Skip to main content

Palestina: Hukum “Menikahkan Korban dengan Pemerkosanya” Dihapuskan

Cabut Undang-Undang Lain yang Diskriminatif terhadap Perempuan

Foto yang menunjukkan gaun putih sebagai simbol pengantin perempuan yang dibuat oleh Women’s Centre for Legal Aid and Counselling sebagai bagian dari kampanye mereka untuk menghapus pasal 308 yang memungkinkan pelaku pemerkosaan menghindari proses hukum jika mereka menikahi korban. Pesan berbahasa Arab dalam poster itu berbunyi “Katakan tidak pada menikahkan korban dengan pemerkosanya.” © 2018 Human Rights Watch/Anan Abu Shanab
(Yerusalem) - Langkah Otoritas Palestina yang menghapus sejumlah ketentuan diskriminatif terhadap perempuan pada Maret 2018 merupakan langkah awal yang baik dan seyogianya disusul dengan tindakan-tindakan serupa, kata Human Rights Watch hari ini. Bentuk diskriminasi lainnya termasuk pencatatan kelahiran, hukum yang mengatur status pribadi, dan minimnya akuntabilitas untuk tindak kekerasan dalam rumah tangga. Palestina semestinya mulai melaksanakan reformasi ini sebelum rekam jejaknya dalam hak-hak perempuan ditinjau untuk pertama kalinya oleh Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan - badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang memantau kesepakatan internasional tentang hak-hak perempuan - di Jenewa pada Juli mendatang. 

Pada 14 maret 2018, Presiden Palestina Mahmoud Abbas menandatangani Undang-Undang No. 5 tahun 2018 yang menghapuskan pasal 308 dari Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku di Tepi Barat. Berdasarkan penilaian seorang ketua tempat perlindungan perempuan, ketentuan hukum ini memungkinkan para tersangka pemerkosa untuk menghindari tuntutan hukum, dan memungkinkan pemerkosa yang telah diputus bersalah untuk menghindari hukuman pidana, jika mereka menikahi korban mereka. Undang-undang baru ini juga mengamendemen pasal 99 sehingga melarang hakim untuk mengurangi hukuman untuk kejahatan-kejahatan serius, seperti pembunuhan perempuan dan anak-anak.

“Otoritas Palestina akhirnya menutup celah dalam hukum dari masa penjajahan serta membatalkan celah-celah dalam sejumlah ketentuan lain yang memungkinkan para pemerkosa terbebas dari hukuman jika mereka menikahi korban mereka, dan memperlakukan pembunuhan terhadap perempuan sebagai kejahatan yang lebih ringan daripada pembunuhan terhadap laki-laki,” kata Rothna Begum, peneliti hak-hak perempuan Human Rights Watch untuk kawasan Timur Tengah. “Negara-negara lain di kawasan ini yang masih memiliki ketentuan serupa yang memungkinkan pemerkosa bebas dari hukuman dengan menikahi korbannya antara lain termasuk Aljazair, Bahrain, Irak, Kuwait, Libya, dan Suriah. Mereka pun selayaknya segera menghapuskan praktik ini.”

April lalu, Human Rights Watch membahas status perempuan dengan pihak Kementerian Urusan Perempuan dan Kejaksaan Umum Palestina. Human Rights Watch juga bertemu dengan 18 perwakilan dari berbagai organisasi perempuan, hak asasi manusia, dan organisasi internasional di Tepi Barat dan Yerusalem Timur.

Penindasan sistematis terkait dengan penjajahan Israel selama 50 tahun, yang meliputi diskriminasi secara kelembagaan, penghancuran rumah, dan pembatasan terhadap pergerakan, secara fundamental melanggar hak-hak perempuan Palestina di Tepi Barat dan Gaza. Human Rights Watch telah mendokumentasikan dampak dari praktik-praktik ini dalam sebuah laporan yang disampaikan untuk meninjau rekam jejak Israel di bawah Konvensi PBB tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) pada Oktober 2017.

