Langkah Awal yang Tersiksa

Kekerasan Polisi dan Awal Kekebalan Hukum di Timor-Leste

Langkah Awal yang Tersiksa

Kekerasan Polisi dan

Awal Kekebalan Hukum di Timor-Leste

 

Peta Timor-Leste

                                            

Daftar Kata

CivPol: Polisi Sipil PBB, kemudian disebut dengan UNPOL, Polisi Persatuan Bangsa-Bangsa

Falintil: Gerakan gerilya rakyat Timor-Leste yang berjuang melawan hukum teritorial Indonesia

Falintil-FDTL: Falintil-Forças de Defesa de Timor-Leste, Angkatan Bersenjata Timor-Leste yang terdiri dari mantan anggota Falintil

HRU: Unit Hak Asasi Manusia Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) 

JSMP: Judicial System Monitoring Programme (Program Pengawasan Sistem Hukum-organisasi non-pemerintah Timor-Leste yang mengkhususkan diri pada pengawasan pengadilan dan penelitian mengenai kehakiman)

OHCHR: Kantor Komisi Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia

PEDU: Unit Etika dan Deontologi Profesional (Professional Ethics and Deontology Unit), nama baru dari organisasi yang dulunya (dan secara luas masih) disebut dengan Kantor Etika Profesional (Professional Ethics Office - PEO)

PEO: Kantor Etika Profesional(Professional Ethics Office), yang dulunya dikenal sebagai Unit Standar Profesional (Professional Standards Unit - PSU) dan baru-baru ini diubah menjadi Unit Etika dan Deontologi Profesional (Professional Ethics and Deontology Unit - PEDU)

PKF: Tentara Perdamaian PBB (Peacekeeping Force)

PNTL:Policia Nacional de Timor-Leste, Angkatan Kepolisian Nasional Timor-Leste, dulu dikenal dengan nama East Timor Police Service (ETPS) dan Timor-Leste Police Service (TLPS)

POLRI: Kepolisian Republik Indonesia,Polisi Nasional Indonesia

Provedor: sebuah kantor sejenis ombudsman yang diberi mandate oleh parlemen untuk menyelidiki, melaporkan dan membuat rekomendasi-rekomendasi berkaitan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor-Leste

PSU: Unit Standar Profesional, Professional Standards Unit, digantikan oleh Kantor Etika Profesional (PEO)

ROPs: Peraturan-peraturan Prosedur Organisasi

TNI: Tentara Nasional Indonesia, angkatan bersenjata Indonesia

UIR: Unidade de Intervenção Rápida, Unit Intervensi Cepat

UNMISET: Misi Bantuan PBB di Timor-Leste (United Nations Mission of Support in East Timor)(pengganti misi UNTAET)

UNOTIL: Kantor PBB di Timor-Leste (United Nations Office in Timor-Leste)(pengganti misi UNMISET)

UNPOL: Polisi PBB, sebelumnya dikenal sebagai CivPol

UNTAET: Badan Administrasi Peralihan PBB di Timor-Leste (United Nations Transitional Administration in East Timor)  

UPF: Unidade de Patrulhamento de Fronteira, Unit Patroli Perbatasan

VPU: Unit orang-orang yang rentan (Vulnerable Persons Unit), bagian dari Unit Penyelidikan Kriminal PNTL yang mengkhususkan diri pada pemecahan kasus yang berkaitan dengan perempuan dan anak-anak

I. Pembukaan

Saya pikir jika menangkap orang, polisi tidak boleh memukuli mereka. Harus ditanyakan terlebih dahulu apakah ia bersalah atau tidak, kemudian menahannya dan bawa dia ke pengadilan di Dili. Tapi karena mereka [polisi] mempunyai perangai yang buruk, mereka hanya menangkap dan langsung memukuli orang. Saya pikir mereka harus dipecat, atau menangkap diri mereka sendiri.
Carlito Gusmao, korban pemukulan polisi, Aldeia Tasmasak, Bobonaro[1]

Carlito Gusmao ditangkap polisi, setelah ia menolak untuk ambil bagian dalam sensus nasional. Ia dituduh mengancam petugas sensus dengan sebuah pisau ketika mereka berkunjung ke desanya. Ia mengatakan kepada Human Rights Watch, bagaimana petugas polisi berseragam datang ke rumahnya pada jam 9.30 pagi dan membawa dirinya ke sebuah mobil polisi ke kantor polisi distrik Maliana di wilayah barat Timor-Leste. Ia dipukuli sesaat setelah ia keluar dari mobil dan kemudian dimasukkan ke dalam sel. Saat di dalam sel, demikian Carlito, ia menyaksikan polisi sedang memukuli tawanan lain dengan sangat brutal, menggunakan sebuah jaket tahan peluru. Sorenya polisi lain datang ke dalam selnya dan menyemprotkan semprotan lada ke matanya. Carlito tidak membuat komplain terhadap penyiksaan yang ia ceritakan, ia takut akan adanya balas dendam, lagipula ia percaya bahwa hal tersebut akan sia-sia.[2]

Lebih dari dua tahun belakangan ini pelanggaran polisi menjadi salah satu masalah Hak Asasi Manusia yang paling mengkhawatirkan di Timor-Leste. Para petugas polisi seringkali menggunakan kekuasaan yang berlebihan dalam melakukan penahanan, dan memukul para tawanan setelah mereka berada dalam tahanan. Perilaku semacam itu tampaknya telah menjadi begitu biasa dan para petugas jarang sekali berusaha untuk menyembunyikan aksi-aksi mereka dari pandangan publik. Human Rights Watch tidak mengalami kekurangan kasus untuk mendokumentasikan hal tersebut di manapun kami berada selama di Timor-Leste.

Salah seorang aktifis Timor-Leste yang bekerja pada sebuah organisasi non pemerintah (Ornop) di Dili untuk mengawasi kekerasan polisi di Timor-Leste menceritakan kepada Human Rights Watch:

Pemukulan saat penahanan sudah menjadi hal yang biasa. Mengapa? Karena polisi menganggap diri mereka adalah institusi yang harus dihormati. Mereka tidak bisa menerima pertanyaan-pertanyaan mengenai peran atau otoritas mereka. Jika saya adalah seorang petugas PNTL dan berkata kepada anda bahwa anda bersalah, anda harus berkata, "Saya bersedia bersalah." Pemukulan sudah menjadi rutinitas.[3]

Banyak perlakuan kasar tersebut, sebagaimana diceritakan kepada Human Rights Watch, meningkat jadi penyiksaan. Mario Belo, laki-laki, dua puluh tujuh tahun, menceritakan kembali apa yang terjadi setelah ia ditangkap di desa Mulia, Baucau, karena melemparkan batu ke beberapa orang yang ia curigai memindahkan kapal pancingnya:

Setelah saya berada di penjara kira-kira jam 7.00 petang; saya rasa waktu itu tanggal 18 Juni. Saya sudah bersiap untuk menjawab [sebuah pertanyaan], tapi sebelum saya dapat menjawab [petugas polisi] langsung memukul saya, menendang pipi saya. Ketika wajah saya berpaling, ia memukul lagi di pipi kiri dan janggut saya. Ia menendang saya, menendang kemaluan saya. Ia memakai sepatu bot polisi, dan berseragam lengkap. Ia menendang sisi kanan saya hingga saya terjatuh. Hal itu terjadi di ruang pemeriksaan penjara. Begitu saya berdiri, ia langsung menendang saya di sini [di mulut]. Bibir saya terluka, atas dan bawah. Selama seminggu saya tidak bisa makan. Mereka membawa saya ke rumah sakit di Baucau. Petugas polisi dari Laga membawa saya ke rumah sakit. Di ruangan yang sama [tempat berlangsungnya pemukulan] ada petugas dari penjara, pelaku pemukulan dan dua polisi dari Laga, dan saya. Mereka semua hanya melihat, tidak berusaha dan menghentikan hal tersebut. Kekerasan itu berlangsung kira-kira tiga puluh menit. Pada akhirnya ia mengeluarkan senjatanya dan mengancam saya. Ia berada kira-kira satu meter dari saya. Ia berkata, "Lain kali, saya bunuh kamu." Saya menjawab, "Saya tidak melakukan apa-apa. Kenapa anda memukuli saya?" Ia berkata, "Diam kamu, lain kali saya tembak kamu."[4] 

Banyak orang yang diwawancarai Human Rights Watch menggambarkan penangkapan mereka oleh polisi sebagai tindakan ilegal. Mereka tidak diberitahu tuduhan apa yang ditujukan pada mereka, bahkan banyak yang ditahan tanpa tuduhan apa pun, lebih dari tujuh puluh dua jam, tenggang waktu yang diijinkan oleh hukum Timor-Leste.  Para polisi itu tampaknya biasa menggunakan penahanan tujuh puluh dua jam itu lebih sebagai penghukuman, daripada sebagai tindakan prosedural.

Polisi dan lembaga negara lainnya seringkali gagal menanggapi pelanggaran polisi dengan memadai. Ada kekurangpahaman di antara penyelidik komplain tersebut, bahwa polisi yang melakukan kejahatan seperti penyerangan harus diadili melalui sistem hukum kriminal dan juga melalui sistem disipliner internal. Badan pengawas internal polisi, Unit Etika dan Deontologi (PEDU, sebelumnya disebut dengan Kantor Etika Profesional, PEO), seringkali gagal untuk secara serius menangani kasus-kasus pelanggaran polisi, menindaklanjuti komplain, atau secara memadai mendisiplinkan para petugas. Tidak memadainya pelatihan mengenai penyelidikan internal dan tindak lanjutnya, dan tidak adanya mekanisme pengawasan dan akuntabilitas untuk pelayanan polisi yang berfungsi secara internal dan mandiri, mengindikasikan komplain-komplain semacam itu sering kali ditangani dengan tidak konsisten, atau, dalam beberapa kasus, tidak ditangani sama sekali. Kalau pun ada kasus yang ditangani, para korban biasanya tidak mendapatkan informasi mengenai perkembangan dan hasilnya. Human Rights Watch berbicara dengan banyak korban dan keluarganya mengenai usaha-usaha mereka untuk mencari pertanggungjawaban terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh angkatan kepolisian Timor-Leste. Banyak yang putus asa dan bingung dengan prosedur birokratis yang tidak jelas dan berlarut-larut.

Dalam pemerintahan Timor-Leste, portfolio untuk keamanan internal berada di Kementerian Dalam Negeri. Oleh karena itu tanggung jawab terakhir untuk akuntabilitas pengaturan polisi ada pada Menteri Dalam Negeri, yang terbaru Rogerio Lobato. Meskipun secara kelembagaan berada di bawah Kementerian, pelayanan polisi Timor-Leste mempunyai personalitas hukum dan struktur operasional yang berbeda.[5] Hal ini termasuk seorang Komandan Jenderal dan deputi-deputinya, kepala yang terpisah untuk setiap unit khusus, dan tiga belas komandan distrik. Bersama dengan dua petugas yang ditunjuk kementerian, kelompok ini mengisi Dewan Polisi Tertinggi, yang umumnya bertemu bersama setiap enam bulan untuk mendiskusikan masalah-masalah disiplin seperti terjadinya pelanggaran-pelanggaran hak asasi.[6]

Tindakan pendisiplinan yang cepat dan sesuai dan pengadilan terhadap para petugas polisi yang bertanggung jawab terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia dan pelanggaran kewenangan merupakan indikator-indikator yang penting dari komitmen pemerintah Timor-Leste untuk menciptakan angkatan kepolisian yang profesional. Hal tersebut juga merupakan sebuah indikator mengenai bagaimana keseriusan pemerintah dalam menangani kewajiban-kewajiban (pemenuhan) Hak Asasi Manusia di bawah undang-undang Negara tersebut dan berbagai perjanjian-perjanjian Hak Asasi Manusia yang telah disetujui oleh Timor-Leste. Patut dicatat bahwa para pemimpin seringkali menyebutkan mengenai kekurangan sumber daya manusia dan perlunya meningkatkan pelatihan yang baik. Hal itu tentunya penting, tapi hanya akan ada perubahan jika pada tingkat politik dan kebijakan, pelaku kekerasan yang digambarkan dalam laporan ini menerima hukuman. Jika tidak, kegagalan menghukum para pelanggar Hak Asasi Manusia akan menciptakan iklim kekebalan hukum yang pada akhirnya akan melemahkan peran pelatihan sebagai alat yang efektif untuk menurunkan tingkat kekerasan yang dilakukan polisi.

Dengan warisan dari pelayanan polisi Indonesia yang brutal selama pendudukan hampir dua puluh lima tahun berakhir pada 1999, mungkin bukan hal yang mengejutkan jika calon-calon baru polisi Timor-Leste mencerminkan masa lalu dalam hal pengabaian standar-standar profesional. Meski pun perilaku semacam itu juga mencerminkan pelatihan, akuntabilitas dan pengawasan yang buruk, tapi itu tidak bisa lagi dibiarkan, setelah hampir enam tahun dari polisi baru pertama lulus pada Juli 2000. Pada kenyataannya, sekarang ini, kurangnya respon-respon yang terlembaga untuk kebrutalan polisi telah menjadi faktor kunci kemunculan pelanggaran polisi, sebagai salah satu masalah Hak Asasi Manusia Timor-Leste yang paling mendesak dan terkini. 

Salah satu dari konsekuensi serius dari pola-pola pelanggaran dan kekebalan hukum yang muncul di Timor-Leste adalah adanya erosi jangka panjang yang potensial terhadap penghargaan dan dukungan publik untuk polisi, baik sebagai petugas sebagai individu mau pun sebagai lembaga. Dengan berdirinya sebuah Negara baru, rakyat Timor-Leste berharap bahwa polisinya akan bersikap berbeda dari angkatan-angkatan yang dikontrol oleh Indonesia selama masa pendudukan. Tapi pengawasan yang tidak efektif, pelatihan yang tidak memadai, mekanisme pertanggungjawaban yang buruk serta kurang baiknya seleksi petugas polisi telah mengakibatkan penyalahgunaan kekuasaan oleh polisi menjadi sebuah tantangan serius untuk penegakan hukum di Timor-Leste. Kegagalan PBB untuk menanggapi isu tersebut secara efektif, saat mereka masih bertugas selama masa transisi menuju kemerdekaan, juga jadi faktor penyumbang.

Timor-Leste saat ini berada di persimpangan jalan. Saat disadari bahwa sumber daya di Timor-Leste tidak mencukupi, menciptakan sebuah angkatan kepolisian yang professional dan dapat dipertanggungjawabkan adalah hal yang krusial untuk kestabilan Negara itu di masa depan. Kurangnya akuntabilitas terhadap pelanggaran yang dilakukan polisi akan menguras kepercayaan kepada polisi dan juga terhadap keefektifan dan kapasitasnya untuk menjaga penegakan hukum. Pelanggaran polisi yang ditoleransi akan membuat orang-orang segan untuk melaporkan kejahatan ke polisi, atau bekerja sama dengan mereka dalam penyelidikan kriminal, baik sebagai saksi mata maupun sebagai korban. Hal ini akan mengarah kepada lingkaran yang buruk, di mana angkatan kepolisian akan lebih dikritik atas ketidakmampuannya untuk melakukan tugasnya secara efektif, dan berubah menjadi taktik yang lebih kasar dan akan lebih menggunakan kekerasan untuk mendapatkan hasil. Jika pelanggaran-pelanggaran yang saat ini terjadi tidak ditanggapi sebagai sebuah masalah kelembagaan, itu artinya mereka mengelola resiko untuk menjadi bagian dari sebuah budaya endemik penyalahgunaan kekuasaan dan kekebalan hukum di angkatan kepolisian nasional paling baru di dunia, sebuah budaya yang akan sulit dihilangkan jika sudah mulai berlangsung.

Rekomendasi-Rekomendasi Penting

Human Rights Watch menemukan pelanggaran-pelanggaran petugas polisi yang meluas, walaupun belum menjadi endemik di Timor-Leste. Saat ini adalah waktunya untuk menanggapi masalah ini sebelum menjadi endemik. Human Rights Watch mendesak Pemerintah Timor-Leste untuk:

  • Menegaskan, melalui tindakan dan pernyataan publik dari para pejabat tinggi, berupa sinyal yang jelas, tidak mendua dan konsisten, bahwa tidak akan ada toleransi terhadap polisi yang menggunakan penyiksaan, penahanan sewenang-wenang dan kekuasaan yang berlebihan.
  • Memastikan bahwa peraturan, kebijakan dan prosedur-prosedur ada pada tempatnya, supaya polisi beroperasi di bawah sebuah kerangka kerja hukum yang koheren dan jelas, yang menjelaskan kekuasaan polisi dan batasan-batasannya. Hal tersebut harus termasuk persyaratan-persyaratan untuk menegakkan akuntabilitas polisi secara publik dalam cara yang transparan dan dapat dipercaya.
  • Mendukung kantor Provedor dalam menciptakan sebuah unit yang berdedikasi untuk mengawasi polisi.
  • Menugaskan Menteri Dalam Negeri dan para komisaris polisi untuk memperkuat Unit Etika dan Deontologi Profesional angkatan kepolisian dengan memberikan dukungan yang kuat untuk otoritas unit tersebut dalam menjalankan keputusan-keputusannya dan dengan menghukum petugas-petugas polisi yang tidak patuh terhadap arahan-arahannya.
  • Memastikan seluruh mekanisme pengawasan berkoordinasi dan bekerja bersama-sama.

Kami juga mendesak kepada pelayanan polisi Timor-Leste (PNTL) untuk:

  • Mengambil tindakan yang cepat dan penting terhadap petugas-petugas polisi yang melakukan penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, atau menggunakan kekuasaan yang berlebihan kepada penduduk. Tindakan tersebut harus termasuk tindakan administratif hingga pemecatan, dan jika memungkinkan, pengadilan kriminal.
  • Mengambil tindakan pendisiplinan yang sesuai terhadap atasan-atasan polisi yang mengetahui atau yang seharusnya mengetahui tindakan kekerasan semacam itu, dan yang gagal untuk mengambil tindakan untuk mencegah dan menghukum mereka. Komisaris polisi harus mengeluarkan sebuah arahan untuk tiap komandan distrik yang menganjurkan bahwa komandan distrik akan secara pribadi bertanggung jawab memastikan petugas-petugas di bawah komandonya patuh dengan peraturan disipliner yang ada dan pada Peraturan Prosedur Organisasi (ROPs). 

Para Donor harus:

  • Membahas masalah-masalah mengenai kekerasan polisi, termasuk penyiksaan dalam pertemuan-pertemuan dengan pemerintah Timor-Leste di dalam semua pertemuan resmi, dan juga di tingkat yang paling tinggi. Mendesak pemerintah Timor-Leste untuk memastikan bawah perlakuan polisi kepada seluruh penduduk sesuai dengan standar-standar Hak Asasi Manusia.
  • Secara signifikan meningkatkan bantuan untuk pengawasan Hak Asasi Manusia yang efektif di Timor-Leste melalui mekanisme yang sudah ada, seperti masyarakat sipil. Sebagai bagian yang integral dari strategi ini, memberikan bantuan untuk pengembangan kelompok-kelompok Hak Asasi Manusia lokal yang mempunyai kapasitas untuk mengawasi kekerasan polisi secara independen, dan kepada agen-agen yang dapat memberikan pelayanan kepada para korban.
  • Memulai dan mendukung pertemuan gabungan antara pemerintah Timor-Leste, Ornop dan PNTL untuk mengkoordinasikan, mendanai dan merencanakan strategi-strategi jangka panjang mengenai pengembangan kapasitas, pelatihan dan dukungan-dukungan lainnya untuk PNTL.

II. Metodologi

Human Rights Watch mengunjungi Timor-Leste pada Mei-Juni 2005 dan mewawancarai lebih delapan puluh orang mengenai isu kekerasan polisi dan kekebalan hukum yang makin tumbuh. Wawancara riset dilakukan sebagian besar di distrik Baucau, Bobonaro dan Dili. Seluruh wawancara dilakukan oleh peneliti Human Rights Watch langsung dalam bahasa Indonesia atau Inggris.

Human Rights Watch mewawancarai lebih dari tiga puluh korban dan saksi terhadap kekerasan polisi. Kami juga mewawancara sejumlah Ornop domestik dan internasional, agen PBB dan perwakilan Misi Bantuan PBB di Timor-Leste (UNMISET), termasuk Perwakilan Khusus Sekretaris Jenderal (SRSG) Sukehiro Hasegawa, dan staf dari unit Hak Asasi Manusia dan unit Hubungan Politik UNMISET. UNMISET telah dihentikan, tapi banyak dari staf UNMISET yang sekarang bekerja untuk Kantor PBB di Timor-Leste (UNOTIL) dan terus memberikan informasi dan membantu Human Rights Watch. Polisi PBB di Timor-Leste memberikan banyak kerja sama baik di tingkat nasional maupun di tingkat distrik; Human Rights Watch secara khusus berterima kasih kepada Penasihat Senior Polisi PBB, Saif Ullah Malik atas waktu yang diberikan pada Human Rights Watch.

Human Rights Watch bertemu dengan berbagai pejabat pemerintah Timor-Leste dan polisi. Kami berterima kasih untuk kerja sama yang diberikan oleh Komisaris Polisi Timor-Leste, Paulo Martins dan Wakil Menteri Dalam Negeri, Alcino Barris untuk bantuan yang besar selama penelitian kami. Angkatan kepolisian Timor-Leste memberikan kerja sama yang tinggi selama perjalanan penelitian, dan mengijinkan Human Rights Watch mengakses beberapa kantor polisi, fasilitas penahanan, dan akademi pelatihan nasional.

Meskipun beberapa permintaan tertulis dan telepon sudah dikirimkan Human Rights Watch, kami menyesal karena tidak dapat bertemu dengan lebih banyak anggota dari pemerintah Timor-Leste, termasuk perwakilan dari Kantor Perdana Menteri atau Kementerian Hukum.

Untuk kepentingan laporan ini Human Rights Watch hanya melihat perilaku dari angkatan kepolisian umum di Timor-Leste, bukan unit-unit khusus.

Kecuali jika telah diketahui, Human Rights Watch tidak memberikan kesimpulan berkaitan dengan tuduhan kriminal bersalah atau tidaknya setiap korban penyalahgunaan kekuasaan polisi yang digambarkan dalam laporan ini.

III. Latar Belakang

Setelah hampir dua puluh tahun dari penjajahan brutal Timor-Leste oleh Indonesia, pada September 1999, Angkatan Bersenjatan Indonesia (TNI) dan milisi Timor memulai kembali kampanye kekerasan ekstrim saat masyrakat Timor-Leste memilih untuk merdeka pada referendum yang dikelola oleh PBB. Diperkirakan 1400 penduduk sipil Timor-Leste tewas pada bulan-bulan sebelum dan hari-hari setelah pemilihan. Kira-kira setengah juta orang dipaksa keluar dari rumah mereka atau melarikan diri untuk mengungsi.

