Skip to main content

 

Saidah Saleh Syamlan  © 2019 Safenet

(Jakarta) - Komisi Yudisial semestinya meninjau kembali proses hukum yang dialami Saidah Saleh Syamlan atas dasar pidana pencemaran di Pengadilan Negeri Surabaya, ujar Human Rights Watch hari ini.

Pada 26 Februari 2019, pengadilan menimpakan hukuman 10 bulan penjara kepada Saidah atas dasar pencemaran karena dia diduga mengirimkan empat pesan WhatsApp kepada dua bank perihal kinerja sebuah perusahaan. Saidah membantah tuduhan itu. Pemerintah Indonesia seharusnya mencabut pasal-pasal pidana yang membatasi kebebasan berpendapat secara damai di internet.

"Menjebloskan seseorang ke penjara dengan barang bukti alakadarnya bahwa ia telah mengirimkan pesan-pesan WhatsApp bermuatan kritik atas suatu perusahaan akan membawa dampak mengerikan dan mencemaskan terhadap kebebasan berpendapat," kata Andreas Harsono, peneliti Indonesia di Human Rights Watch. "Kasus Saidah membuktikan bahwa pasal-pasal pidana pencemaran sangat mungkin dimanipulasi orang-orang yang punya kekuasaan politis atau finansial--mereka bisa memanfaatkan modal itu untuk memengaruhi para penyidik."

Suami Saidah, Aziz Hamedan, lama menjabat sebagai direktur keuangan PT Pisma Putra Textile sebelum pensiun pada 2016. Adapun pesan-pesan WhatsApp yang dijadikan barang bukti hanyalah empat kalimat pendek berbahasa Jawa yang dikirimkan secara terpisah kepada dua bankir di Jakarta--Kepala Divisi Syariah Bank Exim Indonesia dan General Manager BNI Pusat--pada 26 Juni 2013. Isinya: pertanyaan tentang kredibilitas PT Pisma Putra Textile, perusahaan penghasil sarung ternama.

Pesan-pesan itu dikirim dari nomor ponsel lama Saidah. Jamal Ghozi Basmeleh, pemilik Pisma Putra Textile, menduga Aziz Hamedanlah yang mengirimkan pesan-pesan itu kepada bank, dan ia meminta pengacaranya melaporkan Aziz kepada polisi pada Juli 2017. Demikian kesaksiannya di pengadilan.

Pada 12 September 2017, kuasa hukum PT Pisma Putra Textile Muhammad Bayu Kusharyanto melaporkan "pemilik nomor ponsel tersebut" kepada kepolisian Surabaya, menuduh si pengirim pesan telah mencemarkan nama baik perusahaan. Ia menyerahkan tangkapan layar (screenshot) pesan-pesan WhatsApp itu sebagai barang bukti.

Pada 4 Oktober 2017, kepolisian Surabaya memeriksa Aziz dan Saidah. Keduanya membantah mengirimkan pesan-pesan tersebut.

Saidah mengakui bahwa nomor ponsel yang dipakai buat mengirim pesan-pesan itu adalah miliknya, tetapi saat itu ia sudah tak lagi menggunakan ponsel tersebut, lebih-lebih kartu SIM-nya. Kata Saidah, gawai itu rusak dan kemudian hilang pada April 2017. Dia mengaku menggunakan ponsel dan nomor baru setelah kejadian itu.

Saidah, yang beretnis Arab dan lahir di Jakarta, mengatakan di pengadilan bahwa dia tak cakap berbahasa Jawa, sekalipun bahasa itu digunakan secara luas di Surabaya. Kebanyakan orang Indonesia memang hanya menggunakan bahasa nasional--bahasa Indonesia--dan bahasa ibu masing-masing.

Polisi menggeledah rumah Aziz dan Saidah pada 15 Januari 2018, saat mereka berada di luar negeri. Menurut Saidah, polisi tak menemukan gawai apa pun yang berkaitan dengan pesan-pesan WhatsApp itu. Namun, pada Maret 2018, polisi tetap menimpakan tuduhan pidana pencemaran terhadapnya. Saidah melaporkan

hal ini kepada Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Div Propam) Kepolisian Surabaya karena merasa diperlakukan secara semena-mena dan diintimidasi. Tetapi para penyidik kepolisian segera mengirimkan berkas-berkas kasusnya ke kantor kejaksaan Surabaya.

Proses peradilan terhadap Saidah berlangsung dalam rentang Oktober 2018 hingga Februari 2019. Para jaksa menuntut hukuman penjara 18 bulan dan denda Rp500 juta (USD35.500), berdasarkan pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (3) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tahun 2016.

Pada 26 Februari 2019, Pengadilan Negeri Surabaya memutuskan Saidah bersalah karena telah mencemarkan nama baik PT Pisma Putra Textile dan menjatuhkan hukuman penjara 10 bulan ditambah denda Rp.5 juta rupiah kepadanya. Saidah mengajukan banding, maka hukuman belum dijalankan.

Pada 2010, Human Rights Watch menerbitkan sebuah analisis tentang dampak negatif pasal-pasal pidana pencemaran di Indonesia (termasuk UU ITE tahun 2008) dan mendesak pencabutannya. Pasal-pasal itu sangat rentan dimanfaatkan orang-orang berkuasa, termasuk para pejabat pemerintah, untuk menghajar balik pihak-pihak yang menuduh mereka telah melakukan korupsi, penipuan, atau penyelewengan.

Enam tahun kemudian, DPR mengamendemen UU ITE 2008, mengurangi lama ancaman kurungan dari enam menjadi empat tahun, tetapi mempertahankan hukuman-hukuman pidana apabila pernyataan-pernyataan yang dianggap "mencemarkan nama baik" itu disampaikan melalui internet.

Pemerintah Indonesia seharusnya mencabut semua pasal pidana pencemaran, termasuk dalam UU ITE 2016, dan menggantikan mereka dengan pasal-pasal perdata yang disertai jaring pengaman bagi kebebasan berpendapat dari campur tangan sewenang-wenang.

"Kenyataan bahwa orang-orang seperti Saidah bisa masuk penjara atas dasar pasal-pasal pencemaran yang remang-remang tetapi kejam itu, terlebih dengan barang bukti yang meragukan, sungguh mencengangkan," kata Andreas Harsono. "Yang semestinya digunakan oleh pemerintah adalah hukuman perdata, bukan pidana, dan itu pun hanya berlaku pada kasus-kasus di mana informasi yang disebarkan bukan berupa pendapat, melainkan fitnah yang terang-terangan menyebabkan kerugian."

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country