Skip to main content

Mesir: Kritikus Terkemuka Dituntut Karena Ujaran Damai

Gelombang Baru Penuntutan terhadap Para Pembangkang

Hesham Kassem di kantornya yang sedang dibangun di Kairo pada tahun 2010. © Hossam el-Hamalawy

(Beirut) – Pihak berwenang Mesir telah menahan secara tidak sah seorang kritikus terkemuka dan penerbit berita kawakan dan menyeretnya ke pengadilan, yang tampaknya hanya didasarkan pada kritik damai yang ia sampaikan, kata Human Rights Watch hari ini.

Pihak berwenang Mesir menahan Hisham Kassem pada 20 Agustus 2023, dan jaksa segera merujuknya untuk “persidangan segera,” yang dimulai pada 2 September, dengan tuduhan pencemaran dan fitnah terkait dengan unggahan daring yang mengkritik seorang mantan menteri. Penuntutan terhadap Hisham Kassem adalah bagian dari gelombang baru penuntutan kebebasan berpendapat terhadap para kritikus, yang merupakan lanjutan dari penindasan tanpa henti di Mesir.

“Penggunaan undang-undang pencemaran oleh pihak berwenang Mesir untuk membungkam kritikus seperti Hisham Kassem hanyalah salah satu dari sekian banyak alat yang mereka gunakan untuk memastikan bahwa ucapan kritis akan berujung penjara,” kata Amr Magdi, peneliti senior Timur Tengah dan Afrika Utara di Human Rights Watch. “Semestinya pihak berwenang segera membebaskan Kassem atau memberikan bukti adanya tindak pidana yang dapat dikenali.”

Pada 2 September, Pengadilan Ekonomi Kairo menunda sidang hingga 9 September, dan menjebloskan Kassem ke tahanan praperadilan, sebagaimana dilaporkan media lokal. Sejumlah pengacara yang hadir dalam sesi penyelidikan pada 20 Agustus mengatakan bahwa jaksa penuntut umum mendakwa Kassem dengan pidana pencemaran dan fitnah terhadap mantan menteri tenaga kerja, Kamal Abu Eita, berdasarkan sebuah unggahan di Facebook.

Pihak berwenang menambahkan tuduhan yang tidak jelas dan luas yaitu secara sengaja “mengganggu pihak berwenang” dan memfitnah polisi di Kantor Polisi el-Sayda Zainab di Kairo, tempat Kassem untuk kali pertama diperiksa. Nasser Amin, seorang pengacara hak asasi manusia terkemuka yang menghadiri pemeriksaan Kassem, kepada Human Rights Watch mengatakan bahwa tuduhan “mengganggu pihak berwenang” itu terkait dengan twit yang diunggah Kassem di mana dia mengaku menolak membayar uang jaminan dan bahwa dia “lebih terhormat daripada Abdel Fattah el-Sisi dan semua anak buahnya.” Pada persidangan pertama, para pengacara Kassem mengatakan kepada hakim bahwa pria itu telah mulai melakukan aksi mogok makan.

Pada akhir Juni Kassem turut mendirikan Gerakan Arus Bebas Liberal (LFCM), yang pada peresmiannya menyatakan bahwa gerakan tersebut bertujuan untuk menjadi koalisi yang mewakili beberapa partai politik liberal yang kritis terhadap pemerintahan al-Sisi. Selama beberapa bulan terakhir, Kassem telah mengkritik kebijakan ekonomi pemerintah dan peran militer dalam kehidupan politik.

Proses penuntutan tersebut tampak diwarnai sejumlah pelanggaran atas peradilan yang adil. Berdasarkan pernyataan pengacaranya di media, pihak berwenang tidak mengizinkan mereka meninjau atau mendapatkan salinan berkas kasus sebelum persidangan dimulai, sehingga membatasi kemampuan mereka untuk mempersiapkan pembelaan secara memadai. Pengadilan juga melarang jurnalis untuk meliput persidangan tanpa penjelasan, sebagaimana diberitakan sejumlah media lokal.

