Laurensia Yame adalah perempuan usia 50-an, ibu dari tujuh anak yang mendiami pedalaman hutan Provinsi Papua Selatan, bersama masyarakat adatnya, Awyu. Pada akhir tahun 2020, ia mendengar dari beberapa pedagang perempuan bahwa sejumlah pekerja sedang melakukan survei hutan masyarakat untuk keperluan komersial sebuah perusahaan, termasuk di Dusun Wagaban, tempat ia bertani. Perusahaan tersebut saat itu sedang merencanakan pembangunan kolam kayu atau log pond, yang akan digunakan untuk menyimpan, membersihkan, dan memindahkan kayu gelondongan yang ditebang dari hutan sebelum digiling.

Saat itu Laurensia tahu bahwa para lelaki di kampungnya telah menandatangani pelepasan hak-hak mereka sebagai masyarakat adat atas tanah tersebut, yang memungkinkan perusahaan untuk melanjutkan rencananya. Meskipun Laurensia punya hak yang sama atas tanah tersebut, tak seorang pun meminta pandangannya. Ia adalah seorang perempuan, dan perwakilan perusahaan maupun penduduk laki-laki di kampung sebagian besar tidak menghiraukan perempuan. Namun, ia dengan keras menentang penyerahan tanah milik komunitas maupun dusunnya yang diwarisinya dari sang ayah.

Dengan penuh amarah, ia mendatangi Dusun Wagaban untuk berusaha menghentikan tim survei. Namun terlambat sudah. Ia mendapati para pria itu sedang beristirahat di bawah pohon, sebagian duduk, beberapa lainnya sedang tidur. Mereka telah menebang sejumlah pohon.

Dengan parang di tangan, dia menebas semak-semak di dekat para pria itu dan berteriak, “Pergi! Jangan kembali! Tidak ada yang boleh bikin survei di sini lagi!” Mereka pergi saat dia berteriak, “Saya ini yang melindungi Wagaban, Laurensia! Tidak ada perusahaan yang diizinkan di sini!”

Wagaban adalah sebuah dusun, atau pemukiman terpencar-pencar, di sebuah kampung tua yang dibangun oleh penjajah Belanda. Di bawah pemerintah kolonial Belanda, sejumlah keluarga tinggal di dusun-dusun di sepanjang tepi Sungai Digoel, yang sekarang disebut Provinsi Papua Selatan. Belanda memperkenalkan pohon karet di wilayah tersebut pada dekade 1860-an.

Nenek moyang Laurensia menanam pohon karet di dusun Wagaban, dan meski Laurensia tidak lagi menyadap getahnya, pohon-pohon tersebut masih tegak berdiri. Pohon-pohon tersebut merupakan aset milik keluarganya. Ia juga membangun gubuk, ladang, dan mencari bahan makanan di sana.  

Sebuah dusun di Desa Ampera di tepi Sungai Digoel, Papua Selatan, Indonesia.
Sebuah dusun di Desa Ampera di tepi Sungai Digoel, Papua Selatan, Indonesia.  © 2024 Human Rights Watch

Perkebunan Kelapa Sawit

Indonesia adalah produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, dan Papua —sisi barat Pulau Papua (pulau terbesar kedua di dunia)—adalah perbatasan terakhir penggundulan hutan yang dipicu oleh pertanian. Alih-alih melestarikan pohon-pohon tua yang tidak terganggu, pemerintah Indonesia justru mengizinkan sejumlah perusahaan untuk menebangi jutaan hektar hutan-hutan primer, terutama untuk perkebunan kelapa sawit, padi, dan tebu. Pada tahun 2010, Bupati Kabupaten Boven Digoel meluncurkan Proyek Tanah Merah, proyek perkebunan kelapa sawit berskala besar yang meliputi lebih dari 270.352 hektar, kira-kira setara dengan luas negara Luksemburg, sebagian besar merupakan hutan primer.

 

Akhirnya, pada tahun 2017, pemerintah menyerahkan pengelolaan 36.206 hektare kepada perusahaan asal Malaysia PT Indo Asiana Lestari. Hamparan hutan luas ini, yang terbentang di antara Sungai Digoel dan Sungai Mappi di Papua Selatan, membelah wilayah dari empat kampung —Ampera, Makmur, Navini, dan Yare— yang adalah rumah bagi beberapa marga di suku Awyu.

