Skip to main content

Pemerintah Filipina Mengincar ‘Rappler’ agar Ditutup

Tuduhan Kepemilikan Asing Digunakan untuk Menutupi Pemusuhan Terhadap Situs Kritis

Para jurnalis bekerja di kantor Rappler di Metro Manila, Filipina, 15 Januari 2018.  © 2018 Dondi Tawatao/Reuters

Pemerintah Filipina telah meningkatkan serangannya terhadap kebebasan media, dengan mengancam akan menutup Rappler.com. Rappler adalah platform media start up yang didirikan pada 2012 yang telah menerbitkan banyak laporan investigasi, termasuk banyak hal kritis mengenai pemerintahan Duterte.

Komisi Sekuritas dan Bursa Filipina (SEC) hari ini mengumumkan pencabutan Sertifikat Korporasi Rappler atau izin operasi. Meskipun ada proses banding atas keputusan itu, SEC memiliki kekuasaan untuk segera melakukan penutupan gedung dan operasi Rappler jika memang diputuskan. SEC memutuskan bahwa investasi di Rappler tahun 2015 yang dilakukan oleh Omidyar Network, yang berbasis di Amerika Serikat, dengan pendanaan dari pendiri eBay Pierre Omidyar, adalah “skema menipu ” yang melanggar baik konstitusi Filipina maupun peraturan SEC yang melarang kepemilikan dan pengelolaan asing atas media massa. SEC juga membatalkan investasi Jaringan Omidyar, menggambarkannya sebagai “transaksi yang curang.” (Prinsip keterbukaan: Keluarga Omidyar telah lama menjadi donor bagi Human Rights Watch.)

Keputusan ini sama sekali tidak terduga. Enam bulan lalu, Presiden Filipina Rodrigo Duterte secara terbuka menyerang Rappler dengan tuduhan keliru bahwa media itu “dimiliki sepenuhnya oleh orang-orang Amerika.” Manajemen Rappler menolak langkah SEC itu dan menyebutnya sebagai “pelecehan yang murni dan sederhana.” Rappler menegaskan bahwa investasi Jaringan Omidyar melalui pembelian Philippine Depositary Receipts “tidak mengindikasikan kepemilikan,” dan bermaksud mengajukan banding atas putusan SEC itu.

Pembatalan izin operasi Rappler ini merupakan buntut dari kritik dan pelecehan media oleh pemerintah Duterte dan para pendukungnya selama berbulan-bulan. Kritik tersebut berpusat pada laporan investigasi Rappler mengenai berbagai isu mulai dari penyebaran konten berbayar yang bersifat menyerang di internet yang mendukung Duterte dan piranti lunak yang menyebarkan informasi keliru di media sosial, hingga serangkaian feature soal “perang melawan narkotika”pemerintahan Duterte yang kejam. Duterte dan para pendukungnya juga mengincar saluran berita ABS-CBN serta Philippine Daily Inquirer, keduanya dikenal karena laporan investigasi mendalam mereka.

Langkah pemerintah untuk menutup Rappler menunjukkan pengunaan proses aturan negara secara sewenang-wenang, guna memadamkan suara-suara media kritis. Media Filipina adalah hal terbaru di dalam daftar lembaga dan individu yang terus bertambah – termasuk pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa – yang telah difitnah oleh Duterte karena mencoba mencari pertanggungjawaban atas pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di negara itu. Duterte berusaha untuk membatalkan setiap penyelidikan yang terkait dugaan kejahatan yang dilakukan oleh polisi dan agen mereka dalam “perang melawan narkotika” yang telah menewaskan ribuan orang – sebuah kampanye yang didukung secara terbuka oleh sang presiden.

Jika Duterte berhasil membungkam Rappler, itu akan memberi efek mengerikan yang mendalam bagi media Filipina pada saat pers bebas makin dibutuhkan ketimbang sebelumnya.

 

 

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country