Sejumlah amendemen baru ini tidak berlaku bagi kasus-kasus persidangan yang masih menunggu atau tertunda. Hingga kini, belum ada angka pasti berapa jumlah tertuduh pemerkosa maupun yang sudah dihukum yang berhasil menghindari tuntutan hukum atau putusan pengadilan karena pasal 308. Ikhlas Sufan, yang mengelola sebuah tempat perlindungan bagi korban kekerasan di Nablus, memberitahu Human Rights Watch bahwa antara 2011 dan 2017, proses hukum untuk kasus pemerkosaan telah dihentikan di 60 kasus - di mana rumah perlindungan yang dikelolanya ini turut membantu para korban - setelah para tertuduh pemerkosa setuju untuk menikahi korban mereka. Dalam 15 kasus di antaranya, para korban kemudian menceraikan pelaku yang menikahi mereka.

Baik Sufan maupun lembaga yang memberi bantuan hukum dan konseling bagi perempuan, Women’s Centre for Legal Aid and Counselling (WCLAC) telah berupaya memperingatkan bahwa ada kemungkinan keluarga masih dapat memaksa perempuan dan anak-anak perempuan yang hamil untuk menikahi laki-laki yang memerkosa mereka karena adanya hambatan dalam memperoleh akta kelahiran bagi anak yang lahir di luar nikah, dan kriminalisasi terhadap aborsi.

Laporan tahunan Kejaksaan Umum 2017 menyatakan bahwa 11 dari 14 pembunuhan terhadap perempuan pada 2016 dan 2017 di Tepi Barat - tidak termasuk Area C dan Yerusalem Timur, wilayah yang bukan menjadi kekuasaan Otoritas Palestina - dilakukan oleh anggota keluarga korban. Tidak jelas apakah tersangka pembunuh menggunakan perlunya melindungi “martabat” keluarga sebagai alasan pembelaan mereka.

Dareen Salhieh, jaksa utama Unit Perlindungan Keluarga di Kejaksaan Umum, mengatakan bahwa mereka telah menggelar pelatihan sensitivitas gender bagi polisi dan jaksa di Tepi Barat, yang bertugas menginvestigasi dan merujuk kasus-kasus pembunuhan terhadap perempuan oleh suami atau anggota keluarga ke pengadilan. Akan tetapi, hakim seringkali mengurangi hukuman pidana para terdakwa yang telah diputus bersalah. Studi Kantor Komisi Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia tahun 2014 menemukan bahwa hakim pengadilan pertama mengurangi hukuman pidana dalam kasus-kasus pembunuhan “demi martabat” dalam 29 dari 37 putusan, dengan menggunakan sampel acak dari kasus-kasus antara 1993 hingga 2013.

Memberikan pelatihan kepada para hakim dan mengawasi proses penjatuhan hukuman dalam kasus-kasus kekerasan berbasis gender menjadi penting untuk mengakhiri impunitas, menurut Human Rights Watch.

Dalam sebuah langkah pembaruan yang tak kalah pentingnya, Perdana Menteri Rami Hamdallah pada 5 Maret mengumumkan keputusan kabinet yang membolehkan perempuan memiliki hak asuh serta membukakan rekening bank untuk anak mereka, memindahkan anak ke sekolah berbeda, dan juga mengajukan pembuatan paspor untuk anak mereka. 

Kendati demikian, kedua undang-undang yang berlaku bagi warga Muslim, yakni Undang-Undang Status Pribadi Yordania no. 16 Tahun 1976 yang berlaku di Tepi Barat, dan Undang-Undang Hak-Hak Keluarga Mesir No. 303 tahun 1954 yang diterapkan di Gaza, tidak menjadikan kepentingan anak sebagai pertimbangan utama untuk memutuskan orang tua mana yang harus tinggal bersama anak, dan hak asuh seperti apa yang pantas dimiliki masing-masing orang tua. Dalam kedua undang-undang ini, sang ayah tetap memegang hak asuh meski secara resmi anak tinggal dengan ibunya. Selain itu, anak secara otomatis akan berpindah wali jika ibu menikah lagi, namun tidak demikian jika ayah yang menikah lagi.

