Skip to main content
Warga mencoba menarik uang dari sebuah bank di Kabul, Afganistan, di mana kehilangan pendapatan dan kelangkaan uang tunai memperburuk situasi kerentanan pangan, 21 September 2021. © 2021 Haroon Sabawoon/Anadolu Agency via Getty Images

(New York) – Negara-negara donor, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan lembaga keuangan internasional seharusnya segera mengatasi runtuhnya perekonomian serta hancurnya sistem perbankan di Afganistan guna mencegah kelaparan yang meluas, kata Human Rights Watch hari ini.

Program Pangan Dunia (WFP) PBB telah menerbitkan sejumlah peringatan tentang memburuknya kerentanan pangan dan risiko kematian berskala besar akibat kelaparan di seluruh Afganistan dalam beberapa bulan mendatang. Laporan media menyebutkan bahwa para keluarga yang kekurangan uang dan makanan mulai menjual harta benda mereka dan berusaha melarikan diri dari Afganistan melalui jalur darat. Warga miskin yang menghadapi ancaman kekurangan gizi telah mengutarakan berbagai upaya putus asa untuk membeli atau mencari makanan, dan bahwa banyak dari mereka yang tidak dapat pergi akhirnya meninggal dunia.

“Perekonomian dan layanan sosial Afganistan sedang runtuh, dan warga Afganistan di seluruh penjuru negeri sudah menderita kekurangan gizi akut,” tutur John Sifton, direktur advokasi Asia di Human Rights Watch. “Bantuan kemanusiaan sangatlah penting, tetapi mengingat krisis yang sedang terjadi, pemerintah, PBB, dan lembaga keuangan internasional perlu segera menyesuaikan pembatasan dan sanksi yang berlaku saat ini, yang berpengaruh terhadap perekonomian dan sektor perbankan di negara itu.”

Menyusul pengambilalihan Afganistan oleh Taliban pada Agustus 2021, jutaan dolar pendapatan yang hilang, lonjakan harga, krisis likuiditas, dan kekurangan uang tunai telah membuat sebagian besar penduduk kehilangan akses makanan, air, tempat tinggal, dan perawatan kesehatan, kata Human Rights Watch.

Seorang perempuan yang tinggal di wilayah tengah Afganistan mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa tidak banyak orang di sekitarnya yang punya uang atau makanan:  “Para guru belum digaji selama tiga bulan terakhir.… Orang-orang benar-benar sudah putus asa. Ketika sudah tidak ada makanan yang bisa dihidangkan di piring Anda, tentunya sudah tidak ada lagi yang bisa Anda pikirkan. Tidak ada yang punya uang untuk membeli bahan bakar, menghangatkan rumah saat salju turun, atau bahkan untuk membeli makanan.”

Krisis keuangan terutama berdampak pada perempuan dan anak perempuan, yang menghadapi hambatan jauh lebih besar untuk memperoleh makanan, perawatan kesehatan, dan mengakses sumber daya keuangan. Kebijakan Taliban yang melarang perempuan bekerja di hampir semua pekerjaan bergaji telah menghantam banyak rumah tangga di mana perempuan jadi pencari nafkah utama. Bahkan di sektor-sektor di mana perempuan masih diperbolehkan bekerja—seperti pendidikan dan kesehatan—ada kemungkinan mereka tidak dapat memenuhi peraturan dari Taliban yang mensyaratkan ada anggota keluarga laki-laki untuk mengantar perempuan ke dan dari tempat kerja. Semakin banyak pemberitaan media yang melaporkan  para keluarga yang menjual anak-anak mereka—hampir selalu anak perempuan—tampaknya untuk dinikahkan, demi mendapatkan makanan atau membayar hutang.

Situasi ekonomi Afganistan yang mengerikan ini kemudian diperburuk oleh keputusan pemerintah sejumlah negara dan berbagai lembaga perbankan internasional untuk tidak berhubungan langsung dengan Bank Sentral Afghanistan dikarenakan sanksi PBB dan sanksi bilateral baik oleh AS maupun negara-negara lain. Kondisi ini meningkatkan masalah likuiditas di semua bank, dan memicu kelangkaan dolar AS dan afgani, mata uang Afganistan.