Pemerintah Mesir punya catatan buruk dalam menggunakan tuduhan pidana pencemaran terhadap jurnalis dan pembangkang. Pada September 2022, jaksa menginterogasi empat jurnalis untuk situs web berita independen Mada Masr atas berbagai tuduhan termasuk pencemaran terhadap anggota Partai Masa Depan Bangsa (NFP) yang pro-pemerintah, kemudian membebaskan mereka dengan jaminan. Tuduhan itu masih berlaku, namun persidangan belum dilanjutkan. Pada Februari 2023, tiga dari empat orang tersebut diajukan ke pengadilan dengan tuduhan terpisah, yaitu menghina anggota parlemen dari partai pro-pemerintah yang sama dan menyalahgunakan media sosial.

Pihak berwenang selama ini terlibat dalam pola pelecehan dan intimidasi yang meluas terhadap keluarga para pembangkang yang tinggal di luar negeri.

Dari kiri ke kanan: Ahmed Gamal Ziada, Ayah Ziada, dan Fagr al-Adly. © Dokumentasi Pribadi.

Pada bulan Agustus, pihak berwenang Mesir menangkap serta menuntut ayah dari Ahmed Gamal Ziada, seorang jurnalis Mesir yang tinggal di Brussels dan sebelumnya pernah ditahan dan disiksa di Mesir. Aparat juga melakukan hal serupa terhadap Fagr al-Adly, seorang dokter sekaligus aktivis keturunan Jerman-Mesir, yang menginterupsi sebuah konferensi pers di Berlin pada tahun 2015 yang dihadiri Presiden al-Sisi dan Kanselir Jerman saat itu, Angela Merkel, dengan menyebut al-Sisi sebagai “pembunuh”, “Nazi”, dan “fasis.”

Baik Ziada maupun al-Adly mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa jaksa menahan ayah mereka dalam tahanan praperadilan setelah mendakwa mereka dengan tuduhan “menyebarkan berita palsu,” yang sering digunakan pihak berwenang untuk melawan para kritikus serta jurnalis. Jaksa Agung Keamanan Negara memperbarui penahanan mereka dari jarak jauh melalui sistem konferensi video, yang pada dasarnya merupakan tindakan kejam karena mengabaikan hak para tahanan untuk dibawa ke hadapan hakim guna menilai keabsahan dan kondisi penahanan serta tingkat kesehatan para tahanan, dan tidak memberi mereka kesempatan untuk berbicara dengan pengacara mereka secara pribadi.

Ziada mengatakan bahwa ayahnya diculik saat siang hari bolong dari sebuah lokasi tak jauh dari rumahnya di Giza pada 22 Agustus. Keluarganya kemudian mengetahui bahwa para agen Badan Keamanan Nasional menanyai sang ayah terutama tentang aktivisme putranya di luar negeri, kata Ziada.

Menurut Al-Adly, jaksa penuntut gagal menghadirkan bukti kesalahan apa pun terhadap ayahnya, yang ditangkap oleh petugas keamanan di bandara Kairo ketika ayahnya tiba dari Jerman pada 18 Agustus, dan bahwa mereka juga menanyainya tentang aktivismenya. Al-Adly mengatakan, ayahnya mulai melakukan mogok makan pada 3 September untuk memprotes perlakuan terhadap dirinya. Dia juga mengatakan bahwa protes yang dia rencanakan bersama saudara laki-lakinya di depan Gedung Kedutaan Besar Jerman di Kairo pada 3 September diganggu oleh “ketatnya penjagaan aparat keamanan” dan sejumlah petugas merekam aksi tersebut.