Human Rights Watch telah memantau situasi di wilayah tersebut sejak tahun 2021, dan pada 2024 kami mengunjungi Ampera dan kampung-kampung terdampak lainnya, mewawancarai puluhan anggota masyarakat, untuk memahami bagaimana orang-orang tersebut bergulat dengan kemungkinan hilangnya tanah mereka.

Kampung Ampera terletak di tepi barat Sungai Digoel, sekitar 40 menit perjalanan dengan kapal cepat dari ibu kota kabupaten, Tanah Merah. PT Indo Asiana Lestari memulai operasinya di sini, dengan membabat sebidang hutan untuk membangun tempat penggergajian kayu dan kolam kayu yang menyulut amarah Laurensia.

Warga suku Awyu di Boven Digoel menanam sendiri bahan makanan mereka, sering menangkap ikan dari Sungai Digoel, serta berburu, mencari bahan pangan, dan berladang di hutan. Kegiatan perusahaan akan menggusur orang-orang suku Awyu, merusak sumber daya, budaya, serta kehidupan mereka. 

Map showing Tanah Merah Project
Source: PUSAKA; Greenpeace, “Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua”, April 2021. © 2025 Google Earth

Hak Masyarakat Adat untuk Memutuskan

Menurut hukum Indonesia, PT Indo Asiana Lestari diwajibkan meminta persetujuan dari warga asli sebelum pemerintah memberikan izin yang diperlukan untuk membuka hutan dan membangun perkebunan.

Namun, “konsultasi untuk meminta persetujuan” atau “sosialisasi” —yang tak terdefinisikan dengan baik itu— dipahami secara berbeda oleh setiap orang. Dan penelitian Human Rights Watch menemukan bahwa cara yang dipakai PT Indo Asiana Lestari amat menyesatkan dan sungguh buruk adanya: perusahaan tidak memberikan informasi memadai sebelum bertemu dengan anggota masyarakat, mengadakan pertemuan dengan kehadiran aparat keamanan, dan memaksa peserta pertemuan yang hadir untuk menandatangani izin masuk ke perkebunan mereka, sesuatu yang sangat buruk bagi perempuan yang bahkan tidak ambil bagian dalam apa yang disebut konsultasi itu.

Sebaliknya, meskipun mereka merupakan separuh dari populasi komunitas tersebut dan memiliki hak atas tanah yang setara dengan laki-laki berdasarkan hukum nasional, suara perempuan berulang kali diabaikan, termasuk oleh warga suku Awyu.

“Saudara laki-laki saya secara sepihak memutuskan untuk bekerja sama dengan perusahaan dan mengizinkan mereka memasuki tanah di kampung kami,” kata Laurensia. “Dia tidak pernah bicarakan itu dengan saya. Sebaliknya, dia bekerja dengan keponakan ayah saya, satu-satunya anak laki-laki. Namun, anak-anak paman saya itu tidak memiliki tanah di sana.”

“Tanah itu adalah tanah ayah saya,” Laurensia menegaskan. “Itu milik saya.”

"Sosialisasi"

Menurut hukum Indonesia, untuk mengambil alih tanah dan membangun perkebunan perusahaan diwajibkan untuk memperoleh sejumlah izin dari pemerintah daerah terkait dan melakukan penilaian dampak lingkungan dan sosial (Amdal). Penilaian ini melibatkan konsultasi dengan masyarakat setempat yang diperkirakan akan terdampak. Selama proses berlangsung, perusahaan diharuskan memberikan informasi tentang bisnis yang diajukan kepada masyarakat yang tinggal di tanah tersebut.

Tanpa persetujuan masyarakat, perusahaan-perusahaan tersebut seharusnya tidak mendapatkan izin dari pihak pemerintah.

Disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja tahun 2020, yang biasa disebut sebagai “Omnibus Law”, memudahkan perusahaan dengan mempercepat proses perizinan untuk bisnis, melemahkan standar lingkungan, dan membatasi keterlibatan masyarakat serta pengawasan pemerintah.

Namun, meskipun anggota masyarakat yang terdampak dapat menyatakan penolakan selama proses berlangsung, tak semua penolakan itu bisa diterima. Ketika harus mendapatkan izin pembukaan lahan, perusahaan hanya meminta izin dari warga laki-laki —dan terkadang hanya segelintir laki-laki. Namun, anggota masyarakat mengatakan bahwa tanah suku dialokasikan di antara anggota suku tersebut, dan semua anggota memiliki bagian tanah suku mereka. Segelintir laki-laki itu seharusnya tidak bisa menyerahkan seluruh tanah marga, tanah ulayat mereka.