Kekerasan merupakan bagian dari sebuah kebijakan yang secara sistematis direncanakan oleh pemerintah Indonesia dan TNI untuk mencegah orang-orang Timor-Leste secara bebas berpartisipasi dalam referendum, dan untuk menghukum mereka karena memilih untuk merdeka. Kejahatan yang dilakukan terhadap penduduk Timor-Leste termasuk pembunuhan massal, penyiksaan, penyerangan, penghilangan paksa, deportasi paksa massal, penghancuran rumah, dan perkosaan serta kekerasan seksual lainnya terhadap perempuan dan anak-anak. Kejahatan-kejahatan ini merupakan bagian dari sebuah pola pelanggaran yang tidak manusiawi dari Hak Asasi Manusia dan hukum kemanusiaan, yang dalam banyak kasus, merupakan kejahatan kemanusiaan.

Mundurnya Indonesia dari Timor-Leste pada akhir 1999 meninggalkan bukan hanya sebuah Negeri yang dihancurkan dan dibuat trauma oleh penjajahan dan konflik, tapi juga meninggalkan sebuah kekosongan kelembagaan di seluruh tingkatan administrasi dan pemerintah sipil. Banyak mantan pegawai negeri Timor-Leste adalah orang Indonesia atau pro Indonesia, dan ribuan pegawai meninggalkan negeri tersebut setelah referendum. Setelah 400 tahun penjajahan orang Portugis dan Indonesia, warisan kolonial yang ditinggalkan kepada Timor-Leste adalah sedikit lembaga-lembaga yang berfungsi, kekurangan sumber daya manusia yang sangat besar, dan sebuah kebutuhan yang sangat besar dan mendesak untuk membangun sebuah pemerintahan dari awal.

Lingkungan yang paling efektif untuk membangun lembaga-lembaga publik yang berfungsi adalah lingkungan yang aman dan stabil. Meskipun Timor-Leste diuntungkan dengan adanya transisi yang relatif stabil dan lancar dari tahap wilayah yang dijajah hingga Negara yang merdeka di bawah arahan PBB, Negara ini masih menghadapi sejumlah besar masalah-masalah paska konflik. Timor-Leste tetap menjadi salah satu Negara-negara termiskin dunia dan mendapat salah satu peringkat paling rendah untuk Indeks Pembangunan Manusia (HDI).[7] Angka pengangguran dan kekurangan pekerjaan diperkirakan sekitar 50 persen,[8] angka terbaru memperkirakan produk domestik kotor (GDP) tahunan perkapita hanya setara dengan 370 dolar AS, dan untuk daerah-daerah pedalaman turun hingga 150 dolar AS.[9] Populasi penduduk sebagian besar ada di pedalaman, dan infrastruktur untuk pelayanan sosial dasar, pelayanan kesehatan dan bantuan ekonomi diluar ibukota, Dili, merupakan hal yang sangat terbatas. Banyak dari penduduk yang masih trauma oleh penjajahan Indonesia, dan enam tahun sejak berakhirnya pendudukan itu, masyarakat dikecewakan dan frustasi akan lambatnya tahap rekonstruksi dan pembangunan.

Timor-Leste telah menformalkan komitmen-komitmen terhadap Hak Asasi Manusia: Undang-undang memasukkan perlindungan Hak Asasi Manusia yang penting dan, pada Hari Hak Asasi Manusia Internasional pertama setelah merdeka (10 Desember 2002), parlemen Timor-Leste menyetujui pencapaian  tujuh kesepakatan-kesepakatan besar Hak Asasi Manusia internasional, termasuk Kovenan Internasional untuk Hak Sipil dan Politik, Kovenan Internasional untuk Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan Konvensi menentang Perlakuan atau Hukuman yang Kejam, Tidak Berperikemanusiaan dan Merendahkan.[10] Ratifikasi dan pelaporan terhadap kesepakatan-kesepakatan tersebut merupakan sebuah prioritas penting bagi Kementerian Luar Negeri. Juga ada penasihat Hak Asasi Manusia yang secara tetap ditugaskan di kantor Perdana Menteri yang, pada 2004, mengumpulkan pemerintah dan kelompok kerja Ornop untuk membahas draft Rencana Aksi Hak Asasi Manusia untuk Timor-Leste (untuk memasukkan konsultasi publik pada hal-hal yang harus dimasukkan). Pada 2005 Timor-Leste mendirikan sebuah kantor Provedor (lihat di bawah), yang mirip dengan sebuah lembaga ombudsman di Negara-negara lain.

Pembentukan Angkatan Kepolisian Timor-Leste

Mendirikan sebuah angkatan kepolisian baru di Timor-Leste merupakan salah satu prioritas dari PBB sebelum memberi kedaulatan kepada Negara baru itu pada Mei 2002. Di bawah mandat yang jelas untuk memberikan keamanan dan menjaga hukum dan ketertiban di seluruh negeri, Misi-misi PBB selanjutnya di Timor-Leste diinstruksikan dan diberi wewenang untuk membantu memfasilitasi perkembangan yang cepat dari sebuah angkatan kepolisian yang dapat dipercaya, profesional dan netral.[11] Polisi Sipil PBB (CivPol) yang diarahkan untuk pelayanan polisi Timor-Leste yang baru, mulai merekrut pada awal 2000 dan pelatihan dasar dilaksanakan pada 27 Maret 2000, di bawah dukungan Administrasi Peralihan PBB di Timor-Leste (UNTAET). Kelas lulusan pertama dari Sekolah Polisi yang baru dibentuk berjumlah 1700, lima puluh orang pertama melakukan fungsi mereka sebagai petugas polisi pada 12 Juli 2000.[12] Hanya setahun setelah itu, pada 10 Agustus 2001, Pelayanan Polisi Timor-Leste secara resmi dibentuk, bekerja bersama-sama dengan CivPol,[13] Pelayanan Polisi itu kemudian mengganti namanya menjadi Pelayanan Polisi Timor-Leste (Timor-Leste Police Service), sebelum akhirnya memakai namanya yang sekarang PoliciaNacional de Timor-Leste (PNTL).

Perjanjian kepolisian bersama antara Polisi Timor-Leste yang baru dan CivPol berlanjut selama periode awal kemerdekaan, tapi tidak sampai dengan masa kemerdekaan pada 20 Mei 2002, sebuah perjanjian yang berisi syarat-syarat dan kerangka waktu penyerahterimaan tugas-tugas kepolisian penuh dari CivPol kepada PNTL ditandatangani. Proses ini dimulai dengan PNTL yang secara berturut-turut mengambil alih pengaturan kepolisian distrik demi distrik. Dengan perkiraan kerangka waktu yang lebih pendek, proses tersebut akhirnya berlangsung selama delapan belas bulan, PNTL akhirnya mengambil tanggungjawab sehari-hari kepolisian umum untuk seluruh negeri pada 20 Desember 2003, saat sudah memenuhi pengambilalihan tugas-tugas kepolisian untuk distrik ketiga belas dan terakhir, Dili.

Misi pengganti UNTAET dari Mei 2002, Misi Bantuan PBB di Timor-Leste (UNMISET), juga diberi mandat untuk membantu penegakan hukum sementara dan keamanan publik, dan diberi wewenang untuk membantu pengembangan lebih lanjut dari PNTL. Diperkirakan berakhir setahun, nyatanya mandat UNMISET dua kali diperpanjang (pada Mei dan November 2003), hal ini mencerminkan fakta bahwa ambang batas kritis dari kemandirian dalam lembaga-lembaga pemerintahan penting ternyata memakan waktu lebih lama dari yang diperkirakan. Pada tahap inilah, 20 Mei 2004,[14] pemerintah nasional Timor-Leste akhirnya dianggap bertanggung jawab penuh untuk kepolisian secara nasional dengan adanya pengalihan seluruh tanggung jawab-tanggung jawab eksekutif kepolisian, keamanan internal dan eksternal dari PBB ke Pemerintah Timor-Leste.

Pada Mei 2005 Dewan Keamanan PBB mengganti Misi Bantuan UNMISET dengan misi politik khusus yang jauh lebih kecil, Kantor PBB di Timor-Leste (UNOTIL).[15]

Komposisi Angkatan Kepolisian Timor-Leste

Ketetapan Hukum Organik mengenai Polisi Nasional Timor-Leste diumumkan oleh Presiden pada Mei 2004.[16] Ketetapan tersebut merupakan instrumen hukum yang mengatur struktur dan peran dari Policia Nacional de Timor-Leste (PNTL), dan menetapkan posisi polisi di dalam hubungannya dengan angkatan bersenjata, Falantil-FDTL, dalam hal keamanan internal dan eksternal. PNTL dibagi menjadi polisi umum dan lima unit khusus. Pernyataan Pers pemerintah Juli 2005 menyatakan bahwa PNTL mempunyai total kekuatan angkatan sekitar 3000 petugas polisi. Fokus dari laporan ini adalah angkatan kepolisian yang umum.

(Dua dari unit khusus untuk kepentingan tertentu disebutkan dibagian lain dalam laporan ini: Unit Intervensi Cepat-Unidade Intervensaun Rapida, UIR, dan Unit Patroli Perbatasan-Unidade de Patrulhamento de Fronteira, UPF.[17]  Fungsi dari UIR adalah untuk merespon ketidaktertiban sipil, khususnya di daerah-daerah perkotaan, dan sebagaimana tercermin dari namanya, Unit Patroli Perbatasan utamanya berkaitan dengan masalah keamanan, patroli dan pengelolaan wilayah-wilayah perbatasan.[18] Oleh karena itu, baik gangguan-gangguan internal dan keamanan perbatasan tetap lebih berada di bawah bantuan polisi dan Kementerian Dalam Negeri, daripada di bawah militer.[19] Sejak Juli 2005 ada 292 petugas di Unit Patroli Perbatasan dan 217 di Unit Intervensi Cepat.[20])

 

Pengeluaran ketetapan hukum tentang polisi diikuti dengan diadopsinya sebuah peraturan disipliner pada Juni 2004. Baik peraturan disipliner mau pun ketetapan hukum polisi tidak ada yang melalui pemeriksaan parlemen ataupun debat publik. Sebagai gantinya kedua peraturan itu diserahkan kepada Presiden oleh Dewan Menteri dan diumumkan sebagaimana adanya. Mekanisme pengawasan (sebagaimana diuraikan di bawah) tidak disebut-sebut di dalam ketetapan hukum polisi atau dalam peraturan disipliner.

Polisi masih mempunyai sejumlah masalah kelembagaan termasuk keahlian dan pengalaman profesional yang terbatas, khususnya dalam hal kebijakan dan hukum. Angkatan kepolisian terhadang oleh kurangnya para ahli profesional di berbagai fungsi administratif dan manajemen, dan terus menerus menghadapi masalah-masalah akibat kurangnya kapasitas logistik dan kekurangan sumber daya umum untuk pengembangan peralatan dan infrastruktur.

PNTL juga merupakan pelayanan polisi yang sangat baru dan rentan yang masih bergantung pada bantuan luar negeri untuk dukungan perlengkapan dan pelatihan. Ada kebutuhan yang serius untuk penguatan kelembagaan di seluruh bidang, tapi khususnya di area pengarusutamaan Hak Asasi Manusia dan memastikan bahwa seluruh kekuatan dan prosedur-prosedur polisi memenuhi standar-standar internasional, dan dilaksanakan sejalan dengan standar tersebut (hal ini akan dijelaskan lebih rinci di laporan bagian V.D)

Tanggung Jawab untuk Pelatihan, Disiplin dan Penyelidikan Penyalahgunaan Wewenang Polisi

Menggantikan Kode Etik untuk polisi Timor-Leste yang diadopsi oleh administrasi PBB pada masa UNTAET,[21] peraturan disipliner Juni 2004 menetapkan tanggung jawab-tanggung jawab petugas PNTL, menentukan batasan-batasan dari kekuasaan polisi dan menguraikan proses-proses disipliner yang akan mengikuti setiap pelanggaran-pelanggaran terhadap standar-standar yang telah ditetapkan dalam peraturan tersebut. Dalam kata sendiri, peraturan tersebut menyatakan untuk memberikan "sejumlah peraturan dan prinsip yang tersistematisir…. untuk memandu tindakan dari [anggota PNTL]….oleh karena itu menjamin profesionalisme dan wibawa lembaga."[22] Lima belas Peraturan Prosedur Organisasi (ROPs) juga telah dipersiapkan termasuk penggunaan kekuatan; Kepolisian Komunitas; penyelidikan awal kejahatan; pencarian dan penahanan; penanganan kasus kekerasan anak dan menangani anak-anak dalam resiko; penyelidikan dan pelaporan kecelakaan lalu lintas; pengoperasian kendaraan polisi; tugas-tugas pengadilan; dan pelatihan.[23]

Ada tiga badan utama di Timor-Leste yang mempunyai tanggung jawab terhadap pengawasan polisi. Pertama, Kantor Profesional dan Deontologi polisi internal (PEDU, dulunya Kantor Etika Profesional, PEO) yang diberi tugas menyelidiki tuduhan-tuduhan perlakuan buruk atau penyalahgunaan wewenang polisi (yang biasanya dilakukan oleh anggota polisi publik). Hasil dari setiap penyelidikan, bersama dengan setiap rekomendasi untuk pendisiplinan, dikirimkan ke Menteri Dalam Negeri, yang memutuskan tindakan apa yang harus diambil.[24] Kedua adalah kantor Inspektorat, yang terdiri dari Kementerian Dalam Negeri, Polisi, dan kantor penasihat Hak Asasi Manusia untuk perdana menteri, dan kantor penuntut umum. Dibentuk pada Agustus 2003 bersamaan dengan Ketetapan Hukum tentang Struktur Organik Kementerian Dalam Negeri,[25] badan ini mempunyai kompetensi disipliner terhadap seluruh struktur dan lembaga di bawah Kementerian. Dalam Negeri, termasuk polisi (meskipun peraturan tidak secara eksplisit berbicara mengenai mandat Inspektorat untuk berhubungan dengan masalah-masalah disipliner polisi).[26] Ketiga, kantor Provedor, satu-satunya mekanisme pengawasan eksternal, yang mempunyai kekuasaan yang luas untuk menyelidiki dan melaporkan komplain-komplain terhadap pejabat-pejabat dan lembaga-lembaga pemerintah, termasuk polisi.[27] (Analisis mengenai PEO/PEDU dan kantor Provedor diberikan di laporan bagian V.B.)

Kementerian Dalam Negeri menjaga kontrol operasional terhadap angkatan kepolisian, dan pada akhirnya seluruh anggota angkatan kepolisian, termasuk Komisaris Polisi, bertanggung jawab kepada Menteri Dalam Negeri.[28] Komisaris Polisi mempunyai wewenang untuk merekomendasikan pemecatan dari anggota polisi yang terbukti bersalah membuat pelanggaran Hak Asasi Manusia dan pelanggaran lainnya, tapi kekuasaan untuk melakukan pemecatan hanya berada pada menteri dalam negeri.

IV. Penyalahgunaan Wewenang Polisi

Sejak merdeka pada 2002, penyalahgunaan wewenang polisi telah menjadi salah satu masalah Hak Asasi Manusia Timor-Leste yang paling mengkhawatirkan. Petugas polisi sering menggunakan kekuasaan yang berlebihan selama penahanan dan memukul tawanan setelah mereka berada di tahanan. Polisi dan lembaga Negara lainnya sering gagal untuk merespon penyalahgunaan wewenang ini dengan tindakan-tindakan disipliner yang sesuai atau dengan tuntutan kriminal.

Selama penelitian kami, jumlah kekerasan yang brutal, termasuk penyiksaan yang digambarkan oleh mantan tahanan dan tawanan kepada kami, pada saat mereka ditangani polisi sungguh mengejutkan. Beberapa orang yang diwawancara Human Rights Watch harus masuk rumah sakit karena parahnya luka-luka mereka.[29] Meskipun tingkat keparahan pelanggaran di Timor-Leste kemungkinan belum sistematis atau sistemik, ketidakberdayaan yang ditemukan dalam kasus-kasus ilustratif kami sungguh mengkhawatirkan.

Pada laporannya pada Februari 2005 kepada Dewan Keamanan mengenai misi PBB di Timor-Leste, Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan mencatat bahwa masalah-masalah besar di dalam angkatan kepolisian Timor-Leste tetap menjadi perhatian, dan bahwa "laporan pelanggaran polisi, termasuk penggunaan kekuasaan yang berlebihan, pelanggaran, penggunaan senjata api yang ceroboh dan berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia, telah meningkat sejak Mei 2004." Ia melanjutkan bahwa "kurangnya transparansi dan lambatnya mekanisme penyelidikan telah memberikan sumbangan terhadap buruknya tingkat akuntabilitas polisi."[30] Enam bulan kemudian, Kofi Annan juga mencatat bahwa "meski pun keahlian dan kompetensi polisi Timor-Leste telah berkembang secara signifikan, kasus-kasus penggunaan kekuasaan yang berlebihan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh petugas polisi, termasuk terhadap anggota kelompok oposisi politik, tetap dilaporkan."[31]

Human Rights Watch mewawancarai Mario Sarmento, yang dipukuli cukup parah oleh polisi di Dili pada Januari 2005, setelah terjadi perkelahian beberapa pemuda di sebuah jembatan. Polisi dengan menggunakan sebuah mikrofon memerintahkan para penduduk untuk tetap di dalam rumah mereka saat mereka mencari para tersangka. Sarmento, yang khawatir untuk anak laki-lakinya, Justo, keluar untuk mencarinya. Ia menggambarkan kejadian tersebut:

Saya memanggil anak saya dua kali, memanggil namanya. Kemudian polisi, dua mobil, datang dengan kecepatan tinggi ke tempat saya berdiri. Kedua mobil itu berhenti tepat di depan saya. [Satu mobil kemudian terus berjalan dan yang lainnya berhenti] Mereka segera keluar dari mobil. Mula-mula dua orang dari mereka menghampiri saya. Saya pikir mereka ingin bertanya kepada saya beberapa pertanyaan tapi mereka langsung memukul dada saya- satu orang, tanpa satu kata pun. Setelah itu saya sudah bersiap untuk minta maaf, dan bertanya apa masalahnya, dan meminta mereka untuk tidak memukul saya. Dua orang polisi lagi keluar dari mobil dan salah seorang dari mereka memukul lagi dada saya. Kemudian mereka semua mengeluarkan tongkat mereka. Mereka semua menggunakan seragam polisi lengkap. Saya berkata, "saya tidak terima perlakuan ini. Saya minta anda memberikan nama-nama anda."
Setelah saya berkata demikian mereka menjadi lebih brutal dan mereka menaruh salah satu tongkat di bawah leher saya. Empat orang, semua tetap memukuli saya. Saya ditahan di tembok. Kemudian karena keadaannya sangat kacau balau, istri saya datang dari rumah ke arah saya, berusaha menghentikan apa yang terjadi. Setelah datang, istri saya meminta maaf pada mereka dan berkata bahwa suaminya tidak melakukan kesalahan apa pun dan minta mereka berhenti memukul. Keempat orang itu tetap memukuli saya. Istri saya memegang pergelangan tangan saya, menarik saya supaya mereka berhenti memukul saya. Salah seorang polisi menarik pergelangan tangan saya yang lain, dengan istri saya  di tangan yang lain. Kemudian polisi tersebut menarik saya dengan kuat sehingga istri saya terjatuh ke tanah, bersama dengan anak saya yang berumur empat tahun.
Kemudian Vincent [anak laki-laki [Sarmento] lainnya] datang untuk menengahi kejadian tersebut. Ia berbicara dengan sopan kepada polisi tersebut dan meminta mereka untuk berhenti memukuli ayahnya. Bukannya mendengarkan, tapi dua orang dari mereka malah memukuli

Penahanan Acak

Penahanan acak adalah masalah kronis di Timor-Leste. Human Rights Watch mewawancarai banyak orang yang menggambarkan penangkapan mereka oleh polisi sebagai suatu hal yang ilegal. Banyak yang tidak diberitahu oleh petugas yang menangkap, apa tuduhan yang diberikan kepada mereka. Prosedur kriminal Timor-Leste memungkinkan penangkapan tersangka tanpa ada tuduhan selama tujuh puluh dua jam, padahal orang tersebut harus dikenai tuduhan atau dibawa ke hakim untuk memperpanjang masa penahanannya. Human Rights Watch menemukan bahwa orang-orang secara reguler ditahan selama lebih dari tujuh puluh dua jam tanpa tuduhan atau hadir di depan hakim.

