Konstitusi Nepal menjamin hak yang sama untuk laki-laki dan perempuan dan melarang diskriminasi berbasis gender. Namun, ada juga sejumlah ketentuan yang secara terang-terangan mendiskriminasi perempuan, misalnya, dengan membatasi kemampuan mereka untuk memberikan kewarganegaraan kepada anak-anak mereka.
Pemerintah baru di negara tersebut dilaporkan sedang mempersiapkan RUU Kewarganegaraan Nepal (Amendemen) yang telah lama ditunggu-tunggu untuk diserahkan ke parlemen. RUU tersebut tidak membahas ketentuan diskriminatif yang sudah berlangsung lama, yang mempersulit anak-anak dari perempuan Nepal untuk mendapatkan kewarganegaraan dibandingkan anak-anak dari pria Nepal.
Menurut pasal 11(7) konstitusi, pria asal Nepal dapat secara otomatis memberikan kewarganegaraan kepada anak-anak mereka berdasarkan keturunan, tetapi perempuan Nepal harus membuktikan bahwa ayah dari anaknya adalah orang Nepal atau menyatakan bahwa sang ayah “tidak teridentifikasi”. Jika pernyataan seperti itu terbukti palsu, perempuan yang bersangkutan akan menghadapi tuntutan hukum. Ketentuan ini tidak hanya melanggar hak privasi perempuan, tetapi juga membuat perempuan tidak setara di mata hukum.
Undang-Undang Kewarganegaraan Nepal secara tidak proporsional memengaruhi perempuan dari komunitas Madhesi yang terpinggirkan, yang sebagian besar tinggal di dekat perbatasan Indo-Nepal dan sering menjalani pernikahan lintas batas, serta ibu-ibu yang belum menikah, termasuk para penyintas perkosaan. Undang-Undang ini telah membuat ribuan anak di Nepal secara efektif tidak memiliki kewarganegaraan, sehingga mereka tidak mungkin melanjutkan pendidikan tinggi, pekerjaan formal, atau mengakses tunjangan dan layanan negara.
Sejumlah politisi memberikan pembenaran atas diskriminasi ini sebagai cara untuk mempertahankan nasionalisme dan “kedaulatan”, semuanya dengan mengorbankan hak-hak perempuan Nepal.
Hukum kewarganegaraan Nepal bertentangan dengan konstitusi negara itu dan melanggar Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, yang diratifikasi Nepal pada tahun 1991, serta Konvensi tentang Hak Anak, yang diratifikasi Nepal pada tahun 1989.
Pada Hari Perempuan Internasional yang bertema #EmbraceEquity ini, pemerintah seharusnya segera mengubah undang-undang kewarganegaraan yang patriarkis dan diskriminatif yang melemahkan identitas perempuan Nepal dan menjadikan mereka warga negara kelas dua. Secara khusus, Perdana Menteri Pushpa Kamal Dahal seyogianya menepati janjinya untuk mengadopsi RUU Kewarganegaraan Nepal (Amendemen) dalam enam bulan ke depan, dengan amendemen lebih lanjut untuk menegakkan hak perempuan Nepal untuk kesetaraan kewarganegaraan.