makar”dan divonis penjara antara 5 hingga 20 tahun. Teterisa dihukum 15 tahun penjara dan dibuang ke penjara Malang, Jawa Timur.
Human Rights Watch prihatin bahwa pihak berwenang Ambon menyita laporan terbaru Human Rights Watch,“Kriminalisasi Aspirasi Politik,”dijadikan kemungkinan barang bukti dalam kasus melawan aktivis-aktivis politik ini. Laporan itu memuat 10 pesakitan politik terkemuka Papua dan Maluku yang kini dijebloskan ke penjara atas pandangan politik, memerinci penyiksaan yang mereka terima selama ditahan, dan berbagai pelanggaran lain atas hak-hak yang harusnya mereka dapatkan.
Pada bulan Juni, Human Rights Watch mendiskusikan laporan ini dengan para pejabat dari Kementrian Hukum dan HAM , Kementrian Luar Negeri, serta komisioner Komnas HAM di Jakarta. Sedikitnya ada 100 orang Papua dan Maluku dipenjara di Indonesia karena mengekspresikan pandangan politik.
“Dengan menahan aktivis-aktivisAmbon, pihak berwenang Indonesia mengulangi kesalahan besar yang menimbulkan keraguan dunia akan komitmen Indonesia untuk meningkatkan hak asasi manusia,”kata Robertson. “Pemerintah harus segera membebaskan para demonstran damai ini dan memberitahukan dunia tentang proses hukumnya.”
Latar belakang
Human Rights Watch bersikap netral dalam klaim separatisme di Indonesia atau negara manapun. Konsisten dengan hukum internasional, Human Rights Watch mendukung hak individu, termasuk pendukung kemerdekaan, untuk mengungkapkan pandangan politik mereka secara damaitanpa ketakutan ataupun ditangkap atau menerima bentuk-bentukaksi balasan.
Sebagian besar pesakitan politik di Indonesia divonis makar dengan pasal 106 dan 110 dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Namun, kebebasan berekspresi dilindungi Undang-Undang Dasar Indonesia dan hukum HAM internasional. Pasal 28(e) menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Pasal 28(f) menetapkan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Pada Desember 2007, pemerintah Indonesa mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 77/2007tentang logo dan bendera daerah. Pasal 6 mengatur larangan mempertunjukkan bendera atau logo yang mempunya persamaan dengan “organisasi, perkumpulan, lembaga, atau gerakan separatis.”Bendera Bintang Fajar (Papua)atau bendera Benang Raja RMS dilarang berdasarkan aturan ini.
Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, yang diratifikasi Indonesia pada 2006, juga melindungi hak untuk berkespresi. Pasal 19menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.”