Skip to main content

Kasus Munir: Fokuskan lagi pada Upaya Pembunuhan

Tuduhan pencemaran nama baik merupakan pendekatan keliru dari kasus Munir

(New York) – Kepolisan Indonesia harus mengerahkan upaya lebih kuat guna menemukan mereka yang bertanggung-jawab atas pembunuhan advokat HAM terkemuka pada 2004, alih-alih mengejar tuduhan pidana pencemaran nama baik terhadap kolega Munir, menurut Human Rights Watch hari ini. Munir bin Thalib, advokat terkenal, diracun pada 7 September 2004 dalam penerbangan pesawat Garuda dari Jakarta menuju Amsterdam. Purnawiraman Mayjen Muchdi Purwopranjono, pejabat intelijen senior, dibebaskan dari tuduhan pembunuhan pada 31 Desember 2008.

Mereka yang mengatur pembunuhan Munir tetap bebas. Namun laporan pengaduan dari Muchdi justru mendorong kepolisian Jakarta mengusut pencemaran nama baik terhadap Usman Hamid, koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), atas pernyataan Usman sesudah pembebasan Muchdi. Polisi menginterogasi Usman pada 9 September 2009.

“Lima tahun berlalu, otak di balik pembunuhan Munir masih bebas, sementara aktivis rekan Munir terus menghadapi intimidasi,” kata Elaine Pearson, wakil direktur Asia Human Rights Watch. “Polisi harus fokus pada pengumpulan bukti yang lebih kuat guna membawa merekayang merencanakan kematian Munir dibawa ke pengadilan.”

Muchdi, mantan direktur Badan Intelijen Negara dan mantan kepala Kopassus, pasukan elit tempur militer Indonesia, melaporkan Usman telah berteriak kepada dirinya sebagai“pembunuh, pembunuh” saat sidang kasus pembunuhan terencana itu.

Setelah putusan bebas Muchdi, sekira seribu orang yang hadir di sidang berteriak dan bertepuk tangan. Usman berpidato di luar pengadilan, mengkritik putusan. Menurut laporan media, Usman berkata,”Siapa pembunuh Munir? Muchdi.”

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa menemukan pembunuh Munirmerupakan “ujian bagi sejarah kita”. Usman salah satu anggota tim pencari fakta independen yang dibentuk Yudhoyono pada Desember 2004 untuk melakukan investigasi pembunuhan itu. Pada Mei 2005, Yudhoyono memerintahkan tiga kementerian untuk menyelidiki beberapatersangka di maskapai penerbangan Garuda Indonesia dan Badan Intelijen Negara.

Dua orang dihukum atas pembunuhan – Pollycarpus Budihari Priyanto, seorang pilot Garuda, divonis 20 tahun penjara, serta Indra Setiawan, pejabat eksekutif Garuda, divonis setahunpenjara. Tapi mereka hanya tokoh kecil dari pembunuhan terencana ini. Tim pencari faktamemeriksa catatan panggilan telepon Pollycarpus dan melacak beberapa nomor yang dihubunginya, salah satunya kontak rahasia ke badan intelijen yang dipimpin purnawirawan Mayor jenderal Muchdi Purwoprajoyo, wakil direktur BIN. Laporan menunjukkan terdapat 41 panggilan dari saluran Muchdi, sebelum dan setelah kematian Munir, dan ada beberapa panggilan antara nomor ponsel Pollycarpus dengan Muchdi.

Berdasarkan bukti dari tim pencari fakta dan memperkuat kembali penyelidikan polisi, Muchdiakhirnya dibawa ke pengadilan pada Agustus 2008 di pengadilan negeri Jakarta Selatan, tapikemudian dibebaskan. Human Rights Watch berpendapat bukti untuk melawan Muchdi sudah kuat. Namun upaya penuntutan dihambat oleh penarikan kembali keterangan oleh saksi secara sistematis dan tekanan dari sejumlah kelompok di ruang sidang. Saksi-saksi mencabut pernyataan yang pernah mereka buat kepada polisi, mengklaim lupa fakta-fakta dasar, atau saksi gagal dihadirkan dalam persidangan. Sebagian besar saksi adalah mantan dan pejabat intelijen selain sejumlah purnawirawan militer.

Beberapa saksi menyangkal pernyataan mereka sendiri kepada penyidik, mengklaim lupa atau tidak ingat mengenai jawaban yang pernah mereka ungkapkan sebelumnya. Namun, di ruang sidang, penyidik membantah klaim beberapa saksi yang menyatakan sakit, di bawah tekanan psikologi, tidak dapat melihat tanpa kacamata, atau mencabut pernyataan yang telah dibuat sebelumnya dalam BAP.

Human Rights Watch menyerukan penyelidikan independen terhadap saksi-saksi yang disuap dan memperkuat upaya perlindungan saksi.

“Ada bukti kuat bahwa saksi-saksi dalam persidangan Muchdi mengubah ceritanya atau lebih baik diam karena mereka terlalu takut untuk berbicara di ruang sidang,” kata Pearson. “Polisi tak lagi beralasan untuk tidak melanjutkan pekerjaan dalam kasus ini.”

Pada 15 Juni 2009, Mahkamah Agung Indonesia menolak upaya banding dari jaksa penuntut umum terhadap putusan bebas Muchdi. Kolega Munir di Kontras dan Imparsial, organisasihak asasi manusia, terus berbagi informasi mengenai kasus ini dengan Kejaksaan Agung.

Usman sebelumnya dituduh mencemarkan nama baik oleh perwira militer senior terkait keterangan dalam pembunuhan Munir. Pada Mei 2005, setelah tim pencari fakta mengajukan panggilan kepada purnawirawan Letjen Hendropriyono, kepala Badan Intelijen Negara saat Munir dibunuh, dia menuduh tim bertindak “arogan” dan melakulan “pembunuhan karakter.” Hendropriyono kemudian melaporkan pencemaran nama baik terhadap dua anggota tim pencari fakta, Usman Hamid dari KontraS dan Rachland Nashidik dari Imparsial.

Kasus ini akhirnya dihentikan setelah Hendropriyono berhasil menghindari pertemuan dengantim pencari fakta.

Human Rights Watch kembali mendesak pencabutan pasal-pasal pidana pencemaran nama baik yang melanggar kebebasan berekspresi yang diakui secara internasional.

“Pasal-pasal pidana pencemaran nama baik memiliki efek mengerikan pada kebebasan berbicara dan sering digunakan untuk membungkam lawan politik di Indonesia,” kata Pearson.“Sangat sedih untuk mengatakan bahwa periode suram belum berlalu, tapi ini menunjukkan perlunya pemerintah mencabut pasal-pasal itu guna melindungi hak kebebasan berekspresi.”

  

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country