Meski berkembang reputasinya sebagai negara demokrasi berpenduduk mayoritas Muslim, Indonesia sebenarnya baru menunjukkan sedikit kemajuan soal hak asasi manusia sepanjang 2009. Pada Juli, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terpilih kembali dengan kemenangan besar. Ini memberinya kesempatan untuk mengambil tindakan lebih tegas melawan impunitas, intoleransi keagamaan, dan ancaman lain terhadap hak asasi manusia. Namun, dalam laporan ini, ada beberapa indikasi pemerintahan Yudhoyono kurang punya kemauan politik untuk melakukan itu.
Indonesia memiliki media yang beragam dan semangat, namun kebebasan berekspresi tetap dirusak oleh para pejabat tinggi dan pengusaha, dengan menggunakan hukum pidana maupun perdata, serta pencemaran nama baik untuk membungkam kritik. Hal sama dipakai untuk menindas beragam ekspresi di Papua.
Impunitas
Impunitas masih jadi kebiasaan bagi para anggota perwira militer yang seharusnya bertanggungjawab terhadap macam-macam pelanggaran. Para perwira militer Indonesia dan pemimpin milisi masih perlu dibawa ke pengadilan untuk kejahatan masa lalu yang mereka bikin di Timor-Leste, Papua, Aceh, Maluku, Kalimantan dan daerah lain.
Elit militer Indonesia - biasa disebut Kopassus - terus terlibat dalam penyiksaan. Di Merauke, Papua, tentara-tentara Kopassus menangkap orang-orang Papua tanpa dasar hukum, memukul dan menyiksa di Mess Kopassus. Para komandan Kopassus bersikap tak serius dalam upaya menegakkan disiplin militer atau menahan para tentara yang bertanggungjawab atas peyiksaan ini.
Pada Desember 2008, pengadilan Jakarta membebaskan Mayjen Muchdi Purwopranjono, mantan komandan Kopassus dan deputi Badan Intelijen Negara, atas pembunuhan pembela hak asasi manusia Munir bin Thalib, dalam sebuah pengadilan yang dirusak oleh pencabutan kesaksian dan intimidasi. Pada Juni 2009, Mahkamah Agung menolak pengajuan memori banding jaksa penuntut umum. Padahal, pada 2005, Presiden Yudhoyono pernah mengatakan pembunuhan ini merupakan "the test of history" seberapa jauh negara ini telah berubah.
Pada Maret 2009, Departemen Luar Negeri memerintahkan International Committee of the Red Cross untuk angkat kaki dari Jayapura dan Banda Aceh.
Papua dan Papua Barat
Pihak berwenang Indonesia tetap saja memakai cara lama dalam menanggapi gerakan perlawanan bersenjata berintensitas rendah, di provinsi Papua dan Papua Barat, dengan mengirim pasukan tentara besar-besaran dan acap bertindak kejam. Tentara-tentara ini bereaksi tidak proposional terhadap kebebasan berpendapat dan kritik non-kekerasan. Human Right Watch telah lama mengungkapkan kekhawatiran atas aksi-aksi penyisiran "anti-separatis" oleh kepolisian Indonesia, yang acap kali mengakibatkan orang-orang Papua, yang secara damai mendukung kemerdekaan Papua, ditangkap dan ditahan dengan tuduhan penghianat atau pemberontak alias bertindak makar.
Pemerintah Indonesia juga terus membatasi akses kepada pemantau hak asasi manusia serta wartawan asing, yang hendak datang ke Papua. Ini memperburuk iklim impunitas dan membuat penyelidikan semakin sulit. Sebelum diperintahkan untuk menutup kantornya di Jayapura, ICRC rutin mengunjungi para tahanan di penjara Abepura, tempat para sipir penjara serng melakukan penyiksaan, termasuk terhadap tahanan politik Buchtar Tabuni dan Yusak Pakage.