Seorang pria muda ditangkap petugas polisi setelah ia berteriak dengan keras ke arah polisi. Tampaknya penahanannya merupakan sebuah hukuman atas kata-katanya, meskipun ia mengaku tidak melakukan pelanggaran kriminal tertentu. Ia bercerita kepada Human Rights Watch:

Setelah mereka membawa saya ke sel di Baucau. Selama tujuh puluh dua jam saya ditahan di sel di Baucau. Pada malam kedua, waktu itu hari minggu, [petugas D, nama dirahasiakan] memanggil saya. Setelah saya dipanggil, petugas polisi lain, [petugas E, nama dirahasiakan] memukul dada saya, melalui jeruji sel. [Petugas D] memanggil saya untuk maju ke depan sel dan meletakkan tangan saya ke atas. [Petugas E] kemudian memukul dada saya. Malam itu saya tidak makan. Dada saya sakit. Setelah itu pada hari Senin, setelah tujuh puluh dua jam, saya dibebaskan. Tidak ada sidang ataupun penyelidikan. Saya dibebaskan begitu saja dan langsung pulang ke rumah. Begitu saja.[32]

Ayat 9 dari Kovenan Internasional mengenai Hak Politik dan Sipil menyatakan bahwa setiap orang "mempunyai hak atas kebebasan dan keamanan dirinya. Tidak seorangpun yang boleh dikenai penangkapan atau penahanan sembarangan." Untuk memastikan kebebasan dari penahanan acak, Ayat 9 lebih lanjut mensyaratkan bahwa penahanan harus diperiksa kebenarannya oleh hakim yang tidak memihak. Undang-undang Timor-Leste juga menyatakan dalam Bagian 30:

  1. Tidak seorangpun akan ditangkap atau ditahan, kecuali dibawah syarat-syarat yang secara jelas yang telah diberikan oleh hukum yang berlaku, dan perintah penangkapan atau penahanan harus selalu disertai dengan hakim yang kompeten dalam kerangka waktu hukum.
  2. Setiap individu yang kehilangan kebebasannya akan segera diinformasikan, dalam cara yang jelas dan tepat, alasan-alasan atas penangkapan atau penahanannya dan juga hak-haknya, dan diijinkan untuk menghubungi seorang pengacara, secara langsung atau melalui keluarga atau orang yang dipercaya.[33]

Satu alasan untuk penahanan ilegal di Timor-Leste adalah kegagalan untuk melaksanakan pelatihan penting mengenai isu tersebut. Seorang penasihat polisi senior PBB, Nuno Anaia, mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa beberapa pelatihan yang ditargetkan telah direncanakan untukmenanggapi isu tersebut, dan hasilnya penurunan yang pasti dari angka komplain penahanan illegal yang mereka terima. Anaia bercerita kepada Human Rights Watch:         

Ini merupakan contoh yang baik mengenai bagaimana pengadaan sumber daya dan pelatihan dapat mempunyai efek. Pada enam bulan pertama UNMISET, kami menerima enam puluh dua komplain mengenai pelanggaran-pelanggaran dari peraturan tujuh puluh dua jam. Kami kemudian merancang pelatihan untuk penyelidikan dan mengundang para pelaku, dsb. Untuk menjelaskan bahwa penahanan tujuh puluh dua jam itu bukan untuk penyelidikan… Jadi, pada enam bulan terakhir hanya tiga kasus yang dilaporkan, dan sebagian besar karena hari libur [menyebabkan ketidaktersediaan hakim] dll.[34]

Meskipun demikian, masalah penting lainnya tentang pemenuhan peraturan penahanan maksimal selama tujuh puluh dua jam dan kekurangan dasar dari sumber daya tetap menjadi kelemahan dari sistem hukum kriminal Timor-Leste. Di luar ibu kota, pengadilan-pengadilan benar-benar kekurangan staf dan para pekerjanya kekurangan sumber daya, dan terbatasnya ketersediaan hakim serta pembela publik berarti bahwa sidang-sidang untuk memutuskan penahanan berlanjut yang lebih dari tujuh puluh dua jam tidak dapat dilakukan, atau dapat dilakukan tetapi tersangka tidak mempunyai perwakilan hukum. Hal tersebut menunjukkan masalah operasional nyata mengenai kepatuhan polisi terhadap peraturan-peraturan hukum, untuk menangkap dan menahan para tersangka kejahatan. Pada tingkatan yang lebih dasar, kekurangan sumber daya seperti mobil, bahan bakar, dan perawatan mobil memberi sumbangan terhadap adanya penahanan yang tidak sesuai dengan hukum dan penyelidikan yang tidak memadai hanya karena, tanpa adanya transportasi untuk bertemu dengan para korban dan saksi mata, polisi dapat melakukan perpanjangan waktu penahanan tersangka tanpa tuduhan sampai tujuh puluh dua jam hingga mereka dapat melakukan penyelidikan dasar.[35]

Pengadilan yang kekurangan sumber daya dapat berdampak bukan hanya kepada para tersangka yang ditahan secara tidak sah lebih dari tujuh puluh dua jam tanpa ada tuduhan, tapi juga kepada orang-orang yang secara benar dikirim ke penahanan pra sidang. Beberapa terdakwa dapat menghabiskan enam bulan penahanan pra sidang tanpa adanya pengawasan judisial, atau tanpa adanya satu tuduhan yang dikenakan kepada mereka.[36]

Vincent. Mereka menendang satu kali di dadanya. Wajah mereka tidak jelas karena saat itu gelap. Anak saya terjatuh, akhirnya mereka mengeluarkan borgol, dan ingin memborgol anak laki-laki saya, dan mereka mulai mengancam, "Seragam ini tidak ditakuti orang!" Sambil  menghampiri Vincent, saya meminta mereka supaya tidak menjadikan anak saya itu sebagai korban. Mereka melepaskan anak saya dan mereka kembali berhadapan dengan saya. Hal tersebut berlangsung selama sekitar tiga puluh menit….Kemudian lampu jalan menyala. Cahaya  lampu itu menghentikan aksi mereka.[37]

Istri Mario juga menggambarkan kejadian tersebut kepada Human Rights Watch: 

Saya tidak tahu mengapa mereka langsung memukul. Saya tidak mengerti orang-orang itu. Mereka banyak memukul pada malam itu. Malam itu, punggung suami saya hitam semua, ia benar-benar kesakitan. Ia mengalami memar di seluruh tubuhnya, akibat pukulan tongkat polisi. Ada banyak saksi mata. Polisi  mengeluarkan senjata mereka, mengeluarkan tongkat mereka, kemudian saat lampu menyala mereka pergi dengan cepat.[38]

Mario Sarmento telah berulangkali mencari tahu apa yang terjadi dengan kasus yang ia ajukan terhadap polisi tersebut. Ia bercerita kepada Human Rights Watch:

Saya telah memeriksa empat kali ke pengadilan distrik tapi tidak ada penjelasan apa pun…Saya ingin anda menggunakan nama saya karena kami ingin memperbaiki PNTL supaya mereka tidak melakukan hal seperti itu lagi. Saya sudah memberikan laporan ke polisi, prosesnya memakan waktu yang lama. Karena penyelidikan yang lama saya juga memasukkan komplain ke Unit Standar Profesional. Saya pergi ke rumah sakit untuk mendapatkan surat keterangan dokter untuk memar-memar di punggung saya. Saya mendapat surat yang meminta saya untuk menjadi saksi mata di kasus yang berbeda; Saya percaya ini merupakan manipulasi untuk menghentikan proses kasus saya. Proses ini masih ada di jaksa penuntut di distrik Dili. Terakhir kali saya pergi untuk memeriksa si penuntut berkata bahwa kasus saya masih diproses. Polisi tersebut sudah dipanggil, tapi pada mulanya mereka tidak datang. Kemudian karena surat keterangan masih berbahasa Indonesia, maka surat itu lalu diterjemahkan [ke Tetum] untuk dibawa ke pengadilan. Saya belum mendengar apakah ada proses untuk para pelaku; ia masih bebas, tidak ditahan. Tidak ada tindakan dari komandannya.[39]

Pria lainnya, Cristiano da Costa, empat puluh empat tahun, menceritakan kepada Human Rights Watch mengenai kejadian yang terjadi pada November 2004 setelah beberapa polisi menuduhnya menabrak mobil menteri pemerintah dengan truknya dan tidak mau berhenti, di sebuah jalan di luar Dili. Ia bercerita kepada Human Rights Watch bahwa ada dua orang polisi yang mengikuti dirinya hingga ke rumahnya di Taibesse, Dili, di mana mereka ingin menangkapnya. Ia bersedia untuk pergi ke kantor polisi dengan mereka untuk berusaha dan menyelesaikan masalah tersebut dengan ditemani bosnya, yang bekerja untuk Perkumpulan HAK, sebuah organisasi Hak Asasi Manusia di ibukota. Cristiano bercerita kepada kami:

 

Mereka ingin kami semua pergi dengan mobil polisi dan saya berkata akan lebih baik jika saya membawa truk saya ke kantor polisi supaya kami mengetahui jika ada kerusakan. Mereka berkata, kamu bawa trukmu, berjalan di depan, kami di belakang. Rumah saya berada di atas bukit. Kami berkendara turun hingga sampai ke sungai. Semuanya gelap, saat itu sekitar jam 10 atau 11 malam. Mereka menyalakan lampu mereka dan meminta saya untuk berhenti di sana. Saya berpikir mungkin mereka ingin membawa truk saya dan saya akan masuk ke mobil polisi. Itu yang saya pikirkan. Mereka keluar dari mobil, dan saya masih tetap berada di truk saya. Mereka meminta saya mematikan mesin mobil, dan mematikan lampunya. Mereka memerintahkan saya untuk membuka pintu, mereka ingin saya keluar. Saya buka pintu dan sebelum saya menjejakkan kaki ke tanah, saya dipukul. Sekali di pipi [kiri] dan dua kali di dada saya. Itu dilakukan oleh salah seorang polisi, dengan tangannya. Kemudian ia berkata, "Jika kamu melakukan sesuatu kamu akan dibunuh." Kemudian mereka memasukkan saya ke mobil polisi, salah seorang polisi mengendarai truk saya hingga kantor polisi di Caicoli…Saya berkata kepada komandan di sana bahwa saya harus ke rumah sakit. Pipi saya terluka.[40]

Penggunaan Senjata Api yang Tidak Sah

Contoh profil yang paling tinggi dari penggunaan kekuatan yang berlebihan dan berubah menjadi kekuatan yang mematikan adalah respon polisi pada kerusuhan di Dili pada Desember 2002. Pada saat itu ratusan perusuh merusak dan merampok di sepanjang jalan mereka menuju Dili dan membumi hanguskan beberapa bangunan. Dalam beberapa contoh, respon dari petugas polisi Timor-Leste yang panik dan kurang terlatih adalah menggunakan gas air mata dan memulai tembakan ke anggota kerumunan dengan amunisi yang berisi. Hal tersebut menyebabkan kematian dua orang pria muda dan tiga belas orang lainnya masuk rumah sakit karena luka tembak. Beberapa korban penembakan mengaku bahwa mereka ditembak dan dilukai saat polisi melewati jalan-jalan dan menembak langsung para tersangka.[41]

Laporan pemerintah mengenai kejadian tersebut tidak diterbitkan hingga November 2003, hampir setahun kemudian. Laporan itu mengkonfirmasikan jumlah korban, tapi tidak terbuka dalam hal para pelaku penembakan. Meskipun sebuah penyelidikan polisi internal yang sebelumnya telah mengidentifikasikan dan menskors enam anggota UIR yang telah melepaskan tembakan saat kerusuhan, mereka tidak dikenakan tanggung jawab untuk kematian dan luka-luka yang disebabkannya.[42] Laporan PBB mengenai kejadian itu mengkritik "kemunculan yang tinggi mengenai pernyataan yang bertolak belakang" oleh polisi, yang telah menghambat penyelesaian masalah tersebut.[43] Hingga hari ini belum ada kejelasan mengenai status dari setiap tindakan disipliner yang diberikan kepada para petugas polisi yang terlibat di kerusuhan Desember 2002.

Hal yang hampir sama, penembakan polisi yang mematikan terhadap seorang pria saat terjadi gangguan di Baucau sebulan sebelumnya juga belum diselesaikan dengan memuaskan, dan hingga hari ini tidak ada seorang pun yang ditangkap untuk bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut.

Meskipun belum menjadi masalah yang tersebar luas, Human Rights Watch menemukan kejadian-kejadian terbaru lainnya mengenai penggunaan senjata api oleh polisi di Timor-Leste yang tidak proposional, tidak perlu dan ilegal.

 

Seorang pria berumur dua puluh dua tahun menggambarkan pengalamannya kepada Human Rights Watch. Pada 12 Juli 2004, ia telah terlibat perkelahian di pagi hari dengan beberapa pria lainnya di kota Tilolai. Ia menceritakan kepada Human Rights Watch bahwa perkelahian itu hanya berlangsung sekitar dua puluh menit dan tidak seorangpun yang terluka. Sore harinya polisi datang ke desanya:

Waktu itu kami sedang main sepak bola di lapangan sekitar pukul 4 sore. Kemudian polisi –tidak dengan mobil patroli, dengan mobil biasa-datang dengan minibis penumpang. Mereka keluar dari bis dan kami melihat polisi tersebut. Mereka berkata, "Hei! Berhenti!" kemudian mereka mengeluarkan senjata mereka. Kami ketakutan jadi kami lari. Saya tidak tahu berapa banyak polisi yang ada waktu itu. Saya melihat seorang polisi keluar dari bis. Sesaat setelah saya melihat senjata saya mulai berlari. Teman saya yang tidak terlibat dalam kejadian tidak berlari. Hanya kami bertiga yang berlari. Polisi langsung menembaki kami. Mereka menembak empat kali – saya tidak melihat karena saya sedang berlari tapi saya mendengar tembakan itu [tiga orang itu tidak ada yang terluka]. Kami belum melaporkan kejadian penembakan itu ke polisi. Saya takut mereka akan berkeinginan untuk menangkap kami lagi[44]

Pria lain menggambarkan sebuah kejadian yang terjadi pada Januari 2005. Ia dan keponakan laki-lakinya sedang keluar untuk memetik buah dan sayuran, ketika mereka bertemu dengan seorang petugas PNTL yang menuduh mereka telah mencuri ternak. Ia bercerita kepada Human Rights Watch:

Kami pergi ke atas bukit sekitar jam 10 pagi. Saat itu 23 Januari 2005…Ketika kami tiba di atas bukit, kami bertemu dengan PNTL itu. Mereka [petugas PNTL dan keluarganya] sedang mencari ternak. Mereka bilang seseorang telah mencuri ternak dan kemudian mereka bertemu kami. Ketika mereka bertemu dengan kami, ia menyiapkan senjatanya. Petugas PNTL, seorang pria, dengan keluarganya, ada empat orang. Ia memakai pakaian biasa. Ia telah bersiap untuk menembak dan memerintah kami untuk tidak melakukan apa-apa…Saat itu kami membawa satu tas dan dua payung, serta dua buah pisau kecil. PNTL itu memerintahkan kami untuk menyerahkan barang-barang itu kepadanya. Ia meletakkan semua itu di pinggangnya. Mengambil semuanya. Ia juga mengambil rokok dan sejumlah tembakau. Saya mempunyai sedikit tembakau yang dibungkus plastik. Setelah itu ia memerintahkan kami untuk berjalan. Ia memaksa kami untuk berjalan. Ia memegang senjatanya yang sudah siap, di belakang kami. Kami berada di tengah-tengah. Keluarganya ada di depan. Setelah kami telah berjalan sekitar 200 meter, kami melihat jejak kaki ternak. Dua pasang jejak kaki dan kami harus mengikuti jejak itu. PNTL ada di belakang, selalu di belakang…Kami berjalan sekitar dua puluh menit dan saat itu hujan sangat deras. Kami melihat jejak lagi dan mungkin kurang dari 100 meter kemudian kami menemukan ternak itu. PNTL mungkin berada setengah meter di belakang saya dan kemudian ia menembakkan senjatanya. Saya tidak tahu kemana ia menembakkan senjatanya. Saya masih melihat ke depan dan PNTL itu di belakang saya. Ia menembakkan senjatanya sekali dan berkata, "Jika kamu tidak ingin mati, maka pergilah." Ketika ia menembakkan senjatanya kedua sapi itu melarikan diri…Kami mencari sapi tersebut mungkin sekitar tiga jam. Saat saya sampai di rumah hari sudah sore… Ia sangat salah menggunakan senjata milik pemerintah.[45]

Pria itu pergi untuk melaporkan komplain ke polisi tapi kemudian disetujui untuk bertemu dengan petugas polisi tersebut untuk menyelesaikan masalah secara informal. Jika sistem sudah bekerja dengan baik, petugas tersebut harusnya mendapatkan tindakan disipliner dari petugas polisi atasannya, yang tahu kasus tersebut tapi tidak mengambil tindakan apapun.

Berkaitan dengan kasus di atas, kepala kantor PEO di Bobonaro bercerita kepada Human Rights Watch bahwa sekalipun si pelaku sudah berdamai dengan komunitas mungkin juga akan ada tindakan disipliner yang diberikan PNTL kepada petugas tersebut (ia menyarankan tindakan disipliner itu bisa saja skors dua bulan, atau apapun yang diputuskan oleh sang komandan). Ketika ditanya mengenai penggunaan senjata api yang tidak mendapat ijin, seperti ingin menjelaskan, ia menjawab:

Biasanya pistol dibagikan pada pagi hari dan pada sore hari pistol-pistol itu dikembalikan ke ruang penyimpanan. Dalam kasus ini, petugas itu datang pada pagi hari, menerima senjatanya, kemudian pulang ke rumah untuk sarapan. Ia berganti baju dan kemudian menggembalakan ternaknya. Itulah kenapa dia mempunyai senjata.[46]

Sebagaimana dengan jenis pelanggaran lainnya, kegagalan untuk mendisiplinkan dan mendapatkan pertanggungjawaban para petugas yang terlibat, adalah upaya-upaya yang melemahkan penegakan kepatuhan yang tegas, untuk menggunakan kebijakan-kebijakan senjata api di angkatan polisi.

Prinsip-prinsip Dasar PBB mengenai Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Petugas Penegak Hukum menyatakan bahwa senjata api hanya boleh digunakan dalam situasi yang spesifik: "petugas penegak hukum tidak boleh menggunakan senjata api kepada seseorang kecuali dalam membela diri sendiri atau membela orang lain yang mendapat ancaman tiba-tiba akan kematian atau luka yang serius [atau] untuk mencegah perbuatan-perbuatan kejahatan serius tertentu yang melibatkan ancaman serius pada kehidupan."[47]

Berdasarkan Prinsip-Prinsip Dasar, "Pemerintah harus memastikan bahwa penggunaan kekuatan dan senjata api yang acak atau berlebihan oleh petugas penegak hukum dihukum sebagai pelanggaran kriminal di bawah hukum mereka."[48] Meskipun Kode Etik dan Prinsip-Prinsip Dasar mengenai Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api tidak mengikat hukum internasional, tapi peraturan tersebut membentuk panduan yang dapat diandalkan untuk menafsirkan hukum hak asasi manusia internasional yang berkaitan dengan masalah kepolisian.

Perkumpulan HAK telah membantu Cristiano da Costa dengan komplainnya terhadap polisi tersebut untuk penyerangan dan penahanan sewenang-wenang. Mereka bercerita kepada Human Rights Watch:

Kasus ini sudah sampai pada tahap sidang di pengadilan. Hasil dari keputusan hakim penyelidik adalah bahwa dua orang pelaku akan mendapatkan pembebasan tidak bersyarat [seperti penarikan tuduhan]. Hingga saat ini belum ada tindakan dari PSU [Unit Standar Profesional, yang sekarang dikenal dengan Unit Etika dan Deontologi Profesional]. Pada 17 Maret 2005, kasus penuntut tersebut masuk ke pengadilan. Pada saat sidang Cristiano tidak hadir. Ia tidak diberitahu, tidak diijinkan hadir. Sejak sidang itu belum ada perkembangan lebih lanjut di pengadilan, dan para pelaku masih meneruskan tugas mereka sebagai polisi. Ada banyak kasus seperti ini. Ada kejadian, tapi kemudian tidak ada proses.[49]

Pada Agustus 2004, beberapa orang laki-laki yang terlibat dalam sebuah perkelahian dengan penduduk desa saingannya ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara polisi di kantor polisi Maliana. Seorang dari mereka menggambarkan kejadian yang menimpanya malam itu di dalam sel:

Pada tengah malam, polisi dari Maliana datang dan memanggil saya di dalam sel. Mereka meminta saya untuk keluar untuk mendapatkan beberapa obat-obatan. Tapi, ketika saya mulai berdiri, mereka kemudian memukul saya- menendang perut saya dan meninju dada saya. [nara sumber memberikan nama-nama pertama dari petugas polisi yang pertama kali memukulnya dan dua orang lain yang juga memukulnya ketika ia keluar dari sel.] Kemudian mereka memerintahkan saya untuk kembali ke sel. Pagi harinya saya dibawa ke rumah sakit Maliana untuk dirawat.[50]

Seorang laki-laki yang menyaksikan hal tersebut bercerita kepada Human Rights Watch:

Mereka membawanya ke luar dari sel dan (memukulinya) tepat di depan sel. Saya menyaksikan pemukulan tersebut. Mereka menggunakan kepalan tangan dan meninjunya di perut. Saat ia diperintah untuk meninggalkan sel, mereka berkata untuk mengambil beberapa obat-obatan tapi setelah ia keluar dari sel ia diperintahkan untuk mengangkat tangannya dan meletakkan tangannya di tembok. Kemudian ia dipukuli oleh kedua petugas polisi tersebut. Mungkin selama sekitar lima belas menit. Kami tidak berteriak. Kami hanya diam.[51]

Catatan rumah sakit Maliana yang dilihat oleh Human Rights Watch menunjukkan bahwa korban dimasukkan ke rumah sakit pada Agustus 2004 dengan "luka di kepala (di atas telinga kanan). Kira-kira 3 cm. Luka-luka goresan di sisi kiri kepala."[52]

Beberapa orang mengajukan komplain terhadap polisi berkenaan dengan pengunaan kekuasaan yang berlebihan pada saat penahanan mereka dan perlakuan yang buruk selama penahanan mereka di kantor polisi Maliana pada Agustus 2004. Salah seorang korban bercerita kepada Human Rights Watch:

Tiga orang di antara kami pergi ke Maliana untuk memulai penyelidikan terhadap PNTL di Maliana. Kami belum mengetahui hasilnya. Kami pergi lagi pada 17 Maret 2005, dan kami diberitahu untuk menunggu hasil dari penyelidikan. Kami tidak puas dengan aksi polisi tersebut. Kami tidak terima karena kekerasan mereka sama seperti saat Indonesia masih berada di Timor-Leste.[53]  

Pada Agustus 2004, seorang laki-laki dari Dili ditahan bersama sekitar lima puluh orang anggota lainnya dari kelompok bela diri, saat mereka melakukan kunjungan kelompok ke distrik Ainaro, sekitar empat puluh kilometer dari Dili. Laki-laki tersebut yakin mereka diincar hanya karena keanggotaan mereka pada kelompok bela diri tersebut.[54] Mereka diberitahu bahwa mereka ditangkap karena dicurigai telah membakar rumah di desa terdekat pada malam sebelumnya. Human Rights Watch berbicara dengan salah satu laki-laki mengenai kejadian tersebut.. Ia menceritakan kembali:

Polisi bertemu kami di jalanan dan segera memeriksa kami. Kami mempunyai pisau – mereka mengambil semua pisau kami. Ada teman yang memakai seragam PNTL tapi ia bukan seorang PNTL. Ia diperintahkan untuk push up oleh polisi tersebut dan UIR (Unit Intervensi Cepat) selama hampir tiga puluh menit. Setelah itu kami berjalan sekitar seratus meter. Kami melewati rumah yang telah dibakar dan mereka menyerang kami. Punggung saya dipukuli dan ditendang. Kami diborgol terlebih dahulu dan diperintahkan untuk berlari ke kota Ainaro…sekitar empat puluh lima dari kami diborgol. Ketika kami tiba di kantor polisi Ainaro kami diperintahkan untuk berbaris dan melepaskan baju – celana kami, semuanya, hingga tinggal pakaian dalam kami. Kemudian kami disuruh untuk berdiri dengan satu kaki dengan tangan terbentang ke samping. Jika kami menurunkan kaki kami mereka memukuli kami. Kami juga disiksa dengan semprotan lada yang disemprotkan langsung ke mata kami. Saya dipukuli di bagian dada. Saya dipukul empat kali. Kami tiba di sana pada jam 3.00 sore. Pada jam 10.00 malam kami akhirnya dimasukkan ke dalam sel…kami ditahan selama tiga hari, kemudian di hari keempat pagi kami dilepaskan untuk kembali [dipindahkan] ke Dili. Kami masuk ke dalam sel lagi di Dili. Empat puluh lima orang dari kami ada di dalam sel di Dili untuk tujuh puluh dua jam lagi.[55]

Human Rights Watch mewawancarai beberapa orang laki-laki yang merupakan korban dan saksi mata dari kekuasaan polisi yang berlebihan pada insiden di sub distrik Bobonaro pada 13 Agustus 2004. Sebuah pertemuan untuk menyelesaikan sengketa tanah berubah menjadi kekerasan setelah kata orang petugas polisi memukul seseorang yang hadir di pertemuan itu. Sedikitnya dua orang petugas polisi diserang dan melarikan diri dari tempat kejadian. Bantuan polisi kemudian dipanggil ke desa tersebut. Seorang pria menceritakan kepada Human Rights Watch mengenai kejadian berikutnya:

Polisi [tambahan] datang dari Bobonaro. Mereka langsung menangkapi dan memukuli orang-orang di sini. Polisi menendangi ayah saya dan memukuli beliau dengan tongkat polisi. Mereka memukul sisi kiri badannya. Ada sekitar tujuh atau delapan orang. Setelah mereka memukuli ayah saya, kakak saya datang dan berkata pada mereka bahwa tidak perlu memukuli ayahnya. Jika mereka ingin memukul seseorang mereka seharusnya memukul kami saja. Kemudian polisi tersebut melepaskan ayah saya, tidak memukulinya lagi, dan mulai memukuli kakak saya dengan tongkat dan jaket tahan peluru. Mereka memukuli kepala kakak saya hingga berdarah.[56]

