(New York) RUU yang mengatur badan intelijen nasional menafikan hak-hak dasar para tahanan serta melanggar kaidah hukum pidana Indonesia dan hukum hak asasi manusia internasional, Human Rights Watch menyatakan hal ini dalam analisis hukumnya hari ini. Adalah hal yang tidak sepatutnya pula memberikan peran baru dan luas dalam penegakan hukum kepada Badan Intelijen Negara (BIN), BIN adalah sebuah lembaga di Indonesia yang terkenal buruk dan tak tersentuh reformasi serta memiliki hubungan dengan tindakan pelanggaran terhadap HAM saat era Soeharto hingga saat ini.
Dalam suratnya kepada Ketua DPR, Agung Laksono dan Ketua Komisi yang membahas RUU tersebut, Theo L. Sambuaga, Human Rights Watch menyambut upaya untuk menyusun sebuah kerangka hukum bagi lembaga intelijen Indonesia, akan tetapi juga mendesak DPR untuk secara drastis mengamandemen serta menjamin RUU tersebut tidak menimbulkan penyalahgunaan serius dan sistematik.
RUU tersebut saat ini telah diterima oleh Komisi I DPR. RUU tersebut menggambarkan kegiatan-kegiatan BIN serta perluasan “komunitas intelijen” yang secara tersamar memasukan sejumlah lembaga pemerintah dan kemungkinan keterlibatan entitas non-pemerintah dibawah pengarahan Kepala BIN. Human Rights Watch mengungkapkan perhatiannya bahwa RUU tersebut mengaburkan batas-batas antara penyelidikan secara pidana dan kegiatan intelijen serta menimbukan konflik antara peran kepolisian dan aparat intelijen. RUU ini sekaligus juga menimbulkan ketidakjelasan akan standar hukum dengan tidak adanya ketentuan yang menjelaskan peran pengadilan untuk melakukan pengawasan terhadap BIN serta aktivitasnya.
“RUU ini memberikan wewenang kepada lembaga intelijen yang terkenal buruk dalam melakukan penyalahgunaan wewenang dan akan mengurangi upaya bagi lembaga-lembaga keamanan dan para penegak hukum untuk lebih bertanggungjawab kepada para pemimpin sipil dan masyarakat,” Kata Brad Adams, Direktur Asia Human Rights Watch. "Tanpa adanya amandemen yang signifikan, RUU ini merupakan sebuah langkah mundur yang besar serta merupakan indikasi bahwa pemerintah tidak serius memperbaiki catatan buruk dalam kaitannya dengan kebebasan sipil.”
Human Rights Watch menyatakan bahwa RUU tersebut memperkenakan BIN melampaui peran utamanya dalam kegiatan intelijen dan masuk dalam wilayah penegakan hukum. RUU tersebut memperbolehkan BIN untuk “menangkap” seseorang selama 7 hari serta “menahan” seseorang selama 30 hari tanpa adanya proses dan pengawasan secara hukum, serta diserta dengan tuduhan pidana , dan tidak memperbolehkan tahanan untuk didampingi penasihat hukum atau kesempatan untuk didengar keterangnnya di hadapan hakim. RUU ini memberikan wewenang kepada aparat intelijen untuk menangkap, menahan, menginterograsi, menggeledah atau membatasi ruang gerak setiap orang “yang diduga kuat” baik secara langsung maupun tidak, terlibat dalam kegiatan yang berhubungan dengan ancaman nasional – hal ini secara efektif mengubah aparat intelijen menjadi aparat kepolisian dengan wewenang yang luas dan tanpa batas.
“Mengijinkan sekelompok lembaga intelijen untuk terlibat dalam kegiatan penegakan hukum menimbulkan kebingungan akan peran mereka serta membuka pintu penyalahgunaan”, Kata Adams. ”Memperbolehkan aparat intelijen untuk menahan orang selama 30 hari tanpa adanya pengawasan secara hukum atau memberikan akses kepada pengacara atau anggota keluarga menciptakan kondisi sempurna untuk munculnya penyiksaan atau penganiayaan.”
Human Rights Watch berpendapat, RUU tersebut memberikan ketidakjelasan dan pengertian yang berlebihan terhadap “ancaman nasional”. Istilah ini merupakan dasar pemikiran dari pembuatan RUU tersebut. Ketidakjelasan akan pengertian tersebut merupakan kelemahan yang berakibat pada penyalahgunaan serius oleh aparat intelijen atau pejabat pemerintah dengan sasaran kelompok yang tidak disukai atau individu.
“Di negara yang lemah serta pengadilan yang terpolitisasi, ketidakjelasan pengertian dari ancaman nasional akan menimbulkan konsekuensi serius terhadap kebebasan sipil”, Kata Adams. “Hal itu akan mudah digunakan untuk membidik aktivis politik damai, partai dan kelompok oposisi dan kelompok-kelompok penduduk asli”.
