Tak banyak perbaikan hak asasi manusia di Indonesia pada 2013, tahun terakhir kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Kendati Presiden berpidato menjamin toleransi dan kebebasan beragama, pemerintah pusat lemah sekali dalam merespons meningkatnya kekerasan dan diskriminasi terhadap minoritas-minoritas agama. Keprihatinan lain, keluar satu undang-undang yang membatasi kegiatan organisasi masyarakat, kian suburnya peraturan daerah yang melanggar hak-hak perempuan, dan perlakuan sewenang-wenang terhadap para pengungsi dan migran, termasuk anak-anak tanpa orangtua, yang berlabuh di Indonesia dengan jumlah terus meningkat.
Reformasi sektor kehutanan mengalami sejumlah kemajuan pada 2013, meski perkebunan pada lahan yang diklaim milik masyarakat, sering menyulut sengketa tanah dan kekerasan. Korupsi dan buruknya tatakelola sektor kehutanan menggerus trilyunan rupiah dari kas negara, serta mengusik kemampuan pemerintah menjalankan janji-janji program “pertumbuhan hijau”.
Kondisi di Papua, praktis daerah terlarang bagi wartawan internasional, tetap bergejolak, dengan aparat keamanan menikmati nyaris kebal-hukum atas pelanggaran mereka, termasuk pengunaan kekuatan berlebihan dan senjata api mematikan terhadap aksi-aksi protes pendukung kemerdekaan Papua. Gerakan Papua Merdeka, meski organisasinya kecil dan lemah, terus melancarkan serangan bersenjata terhadap aparat negara.
Pemilihan kepala daerah di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir, memunculkan politisi muda, termasuk gubernur Jakarta Joko Widodo, yang mungkin bisa mematahkan politik oligarki di Indonesia, guna melawan korupsi, kemiskinan, dan infrastruktur parah. Pemilihan umum anggota parlemen dan presiden pada 2014 akan memberi petunjuk apakah para politisi ini menjadi trend nasional atau tidak.
Kebebasan Berekspresi
Aliansi Jurnalis Independen mencatat 23 kasus kekerasan terhadap wartawan selama enam bulan pertama 2013. Kasus ini termasuk serangan terhadap Normila Sari Wahyuni, pada 2 Maret, jurnalis Paser TV saat dia meliput sengketa lahan di desa Rantau Panjang, Kalimantan Timur. Para penyerang menendang perutnya, menyebabkan dia keguguran. Polisi lantas menangkap kepala desa dan sekretaris desa sebagai tersangka atas serangan itu. Pada 27 Maret, para pendukung walikota Gorontalo, Adnan Dhambea, membakar kantor TVRI Gorontalo, sesudah Dambea kalah dalam pemilihan kepala daerah. Dua wartawan TVRI diserang saat aksi pembakaran itu.
Pada 2 Juli, Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan undang-undang baru mengenai organisasi kemasyarakatan, yang melanggar hak-hak kebebasan berserikat, berekspresi, dan beragama. Undang-undang ini mengatur sejumlah kewajiban dan larangan kegiatan lembaga swadaya masyarakat, membatasi ketat bantuan luar negeri, serta melarang organisasi nonpemerintah dari athesime, komunisme, Marxisme-Leninisme, paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Satu langkah positif, pada Agustus, pemerintah tak blokir film dokumenter The Act of Killing (Jagal) yang dapat diunduh gratis dari internet. Film peraih sejumlah penghargaan itu mengisahkan sekelumit dari pembantaian oleh militer Indonesia terhadap sekitar 500.000 sampai lebih dari satu juta orang, yang dituduh anggota dan simpatisan partai komunis pada 1965-1966, kejadian yang tabu dibicarakan di tengah masyarakat.
Reformasi Militer dan Impunitas
Pengadilan militer Yogyakarta bulan September hukum penjara 12 anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dari beberapa bulan sampai 11 tahun atas peran mereka membunuh empat terdakwa di sebuah penjara. Putusan ini menandai satu pijakan penting dari terlalu seringnya serdadu Indonesia menikmati kekebalan hukum atas kriminalitas mereka, kendati vonis yang dijatuhkan pada ketiga prajurit yang berperan utama dalam pembunuhan, belum seimbang dengan beratnya kadar kejahatan mereka.
Hak-hak Perempuan
Rancangan undang-undang kesetaraan perempuan yang diajukan kali pertama ke parlemen pada 2009, tetap mangkrak pada 2013 karena ada penolakan dari politisi Islamis.
Sementara itu, aturan diskriminatif marak berkembang. Pada Agustus, Komnas Perempuan melaporkan data mutakhir bahwa ada 60 aturan diskriminatif terbaru di tingkat pusat dan daerah sepanjang 2013. Ini menambah 342 aturan diskriminatif, termasuk 79 peraturan daerah yang mewajibkan perempuan mengenakan jilbab. Pada Juli, Kementerian Dalam Negeri mensinyalirkan niatnya untuk mencabut hanya delapan dari seluruh aturan itu.
