Skip to main content

Asia: Kurangi Populasi Penjara dalam Menghadapi COVID-19

Kepadatan dan Kondisi Tidak Bersih Meningkatkan Risiko Bencana

Tahanan Indonesia yang mendekati akhir masa hukuman dibebaskan untuk menghindari merebaknya wabah virus corona di dalam Lapas dan Rutan yang sesak di Depok, dekat Jakarta, Indonesia, 2 April 2020.  © 2020 Antara Foto / Asprilla Dwi Adha / via REUTERS

(New York) – Lembaga pemasyarakatan (Lapas), rumah tahanan (Rutan), dan fasilitas penahanan yang padat dan tidak bersih di Asia berisiko terjangkit wabah COVID-19 yang mengancam kesehatan fisik dan mental baik tahanan maupun tenaga kerja di sana, serta masyarakat yang lebih luas.

Untuk membendung wabah COVID-19, pihak berwenang di semua negara di Asia seyogianya segera membebaskan para tahanan yang ditahan karena melaksanakan hak-hak dasar mereka, tanpa dakwaan, dan atas pelanggaran tingkat rendah dan tanpa kekerasan. Pihak berwenang seharusnya juga mempertimbangkan pembebasan para tahanan lanjut usia dan dengan kondisi medis, yang akan menghadapi risiko lebih berat jika tertular.

“Krisis besar sedang merebak di Lapas dan Rutan Asia yang padat dan sesak,” ujar John Sifton, direktur advokasi Asia di Human Rights Watch. “Pemerintah negara-negara di Asia perlu bergerak cepat dan mengurangi populasi tahanan dengan membebaskan orang-orang yang seharusnya tidak ditahan, seperti tahanan politik dan mereka yang dipenjara karena pelanggaran ringan.”

Lima dari 10 negara dengan populasi Lapas terbesar berada di Asia. Populasi Lapas resmi Tiongkok adalah yang terbesar kedua di dunia, bahkan tanpa memperhitungkan satu juta orang yang ditahan di kamp-kamp “pendidikan politik” di Xinjiang, dan jumlah orang yang tidak diketahui di fasilitas “penjara hitam,” “tahanan dan pendidikan,” dan bentuk-bentuk lain dari penahanan sewenang-wenang. India, Thailand, Indonesia, dan Filipina turut masuk dalam daftar sepuluh besar.

Banyak Lapas dan Rutan di Asia yang tingkat kepadatannya melampaui batas, menurut Institute for Crime and Justice Policy Research; di Indonesia, Kamboja, dan Bangladesh, kelebihan kapasitas fasilitas-fasilitas penahanan tersebut berada pada angka 200 persen. Filipina, dengan tingkat kelebihan kapasitas 464 persen, menjadi negara dengan sistem penahanan terpadat di dunia – beberapa Lapas dan Rutan di sana bahkan mencapai 500 persen kelebihan kapasitas.

Persentase besar tahanan praperadilan di banyak negara Asia adalah faktor utama dalam kepadatan penghuni fasilitas penahanan. Di Filipina, misalnya, 75 persen tahanan belum pernah dinyatakan bersalah atas pelanggaran apa pun, dan banyak dari mereka harus menunggu bertahun-tahun sebelum maju ke pengadilan. Di Bangladesh, 80 persen dari seluruh tahanan adalah tahanan praperadilan; di India, jumlahnya sekitar 67 persen.

Di Filipina, kesesakan di penjara menjadi semakin parah dalam beberapa pekan terakhir, akibat 17.000 penangkapan baru atas pelanggaran jam malam dan karantina – termasuk banyak anak-anak – yang dilakukan pihak berwenang.  Berbagai fasilitas ini umumnya memberikan perawatan kesehatan yang buruk. Di lembaga pemasyarakatan nasional dekat Manila, 5.000 narapidana meninggal setiap tahun – satu dari lima. Namun pemerintah tak kunjung mengambil langkah berarti untuk mencegah krisis yang akan datang, selain melarang kunjungan penjara dan mengarahkan tenaga kerja yang sakit untuk swakarantina di rumah.

Burma secara khusus amat tidak siap dalam menghadapi wabah virus corona, baik di kalangan masyarakat umum atau di penjara-penjara yang terlampau padat. Seluruh sistem negara tersebut, yang terdiri dari hampir 100 Lapas dan kamp kerja paksa, hanya memiliki 30 dokter dan 80 perawat, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (Burma).

Pada 25 Maret, Sub-komite PBB untuk Pencegahan Penyiksaan menyerukan kepada pemerintah negara-negara untuk “sedapat mungkin mengurangi populasi penjara dan populasi penahanan lainnya,” dengan mempertimbangkan sepenuhnya langkah-langkah non-penahanan yang diatur dalam Peraturan Standar Minimum PBB untuk Tindakan Nonpenahanan, atau (Aturan Tokyo).

Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Michelle Bachelet, juga telah mendesak pemerintah semua negara untuk mengurangi populasi tahanan sebagai bagian dari upaya menyeluruh untuk menanggulangi pandemi COVID-19: “Sekarang, lebih dari sebelumnya, pemerintah seyogianya membebaskan setiap orang yang ditahan tanpa dasar hukum yang cukup, termasuk tahanan politik dan lainnya yang ditahan hanya karena mengekspresikan pandangan kritis atau perbedaan pendapat.”