Human Rights Watch juga memberikan perhatian terhadap hal-hal lain dalam RUU tersebut termasuk :
- Pelanggaran terhadap Kebebasan Sipil. RUU memberikan secara luas dan sedikit sekali pengertian terhadap wewenang untuk melakukan pengawasan, pemantauan dan menyita surat-surat serta melakukan penyadapan terhadap seseorang yang “diduga kuat” terlibat dalam ancaman nasional.
- Kewenangan untuk melakukan pemanggilan. Pasal 18 (b) RUU ini memberikan kewenangan yang luas bagi aparat intelijen untuk memanggil setiap orang untuk dimintai keterangannya tentang sesuatu hal berkait dengan ancaman nasional.
- Penggeledahan dan penahanan tanpa surat keterangan. Pasal 19 RUU memberikan kewenangan aparat intelijen untuk memasuki serta menggeledah setiap bangunan, milik publik maupun pribadi, termasuk tempat tinggal. Pasal 31 dan 32 memberikan kewenangan aparat intelijen untuk melakukan penggerebekan terhadap individu, tubuh, pakaian, barang-barang, rumah atau hal lainnya serta melakukan penyitaan terhadap setiap obyek atau dokumen dari seseorang yang “diduga kuat” memiliki hubungan dengan kegiatan yang mengancam.
- Kewenangan berlebihan untuk BIN. Melalui entitas yang tak jelas bernama”komunitas intelijen”, RUU ini akan berakibat memperluas kewenangan Kepala BIN ke semua cabang pemerintahan serta berpotensial kepada masyarakat sipil. Hal ini berbahaya dan perluasan yang sangat berlebih serta kurangnya pertanggungjawaban aparat BIN kepada berakhirnya kesatuan aturan bagi aktor pejabat resmi maupun bukan. Dimasukannya Kejaksaan Agung, Kepolisian dan Militer kedalam komunitas intelijen akan mengurangi setiap mekanisme pertanggungjawaban yang telah diatur dalam undang-undang yang mengatur militer saat ini serta penegakan hukum.
Lembaga intelijen Indonesia telah lama digunakan sebagai alat represi di dalam negeri serta kepentingan politik. Hingga 1985, lembaga intelijen yang terkemuka di Indonesia adalah Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban atau KOPKAMTIB yang fokus utamanya membawahi operasi keamanan dalam negeri dan mengumpulkan data. Pada 1985, sebagai bagian dari kebijakan reorganisasi angkatan bersenjata, peran KOPKAMTIB diambil alih oleh sebuah lembaga intelijen baru, Badan Koordinasi Ketahanan Nasional (BAKORSTANAS). Aktor kunci dalam lembaga ini terdiri dari sepuluh perwira AD dari Komando Daerah dan dua pejabat intelijen yang dikenal sebagai Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) dimana mereka adalah pejabat sipil. Serta badan intelijen militer yaitu Badan Intelijen Strategis (BAIS). Meskipun sistem dalam BAKORSTANAS telah dibubarkan oleh Keputusan Presiden pada Maret 2000, BAKIN dan BAIS tetap menjadi dua badan intelijen yang utama di Indonesia.
Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid secara signifikan menaikan anggaran BAKIN dan pada Januari 2001 berubah nama menjadi BIN guna menekankan pada fungsi-fungsi operasional serta mengurangi peran koordinasi. Saat Megawati Soekanoputri menjadi presiden pada Juli 2001, dia menunjuk seorang perwira militer, Letnan Jenderal A.M. Hendropriyono sebagai Kepala BIN dan memberikannya kedudukan setingkat menteri cabinet. Peledakan Bom di Bali pada 12 Oktober 2002 sekaligus mengungkap kelemahan intelijen Indonesia serta mendorong Megawati mengeluarkan Instruksi Presiden No. 5 tahun 2002 yang memberikan kewenangan kepada BIN untuk menjalankan fungsi koordinasi serta memperkuat fungsi operasionalnya.
Dibawah tekanan BIN, pada awal tahun 2004 pemerintah mengumumkan niatnya pada awal untuk memberikan kewenangan kepada BIN membuka kantor-kantor wilayah serta lembaga koordinasi wilayah. Kebangkitan kembali era-Soeharto terlihat dari munculnya Badan Koordinasi Intelijen Daerah (BAKORINDA) yang juga membangkitkan momok kembalinya mobilisasi birokrasi untuk kepentingan intelijen dalam rangka meningkatkan pengawasan dan kontrol terhadap masyarakat, dibawah perlakuan kelompok intelijen.
“Lembaga intelijen Indonesia membutuhkan kerangka hukum dengan pengawasan hukum dan DPR yang memadai.” Kata Adams. “Akan tetapi RUU ini akan mengembalikan hari-hari yang suram ketika aparat intelijen bertindak sebagai polisi bayangan. “Menyelesaikan undang-undang.ini secara benar merupakan ujian besar bagi Pemerintahan Presiden Yudhoyono.”