Mahkamah Agung Filipina memberhentikan ketuanya, Maria Lourdes Sereno - sebuah pemecatan yang keji dan belum pernah terjadi sebelumnya, serta merupakan serangan frontal terhadap pelindungan hak asasi manusia dan demokrasi.
Dengan suara 8 banding 6, mahkamah memutuskan untuk mengabulkan petisi pemerintah yang meragukan keabsahan penunjukan Sereno. Akan tetapi, pemecatan Sereno ini tak hanya soal itu. Bulan lalu, Presiden Rodrigo Duterte mendeklarasikan Sereno sebagai “musuh” dan menyerukan pemakzulannya karena telah mengkritisi “perang melawan narkoba” serta kebijakan Duterte lainnya yang menindas.
Sereno, 57 tahun, hanyalah yang terbaru dalam daftar yang terus memanjang dari lembaga dan orang-orang yang difitnah Duterte setelah mereka mengupayakan akuntabilitas atas pelanggaran hak asasi manusia. Daftar ini juga termasuk sejumlah outlet media Filipina dan pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa. Duterte berusaha mencegah setiap upaya untuk mengusut dugaan kejahatan polisi dan agen-agennya dalam “perang melawan narkoba” yang telah menewaskan ribuan orang - sebuah kampanye yang secara terbuka didukung oleh presiden.
Pemecatan Sereno juga membuka lebar-lebar pintu untuk secara sewenang-wenang menyingkirkan anggota lembaga konstitusional lainnya, seperti Komisi Hak Asasi Manusia. Pada akhirnya, penolakan terhadap perimbangan kekuasaan (checks and balances) yang konstitusional akan mengakibatkan kekuasaan menjadi terpusat di tangan Duterte dan sekutunya. Hal ini menghadirkan bahaya terbesar terhadap demokrasi di Filipina sejak era kediktatoran Marcos.