Secara tradisional, laki-laki dan perempuan dalam masyarakat adat mengambil keputusan tentang tanah milik mereka. Baik laki-laki maupun perempuan sama-sama menggunakan tanah tersebut. Laki-laki dan perempuan sama-sama mewarisi tanah dari orang tua mereka. Dan biasanya, jika seorang perempuan menikah dengan orang di luar marganya, ia dapat menggunakan wilayah adat milik marga suaminya maupun marga orang tuanya untuk menopang penghidupan keluarga mereka. Hal ini berlaku terutama jika perempuan tersebut mewarisi tanah dari orang tua atau kakek-neneknya.

Setiap orang di setiap marga merasa terhubung dengan hutan, yang melekat pada identitas dan kebudayaan mereka, dan tradisi masyarakat menghormati hal ini.

Namun, ketika tiba saatnya untuk mengambil keputusan tentang tanah milik suku Awyu, para perempuan dikesampingkan. Sekitar tahun 2017, perusahaan mengadakan pertemuan dengan masyarakat dan hanya mengundang para laki-laki. Dalam pertemuan tersebut, para laki-laki diminta untuk menandatangani dokumen pelepasan tanah marga mereka kepada perusahaan.

Meskipun tidak diundang, para perempuan mendengar tentang pertemuan tersebut dan beberapa dari mereka datang, meski hanya untuk mengamati. Beberapa perempuan yang hadir mengaku terkejut ketika anggota keluarga mereka —yang semuanya laki-laki—menandatangani penyerahan tanah mereka begitu saja.

Rikarda Maa —seorang guru berusia 36 tahun, ibu dari tiga orang anak, sekaligus warga suku Maa —menghadiri satu-satunya pertemuan “sosialisasi” yang diadakan di Kampung Ampera. Rikarda mengingat ada beberapa kali diskusi, tetapi juga sebuah pertengkaran, yang kemudian diikuti oleh beberapa laki-laki —termasuk paman dan seorang sepupu laki-lakinya— menandatangani dokumen yang disodorkan oleh perusahaan. Tak ada pihak perusahaan maupun perwakilan kampung yang membacakan dokumen tersebut dengan suara lantang di hadapan peserta pertemuan, sehingga para perempuan yang datang untuk mengamati, seperti Rikarda, tidak tahu persis apa yang ditandatangani oleh kerabat laki-laki mereka.

Realitas Politik

"Sosialisasi" yang bermasalah bukanlah satu-satunya tantangan dalam melindungi hak-hak masyarakat adat atas tanah. Mereka juga dihantui rasa takut akan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia.

Sejak mengambil alih secara paksa dan secara efektif mencaplok Papua Barat pada tahun 1962, yang kemudian didukung oleh proses cacat di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia telah terlibat dalam konflik dengan kelompok separatis bersenjata yang mengupayakan kemerdekaan Papua. Orang asli Papua telah lama mengalami diskriminasi rasial dari pemerintah Indonesia. Aparat keamanan Indonesia telah melakukan banyak pelanggaran, termasuk penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, pembunuhan di luar hukum, dan pemindahan paksa orang Papua yang secara damai menyerukan kemerdekaan atau bentuk penentuan nasib sendiri lainnya. Pemberontakan kecil orang Papua terutama menyerang aparat keamanan Indonesia, tetapi juga terkadang menyasar pemukim Indonesia di Papua Barat, dan pekerja serta perusahaan asing.

Beberapa investor korporat, seperti sejumlah pemilik perkebunan kelapa sawit, telah bekerja sama dengan TNI atau Polri demi mendapatkan perlindungan serta mengamankan investasi mereka.

Oleh karena itu, tak mengherankan bahwa pada pertemuan tahun 2017 antara perwakilan perusahaan dengan warga terdampak asal suku Awyu, turut hadir petugas dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Boven Digoel serta sejumlah pejabat dari Kecamatan Mandobo.

Kata sejumlah warga, kehadiran aparat keamanan pada pertemuan tersebut mengintimidasi mereka agar menyetujui tuntutan perusahaan untuk menandatangani perjanjian saat itu juga.

