Skip to main content

Indonesia

Events of 2015

Kartun soal pembatasan pemerintah Indonesia terhadap kebebasan media dan pemantauan hak asasi manusia di Papua.

© 2015 Toni Malakian untuk Human Rights Watch

Keynote

 
Afghan refugees in Greece
Twin Threats

How the Politics of Fear and the Crushing of Civil Society Imperil Global Rights

Essays

 
Thirteen-year-old Sifola in the home she shares with her husband and in-laws in Bangladesh. Sifola’s parents, struggling with poverty, took her out of school and arranged for her marriage so that the money saved could pay for her brothers’ schooling. © 20
Ending Child Marriage

Meeting the Global Development Goals’ Promise to Girls

 
Bhumika Shrestha, a transgender woman in Nepal, holds her citizenship certificate, which listed her as male in 2011. Nepal legally recognized a third gender category beginning in 2007, but it took Shrestha and other activists and transgender citizens unti
Rights in Transition

Making Legal Recognition for Transgender People a Global Priority

 
The door of a cell at Lusaka Central Prison. Children are routinely incarcerated in Zambia for minor offenses and frequently held together with adults, putting them at increased risk of sexual violence and other abuses. © 2010 João Silva
Children Behind Bars

The Global Overuse of Detention of Children

Rekam jejak Presiden Joko Widodo pada tahun pertama jabatannya cukup campur aduk. Pemerintah mengisyaratkan akan lebih membela kaum minoritas agama, yang belakangan banyak jadi korban oleh militan Islam maupun aturan yang diskriminatif, namun bikin sedikit perubahan kebijakan yang konkrit. Jokowi memberikan grasi kepada pada lima narapidana politik Papua bulan Mei dan membebaskan satu lainnya pada Oktober, namun hingga kini masih ada sekitar 70 orang Papua dan 29 orang Ambon yang masih di penjara karena bicara merdeka secara damai.

Bulan Mei, Presiden Jokowi mencabut pembatasan akses media asing ke Papua yang sudah berlangsung lama, namun tak banyak tindak lanjut, sehingga buka peluang sejumlah pejabat pemerintah untuk menentang aturan tersebut tanpa konsekuensi apapun. Bulan Agustus, Jokowi menyatakan bahwa pemerintah akan membentuk “komisi rekonsiliasi” untuk mengusut sejumlah pelanggaran hak asasi manusia dalam 50 tahun terakhir, namun tanpa rincian jelas.

Dukungan Jokowi terhadap hukuman mati dan keputusannya untuk eksekusi pengedar narkoba menunjukkan kemerosotan agenda reformasi. Indonesia eksekusi 14 bandar narkoba pada 2015, termasuk warga Brazil yang memiliki disabilitas mental. Ia menuai kritik dari dunia internasional. Pendahulunya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, hanya eksekusi 20 orang selama 10 tahun.

Dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menyatakan komitmen mereka untuk mendukung hak asasi manusia, kampanye melawan kekerasan atas nama Islam, dan memperkecil konflik antara Sunni-Syiah.

Sejak Agustus hingga November, kabut tebal akibat kebakaran tahunan hutan dan lahan mengakibatkan krisis lingkungan dan kesehatan di Sumatra, Kalimantan, Singapura dan Malaysia. Polisi Indonesia menahan tujuh pejabat perkebunan, termasuk satu dari perusahaan Asia Pulp and Paper, yang berbasis di Singapura, dan denda banyak perusahaan sawit.

Kebebasan Beragama

Menurut Setara Institute, sebuah organisasi yang rutin meneliti intoleransi beragama, ada 194 kasus kekerasan agama pada 11 bulan pertama 2015. Ini jumlahnya sama dengan total kasus sepanjang 2014. Ia menunjukkan bahwa kekerasan atas nama agama merupakan masalah serius.

Pada 2015, Menteri Agama Lukman Saifuddin menentang pelecehan terhadap kaum minoritas agama –langkah baik sesudah satu dasawarsa dimana pemerintah Indonesia praktis pasif dan tak melindungi kebebasan beragama. Pada Januari 2015, Saifuddin membela lewat Twitter seorang dosen Banda Aceh yang difitnah melakukan penistaan agama. Bulan Agustus, Saifuddin menyatakan kementeriannya sedang menyusun rancangan undang-undang untuk melindungi kebebasan beragama bagi seluruh warga Indonesia, ”termasuk mereka di luar enam agama utama, Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu.”

Pada 15 Juni, setelah Majelis Permusyawaratan Ulama menyatakan Gerakan Fajar Nusantara sebagai “bid’ah”, pengadilan Banda Aceh vonis pemimpin dan lima anggotanya dengan pasal penistaan agama dan hukum penjara 3 hingga 4 tahun. Bulan Oktober, pemerintah daerah Singkil, Aceh, memaksa umat Kristen menutup 10 gereja mereka setelah sejumlah Muslim militan membakar salah satu gereja. Seorang warga Muslim meninggal akibat tembakan saat keributan di luar salah satu gereja.