Sebagai pemegang hak asuh, ayah dapat menarik uang dari rekening bank milik anak yang dibuka oleh ibunya meski sang anak tinggal bersama ibunya. Tetapi si ibu tak dapat melakukan hal yang sama jika anak tinggal dengan ayahnya. Perempuan  juga memerlukan izin dari ayah sang anak jika ingin bepergian ke luar negeri dengan anaknya. Kedua undang-undang yang mengatur urusan keluarga ini juga diskriminatif terhadap perempuan dalam hal pernikahan, perceraian, dan harta warisan.

Dalam survei nasional pada 2011 yang dilakukan Biro Pusat Statistik Palestina (PCBS) tentang kekerasan berbasis gender di 5.811 rumah tangga, ditemukan bahwa 37 persen responden perempuan yang telah menikah pernah mengalami setidaknya satu bentuk tindak kekerasan oleh suami mereka.

Sejak 2006, ketika Human Rights Watch melaporkan minimnya respon memadai terhadap kekerasan dalam rumah tangga di Palestina, Otoritas Palestina telah mengambil sejumlah langkah positif di wilayah Tepi Barat dengan membentuk Unit Pelindungan Keluarga di kantor-kantor polisi dan unit-unit pelindungan keluarga di kejaksaan. Akan tetapi, tiadanya kerangka hukum untuk menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga menjadi hambatan bagi unit-unit tersebut dalam menjalankan tugas. “Kami tidak punya perintah penuntutan atau prosedur pencegahan untuk membantu melindungi perempuan,” kata jaksa utama Dareen Salhieh.

Untuk mengatasi masalah ini, Otoritas Palestina tengah mempertimbangkan usulan rancangan Undang-Undang Pelindungan Keluarga apabila diamendemen sesuai dengan standar internasional. Undang-undang semacam ini seyogianya dapat menetapkan kewajiban pemerintah untuk mencegah kekerasan, melindungi penyintas, dan menuntut para pelaku, kata Human Rights Watch. Undang-undang ini juga sepatutnya mampu mengkriminalisasi pemerkosaan dalam pernikahan, merevisi definisi “keluarga” sehingga memasukkan pasangan yang tidak menikah, dan memberi pendanaan untuk menegakkan hukum.

 “Otoritas Palestina memiliki jendela waktu yang kritis untuk memberlakukan reformasi yang diperlukan sebelum para ahli internasional memeriksa rekam jejaknya dalam hak-hak perempuan pada Juli mendatang,” kata Begum. “Adanya hukum yang komprehensif yang mengatur tindak kekerasan dalam rumah tangga dan reformasi terhadap hukum status pribadi merupakan hal penting dalam menunjukkan komitmen pada kesetaraan dan pelindungan perempuan.”

Hukum di Palestina dan Terbatasnya Kewenangan Otoritas Palestina

Hukum yang berlaku di Tepi Barat dan Gaza merupakan gabungan dari hukum dan undang-undang yang disusun Dewan Legislatif Palestina dan diratifikasi oleh presiden. Apabila belum ada undang-undang yang dikeluarkan, maka hukum Yordania, Mesir, dan Mandat Britania tetap berlaku.

Undang-Undang Hukum Pidana Yordania No. 16 Tahun 1960 dan Undang-Undang Status Pribadi Yordania No. 16 Tahun 1976 diberlakukan di Tepi Barat, sementara Undang-Undang Hukum Pidana Mandat Britania No. 74 Tahun 1936 dan Undang-Undang Hak-Hak Keluarga Mesir No. 303 Tahun 1954 berlaku di Gaza. Di Yerusalem Timur, wilayah yang dianeksasi oleh Israel secara tidak sah pada 1967, Israel menerapkan hukum sipil Israel, meski wilayah ini masih berstatus wilayah jajahan menurut hukum internasional.