Pada Juli 2009, serangkaian penembakan terjadi di kawasan tambang emas Freeport di Timika, menewaskan tiga orang, termasuk seorang warga Australia. Kepolisian mengumumkan bahwa Organisasi Papua Merdeka (OPM) terlibat dalam serangan tersebut. Mereka menahan sedikitnya 20 orang Papua yang diduga terkait pembunuhan ini dan menyatakan tujuh orang tersangka. OPM menyangkal semua keterlibatan, sementara orang-orang yang menjadi target polisi pun bersikeras bahwa mereka tidak berafiliasi dengan OPM maupun terlibat dalam serangan tersebut. Pada November, kepolisian melepas tujuh orang Papua terakhir, yang masih ditahan sehubungan dengan insiden ini.
Pada November, pengadilan Manokwari menghukum tiga lelaki dengan pasal-pasal "makar" setelah mereka mengibarkan bendera Papua.
Aceh
Aceh terus menghadapi kekerasan, terutama selama bulan-bulan sebelum pemilihan legislatif pada April 2009. Ini pertama kali sejak terjadi kesepakatan pemerintah Indonesia dengan Gerakan Acheh Merdeka pada 2005, guna mengakhiri konflik bersenjata selama tiga dekade di tanah Acheh. Antara Januari dan April, penyerangan tak dikenal menewaskan lima politisi Partai Aceh, sebuah partai politik, yang didirikan mantan anggota GAM. Serangan ini membunuh seorang pemimpin partai di kota Langsa, dalam serangkaian penembakan dan serangan granat, yang menewaskan sedikitnya 16 orang. Kepolisian Indonesia menahan beberapa pelaku namun belum satu pun dihukum.
Pada September, DPR Acheh menyetujui sebuah qanun yang merajam sampai mati para pezina dan hukuman cambuk sebagai pelanggaran seksual termasuk terhadap pasangan homoseksual. Meski mendapat ditolak Gubernur, peraturan ini otomatis mulai berlaku pada Oktober.
Pemerintah pusat tak pernah berupaya serius membentuk pengadilan hak asasi manusia guna menyelidiki berbagai kejahatan yang dilakukan sebelum penandatanganan perjanjian 2005, meski faktanya di bawah Undang-undang Pemerintah Aceh 2006, pengadilan semacam itu seharusnya mulai mulai berjalan pada Agustus 2007.
Reformasi Militer
Tepat sebelum berakhirnya tenggat waktu lima tahun pada Oktober 2009, Presiden Yudhoyono menerbitkan keputusan presiden yang mengalihkan kontrol unit-unit bisnis Tentara Nasional Indonesia. Namun keputusan ini gagal mengakhiri keterlibatan TNI dalam semua kegiatan bisnis militer, sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang 2004, dan menyerahkan kendali bisnis-bisnis militer ini ke pundak Departemen Pertahanan - yang dipimpin seorang sipil namun sebagian besar stafnya para perwira militer. Hasil yang mengecewakan ini cuma bersifat simbolis. Ia menunjukkan kemajuan yang sangat lamban dan tampak sederhana dari reformasi militer di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Korupsi
Pemerintahan Presiden Yudhoyono telah mengambil langkah-langkah melawan korupsi namun ia tetap menyisakan hambatan serius. Ketegangan yang makin meningkat, antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan kepolisian serta kejaksaan pada 2009, menyebabkan penonaktifan dan penahanan tiga pejabat KPK: Antasari Azhar pada Mei dan Samad Rianto serta Chandra Hamzah pada Oktober. Pada November, Mahkamah Konstitusi mengakomodasi sebuah persidangan yang menyiarkan percakapan telepon lima jam, yang disadap KPK, untuk menunjukkan keberadaan anggota kejaksaan dan kepolisian tertentu, yang berupaya melemahkan KPK diikuti penyelidikan sebuah kasus penyuapan polisi. Sesudah itu, sebuah tim pencari fakta yang ditunjuk Yudhoyono mengumumkan bahwa mereka tidak menemukan cukup bukti untuk menahan dua pejabat KPK tersebut. Mereka juga menganjurkan polisi dan jaksa yang terlibat dalam pelanggaran perlu mendapat tindakan disiplin.