Kepada Human Rights Watch sejumlah pejabat perbankan dan staf lembaga kemanusiaan mengatakan bahwa sebagian besar bank di Afganistan tidak dapat memenuhi permintaan penarikan oleh pihak swasta dan organisasi kemanusiaan. Bahkan ketika dana ditransfer secara elektronik ke bank, kelangkaan uang tunai berarti uang tidak tersedia secara fisik, dan oleh karena itu tidak dapat mengalir ke perekonomian di negara itu.

Kebijakan sanksi AS terhadap Taliban tampaknya tidak sesuai dengan sejumlah kebijakan baru yang diumumkan Departemen Keuangan AS pada 18 Oktober lalu, kata Human Rights Watch. Sejumlah kebijakan tersebut menyatakan bahwa Departemen Keuangan AS “seharusnya berusaha menyesuaikan sanksi untuk mengurangi dampak ekonomi dan politik yang tidak diinginkan” sambil mengadopsi “kerangka kebijakan terstruktur yang menghubungkan sanksi dengan tujuan kebijakan yang jelas.” Kebijakan AS saat ini tidak mengurangi dampak yang tidak diinginkan, juga tidak mewujudkan tujuan kebijakan yang jelas.

Untuk mengatasi krisis kemanusiaan di Afganistan, Human Rights Watch merekomendasikan agar:

  • Pemerintah sejumlah negara , PBB, Bank Dunia, dan Taliban berupaya mencapai kesepakatan untuk memberikan akses Bank Sentral Afghanistan ke sistem perbankan internasional. Sebagai langkah awal, Departemen Keuangan AS dan berbagai otoritas keuangan lainnya seyogianya mengeluarkan izin dan pedoman untuk memungkinkan Bank Sentral terlibat dalam transaksi penyelesaian terbatas dengan bank-bank swasta luar sehingga bank dapat membayar iurannya kepada Bank Dunia dan memproses atau menyelesaikan setoran dolar yang masuk dari penyetor swasta yang sah, seperti Badan Dana Anak-Anak PBB (UNICEF), Program Pembangunan PBB (UNDP), bank remiten, dan pihak-pihak sah lainnya.  
  • Jika kesepakatan yang melibatkan Bank Sentral tidak memungkinkan, pemerintah sejumlah negara, PBB, dan Bank Dunia perlu merundingkan kesepakatan jangka pendek dengan Taliban untuk menunjuk bank swasta atau badan lain, yang independen dari Bank Sentral, untuk memproses transaksi kemanusiaan berskala besar yang dipantau oleh pejabat Bank Dunia, PBB, atau badan audit pihak ketiga yang ditunjuk. Selanjutnya, Departemen Keuangan AS dan sejumlah otoritas lainnya perlu mengeluarkan pedoman untuk mengizinkan bank atau badan swasta yang ditunjuk untuk menggunakan setoran dolar elektronik yang masuk dari lembaga kemanusiaan untuk membeli dolar AS kertas di luar negeri dan mengangkutnya untuk disimpan di bank swasta di Kabul, di bawah pengawasan internasional. Bank remiten seharusnya diberikan izin serupa agar memungkinkan pengaturan dengan bank swasta guna memfasilitasi transaksi dolar AS yang sah dan, jika perlu, pengiriman fisik, dengan dipantau oleh auditor independen.
  • Jika kesepakatan tidak dapat dicapai, PBB seharusnya tetap menggunakan cara apa pun yang tersedia untuk melanjutkan pengiriman uang ke Afganistan demi tujuan kemanusiaan. Taliban harus bekerja sama dalam mengizinkan pengiriman ini, mengizinkan penyetoran ke bank swasta independen, dan mengizinkan PBB untuk menggunakan dana secara independen dan tanpa campur tangan pihak lain.
  • AS, bersama dengan pemerintah lainnya, sebaiknya segera melakukan tinjauan atas kebijakan sanksi, menyesuaikan tindakan yang diberlakukan saat ini, dan mengeluarkan izin dan panduan baru untuk memfasilitasi likuiditas dan ketersediaan uang tunai untuk mengatasi krisis kemanusiaan.
  • Negara-negara anggota Dewan Keamanan PBB perlu segera mengambil sejumlah langkah guna memastikan agar transaksi keuangan yang sah terkait dengan kegiatan kemanusiaan dan penyediaan barang dan jasa penting lainnya dikecualikan dari ruang lingkup sanksi PBB.
  • Negara-negara anggota Dewan Keamanan PBB juga perlu mencapai kesepakatan dalam mengeluarkan pedoman baru atau “Pemberitahuan Bantuan Implementasi,” serta mengambil langkah-langkah lain untuk memastikan agar sanksi PBB tidak menimbulkan hambatan terhadap berbagai transaksi keuangan yang sah terkait dengan upaya kemanusiaan dan kerja-kerja penting lainnya oleh aktor internasional dan Afganistan.