Kakak pria tersebut bercerita kepada Human Rights Watch mengenai apa yang terjadi padanya:

Setelah mereka melepaskan ayah saya mereka mulai memukuli kami. Pertama-tama mereka memukuli saya dengan jaket tahan peluru yang mereka bawa. Polisi itu menendangi saya dengan kakinya, dan memukul saya dengan kepalan tangan dan jaketnya. Memukul kepala saya sampai berdarah. Ia menendang dada saya. Saat itu juga ada beberapa orang yang memukuli saya dari belakang. Kemudian polisi dari Maliana berkata mereka ke sini untuk menenangkan situasi bukan untuk memukuli korban. Maka, polisi dari Maliana dapat menyelamatkan kami. Saya pikir kalau polisi Maliana tidak datang, kami mungkin akan setengah mati.[57]

Saat Human Rights Watch menanyakan komandan polisi sub distrik Bobonaro mengenai insiden tersebut, ia menyatakan:

PSU [Unit Standar Profesional] telah menyelidiki hal ini. Saya telah memberikan semua laporan saya kepada mereka. Hasilnya masih diproses di PSU. Masih dipertimbangkan kebenaran dari insiden tersebut. Kasus itu belum dipecahkan….apakah saya seorang pelaku atau seorang korban? Ini bukan kasus kecil, kasus ini sudah sampai ke menteri [dalam negeri]. Anggota [petugas] saya tidak makan selama seminggu sesudahnya [setelah insiden] karena wajah mereka bengkak-bengkak. Komunitas berpikir karena sudah demokrasi mereka mempunyai hak untuk melakukan semua hal. Mereka juga harus menyadari bahwa polisi mempunyai hak untuk mempertahankan diri mereka sendiri. Jika Unit Hak Asasi Manusia PBB atau HAK datang ke sini saya tidak menerima mereka. Mereka mendokumentasikannya secara berbeda dan selalu menyimpulkan bahwa polisi adalah para pelakunya.[58]

Human Rights Watch kemudian mewawancarai kepala Kantor Etika Profesional di Bobonaro yang mengawasi kasus tersebut. Ia bercerita kepada kami bahwa kasus tersebut sudah diproses dan mereka menunggu untuk mengirimkan rinciannya ke Dili. Ia mengkonfirmasikan bahwa tuntutan terhadap empat orang petugas PNTL dari kantor polisi sub distrik Bobonaro dan satu orang dari kantor polisi Maliana telah dibuat.[59]

Elisio Dominggos da Piedade, dari distrik Baucau, bercerita kepada Human Rights Watch mengenai sebuah pengalaman pada akhir Juli 2004. Ia berkata ia ditahan untuk insiden yang melibatkan dua orang polisi dan seorang pria lainnya yang telah meminjam motornya. Pada hari kejadian ia sedang berada di kantornya, dengan sepeda motor di luar, saat dua orang petugas polisi datang dengan mobil patrolinya. Ia secara keliru diidentifikasikan sebagai tersangka, diborgol, dan dibawa ke kantor polisi Baucau. Ia menceritakan hal tersebut kepada Human Rights Watch:

Sepanjang perjalanan ke kantor polisi saya bertanya. "Kenapa anda menangkap saya?" Dua orang itu hanya menyuruh saya untuk diam. [Ia mengidentifikasikan dua petugas itu, satunya dengan nama.]. Sesaat setelah mereka melepaskan borgol ia [nama petugas dirahasiakan] menyemprotkan semprotan lada di mata saya. Setelah itu mereka membawa saya ke ruang interogasi dan dada saya ditendang. Ia [nama dirahasiakan] lagi yang melakukannya. Ia menendang saya di sini [menunjukkan dada] dan saya jatuh mundur ke tembok. Kemudian ia menendang saya lagi. Saya jatuh lagi ke tembok di depan saya. Saya tidak tahu berapa lama ia menendangi saya, mungkin sekitar sepuluh menit. Ia tidak bertanya apa-apa, ia masih jengkel dengan saya. Kemudian saya dimasukkan ke dalam sel selama tujuh puluh dua jam. Sel itu benar-benar kosong. Saya tidak melaporkan [pelanggaran] itu ke satu orang pun di kantor polisi tersebut. Mata saya masih sakit akibat gas tersebut. [60]

Catatan rumah sakit Baucau memperlihatkan bahwa catatan dokter yang ditulis untuk kasus Elisio merinci luka-lukanya. Catatan itu memperlihatkan bahwa Elisio diberikan pengobatan untuk komplain medis dalam jangka waktu tiga hari pada Juli 2004 karena trauma di punggung akibat pemukulan.[61]

Tuntutan terhadap Elisio dibatalkan tapi pada saat pengadilan kriminal Elisio di pengadilan di Dili, Elisio memasukkan sebuah komplain mengenai perlakuan buruk yang diterimanya saat berada dalam penahanan polisi. Ia kemudian berulang kali mencari pertanggungjawaban atas penganiayaan itu. Ia bercerita kepada Human Rights Watch apa yang ia lakukan setelah dilepaskan dari tahanan:

Saya mengajukan komplain mengenai [polisi yang telah memukuli dan menyemprot matanya dengan semprotan lada, nama dirahasiakan.] Hal tersebut sedang diselidiki oleh polisi tapi belum selesai. Pada saat sidang saya di Dili saya juga komplain kepada pengadilan [mengenai pelanggaran itu]. Saya merasa sedih karena komplain itu belum diajukan, dan prosesnya masih berlangsung. Mengenai insiden yang sebenarnya, tidak ada yang pernah ditangkap untuk insiden itu. Hanya saya dan itupun merupakan kesalahan. Karena saya secara keliru telah ditangkap, saya dibebaskan tanpa syarat. Setelah keputusan pengadilan kasus saya, pembela saya Pedro meminta jaksa penuntut dan polisi Baucau untuk menyelidiki penangkapan dan pelanggaran yang salah. Jadi, setelah mengirimkan surat permintaan kepada polisi dan jaksa penuntut, mereka berkata kita harus menunggu sampai proses tersebut berlanjut. Sampai sekarang kasus itu belum sampai ke pengadilan. Saya bergantung pada proses. Jika kasus tersebut diselidiki maka dia [nama dirahasiakan] harus dibawa ke pengadilan. Pendapat saya adalah saya siap maju ke pengadilan.[62]

Ayah Elisio, yang bekerja di rumah sakit distrik, komplain kepada Human Rights Watch mengenai kurangnya perkembangan kasus anak laki-lakinya:

Anak laki-laki saya dipukuli di penjara (sel) tapi ia tidak dibawa ke rumah sakit. Saya minta mereka membawanya ke rumah sakit, untuk diobati, tapi mereka tidak membawanya. Hingga sekarang kami masih menunggu kasus tersebut dipecahkan. Kasus tersebut belum diselesaikan, kami belum menerima informasi apapun.[63]

Pria muda lainnya, yang tidak ingin diketahui identitasnya, bercerita kepada Human Rights Watch mengenai apa yang terjadi kepadanya saat ia ditahan di desanya di Holsa:

Pada 25 Juni 2004, Saya ditahan oleh PNTL, dan dimasukkan ke dalam sel selama dua hari dua malam. Saya terus menerus disiksa, disemprot dengan semprotan lada, dipukuli dan disiram air. Mereka selalu mengancam saya dengan berkata, "jika kamu melawan polisi maka kamu akan tahu konsekuensinya." Tiga polisi datang ke dalam sel, mengunci pintu, dan melepaskan jaket mereka, kemudian memukul saya. Mereka semua PNTL Maliana. Mereka adalah penjaga malam, dan mengenakan seragam PNTL. Pada malam pertama mereka memukul saya sekitar jam 1.00 am, pada malam kedua mereka memukul saya sekitar jam 3.00 am. Kejadian di dua malam itu dilakukan oleh orang yang berbeda, tapi mereka memukuli saya di dua malam itu. Pertama kali saya sedang berada di sebuah sel dengan teman saya. Tiga orang dari mereka datang dan memanggil saya, "[nama dirahasiakan], kamu ikut kami." Mereka membawa saya sendiri ke sel lain. Saat kami tiba di sana mereka mulai memukuli saya. Sekitar satu jam mereka memukuli saya. Mereka memukul saya dengan sepatu, dan menendang punggung dan kaki saya. Mereka mengenakan sepatu bot polisi. Lampu dimatikan. Saya teriak minta tolong tapi tidak seorangpun yang datang. Ketika mereka selesai mereka membawa saya kembali ke sel. Saya tidak dapat berjalan sehingga mereka mengangkat saya masuk ke sel. Kemudian mereka kembali ke kantor mereka. Saya terluka.
(…)
Pada malam kedua kami tidur hingga jam 3.00 am, kemudian mereka datang lagi. Mereka tiba, memanggil saya lagi, dan membawa saya lagi ke sel – ruang penyiksaan. Mereka memukuli saya hingga saya tak sadarkan diri. Saya pingsan dan mereka membawa saya ke rumah sakit…Ketika kami sampai di rumah sakit, sang dokter berkata, "orang ini hampir mati, kalian masih melakukan hal semacam ini?" Dokter tersebut memeriksa tulang iga saya. Di sini [menunjuk sisi kanan dari dahi] kepala saya terluka dan berdarah. Dokter terus memeriksa saya dan berkata saya harus menginap di rumah sakit. Polisi tersebut berkata, "Biarkan dia mati, mati di kantor polisi." Kemudian mereka membawa saya kembali ke kantor polisi dan memasukkan saya kembali ke dalam sel.[64]

Seorang laki-laki berumur tiga puluh lima tahun merinci kejadian traumatis yang dialaminya dengan petugas polisi pada Mei 2004 di desanya Batugade, Bobonaro. Ia bercerita kepada Human Rights Watch:

Saya melihat seorang pria berdiri di depan pintu saya, ia mengenakan atasan hitam dan bertuliskan "polisi" di belakangnya. Saya juga melihat ia membawa senjata di ketiak kirinya. Setelah saya menyalakan obor saya ia berlari ke arah saya dan memegang tangan kanan saya. Ia berkata, "Kamu kenal saya atau tidak?" Saya lihat ia mempunyai senjata, jadi saya katakan saya tahu dia dan minta maaf kepadanya tapi ia langsung memukul dada saya sekali dengan tangannya. Saya meminta ampun tiga kali dan kemudian dia memukul saya lagi membawa saya dari rumah saya ke rumah saudara laki-laki saya. Saat kami tiba di depan rumah saudara laki-laki saya, saya meminta saudara saya untuk keluar dan saudara saya meminta polisi itu untuk tidak memukuli saya lagi. Ia berkata kalau memang ada masalah dengan kami maka diselesaikan dengan cara yang lebih baik. Kemudian PNTL itu menendang saudara saya….Saudara saya ketakutan dan melarikan diri. Kemudian saya diseret dan perut saya dipukul lagi. Itu pukulan yang brutal dan saya jatuh ke belakang dan kepala saya terbentur aspal, kemudian saya diseret lagi. Saya sudah pingsan. Ada banyak darah di kepala saya dan saya tersadar saat PNTL itu menyeret saya untuk berdiri kembali. Saya diseret sekitar seratus meter dan saya terjatuh. Saya pingsan. Polisi itu memegang tangan saya dan menekan perut saya, kemudian ia mengeluarkan sangkur [jenis dari bayonet/pisau] dan ingin menusuk saya. Ia memerintahkan kepada komunitas untuk menanyakan apakah ada orang yang mengenal saya atau tidak, jika tidak ada orang yang mengenal saya ia akan menusuk saya karena saya adalah seorang milisi. Saudara laki-laki saya maju ke depan dan berkata, "Saya mengenalnya. Ia saudara laki-laki saya." Polisi itu melepaskan saya dan keluarga saya membawa saya ke rumah saudara laki-laki saya.
Anggota PNTL itu kemudian pergi, dan saudara laki-laki saya itu menunggui saya hingga jam 4 pagi kemudian kami pergi naik mobil untuk membawa saya ke rumah sakit di Balibo. Di rumah sakit perawat memberi saya beberapa obat-obatan. Kemudian saya pergi ke kantor polisi Balibo [untuk membuat komplain]…Polisi memanggil petugas PNTL dan memerintahkanya untuk pergi ke kantor polisi. Saya mendengar mereka melakukan hal itu saat saya masih di kantor polisi. Kepala saya terasa berputar-putar tapi saya dengar. Karena [petugas] PNTL itu tidak datang. Saya pun pulang ke rumah.[65]

Laki-laki ini masih mengalami trauma akibat kejadian tersebut. Ia bercerita kepada Human Rights Watch bahwa ia sangat takut pergi keluar sendirian, dan oleh karena itu anggota keluarganya harus menemaninya kemana pun ia pergi. Tampaknya si pelaku mungkin sudah dihukum atas perbuatannya itu, tapi sang korban belum diberikan informasi apapun mengenai komplainnya. Ia mengatakan kepada Human Rights Watch:

Keesokan paginya [setelah kejadian], sekitar jam 8.00 am, komandan dari Mota'ain mengunjungi rumah saya. Ia berjanji bahwa keesokan harinya ia akan menemui saya dan kita akan pergi ke Maliana. Setelah dua hari saya menunggu, ia tidak datang, dan pada hari ketiga ia datang. Komandan polisi datang bersama si pelaku ke rumah saya untuk menyelesaikan masalah tersebut. Pada saat itu saya berkata saya tidak mau, saya hanya seorang warga Negara biasa. Saya ingin masalah tersebut diselesaikan dari atas, di pengadilan. Sebagai warga Negara biasa saya tahu proses hukum. Jadi, saya pergi ke pengadilan dili untuk memasukkan komplain dan juga ke Yayasan [Perkumpulan] HAK….Hasilnya? Saya tidak tahu. Saya tidak tahu di mana pelaku itu berada sekarang ini. Saya tidak diberitahu. Saya pulang dan hingga saat ini saya hanya mendengar pelaku itu dipenjara tapi saya tidak melihat dengan mata kepala saya sendiri. Tidak ada seorangpun yang datang ke sini untuk memberitahu saya, tidak juga dari HAK.[66]

Pada April 2004, Baltazar Fatima Correia, dua puluh dua tahun dari desa Mulia di distrik Baucau, dijemput oleh beberapa petugas polisi yang mabuk, dipukuli dan diancam. Ia bercerita kepada Human Rights Watch:

Lima orang polisi sedang minum-minum tuak putih dengan ayah saya dan teman mereka [nama dirahasiakan] di sebuah pos polisi. Setelah selesai minum tuak, kelima polisi itu ingin pulang ke Baucau. Saya telah lama kenal mereka. Mereka datang ke tempat di mana saya sedang duduk-duduk di pinggir jalan. Saya memanggil adik laki-laki saya dengan cara membentak untuk menanyakan apakah ia ingin ikut ke Baucau atau tidak. Tapi polisi itu mengira saya sedang memanas-manasi mereka, mereka salah sangka. Mobil polisi itu berhenti. Salah satu PNTL [petugas A, nama dan pangkat dirahasiakan] keluar dari mobil. Empat temannya masih tetap berada di mobil. Sesaat setelah ia keluar dari mobil ia langsung menendang dada saya. Setelah itu saya jatuh ke tanah. Ada dua orang PNTL lain, mereka keluar dari mobil. [Nara sumber menyebut dua orang ini, petugas B dan C, nama dirahasiakan, dan petugas ketiga yang meninju punggung lehernya sekali.[67]]
Setelah itu [petugas B dan C] memborgol tangan saya di punggung dan memasukkan saya ke dalam mobil kemudian membawa saya ke kantor polisi. Ketika kami tiba di sebuah sungai – sungai itu tidak begitu jauh, mungkin sekitar seratus meter- [petugas B] berkata kepada temannya. "apakah di sini ada rumah kosong atau tidak? Jika ada kita bisa melepaskan dia dan menyiksa dia di sini." Tidak ada tanggapan. Sekitar 500 meter kemudian di sebuah pemakaman [petugas A] berkata, "Mundurkan mobil," kemudian [petugas C] menjawab, "Jangan, lebih baik jika kita bawa dulu dia ke Baucau." Ketika ia menjawab itu ia sambil menyundut saya dengan rokoknya, di bawah pergelangan tangan kiri saya [menunjukkan bekas luka]. Saya ada di lantai mobil. Mereka terus-terusan menendangi saya. Mereka duduk di atas. Setelah menyundut saya, [petugas C] berteriak kepada saya, "Jika kamu berbuat sesuatu saya akan menembakmu."[68]

Seorang laki-laki yang menyaksikan kejadian itu berkata kepada Human Rights Watch mengenai apa yang dilihatnya:

Kami sedang bekerja di sini untuk Paskah, sekitar pukul 9 atau 10 pagi. Saya di sini, bekerja di gereja, dan melihat mobil tersebut. Saya lihat [petugas A] keluar dari mobil dan langsung memukul Baltazar…Kemudian Baltazar dipukul oleh [petugas B] yang memukulnya dan menarik kepalanya kemudian membenturkannya ke mobil. Pada saat itu saya sekitar dua puluh meter. Saya melihat hal tersebut dan berlari. Saya bilang pada [petugas B], saya berkata, "Kenapa anak itu dipukuli. Apa kesalahannya?" Setelah itu mereka tidak memukulinya kembali. Mereka memasukkan Baltazar ke dalam mobil. Saya lihat mereka pergi ke Baucau tapi saya tidak dapat berkata apa-apa karena PNTL itu sangat emosional…Mereka menggunakan seragam dan mengendarai mobil Sumo TATA dengan tulisan "polisi". Ada banyak orang di sekitar situ, sepuluhan orang.[69]

Setahun lebih sejak kejadian itu, Baltazar Fatima Correia masih berusaha untuk mendapatkan kompensasi atas perlakuan yang ia alami saat berada dalam penahanan polisi. Ia bercerita kepada Human Rights Watch:

Saya pergi ke kantor si jaksa penuntut dan ia berjanji ia telah siap membawa kasus itu ke polisi, tapi belum ada hasilnya. Hanya [Perkumpulan] HAK telah mengirimkan surat ke PSU tapi kasus itu belum juga diselidiki. Kasus ini sudah ada di tingkat jaksa penuntut, tapi belum disidang. Kasus ini ada di PSU di Dili…Saya sering datang ke polisi Baucau untuk kasus saya. Polisi hanya mengusir saya dan mengancam saya sambil bilang. "Pulang, kembali ke rumah, jangan datang ke sini, jika kamu datang ke sini saya akan menembak atau memukul kamu." Saya sudah tiga kali memeriksa kasus saya di sana. Terakhir kali pada September 2004. Saya tidak takut untuk datang lagi, masalahnya adalah uang untuk ongkos ke Baucau.[70]

Saat Human Rights Watch menanyakan hal tersebut ke komandan polisi Baucau tentang kasus tersebut ia menyatakan, "Mengenai kasus Mulia, hal tersebut sudah diselesaikan. Tidak ada bukti bahwa mereka [petugas polisi] terlibat. Hal tersebut sudah sampai ke pengadilan dan tidak ada bukti. Mereka semua dilepaskan. Kejadian itu sudah lama. Semua berkas ada di Dili."[71]

Kekebalan Hukum untuk Pemerkosaan

Kegagalan untuk mendapatkan pertanggungjawaban dari siapapun untuk pemerkosaan seorang gadis remaja, yang dituduhkan pada sembilan petugas PNTL pada 10 Mei 2004, adalah contoh lainnya dari kekebalan hukum efektif yang sudah diantisipasi oleh para petugas polisi di Timor-Leste. Dalam kasus ini, kesembilan polisi tersebut pada awalnya telah ditahan dan dikenai tuduhan pemerkosaan, dituduh membawa gadis tersebut dalam sebuah kendaraan resmi polisi ke sebuah kompleks pelatihan polisi di daerah Tasi Tolu, Dili, di mana mereka telah melakukan penganiayaan seksual terhadap gadis tersebut; ada laki-laki kesepuluh, seorang warga sipil, yang dikenai tuduhan telah "menyediakan" gadis itu kepada para petugas polisi tersebut.[72] Sidang-sidang awal kasus tersebut membebaskan sementara enam orang tertuduh sambil menunggu persidangan, sementara empat orang lainnya (tiga orang PNTL dan seorang sipil) tetap berada dalam penahanan.

Sidang-sidang awal pada Juni 2004 dan pengadilan pada April 2005 diawasi oleh Program Pengawasan Sistem Judisial Ornop Timor-Leste (East Timorese NGO Judicial System Monitoring Programme/JSMP), yang melaporkan keprihatinan yang mendalam terhadap cara yang tidak wajar saat melakukan pemeriksaan dan faktor-faktor yang diperlihatkan, dalam pandangan mereka, "baik hak-hak dari para tersangka untuk mendapatkan kuasa hukum yang baik, ataupun harapan dari sang korban dan komunitas untuk mendapatkan pengadilan yang independen supaya dapat melakukan pengadilan yang benar berkaitan dengan klaim sang gadis, tidak dihormati."[73] JSMP mencatat bahwa selama persidangan mengenai penahanan lanjutan dari para tersangka, sejumlah besar anggota PNTL hadir di ruang sidang dan kompleks pengadilan. Mereka juga melaporkan bahwa petugas polisi, di bawah wewenang yang dipertanyakan, memblokade gedung pengadilan umum, melecehkan tanpa sebab dan mengganggu secara verbal sang korban ketika ia meninggalkan ruang sidang.[74] Satu laporan mengutip hakim yang berkata "keadilan menjadi tidak berdaya saat pemerintah tetap ikut campur dalam proses"[75] JSMP juga mencatat bahwa "hakim penyelidik yang ditugaskan untuk kasus tersebut mengatakan kepada pengawas JSMP bahwa ia tidak dapat mengendalikan etika mereka [para petugas PNTL dan UIR di pengadilan]"[76]

Saat kasus tersebut masuk ke pengadilan hanya tiga petugas polisi dan satu orang sipil yang ada dalam penahanan polisi, yang disidangkan, dan tampaknya ada pengabaian terhadap tuduhan yang belum diselesaikan dari enam petugas polisi yang dibebaskan sementara. Pada sesi sidang 13 April 2005, baik pengacara pembela dan jaksa penuntut mengklaim tidak mempunyai keterlibatan awal dalam kasus tersebut dan mengabaikan bukti. Hakim ketua kemudian memutuskan bahwa para tersangka dibebaskan karena kurangnya bukti-bukti, lalu petugas polisi tersebut dibebaskan. Tidak ada tuntutan lebih jauh yang dilanjutkan kepada seorang tersangka pun, dan tidak seorang pun yang dapat dimintai pertanggungjawaban untuk pemerkosaan tersebut.

