(New York, 13 November 2012) – Perdana Menteri Hun Sen, yang memimpin pemerintahan Kamboja secara sewenang-wenang dan kejam, telah mengakibatkan pembunuhan tak terhitung dan pelanggaran serius lain, semuanya tanpa diproses hukum, demikian laporan terbaru Human Rights Watch hari ini. Presiden Barack Obama harus memanfaatkan perjalanannya ke Kamboja November ini --kali pertama presiden AS berkunjung ke negara itu—untuk menyuarakan tuntutan reformasi sistematis dan mengakhiri impunitas kejahatan para pejabat Kamboja.
Laporan berjudul “’Tell Them That I Want to Kill Them’: Two Decades of Impunity in Hun Sen’s Cambodia,” mendokumentasikan kasus-kasus pembunuhan para aktivis, jurnalis, politisi oposisi, dan individu lain oleh aparat keamanan Kamboja sejak Perjanjian Paris 1991, yang ditandatangani 18 negara, termasuk lima anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa maupun Indonesia. Perjanjian Paris dan misi penjaga perdamaian PBB seyogyanya mengantarkan era baru demokrasi, hak asasi manusia, dan akuntabilitas di Kamboja. Namun, lebih dari 300 orang dibunuh, dengan motivasi politik sejak 1991 dan tiada satu pun kasus yang menghasilkan penyidikan dan tuntutan kredibel, menurut Human Rights Watch.
Keterlibatan pejabat senior pemerintahan Kamboja dan aparat militer, polisi, militer polisi (gendarmerie), dan intelijen dalam pelanggaran serius sejak Perjanjian Paris berulangkali didokumentasikan PBB, Departemen Luar Negeri AS, organisasi hak asasi manusia domestik dan internasional, serta media. Human Rights Watch menyebutkan sebagian besar aparat yang terlibat dan kini memangku posisi penting.
“Alih-alih menghukum para pejabat yang bertanggungjawab atas pembunuhan dan pelanggaran kejam lain, Perdana Menteri Hun Sen mempromosikan dan memberi penghargaan pada mereka,” kata Brad Adams, direktur Asia pada Human Rights Watch dan salah satu penulis laporan ini. “Pesan kepada rakyat Kamboja: Para pembunuh bisa kebal hukum jika mereka memiliki perlindungan dari tokoh politik dan militer. Pemerintah donor, bukannya menuntut pertanggungjawaban, justru menerapkan pendekatan bisnis semata.”
Laporan terbaru ini dibuat berdasarkan ratusan wawancara selama bertahun-tahun dengan para pejabat pemerintah, yang aktif maupun pensiun, tentara angkatan darat, polisi, hakim, anggota parlemen, dan insitusi lain, serta mewakili partai politik, serikat buruh, media, dan organisasi hak asasi manusia. Ia juga berdasarkan informasi dari dokumen-dokumen PBB, laporan perwakilan dan pelapor khusus PBB dan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia untuk negara Kamboja, juga laporan Human Rights Watch dan organisasi HAM lokal dan internasional, serta pemberitaan media.
Judul laporan mengutip ucapan Hing Bun Heang, yang kemudian menjabat wakil kepala pasukan pengawal Hun Sen, saat menanggapi pertanyaan wartawan tentang dugaan perannya dalam pembunuhan sedikitnya 16 orang pada serangan granat terencana terhadap pemimpin oposisi Sam Rainsy pada Maret 1997. Hing Bun Heang menjawab, “Sampaikan pada Mereka bahwa Saya Hendak Bunuh Mereka.” PBB dan Biro Penyelidikan Federal AS menemukan keterlibatan pasukan pengawal Hun Sen dalam serangan itu dan mengindentifikasi Hing Bun Heang sebagai kepala operasi pembunuhan tersebut. Kini Hing Bun Heang berpangkat letnan jenderal dan wakil panglima Angkatan Bersenjata Kerajaan Kamboja.
Seringkali para pelaku beragam pembunuhan tak cuma dikenal, tapi dipromosikan, menurut Human Rights Watch. Ini termasuk kasus anggota pasukan tembak mati “A-Team” yang brutal selama misi penjaga perdamaian PBB 1992-93 dan pejabat keamanan yang menggalang kampanye pembunuhan terhadap anggota oposisi setelah kudeta Hun Sen pada 1997. Pembunuhan terbaru, termasuk pemimpin buruh Chea Vichea, politikus oposisi Om Radsady, dan aktivis lingkungan Chut Wutty, masih belum terbongkar. Bahkan dalam kasus-kasus tanpa motivasi politik yang jelas, kekejaman itu nyaris tak pernah membuahkan tuntutan pidana dan tiada hukuman penjara yang sepadan dengan tingkat kejahatan bila para pelakunya dari tentara dan polisi, atau punya backing politik.
Laporan Human Rights Watch memerinci sejumlah kasus pembunuhan dan kekejaman lain yang tak pernah benar-benar diselidiki dan dituntut oleh pihak berwenang:
· Pembunuhan lusinan politisi dan aktivis oposisi selama periode perdamaian PBB 1992-93;
· Pembunuhan Thun Bun, editor suratkabar oposisi, di jalanan Phnom Penh pada Mei 1996;
· Kampanye pembantaian hampir 100 pejabat kubu kerajaan setelah kudeta Hun Sen pada Juli 1997, termasuk Wakil Menteri Dalam Negeri Ho Sok di halaman tertutup Kementerian Dalam Negeri.