Mereka juga memahami bahwa setiap terjadi konflik atau kekerasan antara warga dan perusahaan berarti akan semakin banyak aparat TNI-Polri di wilayah tersebut —sesuatu yang ditakutkan oleh warga karena sejarah pelanggaran antara aparat keamanan dan orang asli Papua.

Janji-Janji Palsu

Perusahaan-perusahaan tersebut dan pemerintah daerah telah memicu perpecahan di kalangan masyarakat dengan membingkai pembebasan lahan untuk perluasan perkebunan kelapa sawit sebagai "pembangunan," dan menggambarkan para penentang sebagai musuh pertumbuhan ekonomi. Mereka mengatakan kepada masyarakat bahwa membangun pertanian komersial di daerah mereka akan menyediakan lapangan kerja, jalan, sekolah, dan air minum melalui pipa, dan sebagainya.

Namun penelitian menunjukkan bahwa warga lokal maupun masyarakat adat yang menyerahkan hak mereka atas tanah dapat menjadi buruh musiman dengan upah rendah, kondisi kerja tak menentu, serta akses yang terbatas atau bahkan tidak ada sama sekali.

Laurensia sebelumnya bekerja di sebuah perkebunan kelapa sawit dan mengalami beberapa kali penundaan gaji yang tak sedikit. Dan ketika hari gajian akhirnya tiba, biaya makanan dari toko koperasi perusahaan dan biaya lainnya telah dipotong, sehingga ia nyaris tidak menerima penghasilan.

Secara hukum, masyarakat yang terdampak berhak menerima manfaat dari penyerahan tanah mereka kepada perusahaan. Peraturan Menteri Pertanian tahun 2007 mengharuskan perusahaan perkebunan kelapa sawit untuk membangun perkebunan bagi masyarakat yang terdampak – yang disebut “skema plasma” – di atas 20 persen dari total tanah yang diakuisisi, dengan demikian mendapat seperlima dari keuntungan yang diperoleh dari tanah tersebut.

Namun, praktiknya tidak seperti itu. Sebuah investigasi yang melibatkan Gecko Foundation, BBC News, dan Mongabay menemukan bahwa warga desa kehilangan jutaan dolar setiap tahun karena sejumlah perusahaan perkebunan tidak mematuhi hukum.

Secara umum, kehidupan pekerja perkebunan itu berbeda, dan dalam beberapa hal penting, lebih sulit jika dibandingkan dengan kehidupan tradisional mereka. Komunitas-komunitas ini telah lama memiliki akses ke sumber daya yang melimpah di hutan, sungai, dan tanah mereka. Laurencia menjelaskan, “Di kampung, jika kami menjala ikan selama satu hari, tergantung pada hasil tangkapan, kami bisa mendapatkan [uang banyak] di malam hari.” Ketika mereka menanam dan memanen hasil bumi, biasanya akan ada cukup makanan ditambah surplus untuk dijual di pasar. “Di perkebunan tidak akan bisa begini,” katanya.

Imelda Maa dan putrinya Laurensia Yame, bersama anggota keluarga lainnya, di halaman rumah mereka di Desa Ampera, Kecamatan Mandobo, Kabupaten Boven Digoel.
Imelda Maa dan putrinya Laurensia Yame, bersama anggota keluarga lainnya, di halaman rumah mereka di Desa Ampera, Kecamatan Mandobo, Kabupaten Boven Digoel.  © 2024 Human Rights Watch

Perempuan dan Hutan

Ibu dari Laurensia, Imelda Maa, berusia sekitar 70 tahun. Seperti kebanyakan perempuan yang menikah dengan orang dari luar suku mereka, ia dapat menggunakan tanah suku Maa maupun tanah suaminya, yang mengambil nama dari suku neneknya “Yame” dan menggunakan tanah Yame.

“Biasanya saya menebang sagu, menangkap ikan, dan memetik sayur di dusun saya,” katanya. “Sekarang perusahaan mau masuk, tapi saya tidak setuju. Mereka sudah berusaha masuk, tapi saya bilang tidak. Saya tidak terima.”