Aturan-aturan ini termasuk melarang perempuan mengangkang sepeda motor—hanya boleh dibonceng menyamping—di Lhokseumawe, Aceh. Daerah tetangga, Bireuen, punya aturan melarang perempuan menari. Di Gorontalo, Pulau Sulawesi, pemerintah daerah memindahkan seluruh sekretaris perempuan pada bulan Juli, mengganti mereka dengan staf laki-laki sebagai tindakan mencegah “perselingkuhan di kantor.”
Pada Agustus, kepada dinas pendidikan kota Prabumulih, Sumatra Selatan, membatalkan rencana mewajibkan siswi sekolah menengah dan sederajat melakukan “tes keperawanan” untuk menekan “seks pranikah dan prostitusi.” Kendati menuai kecaman publik, rencana macam ini terus mengalir sebagaimana tes serupa tengah dikenalkan di Pamekasan, Jawa Timur.
Kebebasan Beragama
Presiden Yudhoyono berulangkali menyatakan Indonesia adalah “negara demokrasi Muslim moderat.” Pada 31 Mei, Yudhoyono pidato pemerintahannya “takkan toleransi kekerasan oleh kelompok yang mengatasnamakan agama” dan pada 16 Agustus dia “sangat prihatin” atas meningkatnya intoleransi dan kekerasan atas nama agama.
Lepas dari retorika, pemerintahan Yudhoyono gagal menegakkan putusan Mahkamah Agung terhadap para pejabat daerah yang sudah berkali-kali menghalangi izin pendirian gereja di Bogor dan Bekasi. Pemerintahan Yudhoyono terus menyokong lusinan peraturan, termasuk keputusan bersama menteri-menteri tentang pendirian rumah ibadah dan larangan kegiatan Ahmadiyah. Ini diskriminasi minoritas-minoritas agama dan menyuburkan intoleransi.
Menurut Setara Institute, organisasi pemantau kebebasan beragama di Jakarta, ada 264 serangan terhadap minoritas agama pada 2012 dan ada 243 kasus serupa dalam 10 bulan pertama 2013. Para pelaku hampir semuanya militan Sunni: targetnya jemaah Kristen, Ahmadiyah, Syiah, dan kaum Sufi.
Pada 21 Maret, pemerintah Bekasi tunduk pada desakan Forum Umat Islam dan bongkar gereja Huria Kristen Batak Protestan. Gereja ini telah syarat tanda tangan, tapi ditolak izin pendiriannya selama lima tahun terus-menerus karena tekanan dari kelompok-kelompok intoleran yang menentang pembangunan gereja di daerah tersebut.
Pada 20 Juni, lebih dari 800 Sunni militan menekan pemerintah daerah untuk mengusir ratusan pengungsi Syiah dari sebuah stadion di Sampang, Madura, tempat mereka tinggal di sana sejak Agustus 2012 setelah lebih dari 1.000 warga Sunni menyerang mereka dan membunuh satu warga Syiah. Para pengungsi Syiah lantas dipaksa berkemas ke sebuah rumah susun yang sudah disiapkan pemerintah di Sidoarjo, Jawa Timur, tiga jam dari stadion itu.
Pada 11 September, perselisihan sengit sekian lama antara dua komunitas Muslim di Puger, kabupaten Jember di Jawa Timur, meletupkan kekerasan saat lebih dari 30 orang Sunni merusak pesantren Darus Sholihin. Lebih dari 100 polisi di lokasi kejadian gagal mencegah serangan. Sejam kemudian, salah seorang militan, Eko Mardi Santoso, 45 tahun, ditemukan tewas di dermaga pelelangan ikan dengan luka bacok di wajah dan badan, tampaknya sebagai serangan balasan.
Papua/Papua Barat
Ketegangan memanas di Papua pada 2013 sesudah 21 Februari terjadi serangan terhadap aparat militer yang diduga dilakukan gerilyawan Gerakan Papua Merdeka, menewaskan delapan tentara.
Pada Agustus, menurut situs web “Orang Papua di Balik Jeruji” 55 orang Papua dipenjara karena aksi damai mendukung kemerdekaan. Indonesia menolak mereka sebagai tahanan politik.
Pada 30 April, polisi melepaskan tembakan ke sekelompok orang Papua yang tengah berkumpul di distrik Aimas, dekat Sorong, saat mengadakan protes peringatan 50 tahun pengambilalihan Papua ke Indonesia dari Kerajaan Belanda. Seorang saksi mata mengatakan polisi menembak saat para demonstran mendekati kendaraan polisi yang melaju ke lokasi pertemuan. Dua orang tewas tertembak di tempat; korban ketiga meninggal enam hari kemudian akibat luka tembak. Polisi menahan sedikitnya 22 orang dan mendakwa 7 orang dari mereka dengan tuduhan “makar” dan 15 lainnya lantas dibebaskan.
