Skip to main content

(Jakarta) – Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia harus mengesahkan rancangan undang-undang tertunda yang akan mengizinkan otoritas sipil mengusut dan menuntut personil militer Indonesia yang bertanggung-jawab atas kejahatan terhadap warga sipil, menurut Human Rights Watch dalam sebuah surat kepada seorang tokoh penting DPR yang dirilis hari ini. Human Rights Watch melaporkan kasus terbaru serdadu TNI yang diduga menyerang empat anak di Depok, dekat Jakarta, menyoroti kegagalan terus-menerus dari Tentara Nasional Indonesia untuk menghukum para personilnya yang bertindak brutal.

“Pengadilan militer Indonesia tidak transparan dan kurang independen,” kata Elaine Pearson, wakil direktur Asia Human Rights Watch. “Jumlah tuntutan yang dikurangi dan hukuman yang ringan mengindikasikan tentara-tentara yang terlibat kejahatan serius jarang menghadapi lebih dari sekadar tamparan pada pergelangan tangan, jikapun ada.”

Sistem peradilan militer Indonesia yang berlaku saat ini memiliki yurisdiksi eksklusif atas personil militer yang terlibat tindak pidana terhadap warga sipil. Petugas-petugas dengan konflik kepentingan dapat mengawasi investigasi, dan komandan senior memiliki wewenang yang besar untuk menghalangi kasus dari proses pengadilan. Pengalaman masa lalu di Indonesia menunjukkan sistem ini telah gagal menyelidiki dan mengajukan tuntutan yang layak terhadap dugaan pelanggaran HAM berat yang dilakukan anggota militer.

Surat Human Rights Watch, dikirim untuk Kemal Aziz Stamboel, Ketua Komisi DPR yang mengawasi pertahanan, urusan luar negeri, dan informasi, mengidentifikasi beberapa kekurangan utama dari sistem peradilan militer Indonesia. Pada Oktober 2009, Stamboel memimpin diskusi dengan menteri pertahanan, Purnomo Yusgiantoro, yang sepakat memprioritaskan pembentukkan RUU tentang yurisdiksi militer selama periode legislatif berikutnya.

Undang-undang ini akan memberikan kekuasaan eksklusif pada pengadilan sipil untuk mengadili aparat militer yang dituduh melakukan pelanggaran HAM terhadap warga sipil. RUU ini juga harus mengizinkan polisi dan jaksa menyelidiki tuduhan itu, menurut Human Rights Watch. Human Rights Watch mendesak Stamboel bertindak cepat untuk melanjutkan pembahasan RUU ini.

Tentara-tentara telah lama melakukan pelanggaran terhadap warga sipil di Indonesia dengan kemewahan impunitas. Menurut laporan media, pada 28 Maret 2010, di Depok, setidaknya tiga tentara dari Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat menyerang dan menginterogasi empat anak laki-laki, usia 10 sampai 14 tahun. Para tentara, yang mencurigai bahwa anak laki-laki itu mencuri sepeda dari kompleks perumahan militer, diduga menculik anak-anak itu dari rumah mereka pada malam hari, membawanya ke kompleks dan memukulinya berkali-kali sampai anak-anak ini berjanji takkan lagi mengulangi kesalahan.

Jurubicara Kostrad mengkonfirmasi insiden itu dan mengatakan tentara yang terlibat ditahan oleh polisi militer dan sedang dilakukan penyelidikan. Pengadilan militer hanya dapat menjatuhkan hukum pidana tertentu terhadap tentara, sehingga undang-undang relevan yang lain tak bisa diterapkan, seperti UU tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menetapkan hukuman lebih berat bagi penyerang anak-anak ketimbang ancaman hukuman dalam KUHP.

Pelanggaran HAM yang diduga melibatkan personil militer Indonesia terhadap warga sipil jarang diteruskan investigasi, cuma penuntutan. Contohnya, sepengetahuan Human Rights Watch, tak ada tentara yang pernah diproses pengadilan atas beragam insiden yang dijabarkan laporan Human Rights Watch pada Juni 2009. “Saya Bikin Salah Apa?” Laporan ini mendokumentasikan kejadian-kejadian yang dialami warga sipil di kota Merauke, Papua, yang diduga mereka ditahan sewenang-wenang, dipukul, dan diperlakuan kejam oleh anggota Komando Pasukan Khusus Indonesia.

Beberapa personil militer, yang telah dihukum karena melakukan kejahatan berat terhadap warga sipil, hampir selalu menerima hukuman sangat ringan. Contohnya, 13 personil Angkatan Laut dihukum karena menembak sekelompok warga sipil di Jawa Timur pada Mei 2007, menewaskan empat orang dan melukai beberapa orang lain, menerima hukuman antara 18 hingga 36 bulan penjara, atas dakwaan yang dapat dijatuhi hukuman maksimal 15 tahun penjara. Pada Juli 2007, personil militer yang didakwa karena kasus pemukulan berakhir kematian seorang warga sipil di Jawa Barat menghadapi tuntutan yang relatif lunak dan dihukum antara 6 minggu hingga 18 bulan penjara.

“Ini menggelikan bahwa tentara yang memukul anak-anak menghadapi dakwaan lebih ringan daripada warga sipil biasa,” kata Pearson. “Anggota legislatif harus bertindak cepat untuk menjamin bahwa penegakan hukum juga berlaku setara untuk aparat militer.”

  

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country