“Kemurahan hati donor dan janji kemanusiaan tidak dapat mengatasi situasi saat ini, di mana badan-badan PBB, organisasi kemanusiaan, dan komunitas diaspora Afganistan tidak dapat mengirim aset ke sistem perbankan yang tidak berfungsi, dan para pemegang rekening bank di Afganistan tidak dapat menarik uang tunai yang tidak tersedia di sana,” kata Sifton. “Kematian dan kelaparan yang kian meluas dapat dicegah jika pemerintah berbagai negara segera bertindak untuk mengatasi krisis ekonomi di Afganistan.”

Untuk informasi tambahan tentang situasi keuangan dan cerita dari para warga Afganistan tentang situasi tersebut, silakan lihat di bawah.

Cerita Warga Afganistan tentang Krisis Kemanusiaan

Warga Afganistan di sejumlah provinsi melaporkan bahwa upah mereka hampir lenyap di sebagian besar sektor, terutama di daerah perkotaan, sementara harga pangan melonjak pesat. Warga juga bercerita bahwa keluarga mereka terpaksa menjual harta benda atau bahkan anak-anak mereka demi membayar penyelundup untuk melarikan diri dari negara itu.

Farid, nama samaran, mengatakan dia baru-baru ini melarikan diri ke Iran, tetapi pihak berwenang Iran menahan dan kemudian mendeportasinya. Dia melihat ratusan keluarga, umumnya dengan anak kecil, berusaha meninggalkan negara itu dengan uang, makanan, dan pakaian yang tidak mencukupi. Pria itu mengaku sekarang tidak memiliki sarana untuk menghidupi keluarganya, atau sekadar untuk membeli makanan:

“Kami tidak punya cukup makanan… kami hanya makan sekali sehari. Tak lama lagi musim dingin bakal tiba, situasinya bahkan bisa jadi lebih buruk dari ini. Pemerintah Afganistan [Taliban] tidak memiliki rencana yang jelas untuk mengatasi masalah kelaparan, dan saya ragu apakah komunitas internasional memilikinya. Yang saya lihat dengan jelas adalah bahwa sebagian besar orang Afganistan akan segera mati hanya karena mereka tidak memiliki makanan, dan seperti biasa, tidak ada yang akan peduli.”

Dia mengatakan bahwa para penyelundup mengambil keuntungan dari situasi ini dengan mengenakan biaya US$500 hingga US$700 untuk menyelundupkan orang ke Iran. “Saya juga melihat mayat orang-orang yang meninggal di gurun pasir saat menuju perbatasan,” katanya. “Saya harus menjual semua yang saya miliki untuk membayar para penyelundup.”