Pada 2 September, pengadilan Mesir menjatuhkan hukuman empat tahun penjara kepada Mohamed Adel, seorang aktivis dan mantan pemimpin Gerakan Pemuda 6 April, yang telah berada dalam tahanan praperadilan secara tidak sah sejak tahun 2018, dengan tuduhan “menyebarkan berita palsu,” tulis pengacaranya yang diunggah ke X, yang secara resmi dikenal sebagai Twitter. Dakwaan yang ditinjau oleh Human Rights Watch tersebut menyebutkan bahwa Adel didakwa menyebarkan berita palsu hanya berdasarkan unggahan daring yang mengkritik pemerintah. Setidaknya ada satu unggahan yang dihadirkan jaksa terkait kritik terhadap perjanjian pinjaman dengan Dana Moneter Internasional (IMF). Adel sebelumnya pernah menjalani hukuman tiga tahun penjara dalam kasus yang bermula dari protes damai, dan telah dibebaskan pada 2017.

Seorang aktivis lainnya, Ahmed Hamdy al-Sayed, yang juga dikenal sebagai Gika, berada dalam tahanan praperadilan yang antara lain dikenai tuduhan menyebarkan berita palsu, kata seorang pengacara hak asasi manusia kepada media lokal. Pihak berwenang beberapa kali menahan Gika tanpa komunikasi sejak panggilan pertamanya pada bulan Juni.

Pemerintahan al-Sisi sesekali menggelar pertunjukan besar dengan membebaskan beberapa aktivis yang ditahan secara tidak adil, namun mesin penindasan terus bekerja guna memastikan bahwa para pengkritik baru dijebloskan ke penjara setiap hari. Pemerintah masih bertekad untuk menindas seluruh rakyat Mesir agar tunduk sepenuhnya.
Amr Magdi

Peneliti Senior di Human Rights Watch

Pada 19 Agustus, seorang anggota komite presidensial untuk pengampunan – yang dibentuk oleh Presiden al-Sisi untuk meninjau kasus-kasus penahanan praperadilan – mengumumkan daftar berisi 30 nama orang-orang yang ditahan karena menyebarkan berita palsu, dan telah diperintahkan untuk dibebaskan. Namun, al-Manassa, sebuah situs berita independen, menurunkan sebuah laporan yang menjelaskan bahwa hakim telah memperbarui penahanan praperadilan terhadap lebih dari 15 orang di antaranya.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Mesir serta Undang-Undang Regulasi Telekomunikasi Mesir No. 10 tahun 2003 memuat sejumlah ketentuan yang tidak jelas mengenai pidana pencemaran dan pelanggaran terkait penerbitan yang memuat ancaman hukuman hingga lima tahun penjara. Hukuman seperti itu tidak sesuai dengan kewajiban Mesir untuk melindungi kebebasan berpendapat berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional.

Berdasarkan hukum internasional, setiap pembatasan terhadap kebebasan berpendapat seyogianya bersifat proporsional dan didasarkan pada hukum yang jelas, yang menetapkan larangan sedemikian rupa sehingga masyarakat dapat memperkirakan secara masuk akal apa yang dianggap sebagai pelanggaran. Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang mengawasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang diratifikasi Mesir pada tahun 1982, mengatakan bahwa “pelecehan, intimidasi atau stigmatisasi terhadap seseorang, termasuk penangkapan, penahanan, persidangan atau pemenjaraan karena alasan pendapat yang mereka anut, merupakan suatu pelanggaran”.

Komite telah menyatakan ketidaksetujuannya terhadap undang-undang yang mengkriminalisasi penghinaan terhadap kepala negara, pejabat pemerintah, atau simbol negara. Ini memperjelas bahwa “dalam situasi perdebatan publik mengenai tokoh publik di ranah politik dan lembaga publik, nilai yang diberikan oleh konvenan terhadap ekspresi tanpa hambatan sangatlah tinggi.”

“Pemerintahan al-Sisi sesekali menggelar pertunjukan besar dengan membebaskan beberapa aktivis yang ditahan secara tidak adil, namun mesin penindasan terus bekerja guna memastikan bahwa para pengkritik baru dijebloskan ke penjara setiap hari,” kata Magdi. “Pemerintah masih bertekad untuk menindas seluruh rakyat Mesir agar tunduk sepenuhnya.”

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country
Topic