· Serangan air keras pada 1999 yang menimpa Tat Marina, usia 16 tahun, oleh istri Svay Sitha, seorang pejabat senior pemerintah;
· Pembunuhan bergaya eksekusi pada 2003 terhadap Om Radsady, anggota parlemen oposisi yang disegani, di sebuah restoran Phnom Penh yang penuh sesak;
· Pembunuhan pada 2004 terhadap Chea Vichea, pemimpin buruh populer;
· Pembunuhan pada 2004 terhadap jurnalis investigasi Khim Sambo dan anaknya saat mereka menuju sebuah taman publik; dan
· Pembunuhan pada 2012 terhadap aktivis lingkungan Chut Wutty di provinsi Koh Kong.
“Daftar pembunuhan politik selama lebih dari 20 tahun terakhir benar-benar dibekukan,” ujar Adams. “Meski ada hiruk-pikuk publik setelah pembunuhan itu, para pejabat tak melakukan apa-apa dan tiada konsekuensi bagi para pelaku atau pemerintah melindungi mereka.”
Guna mengatasi tabir impunitas di Kamboja, Human Rights Wtach mendesak pemerintah untuk:
· Membentuk layanan polisi profesional dan independen di mana kepemimpinannya ditetapkan komisi polisi independen, yang juga punya kekuasaan memeriksa polisi, menyelidiki pengaduan, dan mencopot personel polisi yang melanggar kode etik profesi;
· Membentuk layanan penuntunan dan pengadilan yang profesional dan independen. Para hakim dan jaksa harus ditunjuk oleh komisi pengadilan independen, yang juga punya kekuasaan menginvestigasi pengaduan dan mendisplinkan hakim dan jaksa yang melanggar kode etik profesi.
· Melarang pejabat polisi, hakim, dan jaksa senior memegang posisi resmi dan non-resmi kepemimpinan dalam partai politik; dan
· Menanggapi secara profesional dan imparsial atas beragam tuduhan pelanggaran hak asasi manusia yang dilaporkan para korban dan keluarga korban, organisasi hak asasi manusia dan kelompok masyarakat sipil lain, kantor HAM PBB dan badan-badan PBB, media, serta mereka yang punya kepedulian terhadap pemerintah.
“Rekomendasi untuk mencapai keadilan bagi para korban takkan dilaksanakan tanpa tekanan terus-menerus dan terkoordinasi dari pemerintah yang begitu kuat, bersama-sama dengan rakyat Kamboja yang telah berani mendokumentasikan beragam kekejaman,” kata Adams. “Sudah banyak pemerintah yang bicara soal ‘budaya impunitas’ di Kamboja, tapi mereka juga harus mengatasi ketidakpeduliannya.”
Selama dua dekade terakhir, Kamboja kehilangan banyak kesempatan guna berbuat benar, menurut Human Rights Watch. Dari tahun ke tahun para donor mengusulkan—dan pemerintah Kamboja menyetujuinya—untuk melakukan reformasi, seperti langkah-langkah mempromosikan profesionalisme polisi serta menegakkan independensi jaksa dan hakim. Namun, sistem peradilan masih menjadi lembaga yang sangat dipolitisasi, di mana para pejabat tinggi diangkat dengan tendensi politik untuk setia buta pada Perdana Menteri Hun Sen dan Partai Rakyat Kamboja. Pemerintah luar negeri, PBB, dan lembaga donor membiarkan pelanggaran masa lalu dan para pelaku, serta belum melakukan tekanan secara berkelanjutan dan terkoordinasi pada para pejabat senior dan lembaga pemerintah yang bertanggungjawab atas pelanggaran HAM serius.
“Kurangnya akuntabilitas di Kamboja perlu dihadapi secara frontal, bukan malah diabaikan atau diremehkan sebagaimana dilakukan lebih 20 tahun oleh sebagian besar pemerintah luar negeri dan para donor,” ujar Adams. “Tanpa memori, keadilan mustahil. Pemerintah dan donor harus berhenti bicara dalam generalisasi tentang hak asasi dan mulai mengkonfrontasi pejabat senior pemerintah dan partai berkuasa tentang gagalnya keadilan.”
Meski pemerintah Amerika Serikat salah satu pengecam paling vokal atas catatan hak asasi manusia pemerintahan Kamboja dalam beberapa tahun terakhir, tapi tindakannya terhadap para pejabat yang terlibat pelanggaran serius seringkali melemahkan perkataan mereka. Pada Maret 2006, FBI menghadiahi medali kepada Hok Lundy, kepala kepolisian nasional Kamboja, atas dukungannya dalam kampanye global AS melawan terorisme. Hok Lundy, meninggal saat tabrakan helikopter pada 2008. Dia mungkin pelanggar HAM paling terkenal dan sosok paling ditakuti di Kamboja. Medali dari AS dipakai sebagai alat propaganda utama oleh pemerintah Kamboja selagi para aktivis HAM mempertanyakan keseriusan AS.
Pada September 2009, Menteri Pertahanan Robert Gates mengadakan pertemuan di Pentagon, Washington, dengan Menteri Pertahanan Kamboja Tea Banh, yang memimpin militer Kamboja selama dua dekade terakhir di mana terjadi kekejaman meluas dengan impunitas. Sekembalinya dari Amerika Serikat, Tea Banh disambut sebagai pahlawan oleh media milik partai berkuasa.
“Hun Sen telah berkuasa selama 27 tahun dan dia bilang ingin memerintah selama 30 tahun, namun para korban kekejaman tak bisa menunggu keadilan lebih lama lagi,” ujar Adams. “Pada kunjungan perdana bersejarah nanti ke Kamboja, Presiden Obama menempati posisi yang bisa mendesak Hun Sen melakukan reformasi sungguh-sungguh, sehingga rakyat Kamboja dapat menikmati hak dan kebebasan setara sebagaimana rakyat Amerika dapatkan.”