(Rangoon) - Citra satelit baru mengungkapkan pemerintah Burma telah meratakan sejumlah desa Rohingya yang kosong di Negara Bagian utara Rakhine, kata Human Rights Watch hari ini. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, PBB dan lembaga-lembaganya, serta para donor di Burma seharusnya menuntut pemerintah Burma segera menghentikan penghancuran desa Rohingya, yang seharusnya diperlakukan sebagai Tempat Kejadian Perkara (TKP) yang semestinya dipertahankan sampai Misi Pencarian Fakta PBB diberi akses masuk ke daerah tersebut untuk menggelar penyelidikan.
Sejak akhir 2017, pemerintah Burma telah membersihkan setidaknya 55 desa dari semua bangunan dan tumbuhan menggunakan alat berat. Sebagian besar dari desa-desa ini termasuk di antara 362 desa yang hancur total atau sebagian akibat pembakaran sejak 25 Agustus 2017, selama upaya pembersihan etnis Rohingya. Namun, citra satelit menunjukkan setidaknya dua dari desa yang dihancurkan tidak dalam keadaan rusak akibat kebakaran dan tampaknya masih bisa dihuni. Ratusan bangunan telah dihancurkan di 10 desa lainnya yang sebagian hancur akibat pembakaran.
“Banyak dari desa ini sebelumnya merupakan tempat berlangsungnya kekejaman terhadap orang-orang Rohingya dan seharusnya dijaga, agar para ahli yang ditunjuk oleh PBB untuk mendokumentasikan berbagai pelanggaran ini dapat mengevaluasi bukti tersebut secara layak untuk mengidentifikasi mereka yang bertanggung jawab,” kata Brad Adams, Direktur Asia. “Meratakan daerah-daerah ini merupakan ancaman untuk menghapus baik memori dan klaim hukum dari warga Rohingya yang tinggal di sana.”
Human Rights Watch meninjau ulang serangkaian citra satelit yang direkam antara 11 November 2017 hingga 19 Februari 2018. Gambar-gambar itu menunjukkan bahwa dua desa di jalur desa Myin Hlut yang tidak terbakar pada serangan pada akhir 2017 masih utuh sebelum diratakan. Antara 9 Januari hingga 13 Februari desa-desa itu dihancurkan dan diratakan dengan alat berat. Human Rights Watch tidak bisa memverifikasi secara independen apakah saat penghancuran, desa itu ada penghuninya. Citra satelit yang ditinjau oleh Human Rights Watch menunjukkan bahwa penghancuran itu sedang berlangsung.
Citra satelit menunjukkan bahwa penghacuran awal bangunan yang rusak berat atau hancur di Negara Bagian utara Rakhine bermula di Kota Maungdaw pada November 2017. Setelah itu ada jeda sekitar satu bulan. Pada awal Januari 2018, operasi pembersihan dilanjutkan di desa-desa di selatan Kota Maungdaw di sepanjang pantai, dan kemudian dengan cepat menyebar ke arah utara dari tempat penghancuran awal.
Rencana Penghancuran dan Pembangunan Pemerintah
Pada 12 Januari, media pemerintah Burma melaporkan bahwa delapan backhoe dan empat buldoser telah mulai membersihkan daerah-daerah di wilayah utara Rakhine pada 7 Januari, di sejumlah lokasi yang telah diumumkan pemerintah sebagai tempat pemprosesan dan tempat tinggal sementara para pengungsi yang dipulangkan dari Bangladesh. Media pemerintah dan Kantor Kepresidenan juga telah melaporkan pembangunan di beberapa wilayah di Negara Bagian Rakhine, beberapa di antaranya difokuskan pada perbaikan jalan dan melibatkan pembersihan desa.
Komite Informasi Kantor Dewan Penasihat Negara pada 1 Desember mengatakan bahwa pemerintah telah membangun rumah di lebih dari 20 desa di seluruh Negara Bagian Rakhine. Win Myat Aye, Menteri Kesejahteraan Sosial, seperti dikutip oleh Agence-France Press atau Kantor Berita Prancis pada 12 Februari menyatakan bahwa pembersihan desa merupakan bagian dari rencana untuk membangun kembali desa-desa itu dengan standar yang lebih tinggi. Ia mengatakan bahwa pemerintah “mencoba untuk memiliki rencana desa yang baru,” dan bahwa “ketika [para pengungsi] kembali mereka dapat tinggal di tempat asalnya atau tak jauh dari tempat asal mereka.”
Upaya pembangunan yang dilakukan pemerintah dipimpin oleh Serikat Perusahaan untuk Bantuan Kemanusiaan, Pemukiman Kembali dan Pembangunan (UEHRD), yang secara resmi didirikan pada Oktober 2017, dan diketuai oleh pemimpin de facto Burma Aung San Suu Kyi. UEHRD berkoordinasi dengan beberapa kementerian di tingkat nasional, pemerintah negara bagian dan regional, dan pasukan keamanan, serta perusahaan swasta. Lembaga ini meminta kerja sama dari organisasi nasional dan internasional, yang disebut negara mitra, dan badan-badan PBB.