Pada Mei, harian Sydney Morning Herald melansir laporan bahwa ribuan anak-anak Papua, kebanyakan beragama Kristen, dibujuk meninggalkan Papua untuk kemudian dididik di madrasah-madrasah di Jawa demi mendapat “bimbingan” agama selama sepuluh tahun terakhir. Program ini membuat sejumlah besar anak Papua lari dari madrasah dan hidup menggelandang di kota-kota besar.
Pelanggaran hak asasi manusia di Papua dalam sorotan selama pertemuan Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) di Bali pada 6 Oktober sesudah tiga aktivis Papua melompati pagar dan memasuki konsulat Australia. Markus Jerewon, Yuvensius Goo, dan Rofinus Yanggam menuntut Indonesia mencabut pembatasan terhadap para wartawan asing dan turis ke Papua serta membebaskan para tahanan politik Papua.
Hak-hak Tanah
Pada Mei, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional sebuah pasal dari Undang-Undang Kehutanan 1999 yang memasukkan hutan adat ke dalam hutan negara. Keputusan mahapenting ini mencabut kewenangan Kementerian Kehutanan guna mengizinkan tanah-tanah adat sebagai konsesi perusahaan penebangan hutan dan perkebunan.
Korupsi dan buruknya tatakelola sektor kehutanan terus menggerogoti kas negara, kerugian tahunan mencapai Rp 22 trilyun, lebih besar dari anggaran kesehatan nasional. Buruknya tatakelola kehutanan memicu sengketa lahan yang berbuntut kekerasan dan menodai citra yang didaku Indonesia sendiri sebagai pemimpin dalam program pembangunan berkelanjutan.
Pengungsi dan Pencari Suaka
Indonesia menjadi titik rehal menuju Australia bagi para pengungsi dan pencari suaka yang melarikan diri dari kriminalisasi, kekerasan, dan kemiskinan di negara-negara macam Somalia, Afghanistan, Pakistan, dan Burma. Hingga Maret 2013, ada sedikitnya 10.000 pengungsi dan pencari suaka di Indonesia, semuanya dalam keadaan rentan dari pelindungan hukum karena Indonesia lemah dalam undang-undang suaka. Jumlah ini termasuk anak-anak migran tanpa orangtua, yang jumlahnya mencengangkan; pada 2012 saja, lebih dari 1.000 anak tanpa wali tiba di Indonesia.
Kendati pemerintah Indonesia mendelegasikan tanggungjawab para pengungsi dan pencari suaka ke kantor Komisi Tinggi PBB Urusan Pengungsi (UNHCR), pemerintah seringkali menolak membebaskan mereka, bahkan para pengungsi yang sudah diakui UNHCR, dari rumah detensi imigrasi, yang kondisinya buruk dan tahanan lazim mengalami penganiayaan. Mereka yang dibebaskan menghadapi ancaman ditangkap polisi dan kemudian dibawa ke rumah detensi lagi.
Aktor-aktor Penting Internasional
Pada 8 Mei, pemerintah Jerman menyetujui penjualan 164 tank ke Indonesia, termasuk 104 tank tempur Leopard 2. Pada 25 Agustus, Menteri Pertahanan Amerika Serikat Chuck Hagel mengumumkan kesepakatan penjualan delapan helikopter serang Apache ke Indonesia senilai 500 juta dolar AS. Dia bilang penjualan itu bertujuan memperkuat kerjasama militer sebagai bagian dari “pivot” AS menuju Asia Pasifik.
Pada 30 September, perdana menteri baru Australia Tony Abbot mengunjungi Jakarta sebagai lawatan luar negeri dia yang pertama, menjalin hubungan dan kerjasama perdagangan lebih baik, di tengah isu migrasi dan perdagangan manusia. Abbott gagal menyuarakan keprihatinan hak asasi manusia dalam pembicaraan di Jakarta dan, beberapa hari kemudian, saat tiga aktivis Papua memasuki konsulat Australia di Bali, dia memanfaatkan kesempatan itu untuk mencela orang Papua yang menjadikan Australia sebagai “mimbar” melawan Indonesia. Selanjutnya dia secara serampangan mencampuradukan upaya menyuarakan pelanggaran hak asasi manusia dengan separatisme Papua.
Indonesia meneken perjanjian perdagangan kayu dengan Uni Eropa pada 30 September, mewajibkan ekspor kayu ke Eropa mesti ada jaminan sebagai produk legal. Ia menandakan langkah penting dalam upaya memberantas perdagangan kayu ilegal. Namun, perjanjian ini mengabaikan adanya penilaian apakah kayu itu hasil dari pelanggaran hak-hak tanah adat atau warga dapat kompensasi: muara genting atas sejumlah konflik dan pelanggaran hak asasi manusia.
Suatu rencana kunjungan oleh pelapor khusus PBB mengenai kebebasan berekspresi, Frank La Rue, yang diagendakan Januari 2013 ditunda karena keberatan Jakarta atas rencananya mengunjungi Papua; belum ada informasi terbaru lagi kapan kunjungan ini dijadwalkan ulang hingga laporan ini ditulis.