(Brussels, 27 Januari 2022) – Aturan hukum terkait anti-deforestasi buatan Uni Eropa yang terkenal itu seharusnya mewajibkan kalangan bisnis agar menghormati hak masyarakat tradisional atas wilayah mereka atau menghadapi risiko gagal memenuhi tujuannya. Hal tersebut disampaikan oleh tak kurang dari 180 organisasi masyarakat adat, lingkungan, dan hak asasi manusia di 62 negara hari ini, dalam sebuah surat terbuka yang ditujukan kepada para pembuat kebijakan Uni Eropa. Wilayah hunian berbagai komunitas ini menjadi rumah bagi banyak hutan yang terpelihara dengan baik di dunia tetapi menghadapi tekanan dari para petani kedelai, peternak, penebang kayu, dan industri lain yang produknya dijual di pasar Eropa.
Rancangan peraturan Uni Eropa tentang produk bebas deforestasi memuat usulan untuk membatasi impor komoditas pertanian utama – hewan ternak, cokelat, kopi, kelapa sawit, kedelai, dan kayu – yang tumbuh di atas lahan yang mengalami deforestasi setelah tahun 2020, tetapi tidak membatasi komoditas yang terkait dengan pelanggaran hak sebagaimana didefinisikan sesuai standar internasional. Secara global, pertanian industri adalah pendorong utama hilangnya hutan, dan perusakan lingkungan sering dikaitkan dengan pelanggaran hak terhadap masyarakat yang bergantung pada hutan. Banyak perusahaan berpengaruh yang mendorong deforestasi belum mengadopsi kebijakan untuk mencabutnya dari rantai pasokan mereka, sementara sejumlah perusahaan yang telah mengadopsinya hingga saat ini belum menerapkannya.
“Kelemahan penting dalam proposal Uni Eropa ini adalah tidak adanya paksaan bagi perusahaan untuk menegakkan standar internasional sehubungan dengan hak atas tanah kami,” kata Puyr Tembé, Koordinator Eksekutif di Pará State Federation of Indigenous Peoples (Federasi Masyarakat Adat Negara Bagian Pará, FEPIPA). “Dunia tahu bahwa kurangnya perlindungan terhadap hak-hak kami telah menjadi bencana bagi Amazon dan membuat para pemimpin masyarakat adat mengalami kekerasan dari peternak, penebang, dan para pendatang lain.”
Di antara penandatangan surat tersebut ada 22 organisasi masyarakat adat dari 33 negara, termasuk mitra dagang utama Uni Eropa seperti Brasil, Indonesia, Malaysia, dan Thailand, selaku produsen utama impor kedelai, minyak sawit, dan karet bagi Uni Eropa. Kelompok-kelompok tersebut mewakili ratusan ribu Masyarakat Adat.
“Di seluruh Indonesia, Masyarakat Adat berada di bawah tekanan besar dari sejumlah perusahaan yang ingin mengeksploitasi hutan kami, termasuk menanam tanaman yang ditujukan untuk konsumen Eropa,” kata Rukka Sombolinggi, selaku Sekretaris Jenderal dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Indonesia. “Tindakan Uni Eropa atas perannya dalam mendorong deforestasi global adalah penting, tetapi para pembuat kebijakan Uni Eropa seharusnya juga peduli untuk memastikan agar hal itu tidak memicu perpindahan Masyarakat Adat dari tanah mereka.”
Dalam beberapa bulan mendatang, Parlemen Eropa dan negara-negara anggota Uni Eropa akan mengamendemen sekaligus melakukan pemungutan suara atas ditetapkannya peraturan tentang produk bebas deforestasi. Organisasi tersebut mendorong negara-negara anggota Uni Eropa untuk memastikan agar peraturan tersebut mengharuskan perusahaan untuk menghormati hak milik dan tanah masyarakat. Sebagai bagian dari kewajiban ini, perusahaan juga seharusnya mengidentifikasi dan menangani risiko yang dapat ditimbulkan oleh kegiatan mereka atau pemasok mereka kepada para pembela hutan.
“Tanggung jawab Eropa karena merampas tanah milik Masyarakat Adat dan komunitas lokal telah berlangsung berabad-abad silam, dan sistem hukum pascakolonial tidak pernah sepenuhnya mengakui hak mereka atas tanah,” kata Julia Christian, juru kampanye hutan di organisasi hak dan hutan, Fern. “Uni Eropa harus memastikan peraturan yang diusulkan melindungi hak-hak itu dengan mengikuti standar internasional.”
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa Masyarakat Adat dan komunitas lokal adalah pelindung terbaik bagi alam. Masyarakat Adat mengelola setengah dari hutan besar dunia, yang menyimpan lebih banyak karbon dan memiliki tingkat deforestasi dan degradasi yang lebih rendah dibandingkan dengan kawasan lain. Namun di seluruh dunia, Masyarakat Adat dan komunitas lokal dengan hak tenurial adat dirampas atau diabaikan haknya guna menduduki tanah mereka, selain juga diserang, diancam dan dibunuh karena mempertahankan wilayah mereka, seringkali dari bermacam kegiatan bisnis.
“Uni Eropa akhirnya menerima bahwa hanya aturan hukum yang mengikat yang dapat mengubah rantai pasokan untuk membasmi deforestasi, tetapi itu melemahkan efektivitas peraturan yang diusulkan karena gagal mengakui pelindung hutan yang paling efektif,” kata Luciana Téllez, peneliti lingkungan di Human Rights Watch. “Untuk memastikan agar pasar Uni Eropa tidak lagi terkait dengan berbagai kegiatan yang merampas tanah Masyarakat Adat dari mereka, peraturan tersebut seyogianya mewajibkan kalangan bisnis untuk menegakkan hak-hak mereka sesuai dengan standar internasional.”