Beberapa perempuan menyebut hutan sebagai “supermarket” mereka, tempat yang mereka datangi dan mendapatkan apa yang mereka butuhkan untuk merawat anak-anak dan keluarga mereka dengan mencari bahan makanan dan berburu. Pengobatan alami juga tersedia di sana. Bekerja sebagai petani subsisten, para perempuan itu menanam palawija di sana, membawa hasil panen yang berlebih ke pasar untuk dijual dan mendapatkan uang untuk membeli apa yang tidak mereka hasilkan, seperti sabun.

Pakaian dan benda-benda berbahan dasar hasil hutan membantu para perempuan untuk secara khusus melestarikan kebudayaan suku Awyu. Para perempuan itu memanen kulit pohon dan daun-daunnya untuk membuat pakaian tradisional yang mereka kenakan untuk acara-acara kebudayaan dan ketika ikut serta dalam aksi protes. Dan para perempuan menggunakan kulit pohon melinjo untuk membuat noken (enok dalam bahasa Wambon), tas anyaman khas Papua. Meski pembuatan noken umumnya merupakan pekerjaan subsisten, setiap noken dapat dijual setidaknya dengan harga Rp350.000. Kerajinan tangan ini melestarikan pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh para perempuan.

Traditional accessories made from natural materials such as fruits, seeds, shells, and bark foraged from the surrounding forest are commonly used by local residents during cultural events, in Ampera village, Mandobo district, Boven Digoel Regency.
Traditional accessories made from natural materials such as fruits, seeds, shells, and bark foraged from the surrounding forest are commonly used by local residents during cultural events, in Ampera village, Mandobo district, Boven Digoel Regency.

Aksesori tradisional yang terbuat dari bahan alami seperti buah-buahan, biji-bijian, cangkang, dan kulit kayu yang dikumpulkan dari hutan sekitarnya sering digunakan oleh penduduk setempat selama acara budaya di Desa Ampera, Kecamatan Mandobo, Kabupaten Boven Digoel. 

© 2024 Human Rights Watch

Hutan bukan melulu sumber makanan, uang, dan kebudayaan — ia juga sumber kesehatan mental. Perempuan adat suku Awyu menganggap hutan sebagai tempat aman, sebagai tempat yang melindungi mereka agar bisa menjaga diri, serta menjauhkan diri dari "berbagai kemungkinan tidak menyenangkan," seperti Covid-19. Seorang perempuan memanfaatkan hutan untuk berkabung ketika suaminya meninggal, dan memilih untuk tinggal di hutan, tempat ia merasa terbantu dalam kesedihannya dengan berada di alam.

Para perempuan ini tahu bahwa perkebunan kelapa sawit tidak bisa mencukupi kebutuhan mereka dengan cara ini.

Imelda Maa ingin melestarikan tanah untuk anak dan cucunya. 

 

Membawa Kasus ke Pengadilan

Anggota suku Awyu telah berjuang untuk mendapatkan kembali tanah mereka dari PT Indo Asiana Lestari.

Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kabupaten Boven Digoel —yang berfungsi sebagai jembatan antara masyarakat adat, pemerintah, dan masyarakat umum— dapat dan seharusnya memediasi diskusi yang inklusif antara masyarakat dengan pihak perusahaan. LMA seharusnya memainkan peran kepemimpinan yang penting dalam memediasi konflik dan membantu menyelesaikan sengketa kepemilikan tanah. LMA juga seharusnya mengumpulkan dan memverifikasi informasi tentang status tanah untuk mendukung masyarakat ketika perusahaan berupaya memperoleh tanah adat, dan dalam menerbitkan sertifikat pelepasan tanah, yang menunjukkan bahwa masyarakat adat telah melepaskan hak ulayat mereka atas sebidang tanah tertentu kepada pihak perusahaan.

Namun kali ini, LMA menerbitkan surat dukungan dan sertifikat pelepasan lahan kepada perusahaan tersebut hanya berdasarkan dokumen yang ditandatangani dari pertemuan tahun 2017. Kemudian, pemerintah menyetujui AMDAL —yang, lagi-lagi, tanpa konsultasi memadai— yang mengizinkan perusahaan untuk membuka lahan. Pada tahun 2021, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) —pusat layanan terpadu yang menangani pendaftaran usaha, perizinan, dan upaya promosi investasi di tingkat kabupaten— menerbitkan izin lingkungan dan Izin Usaha Perkebunan kepada perusahaan.

Kepala DPMPTSP di Kabupaten Boven Digoel mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa “sulit untuk memastikan semua anggota masyarakat yang memiliki hak atas wilayah tersebut diakomodir dalam setiap keputusan yang akan melepaskan hak ulayat mereka.”

