Skip to main content
n/a

Wawancara: Penggundulan Hutan Mengancam Masyarakat Adat di Indonesia

Hutan Ditebangi untuk Membuka Jalan bagi Perkebunan Kelapa Sawit

Pemerintah Indonesia telah gagal melindungi hak-hak masyarakat adat yang telah kehilangan hutan tradisional dan mata pencarian mereka karena perkebunan kelapa sawit di Provinsi Kalimantan Barat dan Jambi. © 2019 Human Rights Watch

Dalam beberapa tahun terakhir, hutan Indonesia telah ditebangi dengan laju yang mencengangkan untuk membuka jalan bagi perkebunan kelapa sawit minyak kelapa sawit menjadi produk menguntungkan yang digunakan dalam segala hal mulai dari losion hingga adonan kue. Penggundulan hutan ini telah mengubah kehidupan jutaan anggota masyarakat adat Indonesia yang hidup di hutan-hutan ini dan bergantung pada alam untuk mendapatkan makanan, air, dan tempat tinggal. Ini sesuatu yang tak bisa dibatalkan. Juliana Nnoko-Mewanu berbincang dengan Human Rights Watch tentang laporan barunya, dan bagaimana masyarakat adat bisa dilindungi dengan lebih baik.

Komunitas masyarakat adat mana yang menjadi fokus Anda?

Indonesia adalah rumah bagi sekitar 50 hingga 70 juta masyarakat adat, sekitar seperempat dari keseluruhan populasi negara ini. Kami melihat secara khusus dampak perkebunan kelapa sawit skala besar pada dua kelompok: Dayak Iban di Kalimantan Barat, dan Suku Anak Dalam di Jambi.

Kedua komunitas itu sangat berbeda. Orang-orang Iban memiliki cara hidup yang lebih menetap: mereka bertani, membangun rumah kayu, dan hidup sebagai komunitas di rumah panjang tradisional Dayak. Masyarakat Suku Anak Dalam hidup secara semi-nomaden dalam kelompok-kelompok kecil. Tetapi, kehilangan akses ke hutan dan lahan telah menghapus identitas inti mereka, dan ritual yang biasa mereka lakukan pun hilang.

Seperti apa kehidupan mereka sekarang?

Sungguh mengejutkan melihat bagaimana komunitas ini berjuang. Bagi Suku Anak Dalam, tidak berada di hutan berarti tidak bisa mencari makanan, mengumpulkan, dan menanam apa yang mereka inginkan dan bergerak kapan mereka mau. Mereka memiliki akses terbatas ke air, dan sering kelaparan selama berhari-hari. Mereka tidak bisa memakan buah dan akar-akaran dari hutan atau berburu kadal di sana. Mereka sekarang tinggal di tenda-tenda plastik dan mengandalkan pengumpulan biji sawit yang mereka rebus atau jual untuk membeli nasi atau mi instan.

Apa dampak pengembangan perkebunan kelapa sawit terhadap lahan dan hutan?

Ini mengakibatkan hilangnya hutan secara besar-besaran. Antara tahun 2001 hingga 2017, usaha komersial di Indonesia menghancurkan lebih dari 24 juta hektar tutupan pohon, Kawasan yang luasnya hampir sama dengan Inggris. Perkebunan kelapa sawit menyumbang lebih dari setengah dari semua penipisan hutan di Indonesia selama periode ini. Hilangnya tutupan pohon ini tak hanya membahayakan komunitas adat setempat tetapi juga berkontribusi pada perubahan iklim global.

Perusahaan telah mengalihkan aliran air ke parit yang mereka bangun sehingga bahkan di musim kemarau sekalipun, tanaman kelapa sawit tetap menerima asupan air. Masyarakat adat mengaku kehilangan akses ke sumber air tawar, jadi mereka sekarang mengandalkan air hujan untuk memasak dan mandi. Beberapa anggota komunitas khawatir bahwa herbisida, pestisida, dan pupuk yang mereka yakini digunakan di perkebunan dan limbah cair, atau limbah, dari pabrik terbawa ke sungai, dan mencemari air. Baik pemerintah maupun perusahaan tidak menyediakan informasi yang bisa diakses mengenai kualitas sumber air tawar. Masyarakat, terutama masyarakat adat, seharusnya tidak perlu takut bakal menderita sakit karena minum air itu.

Apakah ada orang yang menarik perhatian Anda?

Beberapa Suku Anak Dalam yang kami temui tinggal dalam kelompok kecil berisi lima hingga tujuh keluarga di dalam kebun kelapa sawit. Mereka pindah bersama-sama ketika seseorang meninggal atau mereka dikejar oleh penjaga keamanan perkebunan. Saya mengunjungi komunitas itu selama kunjungan saya. Saya tahu saat itu ada seorang perempuan yang sedang hamil, tetapi karena saya orang asing, saya tidak seharusnya mendekati dia atau mengambil gambarnya, sesuai dengan kepercayaan budaya mereka. Suatu hari, kami tiba pagi-pagi dan semua orang sedang berdiri. Suasana terasa tegang, ada sesuatu yang salah. Kami menemukan bahwa perempuan itu sedang dalam proses persalinan, dan mereka tegang karena mereka mendapat informasi bahwa penjaga keamanan berencana untuk datang dan menghancurkan kamp mereka dan menghancurkan tenda-tenda. Semua orang di kelompok itu waspada. Mereka takkan berpindah sampai perempuan itu melahirkan. Kami menjauh, dan saya mulai merenungkan bagaimana rasanya berada dalam situasi begini, dan seperti apa rasanya bagi si bayi, hadir ke dunia di mana budaya rakyatnya telah terhapus dalam banyak hal. Dan bagaimana pemerintah bahkan tidak datang untuk memastikan hal-hal berjalan lebih baik untuk orang-orang ini, untuk generasi selanjutnya.