Pada September 2009, Presiden Yudhoyono menerbitkan sebuah peraturan pemerintah pengganti undang-undang, guna memperbarui kewenangan KPK. Namun, di bawah peraturan ini, majelis hakim tindak pidana korupsi tak lagi dituntut untuk mayoritas beranggotakan hakim ad hoc. Ia sebuah perubahan yang mengancam independensi dan efektivitas kerja KPK.
Adapun langkah-langkah anti-korupsi kurang sekali diterapkan untuk mengatasi pencurian dan korupsi yang merajalela di sektor kehutanan negara. Mereka yang berwenang atas kerugian karena pembalakan liar, korupsi, dan salah urus manajamen jarang diminta pertanggungjawabannya.
Kebebasan Berekspresi dan Media
Pejabat pemerintah dan pengusaha besar menggunakan KUHP soal pencemaran nama baik untuk mengintimidasi wartawan, pembela hak asasi manusia dan para pengkritik lain. Setelah menerima putusan bebas dalam sidang pembunuhan Munir, Mayjen Muchdi Purwopranjono mengajukan pengaduan pidana pencemaran nama baik terhadap aktivis Usman Hamid, atas pernyataannya di tangga gedung pengadilan. Pada September 2009, polisi memanggil Hamid untuk ditanyai atas tuduhan pencemaran nama baik tersebut.
Pada April 2009, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi kejaksaan Indonesia, yang menuntut majalah Time membayar US$ 110 juta karena pencemaran nama baik pada sebuah laporan mereka tahun 1999, tentang harta korupsi yang dikumpulkan almarhum Presiden Suharto dan anak-anaknya.
Pada Januari 2009, pengadilan Jayapura membebaskan pengacara hak asasi manusia Sabar Olif Iwanggin, yang dituduh menghasut guna melawan pejabat negara; Iwanggin men-forward SMS kepada teman-temannya, yang kritis terhadap Presiden Yudhoyono. Pada saat dibebaskan, Iwanggin telah ditahan oleh pihak berwenang selama lebih dari 15 bulan.
Kebebasan Beragama
Meski konstitusi Indonesia menjamin kebebasan beragama, pemerintah tetap memaksakan pembatasan hukum terhadap aktivitas keagamaan yang dianggap menyimpang dari enam agama resmi, menurut hukum Indonesia. Sebagai contoh, pada Juni 2008, keputusan bersama tiga menteri memerintahkan para anggota Ahmidayah menghentikan kegiatan keagamaan secara publik atau menghadapi hukuman penjara lima tahun. Lebih dari 100 anggota Ahmadiyah diusir dari rumah mereka karena kekerasan massa pada 2006. Kini mereka masih tinggal di sebuah tempat penampungan pengungsi di Lombok.
Para ulama dan kaum militan Muslim terus-menerus memakai sebuah surat keputusan 2006, di mana siapa pun yang membangun sebuah "rumah ibadah" harus mendapatkan "persetujuan masyarakat", yang dijadikan alasan pembenar bagi mereka menutup paksa bangunan dan kegiatan gereja-gereja.
Lebih dari 200 peraturan daerah berdasarkan syariat Islam menjadi hukum di seluruh di Indonesia. Beberapa isinya berupa pembatasan pakaian bagi perempuan atau mengizinkan pegawai negeri sipil menolak melayani perempuan yang tak memakai jilbab. Perintah lainnya, kemampuan wajib bisa baca al-Quran sebagai prasyarat jabatan dalam layanan sipil.
Buruh Domestik Migran
Sekira 4,5 juta warga Indonesia, sebagian besar wanita, bekerja di luar negeri. Banyak migran ini bekerja sebagai pekerja rumahtangga dan tunduk pada kondisi kerja eksploitatif, penyiksaan serta lemahnya perlindungan hukum. Pada 2009, Indonesia menghentikan pengiriman tenaga kerja wanita ke Malaysia dan Kuwait karena prihatin atas penyiksaan yang terus-menerus disana (lihat bagian Malaysia dan Kuwait). Indonesia dan Malaysia mulai negosiasi ulang dalam sebuah Nota Kesepakatan 2006 untuk menangani beberapa masalah seperti upah minimum dan hak memegang paspor sendiri bagi pekerja migran.