Kepala dinas tersebut tidak memperhitungkan bahwa keputusan tersebut harus diambil melalui konsensus sesuai adat istiadat suku Awyu. Pernyataan tersebut juga tak sesuai dengan hukum dan kewajiban pemerintah Indonesia berdasarkan standar hak asasi manusia internasional —khususnya untuk menegakkan hak masyarakat adat atas partisipasi yang efektif, khususnya Persetujuan Bebas, Didahulukan dan Diinformasikan (FPIC), yang terkait dengan hak untuk menentukan nasib sendiri.

The signboard of PT. Indo Asiana Lestari (IAL) and several other companies in Tanah Merah City, Boven Digoel Regency.
Maret Klaru, chairman of the Boven Digoel Regency Indigenous Community Institution (Lembaga Masyarakat Adat, or LMA), at their office in Tanah Merah City, Boven Digoel Regency.

Pertama:  Papan nama PT. Indo Asiana Lestari (IAL) dan beberapa perusahaan lain di Kota Tanah Merah, Kabupaten Boven Digoel. © 2024 Human Rights Watch. Kedua: Maret Klaru, Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kabupaten Boven Digoel, di kantornya di Kota Tanah Merah, Kabupaten Boven Digoel. © 2024 Human Rights Watch 

Masyarakat adat, dengan dukungan dari Greenpeace dan PUSAKA, sebuah organisasi nonpemerintah yang memperjuangkan kehidupan yang adil bagi masyarakat adat, membawa kasus mereka ini ke pengadilan. Pada Maret 2023, Kepala Suku Woro, yang didukung oleh warga desa seperti Laurensia dan Rikarda, mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura dengan Pemerintah Provinsi Papua Selatan dan PT Indo Asiana Lestari sebagai tergugat. Mereka menggugat izin lingkungan dari pemerintah yang membolehkan perusahaan tersebut untuk menebang hutan di tanah leluhur mereka.

Mereka melakukannya dengan risiko pribadi yang tak main-main. Rikarda menerima ancaman pembunuhan dari seorang laki-laki asal suku lain karena berusaha menghalangi perusahaan.

PTUN memutuskan untuk memenangkan pemerintah dan perusahaan. Putusan pengadilan difokuskan secara sempit pada penafsiran ketat terhadap batas waktu untuk mengajukan keberatan atas izin dan tidak memeriksa AMDAL yang cacat atau kurangnya partisipasi masyarakat yang sesungguhnya. PTUN juga tidak membahas bahwa surat dukungan dari LMA yang digunakan oleh pemerintah untuk membenarkan izin tersebut digugat oleh masyarakat adat.

Masyarakat mengajukan banding atas putusan PTUN pada tahun 2024, tetapi banding mereka itu ditolak dengan alasan prosedural —gugatan diajukan setelah batas waktu pengajuan perkara. Mahkamah Agung juga menolak permohonan kasasi dalam perkara tersebut, dengan alasan batas waktu yang terlampaui. Namun, seorang hakim Mahkamah Agung menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion) yang membahas masalah inti, dengan menyimpulkan bahwa, mengingat kelemahan AMDAL, penerbitan izin lingkungan oleh pemerintah kepada perusahaan tersebut melanggar prinsip-prinsip utama Undang-Undang Lingkungan Hidup Indonesia dan seharusnya dicabut.

Pelabuhan di pinggiran Kota Tanah Merah tempat warga dari desa-desa sekitar dan PT. Indo Asiana Lestari (IAL) menyandarkan perahu mereka.
Pelabuhan di pinggiran Kota Tanah Merah tempat warga dari desa-desa sekitar dan PT. Indo Asiana Lestari (IAL) menyandarkan perahu mereka.  © 2024 Human Rights Watch

Solusi

Masyarakat adat di Papua membutuhkan tanah mereka untuk bertahan hidup, makan, dan melestarikan kebudayaan mereka. Perjuangan mereka melawan perusahaan maupun pemerintah yang berpihak pada perusahaan terjadi di persimpangan antara pembangunan, hak atas tanah masyarakat adat, dan mitigasi perubahan iklim. Masyarakat tidak mengatakan bahwa perkebunan tidak semestinya ada, mereka semata-mata menyatakan kekhawatiran mereka tentang kemampuan mereka untuk hidup berkelanjutan di masa mendatang. Mereka khawatir bahwa perkebunan di daerah mereka akan mengakibatkan perampasan tanah secara permanen, mendorong penggundulan hutan, dan menghadirkan kerusakan serius terhadap keanekaragaman hayati serta mitigasi perubahan iklim.