Kegagalan untuk melanjutkan kasus ini merupakan salah satu contoh atas ketidakmauan untuk menangani kasus penyalahgunaan wewenang polisi, dan juga memperlihatkan bahwa kekerasan terhadap perempuan seringkali tidak ditangani dengan keseriusan yang baik oleh sistem hukum formal.[77]

Dalam laporan mengenai Hak Asasi Manusia untuk 2005, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mencatat bahwa "tidak ada perkembangan yang signifikan dari kasus September 2004 mengenai petugas polisi yang bebas tugas yang secara paksa masuk ke rumah milik gadis berumur 12 tahun yang menurut dugaan secara hukum telah diperkosa oleh saudara laki-laki petugas polisi tersebut yang berumur 19 tahun." Tampaknya Kantor Etika Profesional telah mulai membuka sebuah penyelidikan, tapi hingga akhir 2005 tidak ada tindakan lebih lanjut.[78]

Standar Hukum untuk Penyiksaan dan Perlakuan Buruk Fisik Lainnya

Walaupun seseorang bersalah atas pelanggaran kriminal, penggunaan penyiksaan atau pun perlakuan buruk dalam bentuk lainnya terhadap seseorang merupakan hal yang benar-benar dilarang oleh hukum Timor-Leste dan Internasional. Beberapa larangan di dalam hukum Hak Asasi Manusia sangat jelas seperti larangan penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan. Ada sebuah badan besar dari wewenang hukum internasional yang melarang setiap penghinaan dari larangan penggunaan penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau pun merendahkan. Larangan, yang merupakan bagian dari hukum umum internasional, ditemukan di Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, [79] dan juga tercantum di ayat 7 dari Kovenan Internasional untuk Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR) dan pada Konvensi Menentang Penyiksaan, perlakuan atau Hukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan (Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment/CAT).[80] Timor-Leste menyetujui CAT pada April 2003 dan ICCPR pada September 2003.

Undang-undang Timor-Leste yang secara terbuka melarang penggunaan penyiksaan, menyatakan bahwa "tidak seorangpun yang akan dikenakan penyiksaan, dan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan."[81] Undang-undang tersebut secara khusus juga merujuk kepada kewajiban Timor-Leste di bawah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan kesepakatan-kesepakatan internasional.[82]

Konvensi menentang penyiksaan menjelaskan, penyiksaan sebagai tindakan sengaja oleh petugas publik yang mengakibatkan kesakitan atau penderitaan fisik atau mental dengan tujuan mendapatkan informasi atau sebuah pengakuan, atau untuk hukuman, intimidasi, atau diskriminasi.[83] Dalam kasus-kasus di mana pemukulan dan perlakuan yang memalukan terhadap tahanan dan tawanan yang dilakukan oleh polisi yang tidak meningkat sampai ke tahap penyiksaan, perlakuan tersebut dapat merupakan perbuatan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan. Perlakuan kejam dan tidak manusiawi termasuk penderitaan yang kurang satu elemen penyiksaan atau yang tidak mencapai intensitas penyiksaan. Secara khusus kondisi yang buruk dari tempat penahanan, termasuk kurangnya makanan, air, dan tindakan medis, juga dapat merupakan perlakuan tidak manusiawi. Perlakuan merendahkan termasuk perlakuan yang mempermalukan korban atau ada ketidakseimbangan keadaan dari kasus tersebut.[84]

Sebagai tambahan untuk kesepakatan mengikat mengenai penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan, Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) telah mengembangkan prinsip-prinsip yang terinci, peraturan-peraturan minimum, dan deklarasi mengenai aksi dan penggunaan kekuatan oleh polisi. Kode Etik PBB untuk Petugas Penegak Hukum membatasi penggunaan kekuataan oleh polisi hingga situasi di mana "sangat diperlukan dan hingga tingkatan yang dibutuhkan untuk kinerja tugas mereka."[85] Hampir mirip dengan itu, Prinsip-prinsip Dasar PBB mengenai Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Petugas Penegak Hukum menyatakan bahwa petugas penegak hukum, dalam menjalankan tugas mereka, akan, atau sejauh memungkinkan, menerapkan cara-cara damai sebelum menggunakan kekuatan dan senjatan api.[86] Saat penggunaan kekuatan tidak dapat dihindari, petugas penegak hukum harus, di luar hal lainnya, "(a) melatih pengendalian penggunaan kekuatan semacam itu dan tindakan yang sejalan dengan tingkat keseriusan pelanggaran dan tujuan penting yang ingin dicapai; …[dan] (b) meminimalkan kerusakan dan luka-luka."[87]

V. Perbaikan-Perbaikan, Lembaga-Lembaga dan Praktek-Praktek Yang Dibutuhkan Untuk Menciptakan Akuntabilitas Polisi di Timor-Leste

Polisi tidak cukup berani untuk menyelidiki kasus-kasus di mana ada polisi yang terlibat. Kasus-kasus di mana ada pemukulan warga sipil tidak diselidiki. Seringkali polisi yang memukuli atau mengancam penduduk tidak diperiksa, karena itu mereka tidak mau membuka sebuah penyelidikan internal.
 Tiago Amaral Sarmento, kepala Program Pengawasan Sistem Judisial Non Pemerintah di Timor-Leste[88]

Satu hal yang jelas bahwa penyalahgunaan wewenang polisi merupakan sebuah masalah yang serius dan mendesak, tapi inisiatif-inisiatif untuk menangani masalah tersebut belum memadai. Mekanisme pengawasan yang sudah ada masih lemah dan perlu dukungan dan penguatan yang lebih lanjut, dan diperlukan lembaga-lembaga dan praktek-praktek yang baru untuk secara efektif memberantas masalah ini.

Pada Maret 2005 Kantor Komisi Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights/OHCHR) mengidentifikasikan berbagai masalah saat kantor itu menyatakan, dalam laporannya ke Komisi Hak Asasi Manusia PBB, bahwa:

Mekanisme akuntabilitas tetap tidak jelas dan tidak memadai. Hasilnya adalah sebuah pola kekebalan hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran PNTL. Kantor Etika Profesional (PEO) PNTL masih tidak mampu menyelidiki kasus-kasus pelanggaran karena kurangnya sumber daya yang diperlukan untuk kerja lapangan dan kadang kala adanya campur tangan politis. Untuk alasan-alasan yang tidak jelas, beberapa kasus ditangani oleh PEO, sedang yang lainnya, kasus-kasus dengan tingkat kesensitifan tertentu, diselidiki oleh Kementerian Dalam Negeri. Sejumlah tuduhan tindakan kriminal ditangani hanya melalui proses administratif dan tidak melalui proses kriminal apapun. Ada laporan mengenai keterlambatan-keterlambatan dalam hal penyelidikan-penyelidikan dan keputusan-keputusan mengenai tindakan disipliner. Tindakan disipliner tidak selalu sesuai dengan pelanggaran.[89]

Dua kajian yang diterbitkan pada 2004 menunjukkan pandangan yang beragam mengenai polisi. Satu survei yang buat oleh Asia Foundation di Timor-Leste secara terbuka menemukan bahwa "hanya 11 persen responden yang membawa sengketa ke polisi, sebagian besar melakukan itu karena mereka mempertimbangkan persengketaan mereka akan menjadi masalah yang serius dan mereka percaya bahwa mereka akan diperlakukan secara adil oleh polisi." Meskipun begitu, persepsi semacam itu tampaknya akan berubah. Survei tersebut juga menemukan bahwa "banyak orang merasa hukum tidak benar-benar ditegakkan, khususnya hukum yang ditetapkan untuk melindungi setiap orang yang ditahan dan dituduh melakukan kejahatan. Kurang dari setengah publik (49 persen) percaya hukum yang mensyaratkan persetujuan pengadilan untuk menahan tersangka lebih dari tiga hari,  akan dihormati, dan hanya empat dari sepuluh orang yang berpikir bahwa hukum akan benar-benar melindungi tersangka dari kebrutalan polisi atau mengijinkan tersangka untuk mendapatkan akses ke pembela publik." Salah satu kesimpulan paling penting dari survei tersebut adalah "tingkat kepercayaan terhadap angkatan kepolisian Timor-Leste yang baru dan tidak pengalaman tampaknya akan menurun secara drastis kecuali mereka secara efektif dilatih dan diprofesionalkan."[90]

Kajian kedua, yang dilakukan bersama oleh Institut Teknologi Dili dan Dana PBB untuk Anak-Anak (UNICEF), menemukan bahwa rasa hormat publik untuk kerja polisi masih cukup tinggi secara keseluruhan sekitar 69,6 persen, tapi lebih sedikit di distrik Baucau, Bobonaro, dan Viqueque.[91] Di Bobonaro angkanya hanya 32 persen, kemungkinan mencerminkan sikap yang negatif terhadap polisi di sebuah distrik dengan angka pelaporan kasus kebrutalan polisi yang tinggi.

Meskipun tidak satu pun kajian dapat digunakan sebagai indikasi final mengenai persepsi publik terhadap polisi, hasil tersebut menunjukkan perasaan yang beragam terhadap angkatan kepolisian Timor-Leste yang baru. Satu kesimpulan yang dapat diambil adalah adanya keengganan publik umum untuk mengkritik PNTL sebagai sebuah angkatan. Meskipun begitu, pertanyaan-pertanyaan yang lebih spesifik mengenai penahanan dan pelanggaran menghasilkan respon yang cukup negatif, mengindikasikan bahwa ketika penduduk berhubungan langsung dengan polisi, pengalaman mereka menjadi kurang positif. Peringatan lainnya adalah meski pun kepercayaan komunitas secara umum merupakan indikator yang baik untuk tingkat penyalahgunaan wewenang polisi, hasil survey tersebut mungkin hanya mencerminkan sebuah sikap bahwa PNTL jauh lebih baik dibandingkan angkatan kepolisian Indonesia – ambang batas yang sangat rendah untuk profesionalisme. Meskipun demikian, survei-survei tersebut bermanfaat dalam menyoroti apa yang diyakini komunitas-komunitas, adalah elemen-elemen yang positif dalam angkatan kepolisian. Tantangan untuk pemerintah Timor-Leste adalah untuk membangun dan membantu elemen-elemen positif tersebut, sambil juga menangani area-area masalah tersebut.

A. Menangani Kekebalan Hukum

Penyalahgunaan wewenang polisi dapat menjadi masalah yang serius saat para petugas polisi dan atasan-atasan mereka menikmati kekebalan hukum untuk tindakan-tindakan mereka. Salah satu alasan yang paling umum yang dapat menjadikan pelanggaran polisi sebagai suatu hal yang biasa di dalam sebuah angkatan kepolisian, adalah kekebalan hukum efektif yang dinikmati oleh para petugas polisi dan atasannya, yang berpartisipasi di dalamnya, memerintahkan, atau mengabaikannya. Di Timor-Leste, mekanisme kelembagaan yang efektif untuk akuntabilitas merupakan hal yang penting jika ingin menangani masalah kekebalan hukum. Penegakan yang lebih kuat dan efektif dari peraturan yang sudah ada dan pengawasan media dan pengawasan independen yang lebih kuat terhadap masalah tersebut juga akan menjadi kunci.

Indikasi awalnya adalah, bahwa Timor-Leste meresikokan pembiaran kekebalan hukum, untuk menjadi sebuah masalah yang serius dan sistematis, jika Timor-Leste tidak menanggapi masalah tersebut secara benar. Selain jenis-jenis pelanggaran yang didokumentasikan dalam laporan ini, hingga saat ini sangat jarang ada pemberian sanksi-sanksi yang berarti untuk para petugas polisi yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Menurut OHCHR, pada Maret 2005 komisaris polisi Timor-Leste melaporkan bahwa sepuluh petugas polisi telah dipecat dari tugasnya.[92] Tapi, itu tidak jelas apakah pemecatan itu berhubungan dengan pelanggaran hak asasi manusia atau murni kegiatan kriminal. Penasihat internasional untuk menteri dalam negeri berkata kepada Human Rights Watch bahwa untuk periode Januari hingga Maret 2005 lima puluh lima kasus telah dilaporkan melalui PEO.[93]

Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dalam laporan hak asasi manusia tahunannya mengenai Timor-Leste mencatat, sebagai contoh, bahwa untuk 2005 "beberapa petugas dihukum untuk pelanggaran yang relative kecil, dan di beberapa kasus petugas polisi didakwa dan dihukum untuk tindakan pelanggaran saat bertugas; meski pun begitu, pada akhir tahun, tidak ada tindakan yang diambil untuk sejumlah kasus pelanggaran serius. Ada dugaan bahwa hubungan personal dalam angkatan kepolisian atau Kementerian Dalam Negeri, di beberapa kasus, merupakan faktor penyebabnya."[94]

Kegagalan untuk menyelidiki pelanggaran polisi secara memadai melemahkan kredibilitas angkatan kepolisian dalam menjaga tanggung jawab anggotanya. Hal ini juga berlaku baik untuk kejadian-kejadian penting dan juga pelanggaran-pelanggaran sehari-hari. Sebagai contoh, pada Juli 2004 sebuah kelompok yang terdiri dari sekitar seratus orang, termasuk banyak veteran pejuang pertempuran FALINTIL, melakukan protes di luar gedung pemerintah utama di Dili. Pada 20 Juli, hari kedua protes mereka, para petugas polisi, bersama dengan anggota Angkatan Intervensi Cepat, menggunakan gas air mata untuk membubarkan kerumunan massa, dan kemudian menangkapi lebih dari tiga puluh orang. Meskipun banyak dari mereka yang ditahan lebih dari tiga puluh jam, alasan pasti penahanan mereka tidak pernah jelas. Cuplikan gambar televisi memperlihatkan setidaknya satu petugas polisi memukuli pemrotes, ada laporan-laporan lain mengenai tahanan-tahanan yang dipukuli saat dalam penahanan polisi. Ironisnya, banyak dari spanduk demonstran, yang diinjak-injak kaki petugas keamanan, menyatakan pesan-pesan yang meminta adanya demokratisasi yang lebih besar dan reformasi angkatan kepolisian.

Saat itu, kejadian tersebut mendapat banyak perhatian dari pemerintah, PBB di Timor-Leste dan media. Tapi, sekali lagi belum ada hasil yang memuaskan baik berkaitan dengan tindakan disipliner terhadap petugas polisi yang bertanggung jawab atas penggunaan kekuatan yang berlebihan, atau yang berkaitan dengan penahanan sewenang-wenang terhadap lebih tiga puluh orang pemrotes. Dalam laporan kemajuannya pada Februari 2005 tentang UNMISET, Sekretaris Jenderal PBB mencatat konsekuensi-konsekuensi negatif yang dihasilkan oleh keterlambatan-keterlambatan pertanggungjawaban, komentarnya:"…laporan mengenai penyelidikan khusus mengenai kejadian 20 Juli 2004, di mana polisi menggunakan kekuatan yang berlebihan untuk membubarkan demonstrasi damai, belum diselesaikan. Penundaan ini dipersepsikan oleh komunitas sebagai kelambanan yang disengaja dan karena itu menurunkan kepercayaan umum terhadap profesionalisme polisi"[95]

Bagaimanapun sedikitnya masalah ini merupakan warisan dari kegagalan PBB untuk memprioritaskan tindakan-tindakan disipliner polisi. Beberapa strategi dilaksanakan pada saat tahap awal administrasi peralihan PBB untuk menghentikan perilaku-perilaku polisi yang tidak benar sebelum mereka menjadi terlalu mengakar. (Kekurangan-kekurangan di dalam sistem pelatihan PBB dilihat lebih rinci di laporan bagian V.D.)

Human Rights Watch berbicara dengan Komisaris Polisi Paulo Martins, yang mengakui bahwa ada sebuah masalah dan masalah itu berimplikasi menciptakan budaya kekebalan hukum. Ia memahami betul bahwa hukuman yang sesuai untuk para pelanggar akan menjadi sebuah tindakan pencegahan yang efektif:

Kami mencoba untuk memperbaiki hal yang tidak begitu baik yang ada dalam polisi. Kami sudah mempunyai peraturan disipliner polisi dan telah mengambil tindakan-tindakan keras terhadap mereka yang melakukan pelanggaran atau pun kekerasan terhadap masyarakat… Saya tidak berpikir hal tersebut disebabkan oleh pelatihan tapi adanya peningkatan pemahaman dari para komandan dan komunitas-komunitas bahwa polisi harus menghormati hak asasi manusia. Dan juga karena polisi menyadari bahwa sanksi untuk perbuatan semacam itu berat…jika mereka melakukan penyalahgunaan wewenang. [96]

Kelambatan memberi respon yang memadai terhadap kekerasan polisi pada demonstrasi Juli 2004 memperlihatkan bahwa ada beberapa cara yang harus dilakukan sebelum kata-kata komandan mengenai proses disipliner internal dapat diterjemahkan ke dalam tindakan-tindakan yang konkrit.

Meskipun demikian, ada tanda-tanda yang menggembirakan, bahwa ada beberapa hal yang bisa dilakukan dengan benar. Sebagai contoh, pada April 2005 beberapa ribu orang bergabung dalam demonstrasi anti pemerintah di Dili. Mereka memprotes sebuah usulan Dewan Menteri Timor-Leste untuk menempatkan pendidikan agama sebagai subyek pilihan di beberapa sekolah primer. Polisi dikerahkan untuk menjaga demonstrasi tersebut, secara umum terlihat bahwa mereka melakukannya dengan cara yang profesional dan terkendali. Gambaran profesionalisme tersebut telah memperbaiki kesan publik terhadap angkatan kepolisian, dan secara signifikan tampaknya juga telah memberikan kenaikan percaya diri kepada angkatan kepolisian itu sendiri, yang melihat hasil positif dari pelaksanaan standar-standar yang diberikan oleh pelatihan yang benar. Melihat ke masa depan, perubahan sikap di dalam angkatan kepolisian akan menjadi keharusan prioritas dan akan membutuhkan strategi jangka panjang untuk bisa memberikan dampak. Dikombinasikan dengan pelatihan, ada kebutuhan untuk adanya sistem disiplin yang keras, kepemimpinan yang efektif dan dukungan pengelolaan PNTL dari waktu ke waktu, bersama-sama dengan dukungan positif untuk perilaku polisi yang sesuai, supaya perubahan sikap itu bisa berjalan.

B. Pengembangan Lembaga-Lembaga Pengawas

Unit Etika dan Deontologi Profesional

Tempat pertama yang dihubungi untuk menyelidiki pelanggaran polisi biasanya adalah badan pengawas internal PNTL, Unit Etika dan Deontologi Profesional (PEDU, dulunya dikenal sebagai Kantor Etika Profesional, PEO, dan sebelum itu bernama Unit Standar Profesional, PSU).[97] Dioperasikan oleh petugas polisi pelayanan dan bekerja di bawah komandan jenderal PNTL, unit ini ditugasi dengan penyelidikan tuduhan-tuduhan perilaku buruk atau pelanggaran polisi. Tuduhan semacam itu biasanya dibuat oleh anggota masyarakat, meskipun menurut Hukum Ketetapan Organik polisi, Kementerian Dalam Negeri juga dapat memerintahkan PEDU untuk melakukan pertanyaan-pertanyaan, khususnya dalam kasus-kasus sensitif. Hasil dari penyelidikan, bersama-sama dengan setiap rekomendasi untuk pendisiplinan, dikirimkan ke menteri, yang kemudian memutuskan tindakan apa yang harus diambil.[98]

Sayangnya, PEDU kurang berwenang terhadap berbagai cabang polisi. Seorang petugas PEO di Dili bercerita pada Human Rights Watch bahwa meskipun dalam teori petugas PEO dapat menyelidiki petugas polisi dengan pangkat yang lebih tinggi dari mereka sendiri, tapi dalam prakteknya komandan distriklah yang akhirnya memutuskan kasus mana yang akan diselidiki di distrik, dan kasus mana yang harus dikirim ke Dili, dan mana yang akan dikesampingkan.[99] Masalah lainnya adalah kurangnya pemahaman polisi mengenai hak-hak dan kepentingan-kepentingan dari mereka yang melaporkan komplain. Tampaknya hanya sedikit perhatian dan pertimbangan yang diberikan terhadap hak-hak korban dalam proses ini, peraturan disipliner PNTL bahkan tidak dapat membayangkan bahwa komplain-komplain dapat datang dari luar angkatan.

PEO/PEDU juga lemah dan sangat lamban dalam mengambil tindakan, kalau pun itu dilaksanakan. Dalam kasus-kasus di mana komplain telah ditangani oleh PEO/PEDU, hukuman untuk petugas polisi seringkali hanya penskorsan sementara, pemindahan, atau, dalam beberapa kasus, pemindahan yang diikuti dengan kenaikan pangkat. Tidak ada penskorsan otomatis untuk petugas polisi yang ada di bawah penyelidikan untuk tuduhan kejahatan.

Sebagai salah satu contoh, Simao Lopes, kepala kantor PEO untuk distrik Bobonaro, menceritakan kepada Human Rights Watch mengenai kejadian di awal 2005 ketika seorang petugas polisi yang tidak berseragam di distriknya telah menembakkan senjatanya ke udara di sebuah pasar di Maliana. Lopes merekomendasikan petugas polisi tersebut dipecat dari angkatan kepolisian, tapi ia malah hanya dipindahkan ke Dili.[100]

Di tingkat yang lebih dasar PEO/PEDU masih dibatasi oleh kekurangan sumber daya manusia dan keuangan. Di beberapa kasus, staf PEO/PEDU tidak mempunyai akses terhadap transportasi untuk melakukan penyelidikan, atau untuk kembali menemui orang yang melaporkan komplain, untuk memberitahu mereka mengenai perkembangan dari kasus mereka.[101] Sebagaimana komentar dari Carlos Moniz Maia, wakil kepala kantor nasional PEO:

Kami mempunyai beberapa masalah. Pertama-tama adalah keterbatasan dalam hal personel dan transpor. Statistik kasus-kasus yang melibatkan PNTL setiap tahun meningkat. Kasus dari 2001 hingga 2003 telah selesai diselidiki, tapi masih ada sekitar 50 persen kasus dari 2004 yang belum dipecahkan karena keterbatasan transpor dan staf. Begitu juga untuk 2005 kami telah menyelesaikan sekitar dua puluh kasus dan ada sekitar tujuh puluh kasus lagi.[102]

Seorang petugas polisi PBB di distrik Bobonaro mempunyai opini yang buruk mengenai PEO di Maliana, dengan memperlihatkan kepada Human Rights Watch bahwa pengalaman sebelumnya dari kepala PEO, adalah sebagai petugas patroli dalam masa pendudukan angkatan kepolisian Indonesia, pemerintah tidak menyiapkan dia dengan keahlian yang diperlukan untuk memimpin penyelidikan atau mengatur stafnya. Dalam pandangan petugas polisi PBB tersebut, perubahan personel di kantor tersebut akan memperbaiki kekuatan kantor itu.[103]

           

Saat diwawancara oleh Human Rights Watch kepala kantor PEO di Maliana menyetujui bahwa ia kekurangan pengalaman yang penting, tapi ia ingin sekali menekankan keinginannya untuk menerima pelatihan yang lebih banyak mengenai masalah penyelidikan internal. Ia bercerita kepada Human Rights Watch:

Sebelum saya di PEO saya adalah petugas polisi komunitas. Saya hanya menerima dua hari pelatihan dari PNTL. Kami akan senang untuk berpartisipasi di pelatihan-pelatihan lain. Saya minta anda merekomendasikan kami untuk mendapatkan pelatihan yang lebih banyak mengenai peran PEO, supaya kami dapat memahami lebih dalam lagi. Kami ingin bekerja tapi tidak mendapatkan dukungan yang cukup kuat.[104]

Tampaknya kurangnya kepercayaan di dalam/atau ketakutan terhadap angkatan kepolisian telah mencegah orang untuk pergi langsung ke polisi untuk mendaftarkan komplain mereka. Seorang lelaki muda yang diperlakukan sangat buruk dalam penahanan polisi bercerita kepada Human Rights Watch bahwa ia terlalu takut untuk mencari pertanggungjawaban atas kekerasan yang ia terima saat berada di tangan tiga petugas polisi di kantor polisi Maliana. Ia berkata, "Saya belum memasukkan komplain karena mereka mengancam saya. Saya tidak ingin kembali ke kantor polisi Maliana. Saya tidak ingin dikumpulkan bersama lagi dengan PNTL."[105] Seorang penasihat polisi PBB bercerita kepada Human Rights Watch bahwa ia mendengar seorang komandan polisi distrik mengancam seorang pria yang telah datang untuk melaporkan komplain mengenai perlakuan polisi terhadap beberapa orang yang terlibat dalam kelompok bela diri di distrik tersebut. Petugas PBB itu mendengar komandan tersebut berkata pada pria itu bahwa mereka ingin menyelesaikan masalah tersebut melalui mekanisme sengketa tradisional. Saat pria itu protes, sang komandan mengeluarkan peringatan yang buruk, mengatakan, "Pergilah ke unit hak asasi manusia PBB kemudian lihat apa yang mereka akan lakukan. PBB akan segera pergi dan kemudian tinggal kita saja." Penasihat PBB bercerita kepada Human Rights Watch bahwa menurut pandangannya itu jelas sebuah ancaman.[106]

Tiago Amaral Sarmento dari JSMP bercerita kepada Human Rights Watch, "Jika ada pelanggaran-pelanggaran, komunitas tidak tahu kepada siapa mereka dapat melaporkan pelanggaran itu. Mereka takut dan hanya diam saja. Polisi adalah lembaga yang kuat. Komunitas belum mengetahui atau memahami bahwa mereka bisa melaporkan hal tersebut ke seseorang."[107] Jika pengetahuan semacam itu sudah ada, kurangnya sumber daya dan pengalaman yang menyebabkan kelambanan dan ketidakkompetenan PEO/PEDU dalam menangani komplain-komplain, dapat mengarah ke rasa frustasi di antara komunitas-komunitas yang terkena dampak terhadap kurangnya transparansi dan efisiensi dalam menangani kasus-kasus mereka. Jika dibiarkan, hal tersebut hanya akan menambah rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap ketidakberpihakan kantor tersebut.

