Skip to main content

Malaysia

© 2017 Lai Seng Sin / Reuters

Pemerintah Malaysia terus melakukan tindakan keras terhadap suara-suara kritis dan para pembela hak asasi manusia pada 2017. Dengan tuduhan korupsi yang masih membayangi  Perdana Menteri Najib Razak, pemerintah memperkuat undang-undang yang kejam dan memfasilitasi pergeseran masyarakat ke arah pendekatan yang lebih konservatif dan kurang toleran terhadap Islam.
 

Kebebasan Berekspresi

Meski Perdana Menteri Najib mengklaim, dalam sebuah pidato pada bulan April 2017, bahwa kebebasan berbicara telah “berkembang” di Malaysia, tapi kenyataannya jauh berbeda. Undang-Undang Komunikasi dan Multimedia (CMA) telah digunakan berulang kali untuk menyelidiki dan menangkap orang-orang yang mengkritik pejabat pemerintah di media sosial. Bab 233 (1) CMA menjatuhkan hukuman pidana hingga satu tahun penjara untuk sebuah komunikasi  yang “bersifat cabul, tidak senonoh, bohong, mengancam atau menyinggung karakter dengan maksud untuk mengganggu, menyalahgunakan, mengancam atau melecehkan orang lain.” UU ini telah digunakan kepada, antara lain, seorang blogger yang memasang foto Najib di balik jeruji besi dan, pada 2017, orang-orang yang mengkritik bekas Kepala Menteri Adenan Satem setelah kematiannya.

Pada Mei 2017, pemerintah melakukan penuntutan CMA terhadap CEO sekaligus pemimpin redaksi portal berita online Malaysiakini terkait sebuah video di portal berita itu yang mengkritik Jaksa Agung Mohamed Apandi Ali karena telah membersihkan tuduhan korupsi perdana menteri.

Pada bulan April, pemerintah mengancam akan mencabut izin penerbitan surat kabar berbahasa Mandarin Nanyang karena menerbitkan kartun satir tentang debat di Parlemen mengenai Syariah, atau hukum Islam. Ancaman itu ditarik tak lama setelah Nanyang menarik kartun itu dan meminta maaf.

Pada bulan Agustus, pihak berwenang menggunakan Undang-Undang Sensor Film Malaysia yang ketat untuk meminta penghapusan adegan yang melibatkan pejabat imigrasi Malaysia dalam perdagangan gadis-gadis Rohingya dari sebuah film yang dibuat seorang jurnalis investigasi Malaysia. Pihak berwenang juga melarang secara keseluruhan Kakuma Can Dance, sebuah film karya pembuat film Swedia soal pengungsi dan tarian hip-hop di Kenya. Kedua film tersebut sempat dijadwalkan untuk tampil dalam Refugee Festival tahunan di Kuala Lumpur.
 

Sistem Peradilan Pidana

Malaysia terus menahan individu tanpa diadili berdasarkan sejumlah undang-undang yang ketat. Baik Undang-Undang Pencegahan Tindak Pidana tahun 1959 maupun Undang-Undang Pencegahan Terorisme tahun 2015 memberikan wewenang kepada badan-badan bentukan pemerintah untuk melakukan penahanan tanpa pengadilan hingga dua tahun, dapat diperbarui tanpa batas waktu, memerintahkan pemantauan elektronik, dan menerapkan pembatasan signifikan lain atas kebebasan bergerak dan kebebasan berkumpul, tanpa kemungkinan uji materi alias judicial review.

Pada bulan Agustus, pemerintah mengeluarkan amendemen terhadap Undang-Undang Pencegahan Tindak Pidana yang secara efektif menghilangkan hak seorang tahanan untuk didengar. Amendemen tersebut menghapuskan hak tahanan untuk membuat pernyataan di hadapan petugas penyelidikan yang bertanggung jawab untuk mempresentasikan kasus penahanan atau terhadap Badan Pencegahan Tindak Pidana Kriminal (POCB) yang ditunjuk pemerintah yang membuat keputusan penahanan.

UU Gangguan Keamanan (Tindakan Khusus) yang juga ketat, memungkinkan penahanan pencegahan hingga 28 hari tanpa uji materi untuk serangkaian “pelanggaran keamanan,” telah diperbarui untuk tambahan lima tahun pada bulan April.

Malaysia mempertahankan hukuman mati untuk berbagai kejahatan, dan mewajibkan hukuman tersebut untuk 12 pelanggaran, termasuk perdagangan narkotika. Diperkirakan ada hampir 1.000 orang dijatuhi hukuman mati. Pemerintah tidak transparan mengenai kapan dan bagaimana keputusan dibuat untuk melaksanakan eksekusi, dan mengeksekusi dua orang karena kasus pembunuhan dalam waktu singkat pada Maret 2017 meskipun ada sebuah permohonan pengampunan yang menunggu keputusan.
 