Selain para tahanan yang semestinya segera dibebaskan, seperti orang-orang yang berada dalam penahanan praperadilan atas pelanggaran tingkat rendah atau tanpa kekerasan atau yang tidak menghadirkan risiko penerbangan yang signifikan, pemerintah negara-negara di Asia semestinya mempertimbangkan alternatif penahanan bagi:

  • Orang dengan risiko kesehatan yang lebih tinggi, seperti kalangan lanjut usia, perempuan hamil dan anak perempuan, orang dengan disabilitas yang mungkin bisa meningkatkan risiko komplikasi jika mereka terjangkit COVID-19, dan orang dengan kekebalan tubuh yang terganggu atau kondisi kronis seperti penyakit jantung, diabetes, penyakit paru-paru, dan HIV. Penilaian seharusnya menentukan apakah kesehatan mereka bisa dilindungi jika tetap berada dalam tahanan, dan mempertimbangkan faktor-faktor seperti waktu hukuman yang telah dijalani, beratnya pelanggaran, dan risiko pembebasan mereka terhadap publik;
  • Orang-orang dengan tanggung jawab memberi pengasuhan yang dituduh atau dihukum atas kejahatan tanpa kekerasan, termasuk perempuan dan anak perempuan yang dipenjara dengan anak-anak mereka dan tahanan yang merupakan pengasuh utama bagi anak-anak;
  • Orang-orang di fasilitas semi-terbuka yang bekerja di tengah masyarakat pada siang hari;
  • Orang-orang yang dihukum atas kejahatan dan telah mendekati akhir hukuman mereka; dan
  • Orang-orang lain yang penahanan berkelanjutannya tidak perlu atau tidak proporsional.

Pemerintah semua negara memiliki kewajiban hukum internasional untuk melindungi dan merawat para tahanan yang masih ditahan. Mereka perlu menyusun dan melaksanakan rencana komprehensif untuk mencegah dan merespons wabah COVID-19 di sejumlah fasilitas penahanan; rencana komprehensif yang tidak bergantung pada kuncitara (lockdown) sederhana belaka, melainkan yang menyediakan langkah-langkah guna melindungi kesehatan fisik dan mental para tahanan. Penjara seyogianya melindungi narapidana dan tenaga kerjanya sekaligus memberikan akses bagi tahanan untuk bisa menemui keluarga dan penasihat hukum.

Menurut panduan internasional, pendekatan terpenting bagi pusat penahanan untuk mencegah penularan adalah dengan memaksakan social distancing alias “penjarakan sosial,” yang didefinisikan sebagai pemisahan dua meter setiap saat di antara para tahanan dan tenaga kerja, termasuk saat makan dan di dalam sel. Tak kalah penting ialah mengisolasi orang-orang berisiko tinggi, yang dites positif, atau dengan gejala yang konsisten dengan COVID-19, serta kontak dekat mereka. Meski demikian, langkah-langkah semacam itu tidak mungkin dilakukan dalam penjara di berbagai negara Asia yang sesak; itulah sebabnya pihak berwenang perlu segera mengurangi populasi fasilitas penahanan.

Rencana untuk mengurangi risiko di penjara seyogianya juga mencakup penyediaan akses ke air minum; penyediaan produk-produk higienis dan informasi tentang penyakit COVID-19 kepada tahanan; membasmi kuman secara menyeluruh dan rutin di kantor polisi, gedung pengadilan, lembaga pemasyarakatan, dan rumah tahanan; protokol penyaringan dan pengujian bagi tenaga kerja di fasilitas penahanan, pengunjung, dan tahanan; menghindari pemindahan tahanan antar fasilitas jika memungkinkan; dan memastikan perawatan kesehatan dan layanan kesehatan mental untuk semua tahanan, terutama mereka yang terinfeksi.

Semua rencana seyogianya juga memperhatikan dan mempertimbangkan narapidana perempuan dan narapidana dengan disabilitas, yang memiliki kebutuhan kesehatan yang unik dan yang kepentingannya sering terpinggirkan dalam sistem penjara.

Lapas dan fasilitas penahanan di seluruh Asia sebaiknya mengembangkan berbagai rencana untuk mengisolasi atau secara terpisah menampung para tahanan yang rentan dan orang-orang dengan hasil tes positif serta kontak terdekat mereka, yang berlandaskan bukti terbaik yang tersedia tentang keefektifan tindakan tersebut. Tindakan semacam itu seyogianya bersifat proporsional, dan tahanan tidak boleh menjalaninya sebagai hukuman, atau mereka mungkin menunda memberi tahu tenaga kerja di penjara jika mengalami gejala. Pihak berwenang juga seharusnya mempertimbangkan dampak isolasi yang mungkin terjadi pada kesejahteraan mental tahanan.

Lapas dan fasilitas penahanan tidak terpisah dari masyarakat, melainkan terdiri dari staf dan pekerja lain, serta tahanan baru dan yang telah dibebaskan, yang bolak-balik antara fasilitas dan rumah mereka. Mengurangi populasi tahanan melalui pembebasan sebelum penularan besar-besaran, termasuk dengan menempatkan tahanan pada karantina di lokasi sementara di luar fasilitas penahanan atau isolasi mandiri jika diperlukan, akan mengurangi risiko bagi tahanan, tenaga kerja, dan masyarakat sekitar, kata Human Rights Watch.

“Mengurangi kepadatan penduduk sangat penting untuk mencegah krisis kesehatan baik di dalam maupun di luar Lapas dan Rutan di seluruh Asia,” kata Sifton. “Jika kesehatan tahanan tidak dilindungi, pemerintah negara-negara Asia tidak akan mungkin membendung pandemi ini.”

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.