Bulan Juni, Mahkamah Konstitusi menolak petisi untuk memperbolehkan pernikahan antar-agama di Indonesia. Undang-Undang Perkawinan 1974 dianggap valid karena penikahan “dengan persetujuan dalam menghargai kepercayaan agama kedua mempelai pria dan wanita”.

Pada 8 Juli, pemerintah daerah Jakarta Selatan menutup masjid Ahmadiyah di Bukit Duri buntut tekanan militan Sunni. Bulan yang sama, tiga gereja ditutup di Bandar Lampung, Yogyakarta dan Samarinda.

Pada 17 Juli, Kristen militan Papua minta sebuah masjid di kabupaten Tolikara, Papua, tak menggunakan pengeras suara saat sholat Idul Fitri, membakar masjid dan sejumlah kios ketika pengurus masjid mengacuhkan permintaan tersebut. Aparat keamanan menembak, membunuh satu dan melukai 11 orang.

Pada 2 September, Forum Umat Islam, sebuah kelompok militan yang dekat dengan Majelis Ulama Indonesia, menyatakan bahwa Sapta Darma, kepercayaan lokal di Rembang, Jawa Tengah, sebagai “penodaan Islam” dan memaksa mereka untuk berhenti bangun sanggar mereka. Polisi dan pemerintah menolak intervensi malahan membujuk Sapta Darma untuk menunda renovasi hingga waktu yang tak tentu.

Hak Perempuan dan Anak Perempuan

Komisi Nasional Perempuan melaporkan bahwa sampai Oktober 2015, pemerintah daerah dan pusat telah mengeluarkan 31 aturan baru yang diskriminatif selama 2015 sehingga total Indonesia memiliki 322 aturan yang diskriminatif terhadap perempuan.

Polisi Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia mensyaratkan calon polisi dan tentara perempuan menjalani “tes keperawanan” yang melanggar, diskriminatif dan tak ilmiah. Setelah penelitian Human Right Watch menyoroti hal ini pada 2015, beberapa pejabat tetap melanjutkan praktek ini serta tak ingin menghentikannya. “Kami harus menguji mental mereka. Jika mereka sudah tidak perawan, jika mereka nakal, itu artinya mental tidak baik,” kata juru bicara militer Indonesia Mayjen Fuad Basya.

Bulan Juli, Kementerian Pertahanan mengeluarkan aturan yang membolehkan anggota laki-laki untuk menikahi istri kedua jika istri pertama mereka tak dapat memberikan keturunan. Aturan ini melarang anggota perempuan untuk poligami. Komite Hak Asasi Manusia PBB menegaskan bahwa “poligami mencederai harga diri perempuan” serta menyatakannya sebagai “diskriminasi terhadap perempuan yang tidak dapat diterima” dan “harus dihapuskan di manapun ia berada.”

Bulan Juni, Mahkamah Konstitusional menolak gugatan untuk menaikkan batas minimum usia perempuan untuk menikah dari 16 ke 18 tahun. Hanya satu hakim, satu-satunya perempuan dari sembilan hakim, yang berbeda pendapat. Konvensi Hak-Hak Anak -- Indonesia ratifikasi pada 1990-- mendefinisikan anak sebagai seseorang di bawah usia 18 tahun. Menurut Committee on the Rights of the Child, batas minimum seorang perempuan menikah harus 18 tahun terlepas dari izin orang tua.

Papua

Pemerintah Jokowi mencari pendekatan baru untuk Provinsi Papua dan Papua Barat (“Papua”), dimana terjadi pemberontakan kecil dan gerakan pro-kemerdekaan yang makin luas. Pada 9 Mei, Jokowi mengunjungi penjara Abepura dan membebaskan lima narapidana politik. Dia berjanji akan bebaskan orang lain yang dipenjara karena sikap politik dan berkonsultasi dengan DPR. Menurut sebuah organisasi yang memantau tahanan politik “Papua Behind Bars,” minimal ada 45 tahanan politik di Papua pada akhir September 2015. Tahanan politik Papua yang paling popular, Filep Karma, dibebaskan pada Oktober.

Namun penindasan terhadap kebebasan berekspresi dan berkumpul di Papua terus berlanjut. Pada 20-22 Mei, polisi menahan sejumlah aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB), sebuah kelompok pro-kemerdekaan, dalam aksi unjuk rasa di Jayapura, Manokwari, dan Merauke. Polisi kemudian menangkap empat aktivis-- Alexander Nekenem, Yoram Magai, Mikael Aso, dan Narko Murib—dengan tuntutan “penghasutan publik”. Pada November mereka divonis satu setengah tahun penjara.