Serangan terhadap Pembela Hak Asasi Manusia

Para pembela hak asasi manusia terus menghadapi serangan hukum dan pembatasan hak-hak secara sewenang-wenang. Pada bulan Maret, pihak berwenang menginvestigasi tiga anggota Kelompok Aksi Warga untuk Penghilangan Paksa (Citizen Action Group on Enforced Disappearances - CAGED) berdasarkan bab 505 (b) UU Hukum Pidana karena membuat pernyataan dengan “maksud menimbulkan ketakutan dan kewaspadaan di dalam masyarakat” setelah mereka menggunakan ungkapan “penghilangan paksa” untuk merujuk pada penculikan Pendeta Raymond Koh yang belum terungkap dan hilangnya beberapa individu lain yang berhubungan dengan gereja Kristen. Pada bulan yang sama, pengadilan menghukum Lena Hendry untuk membayar denda sebesar RM $ 10.000 (Rp 27 juta) atau menjalani hukuman satu tahun penjara karena perannya dalam mengatur pemutaran film dokumenter No Fire Zone. Pada bulan Juni, pengacara Siti Kassim didakwa “menghalangi pegawai negeri” karena tindakannya menantang otoritas pejabat yang melakukan penggerebekan terhadap kontes kecantikan transgender pada April 2016.

Pemerintah juga kerap mengambil tindakan untuk melarang aktivis hak asasi manusia asing menghadiri acara di Malaysia. Pada bulan Juni, pejabat imigrasi menahan aktivis perempuan asal Singapura Han Hui Hui saat ia berusaha masuk negara tersebut untuk menghadiri acara hak asasi manusia dan mengirimnya kembali ke Singapura. Pada bulan Juli, pejabat pemerintah menahan Adilur Rahman Khan, ketua organisasi hak asasi manusia terkemuka Bangladesh Odhikar, saat menghadiri sebuah konferensi tentang hukuman mati. Pihak berwenang menahannya lebih dari 15 jam di bandara sebelum membawanya ke pesawat untuk kembali ke Dhaka.
 

Kekejaman dan Impunitas Polisi

Penyiksaan polisi terhadap para tersangka di tahanan, dalam beberapa kasus mengakibatkan kematian, terus menjadi masalah serius, seperti juga kurangnya pertanggungjawaban atas pelanggaran semacam itu. Pada bulan Februari, tahanan Chandran Muniandy dirawat di rumah sakit dengan beberapa luka di kepala dan tubuhnya dan kehilangan sebagian besar kuku kakinya; Polisi mengklaim bahwa luka-luka itu akibat terjatuh di toilet. Komisi Integritas Badan Penegakan Hukum (Enforcement Agency Integrity Commission - EAIC) menyatakan bakal menyelidiki kematian S. Balamurugan, yang meninggal dalam tahanan pada bulan Februari, setelah ditemukan bukti kematian luka akibat benda tumpul. Pada bulan Oktober, seorang inspektur polisi dituduh “dengan sengaja menyebabkan luka” kepada Balamurugan untuk mendapatkan pengakuan. Saat laporan ini ditulis, belum ada yang ditangkap atau didisiplinkan dalam kasus Muniandy. Selama setahun, setidaknya dua orang lainnya meninggal dalam tahanan sebagai akibat dari kondisi medis yang tidak diobati.
 

Pengungsi, Pencari Suaka, dan Korban Perdagangan Orang

Malaysia tidak ikut meratifikasi Konvensi Pengungsi tahun 1951, dan para pengungsi pun pencari suaka tidak punya hak atau status hukum di negara tersebut. Lebih dari 150.000 pengungsi dan pencari suaka, yang sebagian besar berasal dari Burma, terdaftar di badan pengungsi PBB, UNHCR, di Malaysia namun tidak dapat bekerja, bepergian, atau mendaftar di sekolah pemerintah. Pencari suaka yang ditangkap oleh pihak berwenang diperlakukan sebagai “migran ilegal” dan dikurung di pusat penahanan imigrasi yang penuh sesak dan tidak sehat.

