Skip to main content

Kasus Filep Karma dan Buchtar Tabuni: Mengapa Mereka Dipindah ke Tahanan Polisi

Bebaskan Semua Pesakitan Politk Papua dan Maluku

(New York) – Pihakberwenang Indonesia harus segera mengizinkan dua pesakitan politik Papua dan tiga narapidana lain untuk pindah dari penjara ke kantor polisi dan diberi akses ke pengacaramereka, demikian Human Rights Watch hari ini. Filep Karma, usia 51, dan Buchtar Tabuni, usia 31, telah ditahan di kantor polisi Jayapuradi Papua Baratsehari setelah kerusuhan di penjara Abepura pada 3 Desember 2010.

Pada Hari Hak Asasi Manusia internasional, Human Rights Watch juga menyerukan kembali kepada pemerintah Indonesia untuk segera membebaskan lebih dari 130 aktivis Papua dan Malukuyang dipenjara karena mengungkapkan pandangan politik secara damai, dan mereformasi undang-undang dan kebijakan demi melindungi kebebasan berekspresi.

“Para narapidana juga memiliki hak, dan mengabaikan hak-hak itu bukanlahcara merayakan Hari Hak Asasi Manusia,”kata Elaine Pearson, wakil direktur Asia dari Human Rights Watch. “Pihak berwenang harusmenjelaskan kenapa Filep Karma dan Buchtar Tabuni dikurung di tahanan polisi dan tak boleh dikunjungi pengacara.”

Kapolres Jayapura, AKBP Imam Setiawan, mengatakan pada media bahwa polisi telah “mengamankan”Karma dan Tabuni di kantor polres Jayapura karena memprovokasi kerusuhan di penjara Abepura setelah ada percobaan kabur narapidana dari penjara pada 3 Desemberdimana seorang napi tewas tertembak. Karma dan Tabuni mengatakan kepada Federika Korain dari Forum Demokrasi Rakyat Papua Bersatu (FORDEM) bahwa mereka dipindah ke kantor polisi tanpa ada keterangan mereka telah melakukan kesalahan.

Berdasar Peraturan Standar Minimum PBB tentang Perlakuan terhadap Narapidana, “tidak ada narapidana yang dapat dihukum kecuali dia diberitahu mengenai tuduhan pelanggaran terhadap dia dan diberi kesempatan yang patut untuk membela diri.”

Sejak dibawa ke kantor polres, Karma dan Tabuni meminta izin dijenguk pengacara tapi ditolak. Pada 8 Desember, pengacara Karma, Harry Masturbongs, datang ke kantor polres tapi tak diizinkan bertemu dengan kliennya. Polisi juga menolak keluarga Karmamembesuk.

Berdasarkan Kumpulan Prinsip PBB bagi Perlindungan Semua Orang dari Segala Bentuk Penahanan atau Pemenjaraan, “seorang narapidana berhak untuk berkomunikasi dan berkonsultasi dengan pengacaranya.” Hak-hak ini, “seorang narapidana dikunjungi dan berkonsultasi serta berkomunikasi, tanpa penundaaan atau sensordan dalam kerahasiaan penuh, dengan pengacaranya tanpa penangguhan atau pembatasan kecuali dalam keadaan luar biasa, ditentukan oleh undang-undang atau peraturan yang sah menurut hukum, bila dianggap sangat diperlukan oleh pihak berwenang peradilan atau yang lain demi memelihara keamanan dan ketertiban.”

Pada 9 Desember, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono membuka Forum Demokrasi Bali ketiga, tujuannya mempromosikan kerjasama internasional kawasan demi membantu perkembangan demokrasi dan politik diantara negara-negara di Asia. Presiden Yudhoyono berkata dalam pidato pembukaan, “Ada banyak varian demokrasi, tapi selalu ada nilai-nilai dan semangat universal dalam demokrasi itu sendiri.”Human Rights Watch menyerukan pemerintah Indonesia untuk menghormati hak hakiki kebebasan berekspresi, seperti tercantum dalam Kovenan Internasional Hak-HakSipildan Politik, dimana Indonesia meratifikasinya pada 2006.

 “Memenjarakan pesakitan politik merupakan hal memalukan dan sangat jauh dari gambaran negara demokrasi modern yang berusaha digagas Indonesia,”ujar Pearson. “Presiden Yudhoyono harusmenunjukkan komitmennya terhadap hak-hak asasi dengan cara membebaskan narapidana yang dipenjara karena mengungkapkan pandangan politik secara damai, termasuk Filep Karma dan Buchtar Tabuni.”

Latar Belakang

Filep Karma, 51 tahun, dipenjara di Lapas Abepura sejak enam tahunlalu. Pada Mei 2005, pengadilan negeri Abepura mendakwanya bersalah atas tuduhan “makar”setelah mengadakan aksi kemerdekaan Papua pada 1 Desember 2004 dan mengukumnya 15 tahun penjara.

Buchtar Tabuni, 31 tahun, ketua Komite Nasional Papua Barat, organisasi independen rakyat Papua yang kian radikal sejak Tabuni dipenjara. Dia ditangkap di Jayapura pada 3 Desember 2008setelah menggelar demontrasi mengutuk penembakan saudaranya, Opinus Tabuni. Dia divonis tiga tahun penjara dengan pasal 160 Kitab Undang-undang Hukum Pidana karena “menghasut kebencian”terhadap pemerintah Indonesia.

Human Rights Watch telah mendokumentasikan penyiksaan di penjara Abepura pada 2008 dan 2009. Ia mendorong Komisi Nasional Hak Asasi Manusia melakukan investigasi terhadap kondisi penjara dan mengganti kepala sipir penjara.

Laporan Human Rights Watch pada Juni 2010, Kriminalisasi Aspirasi Politik: Pesakitan Politik di Indonesia(https://www.hrw.org/en/reports/2010/06/23/prosecuting-political-aspiration-0), memerinci berbagai penyiksaan terhadap aktivis Papua dan Maluku yang ditangkap karena mengungkapkan ekspresi damai, termasuk Filep Karma dan Buchtar Tabuni.

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country