Sharzad, bukan nama sebenarnya, adalah seorang perempuan di Afghanistan tenggara. Dia mengatakan bahwa situasi kemanusiaan di sana “lebih buruk daripada apa yang diberitakan di media.” Dia menuturkan: “Toko-toko tutup; anak-anak perempuan tidak sekolah. Bank hanya membayar sejumlah uang tertentu, dan kita harus menunggu dalam antrean panjang untuk mendapatkannya … Situasinya sangat buruk. Orang-orang sangat miskin.”

Dia juga menceritakan sebuah “adegan mengerikan” yang dialaminya sendiri di sebuah pasar: “Anak-anak kecil memohon-mohon kepada setiap pelanggan di depan toko roti untuk membelikan mereka sepotong roti, tetapi tidak ada yang mampu membelikan bahkan sepotong roti lagi untuk anak-anak itu.”

Dia mengatakan bahwa harga terus meningkat setiap harinya, dan dia memperkirakan bahwa banyak orang yang akan mati pada musim dingin ini:

“Musim dingin sangat dingin, dan orang-orang tidak bisa menghangatkan rumah mereka. Tidak ada yang bekerja, terutama perempuan, dan bahkan mereka yang dulu bekerja pun belum dibayar. Seorang tetangga memberi tahu saya kemarin bahwa dia tidak punya apa-apa di rumah untuk memberi makan anak-anaknya. Setiap malam, dia mengenakan burqa, lantas membawa ketujuh anaknya, dan mereka pergi dari rumah ke rumah untuk melihat apakah ada orang yang mau berbagi makan malam dengan mereka. Mereka hanya makan sekali sehari jika ada yang memberi mereka makanan. Satu keluarga menawarkan untuk membeli putrinya yang berusia satu tahun seharga US$600, tetapi dia menolak permintaan itu, karena dia ingin mempertahankan putrinya.”

“Ini adalah mimpi buruk paling mengerikan yang pernah dibayangkan siapa pun di bumi ini,” katanya.

Sitara, nama samaran, bercerita tentang orang-orang yang mencari sisa-sisa tanaman di ladang pertanian yang sudah dipanen:

“Salah satu peristiwa terburuk yang pernah saya saksikan dalam hidup saya adalah melihat seorang lelaki tua dengan anak-anak mencari di ladang kentang berharap menemukan sisa-sisa kentang, untuk dapat mereka makan sendiri pada malam itu, meskipun ladang itu telah dipanen dua bulan lalu. Jika Taliban dan komunitas internasional tidak memperhatikan dan tidak membantu orang, semua orang akan mati.”

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Krisis Ekonomi di Afganistan

Berbagai faktor menyebabkan atau memperburuk krisis di Afganistan saat ini, termasuk pemotongan bantuan asing yang membayar gaji jutaan pegawai negeri dan swasta, penarikan dana massal dari bank swasta, dan perekonomian yang runtuh. Faktor-faktor ini juga termasuk hubungan masa lalu Taliban dengan Al-Qaeda, periode pemerintahan sebelumnya yang membawa bencana, kegagalan untuk menjaga komitmen publik, dan catatan hak asasi manusia yang mengerikan—khususnya sehubungan dengan perempuan dan anak perempuan dan minoritas agama. Faktor-faktor inilah yang turut mengakibatkan pemerintah dan lembaga keuangan internasional tidak mau mengakui pemerintahan Taliban atau mengizinkan lembaga-lembaga yang sekarang dikendalikan Taliban untuk beroperasi sebagai badan resmi pemerintah dalam sistem keuangan internasional.

Departemen Keuangan AS telah menegaskan kembali bahwa sanksi yang saat ini dijatuhkan AS pada Taliban dan para pemimpin Taliban tertentu—sehubungan dengan resolusi Dewan Keamanan PBB sebelumnya tentang keterkaitan Taliban dengan terorisme—masih berlaku hingga saat ini. Badan-badan PBB dan negara-negara anggota tetap terikat oleh sanksi Dewan Keamanan PBB.