Kantor Provedor

Undang-undang Timor-Leste mendukung sebuah kantor khusus untuk mempelajari praktek-praktek hak asasi manusia di seluruh wilayah tersebut. Sebuah hukum untuk membentuk posisi semacam itu, kantor Provedor de Direitos Humanos e Justicia, diumumkan pada Mei 2004, meskipun parlemen pada awalnya sangat sulit untuk setuju pada seorang kandidat, posisi Provedor tidak diisi hingga Sebastiao Dias Ximenes dilantik untuk posisi itu pada 16 Juni 2005. Kantor Provedor mempunyai kekuasaan yang luas untuk menyelidiki dan melaporkan komplain terhadap pejabat pemerintah dan lembaga-lembaga, termasuk polisi. Isu-isu yang ada dalam penanganan kantor tersebut termasuk penyalahgunaan kekuasaan, kurang sesuainya proses, nepotisme, kolusi dan korupsi.[108]

Pada laporan Agustus 2005 kepada Dewan Keamanan PBB, mengenai Kantor PBB di Timor-Leste, Sekretaris Jenderal PBB mencatat bahwa kantor Provedor "memberikan sebuah instrumen hukum penting untuk menangani kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan penghentian laporan yang berlanjut dari pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan polisi Timor-Leste, termasuk penggunaan kekuasaan yang berlebihan, perlakuan yang buruk serta penangkapan dan penahanan sewenang-wenang."[109]  Dalam laporan sebelumnya Sekjen PBB telah menyatakan keprihatinannya terhadap penundaan pemilihan Provedor, "khususnya dengan mempertimbangkan peningkatan kasus-kasus yang dilaporkan  mengenai penyalahgunaan kekuasaan polisi, termasuk pelanggaran dan ancaman, yang tidak ditangani secara benar oleh proses disipliner internal dan jarang sekali dibawa oleh Penuntut Publik ke lembaga pengadilan kriminal."[110]

Pada Juni 2005 Human Rights Watch bertemu dengan Sebastiao Dias Ximenes sesaat sebelum pelantikannya sebagai Provedor. Sudah menyadari akan keterbatasan kantor barunya, ia mendiskusikan keprihatinan utamanya dan apa yang ia lihat sebagai tantangan-tantangan prioritas dalam peran barunya itu:

Provedor mempunyai keterbatasan. Saya dapat memberikan rekomendasi tapi bukan tindak lanjut. Itu merupakan masalah. Saya tidak mempunyai kekuasaan untuk membuat keputusan, hanya rekomendasi. Kami juga mempunyai keterbatasan sumber daya manusia. Kami memerlukan pelatihan dan mungkin studi banding sehingga kami dapat meningkatkan pengalaman dan pengetahuan kami. Anggaran untuk Provedor kecil. Kami adalah sebuah lembaga independen tapi kami menerima anggaran dari pemerintah. Program kami tidak bisa dijalankan  jika kami tidak mempunyai fasilitas atau pun anggaran. Tapi yang paling penting adalah masyarakat dan seluruh komunitas. Jika mereka tidak bekerja sama dengan Provedor, kantor ini tidak dapat berhasil tanpa dukungan mereka.[111]

Pada akhir 2005 kantor Provedor belum benar-benar dibentuk atau dioperasikan.

Sebagai badan yang relatif baru, sulit untuk secara akurat mengukur keefektifan dari kantor Provedor. Diharapkan kantor tersebut akan memberikan sumbangan kepada perbaikan budaya penghormatan terhadap hak asasi manusia dan akuntabilitasnya. Kekuatan-kekuatan badan tersebut adalah bahwa ia dapat melakukan penyelidikan atas inisiatifnya sendiri, tanpa menunggu adanya komplain, dan mempunyai kekuatan untuk memerintahkan seseorang untuk datang dalam rangka menjawab pertanyaan.

Meski pun begitu, ada keprihatinan mengenai kapasitas dari lembaga baru ini untuk secara komprehensif atau secara efektif menjalankan peran sebagai badan pengawas polisi, dengan mempertimbangkan banyak fungsi lainnya yang juga menjadi tugas lembaga ini. Kelemahan besar lainnya adalah kantor ini tidak mempunyai kekuatan untuk membuat keputusan yang dapat dilaksanakan – setiap rekomendasi Provedor dapat diabaikan. Kantor ini hanya dapat membuat rekomendasi-rekomendasi untuk badan-badan yang relevan seperti polisi, menawarkan untuk bertindak sebagai mediator antara pembuat komplain dan perwakilan dari badan publik yang terlibat, atau, atau merujuk sebuah keluhan ke yuridiksi yang kompeten atau mekanisme penyelesaian lainnya.

(Untuk komentar mengenai perlunya menformalkan koordinasi dan kerja sama antara berbagai lembaga yang ditugaskan untuk berlaku sebagai mekanisme pengawas, lihat di bawah ini.)

C. Kesenjangan Hukum

Proses yang menyebabkan pembentukan PNTL menghasilkan berbagai peraturan-peraturan, prosedur-prosedur dan praktek-praktek yang berbeda dan kadang kala bersaingan, yang digunakan untuk mengatur PNTL. Pengumuman dari Ketetapan Hukum pada Mei 2004 memperjelas kerangka kerja hukum untuk polisi, tapi tetap saja hanya ada sedikit pengetahuan dan pemahaman oleh polisi dalam mendefinisikan kejahatan di bawah Perundang-undangan Kriminal, atau kekuasaan polisi di bawah Perundangan-undangan Prosedur Kriminal dan Peraturan Prosedur Organisasi.[112] Juga ada sedikit pelatihan mengenai bidang-bidang yang disediakan untuk angkatan kepolisian.

Pada tingkatan yang cukup dasar pada Juni 2004, peraturan disipliner hanya tersedia dalam bahasa Portugis, bahasa yang tidak dimengerti oleh sebagian besar personel PNTL; akibatnya, pihak yang berwenang melanjutkan penggunaan Kode Etik PBB yang sebelumnya. Bahkan jika peraturan disipliner tersedia dalam bahasa Indonesia atau Tetum, bahasa yang dipahami oleh sebagian besar petugas polisi, peraturan itu telah dikritik oleh para ahli polisi. Ray Murray, penasihat untuk menteri dalam negeri, memberitahu Human Rights Watch bahwa peraturan disipliner tersebut "mempunyai sebuah rumusan untuk menetapkan disiplin yang secara virtual tidak dapat digunakan dan tidak dapat dipahami oleh mayoritas PNTL termasuk para pelatih dan penasihat." [113]

Yang sama pentingnya bagi PNTL adalah, untuk finalisasi Peraturan Prosedur Organisasinya (ROPs). Walaupun banyak ROPs telah difinalisasi (lihat atas), tapi masih banyak yang perlu diselesaikan, termasuk ROPs mengenai perlakuan terhadap orang-orang yang rentan, termasuk orang-orang berpenyakit jiwa dan korban-korban kekerasan berbasis jender.[114] 

Walau sudah ada perkembangan dalam menangani kekosongan hukum, termasuk kebijakan baru yang diperkenalkan pada 2003 yang membatasi penggunaan kekuatan, dan peraturan 2004 yang memberikan perundangan-undangan disipliner baru untuk polisi, saat ini ada kebutuhan mendesak untuk memformalkan koordinasi dan kerja sama antar berbagai lembaga yang dipercaya, untuk bertindak sebagai mekanisme pengawas bagi angkatan kepolisian yang baru lahir tersebut. Perundang-undangan dan peraturan-peraturan perlu diadopsi untuk memperjelas berbagai tanggung jawab PEDU, Inspektorat dan kantor Provedor. Ada ketumpangtindihan yang besar di antara agen-agen yang berbeda, yang pada dasarnya bukan sebuah masalah, tapi dapat menyebabkan sejumlah kebingungan bagi publik mengenai bagaimana melaporkan kejadian-kejadian atau menjaga agar PNTL bertanggung jawab.

Penasihat polisi senior PBB, Saif Ullah Malik, menginformasikan kepada Human Rights Watch pada Mei 2005, mengenai kelompok kerja yang dibentuk untuk mengharmonisasikan seluruh lembaga yang berbeda termasuk PEO, Provedor dan Kementerian Dalam Negeri, bahwa kelompok ini juga akan memasukkan partisipasi dari PNTL, Inspektorat dan Unit Hak Asasi Manusia PBB.[115] Tapi, pada saat penulisan laporan, diketahui bahwa kelompok ini belum bertemu sejak Maret 2005.

D. Perlunya Pelatihan yang Lebih Banyak dan Lebih Baik

Meskipun bukan pemecahan satu-satunya, pelatihan polisi merupakan sebuah alat yang penting untuk menanggapi adanya pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh polisi. Laporan-laporan pelanggaran hak asasi manusia dan perilaku yang tidak benar dari para petugas, dikombinasikan dengan warisan yang tertinggal dari teknik-teknik kepolisian Indonesia, berarti penguatan terus menerus dari dimensi hak asasi manusia dalam pelatihan untuk para petugas, siswa polisi dan lulusan akademi polisi, adalah hal yang sangat penting.

Sayangnya, baik pada saat UNTAET dan UNMISET, angkatan kepolisian yang masih muda itu menerima pelatihan yang tidak mencukupi dan kadang kala bertolak belakang, dari personel UNPOL dan CivPol. Pada bagian pertama, kadet-kadet baru menerima tiga bulan pelatihan dasar di Akademi Polisi yang sudah direhabilitasi di Dili dan diikuti dengan enam bulan pelatihan magang di lapangan. Para petugas mantan POLRI (anggota angkatan kepolisian yang bertanggung jawab untuk keamanan teritori sebelum pemilihan kemerdekaan pada 1999, yang mengisi 350 dari 1700 lulusan akademi polisi Timor-Leste pertama) hanya menjalani "Kursus Pelatihan Transisi Intensif" selama empat minggu.[116]

Pelatihan standar untuk calon-calon baru, saat ini berupa kursus pelatihan empat bulan di Akademi Pelatihan Polisi di Comoro, Dili dan diikuti sembilan bulan pelatihan di lapangan. Dalam kursus ini, ada beberapa pelatihan mengenai bidang-bidang khusus seperti penyelidikan, intelijen, pengumpulan, dan kepolisian komunitas. Kurikulum di akademi tersebut baru-baru ini juga telah ditulis ulang oleh tim pelatihan polisi Australia/Inggris (lihat bawah), dengan memasukkan materi-materi hak asasi manusia selama kursus berlangsung. Setelah kelulusan, petugas-petugas yang ada dalam masa percobaan mendapatkan pelatihan lapangan formal lebih lanjut selama enam bulan, mereka belum menjadi petugas PNTL penuh sampai berhasil menyelesaikan pelatihan tambahan ini.[117]

Sekretaris Jenderal PBB mencatat pada Februari 2005, penasihat polisi sipil PBB menyediakan pelatihan untuk polisi Timor-Leste melalui rencana pengembangan keahlian yang didasarkan hasil-hasil survei nasional mengenai petugas polisi untuk mengidentifikasi kesenjangan kapasitas, tapi "dari sekitar 1700 petugas polisi yang menyelesaikan fase pertama dari rencana Desember [2004], hanya setengahnya yang mampu mencapai tingkat kompetensi yang diinginkan."[118]

Masih ada kekurangan yang besar dari pengelolaan dan kapasitas penasihat di dalam angkatan kepolisian, dan perlunya pelatihan yang lebih banyak lagi untuk keahlian khusus, termasuk bidang penyelidikan internal perilaku buruk polisi.

Ada sedikit kesadaran mengenai perlakuan-perlakuan yang benar terhadap perempuan, anak-anak, atau kelompok rentan lainnya, atau pengarusutamaan ide-ide seperti metode penyelidikan yang ditujukan untuk kejahatan-kejahatan berbasis jender. Seorang petugas perlindungan anak UNICEF di Timor-Leste menyampaikan kepada Human Rights Watch:

Ada pandangan, jika anak-anak adalah korban, maka ada kesadaran untuk mendapatkan perlakuan khusus dari VPU [Unit untuk Orang-Orang yang Rentan] dan hak-hak mereka, dst. Tapi, jika mereka adalah pelanggar, hak-hak tersebut tidak selalu diakui… tidak begitu jelas di dalam polisi, siapa melakukan apa. Tidak semua anak-anak akan ditangani oleh VPU, sebagian hanya oleh penyelidik biasa…Kami mencoba untuk mendorong supaya anak-anak sadar bahwa jika mereka mempunyai masalah mereka dapat pergi ke polisi, tapi dengan keadaan sekarang pergi ke polisi berarti kamu membuka resiko yang lebih besar kepada anak-anak.[119]

Polisi di Timor-Leste sangat bergantung pada pengakuan bersalah sebagai satu-satunya cara mereka "membongkar" kejahatan. Hal ini telah menciptakan dorongan untuk menggunakan kekuatan yang berlebihan untuk mendapatkan "pengakuan" dari seorang tersangka, dan tidak diragukan telah memberikan sumbangan kepada iklim terbaru di mana pemukulan terhadap para tersangka, menjadi  hal rutin. Pelatihan yang lebih intensif dalam hal dasar-dasar penyelidikan dan teknik-teknik forensik, termasuk penggunaan sumber-sumber informasi dan bukti lain, bukan hanya memberikan cara yang beragam dan lebih baik kepada polisi untuk melakukan pekerjaan mereka, tapi juga akan membantu mengurangi penyalahgunaan kekuasaan. Untuk memperkuat pesan ini penting bila pengadilan secara tegas dan konsisten, menolak bukti yang dipercaya didapatkan melalui penggunaan kekuatan polisi secara ilegal.

Saat Human Rights Watch bertemu dengan kepala Akademi Pelatihan Polisi Dili, dengan bersemangat ia menyebutkan bahwa materi-materi hak asasi manusia telah dimasukkan ke dalam paket pelatihan dasar di akademi, dan mengenai kerja sama yang baik antara Akademi dengan Unit Hak Asasi Manusia PBB, UNDP dan UNICEF, serta dari mana materi-materi untuk kursus-kursus pelatihan didapat. Meski pun begitu, ia juga cukup terbuka dalam mengakui seberapa jauh lagi mereka harus capai. Ia mengatakan kepada Human Rights Watch:

Ada Kode Etik untuk PNTL. Kode etik itu sudah disosialisasikan [disebarluaskan] kepada seluruh komandan tapi belum secara penuh disebarkan kepada seluruh anggota PNTL.[120] Karena itu kami kurang yakin bahwa Kode Etik itu akan dijaga [dipraktekkan]. Belum ada kursus mengenai hal tersebut. Kami membutuhkan kursus untuk PEO [sekarang PEDU] sehingga mereka dapat menjalankan tugas-tugas mereka dengan baik... Bagaimanapun kami masih baru. Pendidikan yang mereka terima di sini masih sedikit.[121]

E. Pendekatan-Pendekatan Paska Pelatihan yang Problematis

Sebagian besar dari pelatihan PBB pada masa UNMISET dilakukan oleh penasihat polisi UNMISET pada tingkat distrik dan sub distrik, fokusnya adalah untuk mengadakan pelatihan bagi para pelatih di lapangan. Satu hal yang berpengaruh pada pendekatan ini adalah, kelaziman yang terjadi pada sebagian besar misi polisi PBB di seluruh dunia: polisi sipil PBB yang mengoperasikan misi berasal dari berbagai belahan dunia, di mana tiap-tiap orang mempunyai kepatuhan yang beragam terhadap standar internasional kepolisian. Pengalaman mereka, dan oleh karena itu pengajaran mereka tidak distandarkan, sehingga petugas PNTL terbuka terhadap pendekatan yang berbeda-beda untuk masalah kepolisian. Sudah ada sebuah rekomendasi dari Kementerian dalam Negeri bahwa sebelum program dimulai, petugas UNPOL harus diberikan sebuah kursus pelatihan untuk pelatih, sehingga pemberian pelatihan dapat seragam di seluruh negeri. [122] Karena sebagian besar dari UNPOL adalah petugas polisi dan bukan pelatih, pelatihan untuk pelatih akan memperbaiki beberapa penyampaian pelatihan, tapi rekomendasi ini tidak diikuti.

Seorang anggota staf UNOTIL sangat kritis terhadap bantuan yang sebelumnya diberikan oleh UNPOL:

Saya berpikir UNPOL tidak tahu apa yang telah mereka lakukan saat mereka diberi tanggung jawab. Apa yang kita punya sekarang ini adalah hasil dari kurangnya pelatihan. Akan menjadi lebih baik untuk mempunyai satu angkatan kepolisian yang berasal dari satu negara, daripada angkatan campuran tapi tidak ada kesamaan anggota untuk bekerja.[123]

Kesulitan komunikasi akibat masalah bahasa, termasuk dalam masalah lebih lanjut pelatihan UNPOL terhadap calon dan petugas polisi Timor-Leste. Hal tersebut yang membatasi kemampuan sesi pelatihan untuk menggunakan metode partisipatoris dan meluas, daripada hanya menggunakan gaya belajar mengajar. Hal tersebut juga membatasi interaksi antara polisi PBB dan Timor-Leste, dan pelaksanaan dari skenario-skenario pelatihan.

Yang cukup penting, rotasi enam bulanan polisi PBB juga menghambat perkembangan yang efektif atau pelaksanaan jangka panjang dari kebijakan-kebijakan. Untuk penjaga perdamaian pendekatan tersebut mungkin sesuai, tapi untuk pengembangan kelembagaan, rotasi tersebut mempunyai konsekuensi-konsekuensi negatif. 

Ada kesan bahwa, PBB dalam mengelola krisis tidak disertai dengan rencana pengembangan strategis yang koheren untuk PNTL. Tujuan kunci mereka adalah untuk membentuk dan menyerahkannya kepada angkatan kepolisian Timor-Leste, tanpa adanya rencana yang koheren untuk pembentukan mekanisme pengawasan dan penegakan tindakan-tindakan disipliner terhadap petugas polisi. Seorang diplomat senior di Timor-Leste berkomentar: "Kritik paling besar UNPOL adalah bahwa mereka telah ada di sini selama empat atau lima tahun, jadi kamu akan mengharapkan empat atau lima tahun pelatihan. Tapi mereka hanya menandai kotak [sekedar memenuhi target]."[124]

Diplomat ini mengidentifikasikan masalah lebih lanjut bahwa "pemerintah tidak pernah menolak bantuan sehingga ada masalah dalam mencoba mengkoordinasikan seluruh pelatihan," dan hal tersebut dikombinasikan dengan pendekatan menandai kotak [sekedar memenuhi target] UNPOL berarti bahwa "rekanan mereka tidak tahu apa yang dilakukannya."

Ada dua alasan utama lain mengapa pelatihan yang sekarang ini akan memakan waktu lama untuk menghentikan pelanggaran polisi. Pertama, pelatihan yang sekarang ini telah gagal menanggapi budaya kelembagaan metode-metode kepolisian. Kedua, hanya ada sedikit hukuman jika petugas tersebut tidak melaksanakan apa yang mereka pelajari dan adanya sedikit dorongan untuk mengikuti pelajaran pelatihan. Dalam kata lain, supaya pelatihan menjadi berarti, harus ada konsekuensi-konsekuensi kegagalan dalam mematuhinya. Wakil Menteri Dalam Negeri Alcino Barris meyampaikan kepada Human Rights Watch bahwa di tengah-tengah angkatan kepolisian "masih ada pemahaman yang sangat sedikit mengenai apa itu hak asasi manusia."[125] Meskipun penting untuk mengajarkan hak asasi manusia, yang sama pentingnya adalah melatih para petugas polisi mengenai tanggung-jawab mereka untuk bertindak secara profesional, sesuatu yang juga disadari oleh menteri. Ray Murray, penasihat internasional untuk Kementerian Dalam Negeri, menyampaikan kepada Human Rights Watch, "Anda bukan hanya harus mengajarkan tentang apa yang harus dilakukan, tapi juga mengapa hal tersebut dilakukan."[126]

F. Inisiatif-Inisiatif Terbaru

Menyadari pentingnya dan kebutuhan yang berjalan bagi PNTL untuk mendapatkan pelatihan dan bantuan lebih lanjut, sebagian besar mandat UNOTIL adalah di bidang dukungan dan perkembangan yang berlanjut dari polisi Timor-Leste. Dalam pembentukan UNOTIL pada Mei 2005, Dewan Keamanan menyetujui penempatan empat puluh penasihat pelatihan polisi, yang utamanya ditargetkan pada unit-unit polisi khusus seperti Unit Patroli Perbatasan dan Unit Intervensi Cepat. Bantuan juga telah diberikan kepada Kantor Etika Profesional. Pelatihan dan kursus hak asasi manusia telah disediakan oleh para penasihat tersebut.[127] Unit Hak Asasi Manusia UNOTIL juga telah bekerja bersama-sama dengan Kementerian Dalam Negeri untuk memberikan pelatihan hak asasi manusia dan penggunaan kekuatan kepada polisi nasional, yang paling baru melalui sebuah kursus "pelatihan untuk pelatih" dan meluncurkan panduan pelatihan hak asasi manusia untuk polisi pada pertengahan 2005.