Bayi perempuan itu pun lahir, dan mereka segera berkemas. Dan saya tidak bisa membayangkan baru melahirkan dan kemudian dinaikkan ke sepeda motor dan dibawa ke lokasi baru untuk membuat rumah baru.

Mengapa pemerintah memberikan izin kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit atas tanah yang menjadi milik masyarakat adat?

Beberapa pemerintahan yang silih berganti di Indonesia menutup mata terhadap pembukaan hutan dan memprioritaskan keuntungan ekonomi. Dan sekarang ada jaringan hukum yang mempersulit masyarakat adat untuk mengklaim tanah leluhur mereka.

Apa saja aturan yang menyulitkan kelompok masyarakat adat untuk mengklaim tanah leluhur mereka?

Menurut hukum Indonesia, jika masyarakat adat belum diakui secara hukum, mereka tidak memiliki klaim atas tanah meskipun mereka telah hidup di sana selama beberapa generasi. Proses bagi kelompok adat untuk mendapatkan pengakuan hukum dikelola oleh kabupaten atau provinsi tempat mereka berada. Namun banyak kabupaten dan provinsi tidak memiliki sistem untuk mengakui masyarakat adat.

Langkah apa yang telah diambil pemerintah dan perusahaan untuk menangani klaim masyarakat adat?

Di Kalimantan Barat, pemerintah dan berbagai lembaga memprakarsai mediasi antara perusahaan perkebunan PT Ledo Lestari dan masyarakat adat – tetapi  itu terjadi 10 tahun setelah perusahaan mulai menebangi hutan. Akibatnya, PT Ledo Lestari membayar uang kompensasi kepada beberapa orang saja atas  tanah keluarga mereka, tetapi tidak untuk hutan komunitas. Perusahaan memindahkan WARGA lainnya, tetapi memberi mereka rumah bata tunggal alih-alih rumah panjang tradisional. Kompensasi tidak mempertimbangkan dampak jangka panjang pada mata pencarian mereka, termasuk hilangnya akses ke hutan dan makanan.

PT Ledo Lestari belum menanggapi surat yang Human Rights Watch sampaikan secara langsung, panggilan telepon, dan pesan teks.

PT Sari Aditya Loka 1, perusahaan yang beroperasi di Jambi, menjelaskan dalam suratnya kepada Human Rights Watch bahwa mereka memberikan inisiatif pendidikan, kesehatan, dan ekonomi di daerah tersebut. Perusahaan itu dalam kurun waktu lebih dari 10 tahun mengaku selalu berusaha untuk membantu Suku Anak Dalam. Tetapi program-program ini akan menyeret Suku Anak Dalam ke dalam masyarakat arus utama dan menghapus budaya mereka.

Perusahaan itu mengatakan mereka dan pemerintah telah membangun sejumlah rumah untuk Suku Anak Dalam, tetapi kebanyakan dari mereka yang mendapatkannya tidur di luar rumah, sehingga rumah-rumah itu kosong. Ketika saya melewati satu kompleks perumahan, rumah-rumah itu kosong.

Segenap upaya perusahaan itu tidak dilakukan dalam kerja sama dengan Suku Anak Dalam, dan perusahaan tidak memikirkan apa yang Suku Anak Dalam inginkan dan butuhkan. Apa yang mereka inginkan adalah lahan, dan mereka membutuhkan akses atas lahan untuk dapat menanam, menumbuhkan, dan hidup di sana, tanpa takut diusir.

Apa yang bisa dilakukan untuk membantu masyarakat adat ini?

Berbagai aturan hukum di Indonesia telah mewajibkan perusahaan untuk berkonsultasi dengan masyarakat lokal di setiap tahap proses untuk mendapatkan izin pemerintah dalam membuat dan mengoperasikan perkebunan. Pada tahun 2018, Presiden Joko Widodo mengumumkan moratorium izin baru untuk perkebunan kelapa sawit. Ini awal yang baik, tetapi mereka perlu berbuat lebih banyak lagi.

Ada sejumlah rancangan undang-undang di DPR RI yang harus ditetapkan oleh pemerintah. Misalnya, RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, yang akan menjelaskan bagaimana masyarakat dapat diakui secara hukum sebagai masyarakat adat dan mengajukan klaim atas tanah mereka. Kami ingin pemerintah memantau dampak hak asasi manusia dari perkebunan kelapa sawit terhadap masyarakat lokal dengan lebih baik. Kami meminta organisasi donor seperti Bank Dunia, yang mendukung program untuk memetakan semua lahan di Indonesia, memastikan bahwa sengketa tanah diselesaikan sebelum tanah dipetakan. Kami juga menyerukan dibuatnya Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria yang dapat mengadili sengketa lahan yang lazim terjadi di seluruh Indonesia.

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country