Indonesia gagal membuat kemajuan yang signifikan dalam mencegah para pencari tenaga kerja lokal yang menipu calon migran dengan janji pekerjaan di luar negeri atau memaksakan biaya yang sangat tinggi.
Pekerja Rumahtangga Anak
Ratusan ribu anak perempuan di Indonesia, sebagian masih berusia 11 tahun, bekerja sebagai pekerja rumahtangga. Banyak dari mereka bekerja berjam-jam, tanpa hari libur, dan dilarang keluar rumah selagi bekerja. Dalam kasus-kasus terburuk, mereka mendapat pelecehan fisik, psikologis dan seksual. Hukum perburuhan Indonesia tidak memasukkan semua pekerja rumah tangga dari hak-hak dasar buruh yang menjamin sebagian besar pekerja.
Kesehatan dan Hak Asasi Manusia
Puluhan ribu pasien kanker dan orang yang hidup dengan HIV/AIDS menderita sakit parah tanpa akses mendapatkan perawatan yang memadai. Pemerintah tidak mengambil tindakan efektif untuk menjamin tersedianya obat sakit opiat di luar pusat-pusat medis spesialis. Pemerintah juga tak menyediakan staf medis terlatih yang cukup guna mengobati para pasien ini. Pembatasan akses pengobatan dengan alasan-alasan tak masuk akal merupakan pelanggaran hak para pasien, yang seharusnya mendapatkan standar kesehatan tertinggi. Ini sama dengan perlakuan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat.
Pada September 2009, DPR meloloskan rancangan undang-undang anti-narkotika yang mengklasifikasikan setiap "pemakai" obat bius yang diatur pemerintah sebagai kejahatan pidana. RUU ini juga mengatur denda serta hukuman hingga enam bulan penjara bagi orangtua yang sungkan melaporkan anaknya, yang kecanduan narkoba, kepada pihak berwenang. RUU ini memberi kuasa hukuman mati terhadap berbagai pelanggaran termasuk pembelian, penjualan dan pengiriman obat bius yang penggunaannya diatur pemerintah.
Aktor-aktor Kunci Internasional
Hubungan Indonesia dengan beberapa mitra strategis makin berkembang selama 2009, terutama dalam bidang kerjasama keamanan. Indonesia terus memainkan peran positif pada Associaiton of South East Nations (ASEAN) dalam menekan Burma, yang belum menunjukkan kemajuan reformasi. Indonesia juga mendesak anggota-anggota ASEAN untuk memperkuat lembaga hak asasi manusia yang diresmikan baru-baru ini.
Pada Februari 2009, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton berkunjung ke Jakarta dan mengumumkan kesepakatan "comprehensive partnership" antara Indonesia dan Amerika Serikat. Seminggu sebelumnya, lebih dari 100 prajurit TNI bergabung dengan pasukan AS, Thailand, Jepang dan Singapura dalam kerjasama latihan militer multilateral.
AS tetap melarang bantuan kepada Kopassus, dan pada Oktober, AS menolak mengeluarkan visa untuk Sekretaris Jendral Departeman Pertahanan Syafrie Syamsuddin dan komandan Kopassus Pramono Edhie Wibowo. Juga pada Oktober, Inggris di bawah Joint Counter Terrorist Training and Advisory Team mengadakan training bagi para prajurit Kopassus, meski pasukan khusus ini memiliki catatan pelanggaran HAM yang cukup panjang di berbagai daerah.
Pada Januari, Panglima Angkatan Bersenjata Australia menandatangani sebuah Pernyataan Bersama dalam Kerjasama Pertahanan dengan Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso. Pada September, polisi federal Australia membuka kembali penyelidikan kejahatan perang 1975 terkait pembunuhan lima jurnalis Australia oleh tentara-tentara Indonesia di Timor-Leste. Departemen Luar Negeri Indonesia menyatakan insiden tersebut adalah kasus yang sudah selesai dan upaya penyelidikan dapat berdampak bagi hubungan bilateral kedua negara.