Pendanaan internasional memainkan peran penting di Timor-Leste di segala bidang, tidak sedikit untuk pengembangan pelayanan polisi. Ada cakupan yang luas dari bantuan internasional bilateral untuk PNTL, termasuk program-program pelatihan dan juga bantuan perlengkapan dan infrastruktur. Di antara bantuan-bantuan internasional, Kanada dan Jepang telah memberikan hibah kecil dan memberikan perlengkapan. Indonesia telah menjadi tuan rumah untuk serangkaian program pertukaran bagi para petugas PNTL, untuk berkunjung dan mendapatkan in-house training dengan angkatan kepolisian Indonesia. Pada berbagai tahapan, Malaysia dan Portugis juga telah memperluas pelatihan ke berbagai unit PNTL. Amerika Serikat mendanai kursus-kursus pelatihan khusus untuk para pengawas dan penyelidik.

Salah satu masalah dari pendekatan ini adalah, dengan PBB, di bawah UNMISET (lihat atas), standar-standar pelatihan tidak konsisten, dengan prosedur-prosedur domestik dari negara-negara diajarkan. Menyadari masalah tersebut, Inggris dan Australia telah memulai sebuah program bersama untuk PNTL yang berfokus pada pengarusutamaan untuk semua standar-standar kepolisian internasional jangka panjang. Saat UNPOL pergi (baru-baru ini dijadwalkan akan pergi pada Mei 2006), inisiatif Inggris/Australia tersebut akan mengisi kekosongan.

Bagian dari rencana bersama Inggris-Australia adalah untuk mengintegrasikan prosedur pengoperasian standar ke dalam seluruh aspek pelatihan. Fase pertama akan berkonsentrasi pada pelatihan untuk pelatih. Dengan menyadari adanya pelatihan bilateral dan PBB yang sangat beragam, yang baru-baru ini sedang berlangsung dengan PNTL, Kevin Raue, ketua tim untuk inisiatif Inggris-Australia, mengakui bahwa pelatihan "yang buruk" adalah sebuah masalah. Ia berkomentar "Ada masalah mengenai tidak konsistennya standar pelatihan. Masalah itu belum diselesaikan. Juga ada kebutuhan untuk menghindari duplikasi pelatihan dan pelatihan yang tidak sesuai."[128]

G. Pengawasan

Kehadiran petugas hak asasi manusia dan kesiapan kita untuk melaporkan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia ke komunitas internasional, mencerminkan sebuah pembatasan bagi para pelaku.[129]
Wakil Khusus Sekretaris Jenderal Sukehiro Hasegawa

Isu kritis di masa depan adalah untuk memastikan pengawasan independen terhadap perilaku polisi di Timor-Leste. Walaupun, sebagaimana dicatat, ada mekanisme pengawasan internal dan eksternal formal terhadap polisi, bagi sebagian besar korban kebrutalan polisi, tempat yang pertama kali mereka datangi biasanya adalah Unit Hak Asasi Manusia PBB atau Ornop hak asasi manusia Timor-Leste, biasanya Perkumpulan HAK atau FOKUPERS, dua organisasi hak asasi manusia terbesar di Timor-Leste dan badan-badan utama Timor-Leste yang mengawasi penyalahgunaan wewenang polisi.

Berkaitan dengan Unit Hak Asasi Manusia PBB karena semakin dekat dengan berakhirnya mandat UNOTIL (diperkirakan Mei 2006), desakan untuk penguatan mekanisme masyarakat sipil untuk memberikan pengawasan dan pelaporan hak asasi manusia semakin besar. Pelatihan untuk polisi mengenai peran masyarakat sipil, dan posisi pentingnya sebagai penyeimbang pemerintah, juga akan menjadi hal yang penting untuk memastikan penghormatan dan kerja sama yang saling bermanfaat. Kurangnya pengawasan akan menciptakan sebuah kekosongan di mana pelanggaran akan dilakukan disertai dengan kekebalan hukum. Sebagaimana diceritakan kepala JSMP kepada Human Rights Watch:

Saya berpikir bahwa jika PBB pergi dan tidak ada lagi penasihat, pelanggaran yang dilakukan polisi di masa depan akan meningkat. Mereka akan berpikir bahwa perilaku mereka benar karena tidak ada lagi yang memberikan rekomendasi bahwa mereka harus diproses dan dibawa ke pengadilan.[130]

Penasihat polisi senior PBB, Saif Ullah Malik, menyetujui hal itu, dengan mengatakan: "Kami membutuhkan dukungan dalam hal pelatihan, pengawasan dan dalam hal pelatihan yang lebih maju. Setelah penarikan PBB, akan ada kesenjangan yang besar dalam hal pengawasan. PBB tidak dapat tinggal di sini selamanya. Masyarakat sipil lokal perlu diaktifkan."[131] Ia melanjutkan: "Sebagai exit strategy kami memasukkan ornop-ornop lokal untuk mengawasi situasi hak asasi manusia di setiap distrik. Unit Hak Asasi Manusia PBB akan mencoba untuk mengunjungi distrik-distrik sedikitnya sekali seminggu." Mengindikasikan kelemahan-kelemahan pelatihan yang diberikan PBB kepada PNTL telah dipelajari, ia menambahkan: "Kami telah mengadopsi sebuah pendekatan, konsistensi terhadap panduan, sebagai contoh, penasihat teknis saya di distrik-distrik menyarankan hal yang sama untuk semua."[132]

Ornop, donor dan pemerintah Timor-Leste perlu bekerja sama lebih erat lagi untuk mengawasi cakupan yang luas dari pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia, untuk tujuan-tujuan bermacam-macam: untuk menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran individu, untuk mengidentifikasikan pola-pola dan para pelaku, dan untuk menyoroti masalah-masalah struktural yang memungkinkan awal munculnya pelanggaran hak asasi manusia. Melihat sorotan itu, pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia oleh PNTL hanya merupakan salah satu gejala dari masalah nasional yang lebih luas, dan sampai hal tersebut dianalisis dan ditangani maka kemungkinannya adalah bahwa pelanggaran polisi hanya dapat diminimalkan sebaik mungkin. Kelemahan dari pengadilan, dan munculnya isu-isu korupsi, hanya dua bidang yang secara langsung berdampak pada pelanggaran polisi dan pemecahannya. Sebuah pendekatan yang partisipatoris, kemitraan termasuk cakupan yang luas dari aktor-aktor di masyarakat sipil seperti media, komunitas-komunitas yang berkepentingan, dan yang lainnya akan menjadi cara yang paling berjalan dengan baik, untuk menciptakan sebuah rencana aksi dalam rangka mengakhiri pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia di Timor-Leste.  

VI. Rekomendasi-Rekomendasi Yang Terinci

Sumbangan-sumbangan penting untuk kapasitas PNTL jangka panjang, akan bergantung pada tindakan-tindakan terkait yang dilakukan oleh pemimpin Timor-Leste, termasuk…[a] komitmen yang jelas untuk menghargai sifat profesional dan non politis polisi; dorongan kepada para petugas PNTL untuk mematuhi perundang-undangan standar profesional yang paling tinggi, berdasarkan nilai-nilai yang diterima secara internasional; dan memperlihatkan kesiapan untuk mengambil tindakan disipliner yang cepat dan tegas saat dibutuhkan.
Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan
Saya pikir sangat benar untuk mengatakan, bahwa kurangnya respon-respon yang cepat dan sesuai untuk pelanggaran PNTL atau kegiatan-kegiatan lain tetap menjadi masalah. Saya pikir penting bagi kita untuk menyediakan bantuan yang dapat diukur untuk lembaga-lembaga tersebut untuk dapat menangani pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia tersebut.
Wakil Khusus untuk Sekretaris Jenderal Sukehiro Hasegawa[133]

Rekomendasi-Rekomendasi untuk Pemerintah Timor-Leste

  • Menteri dalam negeri dan komisaris polisi secara publik harus mendukung, bahwa tidak akan mentoleris semua penggunaan penyiksaan, perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan. Mereka secara publik harus mengutuk penggunaan penyiksaan, penahanan sewenang-wenang dan kekuatan yang berlebihan.
  • Komisaris PNTL, dengan dukungan dari pemerintah harus mengeluarkan panduan yang jelas untuk penggunaan kekuatan, yang konsisten dengan standar hukum internasional, termasuk Kode Etik PBB untuk Petugas Penegak Hukum dan Prinsip-prinsip Dasar PBB mengenai Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Petugas Penegak Hukum.
  • Pelatihan polisi harus memasukkan praktek-praktek yang baik mengenai penyelidikan polisi, menekankan bagaimana penggunaan penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan lainnya, termasuk saat interogasi, bukan hanya ilegal tapi juga membuat bukti tidak diterima dan tidak produktif. Komponen pelatihan harus dirancang untuk menekankan pelarangan penggunaan penyiksaan dan kegiatan-kegiatan ilegal lainnya. Pelatihan juga harus menyoroti peran penting dari pengawas independen – termasuk masyarakat sipil – terhadap perundang-undangan polisi.
  • PNTL harus mengambil tindakan yang cepat dan tegas terhadap petugas polisi yang menyiksa, menahan secara sembarangan, atau menggunakan kekuatan yang berlebihan kepada individu-individu. Hal tersebut harus mencakup tindakan administratif, termasuk pemecatan, hingga dan termasuk tuduhan kriminal jika sesuai. Para atasan polisi yang mengetahui atau seharusnya tahu tindakan semacam itu, dan yang gagal untuk mengambil tindakan untuk mencegah dan menghukum mereka, harus berhadapan dengan sanksi serupa.
  • Komisaris polisi harus mengeluarkan sebuah arahan kepada setiap komandan distrik, yang menginstruksikan bahwa para komandan itu akan bertanggung jawab secara pribadi dalam memastikan para petugas yang berada di bawahnya mematuhi peraturan-peraturan dan Peraturan Prosedur Organisasi (ROPs) yang sudah ada. 
  • Menteri dalam negeri dan komisaris polisi harus menguatkan Unit Etika dan Deontologi Profesional (PEDU) angkatan kepolisian dengan memberikan dukungan yang kuat untuk wewenang unit tersebut dalam menjalankan keputusan-keputusannya, termasuk menghukum petugas yang tidak patuh dengan arahan-arahan unit tersebut; dengan mengembangkan proses disipliner dan penyelidikan yang terkoordinasi; dan dengan menyediakan sumber daya yang mencukupi, termasuk personel.
  • Menteri dalam negeri dan Komisaris Polisi harus mendukung PEDU untuk membangun kapasitas yang dibutuhkan untuk secara efektif mengatur orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Kriteria yang jelas untuk memberi peringkat keseriusan pelanggaran harus dibuat, dengan memberi prioritas kepada pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang paling serius.
  • PEDU harus memastikan bahwa penyelidikan disipliner dan kriminal dilakukan dengan cara yang adil dan transparan, sehingga kepercayaan terhadap proses tersebut dapat dirasakan oleh korban pelanggaran polisi, dan para petugas polisi dipastikan, bahwa mereka akan menerima proses yang sesuai dalam penyelidikan setiap tuduhan.
  • Kementerian dalam negeri harus mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan koordinasi di antara badan-badan pengawas internal dan eksternal, termasuk memastikan dirancangnya protokol-protokol yang efektif untuk kerja bareng di antara badan-badan pengawas.
  • Kekuasaan untuk memecat seorang petugas polisi seharusnya bukan sebuah fungsi politis dari menteri dalam negeri, tapi harus dapat dilakukan setelah seorang polisi dibuktikan bertanggungjawab atas pelanggaran yang tidak dapat dibantah, melalui sebuah proses disipliner yang sesuai. Peraturan-peraturan harus mendukung sebuah proses disipliner yang terbuka dan transparan.
  • Saat sebuah tuduhan yang dapat dipercaya telah dibuat terhadap seorang petugas polisi, petugas itu harus dipindahkan ke tugas-tugas non operasional atau non publik yang sesuai atau, pada kasus yang lebih serius, diskors selama jalannya penyelidikan tuduhan dan setiap proses disipliner yang muncul.
  • Sanksi yang diberikan kepada para petugas yang terbukti bersalah melakukan pelanggaran tapi tidak sampai mengarah kepada pemecatan dari angkatan, maka harus memasukkan petugas itu ke sebuah pelatihan ulang wajib.
  • PEDU dan Provedor harus mengembangkan sebuah sistem di mana kemajuan dari penyelidikan secara reguler dilaporkan kepada pembuat komplain, baik dalam bentuk tulisan maupun pertemuan. Seluruh hasil final penyelidikan komplain harus dikomunikasikan kepada pelapor komplain awal.
  • Pemerintah harus melakukan kampanye informasi publik mengenai peran dan tanggung jawab mekanisme pengawasan polisi termasuk PEDU dan kantor Provedor. Kampanye tersebut termasuk pendistribusian informasi tertulis dan pengumuman-pengumuman informasi publik.
  • Pemerintah harus mengijinkan pengawasan independen terhadap fasilitas-fasilitas penahanan. Para tahanan harus diijinkan untuk bertemu secara tertutup dengan perwakilan dari organisasi independen yang melakukan pengawasan.

Rekomendasi-Rekomendasi kepada Para Donor dan Pihak Lain yang Menyediakan Bantuan kepada Polisi

Melihat peran penting dari PBB dan donor-donor internasional, khususnya Inggris dan Australia, dalam mendanai sektor polisi di Timor-Leste, sebuah upaya yang serius untuk menghilangkan kekerasan polisi akan membutuhkan sebuah peran yang berlanjut dan aktif dari komunitas internasional. Untuk menambah upaya-upaya yang sudah ada donor-donor internasional harus:

  • Membahas masalah-masalah mengenai kekerasan polisi, termasuk penyiksaan, dalam semua pertemuan-pertemuan resmi dengan pemerintah Timor-Leste, dan juga di tingkat yang paling tinggi. Mendesak pemerintah Timor-Leste untuk memastikan bawah perlakuan polisi kepada seluruh penduduk sesuai dengan standar-standar hak asasi manusia.
  • Secara signifikan meningkatkan bantuan untuk pengawasan hak asasi manusia yang efektif di Timor-Leste melalui mekanisme yang sudah ada, seperti masyarakat sipil. Sebagai sebuah bagian yang integral dari strategi ini, memberikan bantuan untuk pengembangan kelompok-kelompok hak asasi manusia lokal, yang mempunyai kapasitas untuk mengawasi kekerasan polisi secara independen dan mengawasi penjara, dan kepada agen-agen yang dapat memberikan pelayanan kepada para korban.
  • Melanjutkan dan memperluas dukungan untuk Unit Etika dan Deontologi Profesional angkatan kepolisian dan kantor Provedor.
  • Mengevaluasi kesesuaian dan keefektifan pelatihan polisi yang lama, menggunakan informasi tersebut untuk memperbaharui pelatihan di masa yang akan datang, dan mengawasi apakah pelatihan tersebut merubah kinerja polisi.
  • Memulai dan mendukung pertemuan gabungan antara pemerintah Timor-Leste, Ornop dan PNTL untuk mengkoordinasikan, mendanai dan merencanakan strategi-strategi jangka panjang mengenai pengembangan kapasitas, pelatihan dan dukungan-dukungan lainnya untuk PNTL.

VII. Ucapan Terima Kasih

Human Rights Watch ingin berterima kasih atas bantuan yang tidak ternilai yang diberikan kepada para penelitinya selama misi penelitian dari dua organisasi hak asasi manusia Timor-Leste, Forum Tau Matan dan Perkumpulan HAK. Human Rights Watch juga ingin berterima kasih atas bantuan yang diberikan oleh Ray Murray, penasihat senior untuk menteri dalam negeri, dan wakil menteri dalam negeri Karen Polglaze, mantan manajer program NDI untuk sektor keamanan di Timor-Leste (2003 sampai 2005), untuk bantuan pengeditan dan komentar.

Charmain Mohamed, peneliti Indonesia dan Timor-Leste untuk divisi Asia Human Rights Watch, menulis laporan ini berdasarkan penelitian yang ia lakukan di Timor-Leste pada Mei-Juni 2005. Philip Jakeman memberikan bantuan penelitian. Brad Adams, direktur eksekutif Divisi Asia; Aisling Reidy, penasihat hukum senior; dan Ian Gorvin, konsultan untuk Kantor Program, mengulas laporan ini. Andrea Cottom, Fitzroy Hepkins, Andrea Holley, Rafael Jimenez, dan Veronica Matushaj memberikan bantuan produksi.

[1] Wawancara Human Rights Watch dengan Carlito Gusmao, korban tiga puluh lima tahun, Aldeia Tasmasak, distrik Bobonaro, Timor-Leste, 24 Mei 2005.

[2] Ibid.

[3] Wawancara Human Rights Watch dengan Mericio Akara, Peneliti, La'o Hamutuk, Institut Timor-Leste untuk Pengawasan dan Analisis Rekonstruksi, Dili, Timor-Leste, 30 Mei 2005.

[4] Wawancara Human Rights Watch dengan Mario Belo, korban dua puluh tujuh tahun, Desa Mulia, Aldeia Karano, Baucau, Timor-Leste, 17 Mei 2005.

[5] Struktur Organik Kementerian Dalam Negeri, Ketetapan Hukum No. 3/2004, 14 April 2004, ayat 5.

[6] Hukum Organik Polisi Nasional Timor-Leste, Ketetapan Hukum No. 8/2004, 5 Mei 2004, ayat 28.

[7] Meskipun dengan perbaikan-perbaikan yang signifikan, HDI Timor-Leste tetap berada di peringkat terendah dari seluruh anggota ASEAN, dan lebih rendah dari rata-rata untuk Negara-negara miskin. Lihat "Human Development Report 2005," Program Pembangunan PBB (UNDP), New York, 2005.

[8] "World Development Report 2006," World Bank, Washington D.C., 2005.

[9] Angka ekuivalen untuk GDP per kapita diukur menggunakan  Persamaan Daya Beli (Purchasing Power Parities) mendapat angka 732 dolar AS. Laporan Pembangunan Manusia Timor-Leste 2006, "The Path out of Poverty: Integrated Rural Development", UNDP, Dili, 2006, pp. 10-12.

[10]Kesepakatan lain di dalam pencapaian yang disetujui pada 10 Desember 2002 adalah Konvensi Internasional mengenai Penghilangan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial; Konvensi mengenai Penghilangan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW); Konvensi mengenai Hak-hak Anak (CRC);Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-hak seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya; Protokol Fakultatif Kedua untuk ICCPR; Protokol Fakultatif untuk CRC mengenai keterlibatan anak-anak dalam konflik bersenjata; dan Protokol Fakultatif untuk CRC mengenai perdagangan anak-anak, pelacuran anak dan pornografi anak.

[11] Resolusi Dewan Keamanan PBB 1599, S/RES/1599, 28 April 2005; UNSCR 1543, S/RES/1543, 14 Mei 2004; UNSCR 1480, S/RES/1480, 19 Mei 2003; UNSCR 1473, S/RES/1473, 4 April 2003; UNSCR 1410, S/RES/1410, 17 Mei 2002; UNSCR 1338, S/RES/1338, 31 Januari 2001.

[12] "First group of UN-trained East Timorese police officers take up duties," Pernyataan Pers UNTAET, Dili, 12 Juli 2000.

[13] Peraturan UNTAET 2001/22, UNTAET, Dili, 10 Agustus 2001.

[14] "Timor-Leste Making Steady Progress towards self-sufficiency, but continued international assistance needed, Security Council Told," Pernyataan Pers PBB  SC/8172, 24 Agustus 2004. Lihat juga website UNOTIL, http://www.unmiset.org/UNMISETWebSite.nsf/UNPolice.htm?OpenPage.

[15] Dewan  Keamanan PBB, UNSC Resolution 1599, Dokumen PBB S/RES/1599, 28 April 2005, p. 2.

[16] Meskipun disebut sebagai "Hukum", tapi ini sebetulnya adalah sebuah Ketetapan Hukum yang dikeluarkan oleh eksekutif.

[17] Departemen lain memasukkan Komandan Jenderal, Unit Investigasi Kriminal, Unit Maritim, Departemen Keselamatan Lalu Lintas dan Jalan, Unit Perlindungan Komunitas, Kantor Migrasi, Pelayanan Intelijen PNTL, Unit Perlindungan VIP, Akademi Polisi, dan Unit Polisi Cadangan. Lihat Hukum Organik Polisi Nasional Timor-Leste, Ketetapan Hukum No.  8/2004, 5 Mei 2004, ayat 6; dan Keputusan Hukum Keamanan Internal,  2003, tersedia secara online di http://www.jsmp.minihub.org/Legislation/LegEng/07Law_Internal_09Security03.pdf (dilihat pada 4 April, 2006).

[18] Saat Unit Patroli Perbatasan mendapatkan tanggung jawab pengelolaan perbatasan pada 20 Mei 2004, hubungannya dengan angkatan bersenjatan Indonesia masih berkembang. UPF belum mendapatkan pengalaman, keyakinan dan kapasitas yang memadai untuk mengelola masalah-masalah perbatasan tanpa adanya bantuan dari Kelompok Penghubung Militer PBB. Lebih dari itu, unit sebanyak sekitar tiga ratus anggota diperkirakan tetap dibawah kemampuan dan tidak sepadan dibandingkan dengan unit sebanyak 1500 anggota perbatasan Indonesia. Anggota staf UNOTIL terus membantu Unit Patroli Perbatasan-lihat "Tangible Progress Made Building Timor-Leste's Democratic Institutions, But Major Challenges Remain, Security Council Told," Pernyataan Pers Dewan Keamanan PBB SC/8323, New York, 28 Februari 2005.

[19] Secara undang-undang ada pemisahan mandat yang jelas. Keputusan politik yang jelas dan hati-hati dibuat untuk menempatkan pengawasan perbatasan di bawah bantuan eksklusif dari polisi melalui UPF, dalam kepentingan untuk memastikan hubungan yang tidak mengancam antara Indonesia dan Timor-Leste. Meskipun demikian pada kejadian di mana Indonesia atau setiap pihak ketiga lainnya melakukan invasi melewati perbatasan, sudah seharusnya militer memimpin tanggung jawab tersebut. Bagian 147 dari undang-undang menempatkan tanggung jawab untuk memastikan keamanan internal warga Negara kepada PNTL, dan di bawah bagian 146.2, F-FDTL ditugaskan untuk memastikan "kemerdekaan nasional, integritas wilayah dan kemerdeakaan dan keamanan dari penduduk dari setiap agresi atau ancaman eksternal."