Kasus baru kekerasan aparat keamanan juga terus dilaporkan. Dua orang yang diduga tentara, yang sedang mabuk, melepaskan tembakan pada sebuah acara di Koperapoka, daerah Mimika, pada 27 Agustus 2015. Mereka membunuh dua warga sipil dan melukai dua warga lainnya. Pada Desember 2014, aparat keamanan diduga menembak dan membunuh lima demonstran damai di Enarotali; setahun setelahnya pemerintah masih belum mengeluarkan hasil investigasi atau menangkap pelaku.

Pada 10 Mei Presiden Jokowi mencabut pembatasan akses bagi media asing di Papua. Sebulan setelahnya, Kementerian Luar Negeri menyatakan hapus “Clearing House” yang selama ini menyaring akses aplikasi orang asing untuk masuk Papua. Namun sejumlah pejabat pemerintah dan aparat keamanan menolak keras dan secara terbuka tak mau berubah. Bulan Agustus, Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan aturan baru yang semakin memperberat batasan akses media asing ke Papua. Jokowi membatalkan aturan tsb sehari setelahnya. Namun Kepolisian Indonesia masih minta wartawan asing untuk melamar surat jalan untuk mengunjungi Papua, dan Kementerian Luar Negeri juga meminta sejumlah wartawan untuk “memberitahu” kementerian jadwal dan kegiatan mereka di Papua.

Reformasi Militer dan Impunitas

Bulan Juni, pemerintah menyatakan akan membentuk sebuah “komisi rekonsiliasi” untuk mencari “solusi untuk semua masalah pelanggaran hak asasi manusia yang tidak diselesaikan” termasuk pembunuhan massal anti-komunis 1965-1966 yang diperkirakan membunuh sejuta orang dan sejumlah pelanggaran hak asasi manusia lain sesudahmasa itu.

Pemerintah belum menjelaskan lebih lanjut bagaimana komisi ini akan bekerja, seolah mengatakan bahwa ia takkan lakukan investigasi khusus namun hanya fokus pada pembentukan “mekanisme penyelesaian” para korban. Artinya, ia mungkin takkan mengejar para pejabat yang paling bertanggungjawab terhadap pelanggaran hak asasi manusia sekaligus mencari keadilan bagi para korban.

Bulan Agustus, Brigjen Sri Hartomo dipromosikan menjadi gubernur Akademi Militer di Magelang. Pada 2003, Hartomo, komandan Kopassus di Papua, disidang dalam pengadilan militer karena terlibat pembunuhan tokoh Papua Theys Eluay.

Hak Penyandang Disabilitas

Puluhan ribu warga Indonesia penyandang disabilitas psikososial menghabiskan hidup dengan pasung atau dikurung dalam rumah atau institusi tertentu, bukannya menerima pelayanan kesehatan mental yang layak.

Rancangan Undang-Undang tentang Hak Penyandang Disabilitas ditunda pengesahannya di DPR dan diharapkan akan disahkan pada 2016. Menurut beberapa aktivis, rancangan tersebut tak sepenuhnya memenuhi Konvensi Hak-Hak Orang dengan Disabilitas yang diratifikasi Indonesia pada 2011.

Imigran dan Pencari Suaka

Bulan Mei, pemerintah menyetujui tuntutan internasional untuk menyelamatkan migran Rohingya dari Burma dan Bangladesh, yang terapung di laut berminggu-minggu dalam kondisi buruk. Meski Indonesia setuju menampung migran dan pencari suaka, ia hanya penampungan sementara dan akan dipindahkan ke negara ketiga dalam waktu satu tahun.

Hingga Agustus, ada 13,110 imigran dan pencari suaka di Indonesia, yang berada dalam ketidaktentuan karena Indonesia bukan bagian dari Konvensi Migran dan minim aturan soal migran. Ia termasuk 1,095 anak-anak yang ditahan di rumah tahanan imigrasi, dimana 461 diantaranya tanpa orang tua atau keluarga.

Aktor Utama Internasional

Amerika Serikat, mitra perdagangan yang penting bagi Indonesia, terus mencari hubungan militer yang lebih dekat dengan Indonesia. Presiden Jokowi melakukan kunjungan pertamanya ke AS pada Oktober, namun kunjungan dipersingkat karena krisis asap di Asia dan masalah hak asasi manusia sama sekali tak disinggung. Perhatian Jokowi menarik investasi dari perusahaan Amerika. Bulan April, Komisi Kebebasan Beragama Internasional kembali menempatkan Indonesia pada Tingkat 2, kategori terburuk nomor dua, sejak tahun 2003.

Bulan Juni, Melasenian Spearhead Group, sebuah organisasi regional di Kepulauan Pasifik, menjadikan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), organisasi pro-kemerdekaan Papua, sebagai pengamat di MSG.

Brazil dan Belanda menarik duta besar mereka setelah Indonesia eksekusi warga dua negara ini pada 18 Januari karena terlibat kejahatan narkoba. Australia juga menarik duta besarnya setelah Indonesia eksekusi dua warga Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran pada 29 April.