Tidak ada orang Malaysia yang bertanggung jawab atas peran mereka dalam kematian lebih dari 100 korban perdagangan orang Rohingya yang tubuhnya ditemukan pada tahun 2015 di kamp penahanan di hutan terpencil di perbatasan Thailand-Malaysia. Sebanyak 12 polisi yang awalnya didakwa dalam kasus ini semuanya lantas dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan pada Maret 2017. Pemerintah Malaysia telah gagal menerapkan amendemen secara efektif yang disahkan pada tahun 2014 atas Undang-undang Anti-perdagangan Manusia Malaysia tahun 2007, khususnya untuk mengambil langkah-langkah administratif yang diperlukan untuk memberikan bantuan dan otorisasi kerja kepada semua korban perdagangan manusia yang menginginkannya, sambil memastikan kebebasan bergerak mereka. Terlepas dari kegagalan yang jelas terlihat ini, Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat menaikkan Malaysia ke Tingkat 2 dalam Laporan Tahunan Perdagangan Manusia (TIP).
 

Kebebasan Berserikat dan Berkumpul

Pihak berwenang Malaysia kerap menuntut orang-orang yang mengadakan pertemuan damai tanpa memberikan pemberitahuan atau berpartisipasi dalam “demonstrasi jalanan.” Undang-undang tentang Masyarakat membatasi kebebasan berserikat dengan meminta agar organisasi dengan tujuh atau lebih anggota mendaftar kepada Panitera Masyarakat. Undang-undang tersebut memberikan Menteri Dalam Negeri “keleluasaan mutlak” untuk menyatakan sebuah organisasi ilegal, dan memberi kekuasaan kepada Panitera Masyarakat atas partai-partai politik. Pada bulan Juli, Panitera Masyarakat memaksa oposisi Partai Aksi Demokratik untuk mengadakan pemilihan komite eksekutif pusatnya yang baru, menemukan bahwa pemilihan umum sebelumnya tidak sah. Pada bulan November, Panitera Masyarakat mengancam akan membatalkan pendaftaran oposisi Bersatu, mengklaim bahwa nama sayap mudanya ilegal.
 

Kebebasan beragama

Malaysia terus beralih ke arah pendekatan yang lebih konservatif terhadap Islam, agama mayoritas. Sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk meningkatkan hukuman yang dapat dikenakan oleh pengadilan Syariah (Hukum Islam) negara bagian masih menunggu keputusan di Parlemen, dan pada bulan Juli 2017, Negara Bagian Kelantan mengesahkan undang-undang yang mengizinkan hukuman cambuk di depan umum diberlakukan oleh Pengadilan Syariah. Pada bulan Agustus, seorang menteri pemerintah meminta “atheis” untuk dilacak, dan patung-patung perempuan bersayap dikeluarkan dari taman setempat setelah ada keluhan bahwa mereka “menyerang” umat Muslim. Pada bulan September, akademisi Turki Mustafa Akyol, penulis sebuah buku tentang Islam liberal, ditahan dan diinterogasi oleh Kementerian Agama Islam Wilayah Federal (JAWI) karena memberikan ceramah tentang Islam tanpa surat keterangan resmi dari otoritas agama. Dr. Ahmad Farouk Musa, yang mengadakan ceramah itu, didakwa bersekongkol dengan Akyol dalam kasus tersebut dan menghadapi ancaman hukuman tiga tahun penjara jika terbukti bersalah. Menteri Dalam Negeri kemudian melarang buku Akyol, bersama dengan kumpulan artikel ilmiah yang diterbitkan organisasi G25 yang meminta pendekatan yang lebih moderat terhadap Islam.

Penculikan Pendeta Kristen Raymond Koh oleh 15 pria bertopeng pada bulan Februari, disusul dengan hilangnya tiga orang yang tidak dapat dijelaskan terkait dengan gereja-gereja Kristen, menimbulkan ketakutan serius di kalangan komunitas Kristen. Pada saat laporan ini ditulis, keempat orang itu masih belum ditemukan.
 

Orientasi Seksual dan Identitas Gender

Diskriminasi terhadap kalangan lesbian, gay, biseksual, dan transgender terjadi secara luas di Malaysia. Sejumlah undang-undang dan peraturan yang terkait dengan Syariah melarang “pria berpose seperti perempuan,” hubungan seksual antarperempuan, dan hubungan seksual antarpria secara efektif mengkriminalisasi orang-orang lesbian, gay, biseksual, dan transgender. Kekerasan terhadap orang-orang LGBT tetap menjadi perhatian serius, yang makin disorot pasca pembunuhan seorang perempuan transgender Sameera Krishnan pada bulan Februari dan pemerkosaan dan pembunuhan terhadap T. Nhaveen yang berusia 18 tahun, seorang pemuda yang diejek dengan tuduhan anti-LGBT oleh para penyerangnya, di bulan Juni. Dalam perkembangan yang positif, Kementerian Kesehatan, sebagai tanggapan atas kritik keras dari para aktivis dan masyarakat umum, membingkai ulang persyaratan kompetisi video remaja, menghapus bahasa dan kriteria yang menstigmatisasi identitas LGBT, yang mendukung bahasa yang tampak menegaskannya.
 

Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Seksual

Malaysia mengambil langkah maju dalam perlindungan hak-hak perempuan pada tahun 2017 dengan mengubah Undang-undang Kekerasan dalam Rumah Tangga-nya untuk memberikan perlindungan lebih baik bagi korban kekerasan dalam rumah tangga. Pemerintah juga mengeluarkan undang-undang yang memperluas sanksi pidana untuk pelanggaran seks terhadap anak-anak. Sejumlah upaya untuk mengesahkan undang-undang untuk mengakhiri pernikahan anak gagal, dan Malaysia adalah satu dari sedikit negara yang tidak mengumpulkan data jumlah pernikahan anak. Pemerkosaan dalam pernikahan bukanlah kejahatan di Malaysia.
 

Peran-peran Internasional Kunci

Malaysia menempatkan dirinya di PBB dan masyarakat internasional sebagai negara Muslim moderat yang siap untuk berdiri melawan ekstremisme Islam, mendapatkan dukungan dari Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Malaysia juga terus melanjutkan perjanjiannya dengan Cina, mitra dagang terbesarnya.
 

Pada tahun 2017:

  • Para pembela hak asasi manusia dari Singapura dan Bangladesh ditahan dan dideportasi saat mencoba memasuki Malaysia untuk menghadiri acara terkait hak asasi manusia.
  • Pembela hak asasi manusia Lena Hendry dijatuhi hukuman denda sebesar RM$ 10.000 (Rp 27 juta) atau satu tahun penjara karena peran dari aktivis perempuan tersebut dalam pemutaran No Fire Zone, sebuah film dokumenter tentang pelanggaran hak asasi manusia selama perang sipil Sri Lanka, di sebuah festival film pada bulan Maret 2016.
  • Tindak kekerasan yang dilakukan polisi terhadap para tersangka dalam tahanan terus menjadi masalah serius, di mana setidaknya satu narapidana meninggal karena luka akibat benda tumpul.
     

Siti Zabedah Kasim

Pada bulan Juni, pengacara dan pembela hak asasi manusia Siti Kasim didakwa “menghalangi pegawai negeri” karena menantang petugas saat mereka menggerebek sebuah penggalangan dana pribadi yang diselenggarakan pada April 2016 oleh anggota komunitas transgender. Untuk menghibur penonton, beberapa dari mereka yang hadir meniru acara kontes kecantikan dan memakai pakaian yang mewakili berbagai negara dari seluruh dunia.

Petugas dari Kementerian Agama Islam Wilayah Federal (JAWI) menggerebek acara tersebut dan mengunci pintu-pintu ruangan agar tak seorangpun bisa keluar, sementara media yang mereka bawa merekam kejadian itu. Sejumlah petugas JAWI tidak memiliki surat perintah dan tidak didampingi oleh petugas kepolisian, sebagaimana dipersyaratkan dalam hukum Malaysia. Kasim menghadapi petugas dan mempertanyakan keabsahan penggerebekan tersebut. Baru setelah ia menelepon polisi dan mereka tiba, JAWI membukakan pintu, memungkinkan sebagian besar peserta meninggalkan tempat itu. Kasim lalu dibawa ke kantor polisi oleh seorang petugas JAWI, walaupun ia telah mengenalkan dirinya sebagai pengacara. Pihak berwenang melepaskannya malam itu juga setelah penahanan singkat.

Lebih dari setahun kemudian, pada 13 Juni 2017, jaksa penuntut pemerintah memberitahu Kasim bahwa mereka mendakwanya dengan tuduhan menghalang-halangi pegawai negeri sipil. Jika terbukti bersalah, Kasim terancam hukuman hingga dua tahun penjara, denda maksimal RM $ 10.000 (Rp 27 juta), atau keduanya. Kasim, yang fokus memperjuangkan hak-hak  komunitas LGBT dan penduduk asli Malaysia, telah menerima berbagai ancaman di dunia maya seperti pemerkosaan, pemenggalan kepala, dan penyerangan dengan zat asam karena pandangannya tentang hak-hak LGBT dan Islam. “Tidak banyak [kalangan] transgender yang tahu hak-hak mereka,” kata Kasim kepada Human Rights Watch. “Kami perlu menjelaskan kepada semua orang Melayu apa hak mereka saat berhadapan dengan JAWI dan otoritas keagamaan serupa.”