[20] "Government corrects report about ammunition purchases for the National Police," Pernyataan Media, Pemerintah Timor-Leste, Dili, 7 Juli 2005. Departemen khusus ketiga, Pelayanan Penyebaran Cepat (Rapid Deployment Service), juga dikenal sebagai Kelompok Tempur Kejahatan Bersenjata  (Armed Banditry Combat Group), awalnya  diharapkan sebagai sebuah unit untuk menghadapi ancaman keamanan yang dilakukan oleh milisi-milisi, khususnya dari Timor Barat. Unit tersebut kemudian digantikan oleh Unit Cadangan Polisi (Police Reserve Unit), yang ditugaskan untuk berada di dearah-daerah non perkotaan "dalam situasi terjadi kekerasan, di mana penanganan kekerasan semacam itu membutuhkan kemampuan aksi polisi yang lebih dari normal." Saat ini unit ini terdiri dari sekitar delapan puluh orang.

[21] Kode Etik PNTL, diadopsi pada Maret 2003.

[22] Peraturan Kedisiplinan Polisi Nasional Timor-Leste, Ketetapan Hukum No No. 13/2004, 16 Juni 2004.

[23] "Report of the United Nations High Commissioner for Human Rights on Technical Cooperation in the Field of Human Rights in Timor-Leste," Dokumen PBB E/CN.4/2005/115, 22 Maret 2005.

[24] Hukum Organik Polisi Nasional Timor-Leste, Ketetapan Hukum No. 8/2004, 5 Mei 2004, ayat 13. Sejak pembentukan Inspektorat pada Agustus 2004, Kementerian sekarang ini melakukan penyelidikan melalui kantor itu. 

[25] Struktur Organik dari Kementerian Dalam Negeri, Ketetapan Hukum No. 3/2004, 14 April 2004, ayat 11.

[26] "Report of the United Nations High Commissioner for Human Rights on Technical Cooperation in the Field of Human Rights in Timor-Leste," Dokumen PBB E/CN.4/2005/115, 22 Maret 2005.

[27] "Asia and Pacific Region: Quarterly Reports of Field Offices," OHCHR Juni 2005.

[28] "Meskipun mempunyai kepribadian hukum mereka sendiri, Polisi Nasional Timor-Leste (PNTL) dan Akademi Polisi dibentuk di bawah Kementerian Dalam Negeri," Struktur Organik Kementerian Dalam Negeri, Dekrit No. 3/2004, 14 April 2004, ayat 5.

[29] Human Rights Watch tidak menyampingkan bahwa beberapa penyiksaan adalah untuk kepentingan mendapatkan pengakuan, tapi penelitian kami menunjukkan adanya angka yang luar biasa dari kasus-kasus di mana kekerasan dipaksakan kepada tahanan lebih terlihat untuk alasan-alasan hukuman, atau pamer wewenang atau kekuasaan petugas polisi terhadap seseorang. 

[30] "Progress Report of the Secretary-General on the United Nations Mission of Support in East Timor," Dokumen PBB S/2005/99, 18 Februari 2005.

[31] "Progress Report of the Secretary-General on the United Nations Office in Timor-Leste," Dokumen PBB S/2005/533, 18 Agustus 2005.

[32] Wawancara Human Rights Watch dengan Baltazar Fatima Correia, korban dua puluh dua tahun, Desa Mulia, Aldeia Sialimu, Baucau, 17 Mei 2005.

[33] Undang Undang Republik Demokratik Timor-Leste, 2002, Bagian 30.2 dan 30.3.

[34] Wawancara Human Rights Watch dengan Nuno Anaia, penasihat teknis PBB untuk Komisaris PNTL, Dili, 31 Mei 2005.

[35] Sebuah Ornop yang mengawasi penyalahgunaan wewenang polisi di Timor-Leste melaporkan bahwa dari empat kantor polisi yang mereka kunjungi di Lospalos, Baucau, Manatuto dan Viqueque tidak ada yang mempunyai mobil lebih dari dua untuk seluruh kantor. Korespondensi surat elektronik Human Rights Watch dengan Forum Tau Matan, 14 Maret 2006.

[36] Untuk informasi lebih lanjut mengenai hal ini lihat JSMP "JSMP concerned about illegal detentions in East Timor", 16 Januari 2003; OHCHR "Asian and Pacific Region Quarterly Reports of Field Offices", Maret 2004, hal. 24; dan "East Timor: Country Reports on Human Rights Practices for 2004", dikeluarkan oleh Biro Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Buruh, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, 28 Februari 2005.  

[37] Wawancara Human Rights Watch dengan Mario Sarmento, korban empat puluh tahun, Aldeia Loron Matan, Sucu Rainakadoko, sub distrik Dom Aleixo, Dili, 23 Mei 2005.

[38] Wawancara Human Rights Watch dengan istri Mario Sarmento, Aldeia Loron Matan, Suco Rainakadoko, sub distrik Dom Aleixo, Dili, 23 Mei 2005.

[39] Wawancara Human Rights Watch dengan Mario Sarmento, Aldeia Loron Matan, Sucu Rainakadoko, Sub distrik Dom Aleixo, Dili, 23 Mei 2005.

[40] Wawancara Human Rights Watch dengan Cristiano da Costa, korban, tiga puluh empat tahun, Dili, 23 Mei 2005.

[41] Mark Baker, "East Timor At Flashpoint As Disillusionment Sets In," Sydney Morning Herald, 24 Desember 2002.

[42] Melihat "Transcript of News Conference with SRSG Kamalesh Sharma and UNPOL Commissioner Sandi Peisley", UNMISET, Dili, 18 November 2003.

[43] Jill Jolliffe, "UN Failed to Act Effectively in Dili Riots, Inquiry Finds," The Age, Melbourne, Australia, 19 November 2003.

[44] Wawancara Human Rights Watch dengan pria dua puluh dua tahun (nama dirahasiakan), distrik Baucau, 17 Mei 2005.

[45] Wawancara Human Rights Watch dengan korban empat puluh tahun (nama dirahasiakan), Aldeia Tas, distrik Bobonaro, 26 Mei 2005.

[46] Wawancara Human Rights Watch dengan Simao Lopes, kepala PEO, Maliana, distrik Bobonaro, 26 Mei 2005.

[47] Prinsip-Prinsip Dasar PBB mengenai Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Petugas Penegak Hukum, Ketetapan Umum 4.

[48] Ibid., Ketetapan Umum 7.

[49] Wawancara Human Rights Watch dengan staf Perkumpulan HAK, Dili, 23 Mei 2005.

[50] Wawancara Human Rights Watch dengan korban, tiga puluh dua tahun (nama dirahasiakan), sub distrik Bobonaro, 25 Mei 2005.

[51] Wawancara Human Rights Watch dengan saksi mata dua puluh sembilan tahun (nama dirahasiakan), sub distrik Bobonaro, 25 Mei 2005.

[52] Catatan Masuk Rumah Sakit Maliana Agustus 2004, dilihat oleh Human Rights Watch di Rumah Sakit Maliana, Timor-Leste, 26 Mei 2005. Catatan rumah sakit tidak memperlihatkan tanggal spesifik pada Agustus 2004.

[53] Wawancara Human Rights Watch dengan korban tiga puluh dua tahun (nama dirahasiakan), sub distrik Bobonaro, 25 Mei 2005.

[54]Ada beberapa kelompok bela diri besar di Timor-Leste. Kelompok-kelompok itu sebagian besar terdiri dari laki-laki muda pengangguran yang juga telah dikenal sering berkelahi dengan kelompok lainnya. Pemerintah Timor-Leste melihat mereka sebagai sebuah masalah keamanan dan telah lebih memperhatikan untuk mengatur mereka.

[55] Wawancara Human Rights Watch dengan korban empat puluh dua tahun (nama dirahasiakan), Caicoli, Dili, 28 Mei 2005.

[56] Wawancara Human Rights Watch dengan saksi mata dua puluh sembilan tahun (nama dirahasiakan), sub distrik Bobonaro, 25 Mei 2004.

[57] Wawancara Human Rights Watch dengan korban tiga puluh dua tahun (nama dirahasiakan), sub distrik Bobonaro, 25 Mei 2004.

[58] Wawancara Human Rights Watch dengan Komandan Atanasio Barreto, kantor polisi sub distrik Bobonaro, 25 Mei 2005.

[59] Petugas terakhir meninggal dunia setelahnya akibat penyebab yang tidak berhubungan dengan insiden tersebut. Wawancara Human Rights Watch dengan Simao Lopes, Kepala PEO, Maliana, distrik Bobonaro, 26 Mei 2005. 

[60] Wawancara Human Rights Watch dengan Elisio Dominggos da Piedade, Aldeia Trilolo, Baucau, 17 Mei 2005.

[61] Surat Keterangan Sakit, catatan Rumah Sakit Baucau Hospital, Baucau, dilihat oleh Human Rights Watch pada 18 Mei 2005. Salinan berkas ada pada Human Rights Watch. 

[62] Wawancara Human Rights Watch dengan Elisio Dominggos da Piedade, Aldeia Trilolo, Baucau, 17 Mei 2005.

[63] Wawancara Human Rights Watch dengan Augustino Ximenes Cosme, Rumah Sakit Baucau hospital, Baucau, 18 Mei 2005.

[64] Wawancara Human Rights Watch dengan korban dua puluh tiga tahun (nama dirahasiakan), Suco Holsa, Aldeia Belico, distrik Bobonaro, 24 Mei 2005.

[65] Wawancara Human Rights Watch dengan korban tiga puluh lima tahun (nama dirahasiakan), Aldeia Lotan, Suco Batugade, Timor-Leste, 26 Mei 2005.

[66] Ibid.

[67] Nama-nama dicatat oleh Rights Watch.

[68] Wawancara Human Rights Watch dengan Baltazar Fatima Correia, korban dua puluh dua tahun, Desa Mulia, Aldeia Sialimu, Baucau, 17 Mei 2005.

[69] Wawancara Human Rights Watch dengan saksi mata dua puluh delapan tahun (nama dirahasiakan), Desa Mulia, Aldeia Sialimu, Baucau, 17 Mei 2005.

[70] Wawancara Human Rights Watch dengan Baltazar Fatima Correia, Desa Mulia, Aldeia Sialimu, Baucau, 17 Mei 2005.

[71] Wawancara Human Rights Watch dengan Pedro Belo, komandan polisi distrik Baucau, distrik Baucau, 18 Mei 2005.

[72] "National Police Accused of Raping Girl," Timor Post, 2 Juni 2004.

[73] "Dili District Court Acquits three PNTL Officers in Rape Case," Pernyataan Pers JSMP, 14 April 2005.

[74] "Dili District Court Releases Detention Decision in Rape Case Against PNTL Officers," Pernyataan Pers JSMP, Dili, 3 Juni 2004.

[75] "Women's Network Protest Against Police Officers," Timor Post, 3 Juni 2004.

[76] "Dili District Court Releases Detention Decision in Rape Case Against PNTL Officers," Pernyataan Pers JSMP, Dili, 3 Juni 2004.

[77] Untuk informasi lebih mengenai respon judisial mengenai kekerasan terhadap perempuan lihat "The law of gender based violence in Timor-Leste: April – November, 2005," laporan JSMP, Dili, Februari 2006; "Analysis of Decisions in Cases involving women and children victims: June 2004 – March 2005," laporan JSMP, Dili, April 2005; and "Police Treatment of Women in Timor-Leste," laporan JSMP, Dili, Januari 2005.

[78] "East Timor: Country Reports on Human Rights Practices for 2005", BiroDemokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Buruh,Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, 8 Maret 2006.

[79] Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, A/RES/217, 10 December 1948, Ayat 5: "Tidak seorangpun boleh dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan."

[80]Untuk cakupan larangan di bawah ICCPR Ayat 7 (Larangan penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan lainnya) lihat komentar Komisi Umum Hak Asasi Manusia (Human Rights Committee General) No. 20 (1992).

[81] Undang-undang Republik Demokratik Timor-Leste 2002, Bagian 30.4

[82] Ibid., Bagian 23: "hak-hak dasar yang diabadikan dalam Undang-undang tidak boleh menyampingkan setiap hak-hak lain yang diberikan oleh hukum dan akan diinterpretasikan sejalan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia," dan Bagian 9.2: "Peraturan-peraturan yang disediakan untuk konvensi internasional…[seperti Konvensi Menentang Penyiksaan] harus diterapkan dalam sistem hukum internal Timor-Leste setelah persetujuan, ratifikasi atau penambahan mereka dengan alat pemerintah kompenten masing-masing dan setelah publikasi di surat kabar resmi."

[83] Di bawah Ayat 1, penyiksaaan adalah: setiap tindakan yang menyebabkan kesakitan atau penderitaan yang hebat, apakah itu fisik atau mental, yang sengaja diberikan kepada seseorang dengan tujuan mendapatkan dari dia atau orang ketiga informasi atau pengakuan, menghukum seseorang untuk tindakan yang ia atau orang ketiga lakukan atau dicurigai telah lakukan, atau mengintimidasi atau memaksa orang tersebut atau orang ketiga, atau untuk setiap alasan yang berdasarkan diskriminasi jenis apapun, saat kesakitan atau penderitaan dipaksakan oleh atau permulaan dari atau dengan seijin atau sepengetahuan dari pejabat publik atau orang lain yang berlaku dalam kapasitas resmi. Penyiksaan yang di maksud di sini tidak termasuk kesakitan atau penderitaan yang hanya muncul dari, melekat atau berhubungan dengan sanksi hukum resmi.  

[84] Lihat yurisprudensi Komisi Hak Asasi Manusia pada Ayat 7 dan 10 dari ICCPR misalnya de Buton v. Uruguay, No. 37/1978, CCPR/C/12/D/37/1978  27 Maret 1981; Estrella v. Uruguay, No. 74/1980, CCPR/C/18/D/74/1980 23 Maret 1983; dan Marais v. Madagascar, No. 49/1979, CCPR/C/18/D/49/1979 24 Maret 1983. Untuk penjelasan umum mengenai larangan pada ayat 7 dari ICCPR, lihat Manfred Nowak, U.N. Covenant on Civil and Political Rights, CCPR Commentary (Khel: N.P. Engel, 1993), hal. 131.

[85] Kode Etik PBB untuk Petugas Penegak Hukum, Resolusi Sidang Umum 34/169 17 Desember 1979, ayat 3.

[86] Prinsip-prinsip Dasar PBB mengenai Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Petugas Penegak Hukum, Ketetapan Umum 4.

[87] Ibid., Ketetapan Umum 5.

[88] Wawancara Human Rights Watch dengan Tiago Amaral Sarmento, Kepala Program Pengawasan Sistem Judisial, 27 Mei 2005.

[89] "Report of the United Nations High Commissioner for Human Rights on technical cooperation in the field of human rights in Timor-Leste," Dokumen PBB E/CN.4/2005/115, 22 Maret 2005. 

[90] "Law and Justice in East Timor: A survey of Citizen Awareness and Attitudes Regarding Law and Justice in East Timor," Asia Foundation, Dili, Februari 2004.

[91] "Survey on Public Perceptions of The East Timor National Police's Work," Pusat Penelitian Terapan dan Kajian-Kajian Kebijakan, Institut Teknologi Dili, September 2004.

[92] "Asia and Pacific Region: Quarterly Reports of Field Offices," OHCHR, Juni 2005.

[93] Korespondensi surat elektronik Human Rights Watch dengan Ray Murray, penasihat internasional untuk Kementerian Dalam Negeri, 9 Maret 2006.

[94] "East Timor: Country Reports on Human Rights Practices for 2005', dikeluarkan oleh Biro Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Buruh,Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, 8 Maret 2006.

[95] "Progress Report of the Secretary-General on the United Nations Mission of Support in East Timor," Dokumen PBB: S/2005/99, 18 Februari 2005.

[96] Wawancara Human Rights Watch dengan Paulo de Fatima Martins, Komisaris PNTL, Dili, 3 Juni 2005.

[97] Penamaan ulang ini baru saja dilakukan, unit ini masih dikenal oleh umum dengan nama lamanya yaitu PEO.

[98] Hukum Organik Polisi Nasional Timor-Leste, Hukum Ketetapan No.8/2004, 5 Mei 2004, ayat 13. Sejak pembentukan Inspektorat pada Agustus 2004, saat ini Kementerian melakukan pertanyaan-pertanyaan melalui kantor tersebut. 

[99] Wawancara Human Rights Watch dengan petugas PEO, Dili, 1 Juni 2005.

[100] Wawancara dengan Human Rights Watch dengan Simao Lopes, kepala PEO, Maliana, distrik Bobonaro, 26 Mei 2005.

[101]Juga harus disadari bahwa beberapa kasus yang dilaporkan tidak mengalami perkembangan yang cukup maju karena kurang jelasnya komplain. Sebagai contoh, seringkali komplain dibuat satu minggu setelah kejadian mengenai seorang petugas PNTL yang tidak diketahui namanya, dan nomor anggotanya atau deskripsinya.  

[102] Wawancara Human Rights Watch dengan Carlos Moniz Maia, wakil kepala, PEO nasional, Dili, 1 Juni 2005.

[103] Wawancara Human Rights Watch dengan penasihat polisi PBB (nama dirahasiakan), distrik Bobonaro, 24 Mei 2005.

[104] Wawancara Human Rights Watch dengan Simao Lopes, kepala PEO, Maliana, distrik Bobonaro, 26 Mei 2005.

[105] Wawancara Human Rights Watch dengan korban dua puluh tiga tahun (nama dirahasiakan), Aldeia Belico, Suco Holsa, distrik Bobonaro, 24 Mei 2005.

[106] Wawancara Human Rights Watch dengan penasihat polisi PBB (nama dirahasiakan), distrik Bobonaro, 24 Mei 2005.

[107] Wawancara Human Rights Watch dengan Tiago Amaral Sarmento, kepala Program Pengawasan Sistem Judisial, Dili, 27 Mei 2005.

[108]"Asia and Pacific Region: Quarterly Reports of Field Offices," OHCHR, Juni 2005.

[109] "Progress Report of the Secretary-General on the United Nations Office in Timor-Leste," Dokumen PBB S/2005/533, 18 Agustus 2005.

[110] "Progress Report of the Secretary-General on the United Nations Mission of Support in East Timor," Dokumen PBB S/2005/99, 18 Februari 2005.

[111] Wawancara Human Rights Watch dengan Sebastiao Dias Ximenes, Provedor, Dili, 2 Juni 2005.

[112] Pada saat penulisan Perundangan-undangan Kriminal yang baru direvisi belum diumumkan. 

[113] Korespondensi surat elektronik Human Rights Watch dengan Ray Murray, penasihat internasional untuk Kementerian Dalam Negeri, 10 Maret 2006.

[114] "Report of the United Nations High Commissioner for Human Rights on Technical Cooperation in the Field of Human Rights in Timor-Leste," Dokumen PBB E/CN.4/2005/115, 22 Maret 2005.

[115] Wawancara Human Rights Watch dengan Saif Ullah Malik, penasihat polisi senior PBB, Dili, 31 Mei 2005.

[116] Rekrutmen mantan petugas POLRI mencapai 12 persen dari total personel PNTL pada 2003. Hal tersebut, selain masalah lainnya, yang menyebabkan tingkatan tertentu kebencian di antara anggota dari mantan kelompok pejuang yang tidak diikutkan dalam polisi. Lihat "The Democratic Republic of Timor-Leste: A New Police Service", Amnesty International, 1 Juli 2003, hal. 20-21.

[117] Korespondensi surat elektronik Human Rights Watch dengan Ray Murray, penasihat internasional untuk Kementerian Dalam Negeri, 9 Maret 2006.

[118] Dokumen PBB S/2005/00: "Progress Report of the Secretary-General on the United Nations Mission of Support in East Timor," 18 Februari 2005.

[119] Wawancara Human Rights Watch dengan Johanna Eriksson Takyo, pemimpin proyek, Perlindungan Anak, UNICEF, Dili, 31 Mei 2005. 

[120] Di Timor-Leste, istilah "mensosialisasikan" adalah istilah yang sering digunakan untuk mengindikasikan kapan telah ada penyebaran atau pendistribusian materi-materi atau informasi mengenai subyek tertentu.  Tapi, sebagaimana penasihat untuk Kementerian Dalam Negeri menjelaskan kepada Human Rights Watch, "Sosialisasi yang benar jauh lebih kompleks dari sekedar menyediakan salinan ROP dan memberikan sehari lokakarya mengenai hal tersebut. Hal inilah mengapa begitu banyak sistem yang gagal. Sosialisasi yang benar termasuk membantu setiap bidang dalam mengembangkan sistem dan prosedur yang dibutuhkan untuk membuat ROP bekerja di komando distrik mereka atau di kantor polisi, sebagaimana merubah atau memperkenalkan struktur-struktur, menghapuskan struktur-struktur dan sistem lama, tindak lanjut untuk memastikan pemahaman dan pengawasan yang komplit dari kantor pusat untuk memastikan informasi, prosedur dan data mengalir sesuai dengan ROP atau peraturan dan ketetapn materi-materi pelatihan untuk mengidentifikasikan pelatih distrik atau komando," korespondensi Human Rights Watch dengan Ray Murray, penasihat internasional untuk Kementerian Dalam Negeri, 9 Maret 2006.

[121] Wawancara Human Rights Watch dengan Julio da Costa Hornay, kepala Akademi Pelatihan Polisi, Dili, 27 Mei 2005.

[122] Korespondensi surat elektronik Human Rights Watch dengan Ray Murray, penasihat internasional untuk Kementerian Dalam Negeri, 9 Maret 2006.

[123] Wawancara Human Rights Watch dengan staf UNOTIL, Timor-Leste, 19 Mei 2005.

[124] Wawancara Human Rights Watch dengan wakil kepala misi, kedutaan luar negeri (informasi yang dikenali dirahasiakan), Dili, 30 Mei 2005.

[125] Wawancara Human Rights Watch dengan Alcino Barris, Wakil Menteri Dalam Negeri, Dili, 2 Juni 2005.

[126] Wawancara Human Rights Watch dengan Ray Murray, penasihat internasional untuk Kementerian Dalam Negeri, Dili, 1 Juni 2005.

[127] Sebagai contoh, pada 17 Oktober 2005, dua puluh lima petugas menyelesaikan program Pelatih Ahli UNOTIL unit khusus selama enam bulan – lihat "Completion of PNTL Master Training Course," Pernyataan Pers UNOTIL, 17 Oktober 2005; dan Dokumen PBB S/2005/533: "Progress Report of the Secretary-General on the United Nations Office in Timor-Leste", 18 Agustus 2005.

[128] Wawancara Human Rights Watch dengan Kevin Raue, ketua tim AMC, Program Pengembangan Polisi Timor-Leste, Dili, 2 Juni 2005.

[129] Wawancara Human Rights Watch dengan UNMISET SRSG Sukehiro Hasegawa, Dili, 27 Mei 2005.

[130] Wawancara Human Rights Watch dengan Tiago Amaral Sarmento, Kepala Program Pengawasan Sistem Judisial, Dili, 27 Mei 2005.

[131] Wawancara Human Rights Watch dengan Saif Ullah Malik, penasihat polisi senior PBB, Dili, 31 Mei 2005.

[132] Ibid.

[133] Wawancara Human Rights Watch dengan UNMISET SRSG Sukehiro Hasegawa, Dili, 27 Mei 2005.

Region / Country