Tidak ada bukti bahwa Indonesia perlu membuka lebih banyak hutan untuk perkebunan kelapa sawit. Ada ribuan hektar lahan terlantar dan hutan yang mengalami kemerosotan kualitas di seluruh nusantara yang bisa digunakan kembali untuk pertanian. Pemerintah kabupaten dapat melakukan survei dan menjadikan daerah-daerah ini sebagai lahan untuk kegiatan ekonomi, daripada membuka hutan tropis yang punya nilai lingkungan dan sosial.

Di samping itu, Pemerintah Indonesia seharusnya menyadari bahwa peraturan perdagangan yang sedang digalakkan dapat mencegah penggundulan hutan baru. Pada tahun 2026, Uni Eropa diperkirakan bakal memberlakukan Peraturan tentang Produk Bebas Deforestasi, yang akan melarang penempatan minyak kelapa sawit di pasar tunggal jika berasal dari lahan yang mengalami penggundulan setelah tahun 2020 atau jika perkebunan tersebut melanggar hak-hak masyarakat adat untuk menentukan wilayah mereka.

Meningkatnya penggundulan hutan juga bisa mengecilkan peluang Indonesia untuk mendapatkan pendanaan iklim melalui, misalnya, Tropical Forest Forever Fund, yang akan memberikan imbalan finansial kepada negara-negara yang melindungi hutan tropis mereka.

Semua masyarakat adat membutuhkan formalisasi proses pengambilan keputusan dan konsultasi yang lebih transparan, inklusif, serta dapat dipertanggungjawabkan yang sungguh-sungguh menjunjung tinggi hak-hak tanah individu dan kolektif milik masyarakat adat.

Untuk memastikan agar hak asasi manusia dihormati dan dilindungi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan seharusnya melakukan peninjauan ulang terhadap Proyek Tanah Merah, termasuk berbagai izin PT Indo Asiana Lestari, dan berkonsultasi dengan masyarakat adat —termasuk para perempuan— dengan cara yang menghormati hak mereka atas Persetujuan Bebas, Didahulukan dan Diinformasikan (FPIC). Pemerintah provinsi tidak semestinya mengeluarkan keputusan atau izin yang berdampak pada wilayah yang dikelola oleh para perempuan adat tanpa persetujuan dari mereka.

Meski kalah di pengadilan, warga suku Awyu tetap memperjuangkan hak komunitas mereka untuk melestarikan hutan.

Rikarda, misalnya, mengatakan dia tidak boleh menyerah. “Kampung kami hanya satu daerah. Satu hamparan. Seperti petak kecil di sini. Sungai mengalir di tengahnya. Hanya ini yang kami punya. Kalau dijual, kami mau pindah ke mana?”

 

Ucapan Terima Kasih

Ditulis oleh Juliana Nnoko, peneliti senior bidang hak-hak perempuan. Diedit oleh seorang editor program senior, dan Amy Braunschweiger, mantan Direktur Komunikasi. James Ross, Direktur Hukum dan Kebijakan, serta Joseph Saunders, Wakil Direktur Program, masing-masing turut memberikan tinjauan hukum dan program.

Diperiksa oleh Macarena Saez, Direktur Eksekutif Bidang Hak-Hak Perempuan; Andreas Harsono, Peneliti Senior Asia; Luciana Tellez Chavez, Peneliti Senior Bidang Lingkungan; dan Jim Wormington, Peneliti Senior Bidang Keadilan dan Hak-Hak Ekonomi.

Bantuan editorial dan produksi juga diberikan oleh Maggie Svoboda, selaku Editor Foto; Laura Navarro Soler, sebagai Desainer Informasi; Christina Rutherford, dalam urusan pengembangan web; Travis Carr, sebagai Manajer Publikasi Digital; dan Subhajit Saha, sebagai Koordinator Senior Bidang Hak-Hak Perempuan.

Kami berterima kasih kepada semua individu dan keluarga yang telah membagikan kisah mereka serta memberikan kami panduan dan wawasan yang berharga.