Amerika Serikat, aktor kunci dalam sistem keuangan internasional, telah memblokir Bank Sentral Afganistan untuk mendapatkan kredensial yang diperlukan untuk terlibat dalam transaksi menggunakan sistem perbankan AS dan internasional. Departemen Keuangan AS mencegah Bank Sentral Afganistan untuk mengakses cadangan mata uang asing, bahkan sebagai jaminan untuk menyediakan likuiditas jangka pendek guna menyelesaikan transaksi dolar atau untuk membayar iuran kepada Bank Dunia. Di Bank Dunia, pemerintah AS memimpin sebuah proses untuk mencegah Bank Sentral mengakses aset, hibah, atau bantuan Bank Dunia, yang, bagaimanapun juga, tidak akan dapat ditransfer karena kurangnya akses bank ke sistem perbankan internasional.

Dengan tidak adanya tindakan atau pedoman baru dari komite sanksi Dewan Keamanan yang relevan, yang akan membutuhkan persetujuan dari semua anggota dewan lainnya, masih belum jelas apakah sanksi PBB berlaku untuk Bank Sentral atau untuk transaksi yang melibatkan kantor pemerintah atau kementerian yang dikendalikan oleh orang-orang yang terkena sanksi. Sejumlah badan PBB dan mitra pelaksana tetap tidak yakin tentang transaksi apa yang masih dapat mereka lakukan dengan sejumlah badan pemerintah. Izin dan pedoman dari Departemen Keuangan AS yang baru-baru ini dikeluarkan untuk memungkinkan transaksi yang melibatkan kegiatan kemanusiaan tidak membahas banyak transaksi sah lainnya, atau status Bank Sentral atau kredensialnya, dan tidak membahas masalah likuiditas atau kekurangan uang tunai yang menjadi akar permasalahan.

Bank Sentral Afganistan telah memberlakukan batasan penarikan mata uang lokal oleh pemegang rekening dan pelaku swasta, serta melarang banyak jenis transaksi elektronik dalam dolar AS. Bank-bank swasta kekurangan mata uang lokal yang memadai untuk menutupi penarikan, hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak ada uang dolar berbentuk tunai, dan tampaknya tidak memberikan kredit. Bank-bank swasta juga menghadapi kesulitan menyelesaikan transaksi dolar yang masuk melalui rekening koresponden di bank swasta di luar negeri, kemungkinan besar karena kekhawatiran dari pihak bank asing bahwa mereka mungkin melanggar sanksi.

Ketidakmampuan Bank Sentral untuk melakukan transaksi dalam dolar AS atau memperoleh dolar AS dalam mata uang kertas merupakan faktor utama dalam krisis ekonomi Afganistan. Transaksi dolar, baik kertas maupun elektronik, merupakan bagian tak terpisahkan dari perekonomian Afghanistan. Selama tiga puluh tahun terakhir, sebagian besar produk domestik bruto negara itu telah memasuki perekonomian dalam dolar—misalnya, melalui uang donor, pengiriman uang remittance, dan pendapatan dari ekspor.

Pada saat yang sama, kekurangan mata uang lokal juga tetap akut dan dapat diperkirakan memburuk seiring waktu dengan inflasi, pembusukan fisik uang kertas, meningkatnya utang pribadi, dan meningkatnya kesenjangan ekonomi. Perusahaan yang mencetak mata uang Afganistan di Eropa, karena khawatir tentang kredensial Bank Sentral dan masalah sanksi, terpaksa tidak dapat mengirimkan uang cetak baru ke Kabul. Sementara itu, otoritas Taliban tidak memiliki kapasitas untuk mencetak uang.

Bahkan ketika transaksi elektronik yang sah dimungkinkan, sejumlah bank Afganistan dan berbagai lembaga keuangan asing dengan agen lokal di negara itu, termasuk layanan dan bank-bank remittance yang punya peran penting, tidak memiliki cukup afgani untuk menutupi penarikan, tidak dapat menyediakan dolar, dan tidak dapat memperoleh mata uang dari Bank Sentral dalam jumlah yang cukup besar. Banyak pemegang rekening yang sah akhirnya tidak dapat mengakses saldo atau uang yang dikirimkan kepada mereka.

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country