Pemerintah mengatakan mereka akan mengembangkan rencana desa berdasarkan Panduan Internasional PBB mengenai Perencanaan Perkotaan dan Wilayah dan pedoman internasional lainnya.
Aung Tung Thet, ketua koordinator UEHRD, mengatakan kepada media lokal pada Oktober bahwa karena musim hujan dimulai pada April, “hanya ada sedikit waktu untuk menyelesaikan pekerjaan ini.” Pekerjaan yang dimaksud adalah proyek-proyek pembangunan di Negara Bagian Rakhine. Akibatnya, kata Aung Tung Thet, “Kita harus melaksanakan proyek ini dengan kecepatan tinggi.”
Sejak serangan militan terhadap puluhan pos keamanan Agustus lalu, militer Burma telah melakukan pembunuhan, pemerkosaan, penangkapan sewenang-wenang, dan pembakaran massal yang meluas terhadap ratusan desa Rohingya di Negara Bagian utara Rakhine, memaksa lebih dari 688.000 orang Rohingya melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh. Pemerintah Burma dan Bangladesh telah mencapai beberapa kesepakatan yang menguraikan maksud dan proses pemulangan pengungsi dari Bangladesh ke Burma. Namun, belum ada pengungsi yang kembali ke Burma, dan orang-orang Rohingya masih terus melarikan diri dari Negara Bagian Rakhine. Dalam sebuah penjelasan di hadapan Dewan Keamanan PBB pada 13 Februari, Komisaris Tinggi PBB untuk urusan pengungsi, Filippo Grandi, menyatakan, “Kondisi belum memungkinkan untuk pemulangan sukarela pengungsi Rohingya.”
Undang-undang internasional menetapkan bahwa para pengungsi dan pengungsi dalam negeri, yang secara sewenang-wenang atau tidak sah diusir dari rumah, tanah properti, tempat tinggal mereka, memiliki hak untuk kembali ke rumah atau tempat yang mereka pilih, dan pengembalian harta mereka. Mereka yang tidak mampu atau menolak kembali ke rumah berhak memilih kompensasi dari pemerintah karena kehilangan rumah dan harta benda mereka.
Bukti Dihancurkan, Kegagalan Menyelidiki Pelanggaran
Setiap penghancuran desa yang menghilangkan bukti kejahatan jelas merupakan upaya menghalangi pencarian keadilan. Pemerintah Burma telah gagal untuk secara kredibel menyelidiki dugaan sejumlah pelanggaran serius yang dilakukan pasukan keamanan sejak 25 Agustus, di mana Human Rights Watch telah menemukan terjadinya sejumlah kejahatan terhadap kemanusiaan.
Sebuah investigasi militer Burma pada November menyimpulkan bahwa tidak ada kekerasan atau pelanggaran yang dilakukan pasukan keamanan. Ini bertentangan dengan informasi yang dilaporkan oleh PBB, media, dan kelompok hak asasi manusia, termasuk Human Rights Watch. Menyusul ditemukannya sebuah kuburan massal di Desa Inn Din pada akhir Desember, militer Burma mengakui bahwa sejumlah anggota pasukan keamanan dan penduduk desa Rakhine telah membunuh 10 orang secara tidak sah dan melanggar “aturan perjanjian.” Pemerintah telah menahan 16 orang terkait pembantaian tersebut, dan menyatakan akan “mengambil tindakan sesuai hukum.”
Pemerintah Burma telah menolak pemberian visa kepada Misi Pencarian Fakta PBB, yang dibentuk Dewan Hak Asasi Manusia pada Maret 2017. Ini menghalangi pengumpulan bukti di daerah-daerah terdampak di wilayah Rakhine. Selain itu, pemerintah juga secara efektif memblokir upaya mendapatkan akses yang berarti ke Negara Bagian Rakhine bagi semua media independen dan kelompok hak asasi manusia.
“Pembersihan yang dilakukan pemerintah terhadap puluhan desa hanya meningkatkan kekhawatiran soal kemungkinan kepulangan keluarga Rohingya,” kata Adams. “Desa-desa yang sengaja dihancurkan untuk menghancurkan bukti kejahatan berat merupakan penghalang untuk mendapatkan keadilan. Pemerintah dari sejumlah negara donor harus memastikan bahwa mereka tidak memberikan dukungan langsung maupun tak langsung yang akan menghambat keadilan, atau membantu upaya pura-pura para pihak yang bertanggung jawab atas pembersihan etnis, bahwa orang Rohingya tidak berhak kembali ke desa mereka di Negara Bagian Rakhine.”