(JAKARTA) - Dalam salah satu pidatonya tahun lalu Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton mengatakan bahwa Indonesia telah "merangkul demokrasi".
Salah satu aspek penting dari demokrasi yang sehat adalah adanya kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kritis kepada pejabat pemerintah-yang sekaligus merupakan satu jalan untuk mencetuskan perubahan. Namun di Indonesia, melakukan kritik secara terbuka bisa berujung pada vonis pidana. Tanya saja pada Tukijo yang mengalami sendiri bagaimana pasal pencemaran justru mengancam kehidupan demokrasi di Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia.
Saya bertemu Tukijo di Yogyakarta pada November tahun lalu. Tukijo adalah seorang petani di Kulon Progo yang tidak pernah mengira bahwa ia dituntut melakukan pencemaranpada Mei 2009. Merasa khawatir lahan pertaniannya akan digusur untuk sebuah proyek pertambangan, Tukijo mempertanyakan hasil pendataan tanah kepada kepala dusun. Perdebatan sengit pun terjadi.
Hasilnya, pada awal tahun ini, Tukijo diadili, dinyatakan bersalah atas pencemaran, dan divonis dengan masa percobaan selama enam bulan dan juga tiga bulan penjara. Ketika kami bertemu bulan November lalu, Tukijo bercerita, "Menurut saya pemerintah ini sudah rusak. Mengapa orang yang mempertanyakan malah dicurigai seperti ini? ... Suatu malam, istri dan anak-anak saya menangis sambil bertanya, ‘Bagaimana kalau Bapak dipenjara dan kami tidak bisa bertemu Bapak lagi?"
Tukijo adalah salah satu dari sejumlah orang yang didakwa maupun diperiksa berdasarkan pasal pencemaran. Para wartawan dan aktivis anti-korupsi sering menjadi sasaran karena sifat pekerjaan mereka.
Pada tanggal 21 Mei tahun ini tepat dua belas tahun sejak Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya. Kejadian itu merupakan suatu kejadian penting bagi dimulainya proses transformasi negara menuju demokrasi. Pertumbuhan lembaga-lembaga demokratis, khususnya pers bebas, yang berkembang pesat dalam waktu singkat memang luar biasa. Sehingga sangat aneh bagi Indonesia yang modern untuk memelihara pasal-pasal yang membelenggu kebebasan berekspresi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Pemerintah kolonial Belanda menciptakan pasal-pasal tersebut untuk membungkam upaya perlawanan terhadap kekuasaannya. Tetapi undang-undang ini terus digunakan sampai sekarang. Bahkan pada 2008, melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), pemerintah memperberat hukuman pidana bagi pencemaran yang dilakukan di internet. UU ITE bahkan mengijinkan penahanan praperadilan terhadap warga negara yang dianggap memfitnah ketika mengungkapkan pendapatnya di internet.
Undang-undang pencemaran di Indonesia melanggar konvensi internasional mengenai hak kebebasan berekspresi yang telah diratifikasi Indonesia. Satu masalah mendasar dari pasal-pasal ini adalah terbukanya peluang untuk manipulasi. Kepolisian sangat agresif menindaklanjuti laporan pencemaran yang diajukan politisi maupun tokoh yang berpengaruh.
Tengok saja kasus aktivis anti-korupsi Emerson Yuntho dan Illian Deta Arta Sari. Pada Januari 2009, Kejaksaan Agung menuntut kedua aktivis ini. Tapi baru sepuluh bulan kemudian polisi menindaklanjuti laporan tersebut ketika organisasi mereka mulai bersuara mengenai korupsi di kepolisian.
Dalam beberapa kasus yang didokumentasikan Human Rights Watch, kepolisian memakai taktik intimidasi ketika menyidik laporan pencemaran. Sering kali kepolisian tidak sungguh-sungguh menyelidiki pencetus laporan tersebut, misalnya masalah korupsi. Daripada menyelidiki pihak-pihak yang diduga berkorupsi, polisi malah memprioritaskan tuduhan pencemaran terhadap orang-orang yang mengungkap korupsi itu.
Bagi mereka yang dituduh mencemarkan nama baik, proses penyidikan dan pengadilan dapat menimbulkan dampak yang merusak. Proses hukum tersebut dapat mengakibatkan seorang wartawan kehilangan pekerjaannya dan hancurnya reputasi suatu organisasi. Ancaman kurungan menyebabkan tekanan psikologis bagi keluarga. Proses pengadilan yang berlarut-larut membuat pusing pemilik usaha. Ketakutan akan dicap kriminal menciptakan kebiasaan menyensor diri yang membuat wartawan berpikir dua kali sebelum menulis artikel yg mengkritis tokoh politik yang berpengaruh. Risang Bima Wijaya, wartawan yang divonis bersalah dalam perkara pencemaran atas artikel yang ditulisnya, mengatakan kepada Human Rights Watch, "Ini menjalar kepada wartawan lain ketika mereka tahu" tentang hukumannya.
Siapa saja tentu memiliki hak untuk melindungi reputasinya. Tapi hal tersebut dapat dilakukan melalui gugatan pencemaran perdata. Tak ada seorang pun yang harus masuk penjara semata-mata karena mengungkapkan pendapatnya secara damai.
Daripada mengejar dakwaan pidana terhadap orang-orang seperti Tukijo, Illian Deta Arta Sari dan Emerson Yuntho, para pejabat publik seharusnya bukan hanya tidak lagi mengajukan gugatan, tapi juga harus memahami bahwa menghadapi kritik yang dilakukan secara damai merupakan bagian penting dari kehidupan demokrasi.
Jika nanti Presiden Obama datang berkunjung ke Indonesia, ia akan mendapat kesan bahwa Indonesia telah melakukan upaya yang luar biasa untuk mewujudkan demokrasi dalam sepuluh tahun terakhir. Namun Presiden Obama juga tidak dapat menghiraukan keberadaan berbagai masalah yang selalu mengancam demokrasi di Indonesia.
Presiden Obama seharusnya dapat mendorong pemerintah Indonesia untuk mencabut undang-undang pencemaran dan menggantinya dengan hukum perdata, yang tetap menjaga keseimbangan bagi hak dasar kebebasan berbicara. Kegagalan dalam proses ini tidak hanya akan memperkuatkan penguasa tetapi juga menciptakan ketakutan bagi mereka yang cukup berani menyuarakan hak-haknya. Jika Indonesia memiliki komitmen yang sama dengan Amerika dalam mewujudkan masyarakat yang demokratis, maka Indonesia seharusnya bersedia menyelesaikan masalah yang penting ini.
Lagi pula, bagaimana nasib Indonesia sekarang jika mereka yang mengkritik Soeharto berhasil dibungkam terus?
*Elaine Pearson, direktur sementara Human Rights Watch untuk divisi Asia