Pasal 9 dari Undang-Undang Dasar Palestina, yang dibuat pada 2003 dan terakhir diamendemen pada 2005, menjamin kesetaraan semua warga negara di hadapan hukum tanpa memandang jenis kelamin. Dewan Legislatif Palestina secara utuh belum bertemu lagi sejak 2006, akan tetapi pasal 43 Undang-Undang Dasar membolehkan Presiden Palestina untuk mengeluarkan keputusan presiden sambil menunggu dewan kembali bersidang dan meninjau peraturan yang dikeluarkan. Beberapa keputusan presiden telah memasukkan amendemen terhadap undang-undang di Gaza, namun Hamas, sebagai otoritas de facto di wilayah ini, hingga kini masih belum menerapkannya dan justru mengeluarkan keputusan berbeda.

Jangkauan kewenangan Otoritas Palestina menjadi terbatas karena ia tidak mampu menerapkan undang-undangnya di Area C, yang meliputi 60 persen wilayah Tepi Barat, tempat di mana militer Israel masih memiliki kendali eksklusif, atau di Yerusalem Timur, di mana Israel memberlakukan hukum sipilnya di sana, meskipun wilayah ini masih berstatus wilayah jajahan menurut hukum internasional. Otoritas Palestina juga tak dapat menerapkan hukumnya di Gaza, yang masih berada di bawah kendali Hamas. Organisasi hak asasi perempuan dan pejabat pemerintah memberi tahu Human Rights Watch bahwa sejumlah laki-laki yang melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan melarikan diri ke Area C, Yerusalem Timur, atau Israel, untuk menghindari penangkapan. 

Dalam laporannya pada 2017, Pelapor Khusus PBB tentang kekerasan terhadap perempuan mencatat bahwa “pendudukan menjadi hambatan nyata untuk menjalankan kewajiban Negara [Palestina] dalam melakukan uji tuntas untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan di sejumlah wilayah di mana pemerintah tidak memiliki yurisdiksi penuh, karena wilayah yang terpecah-pecah ke dalam kendali pihak-pihak yang berbeda, dan adanya jurang politik antara otoritas de facto di Gaza dengan Pemerintah Negara Palestina.”

Perempuan di Yerusalem Timur yang mengalami kekerasan domestik juga dihadapkan pada berbagai tantangan khas. Oheila Shomar, direktur Sawa Organization, sebuah organisasi nonpemerintah yang memberi dukungan kepada penyintas kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual, mengatakan bahwa: “Banyak warga Palestina yang enggan bekerja sama dan takut pada apa yang akan terjadi kepada mereka dan bagaimana polisi [Israel] akan menggunakan situasi yang mereka alami untuk merugikan keluarga jika mereka mengajukan aduan. Jika ada seorang perempuan yang melapor ke polisi [Israel], keluarga dan masyarakat sekitarnya akan menstigmatisasinya karena meminta bantuan pihak penjajah dan membahayakan keluarganya sendiri.”

Anak-Anak yang Lahir di Luar Nikah

Otoritas Palestina mewajibkan adanya surat nikah untuk mendaftarkan kelahiran anak. Di Tepi Barat, seorang ibu bisa memperoleh akta kelahiran untuk anaknya yang lahir di luar nikah, tetapi anak tersebut tidak dapat diberi nama keluarga, membuat mereka terkena stigma. Bahkan jika mereka dijadikan anak angkat, keluarga angkat tidak dapat secara resmi mengadopsi atau memberi nama keluarga mereka. Pusat Bantuan Hukum dan Konseling untuk Perempuan, Women’s Centre for Legal Aid and Counselling (WCLAC) mengatakan mereka mengetahui ada 27 anak yang mengalami hal ini dan berada dalam tanggung jawab Kementerian Pembangunan Sosial.

Randa Siniora, direktur WCLAC, memperingatkan bahwa keluarga masih bisa mencoba memaksa perempuan dan anak perempuan untuk menikah dengan orang yang diduga memerkosa mereka, atau dengan laki-laki yang berhubungan seks di luar nikah “kecuali apabila pihak berwenang mampu menyediakan aborsi yang aman dan sah, dan melakukan pencatatan kelahiran bagi anak-anak yang lahir di luar nikah.”

Ketua dari salah satu tempat perlindungan bagi korban kekerasan menceritakan bahwa mereka menyarankan seorang perempuan berusia 22 tahun yang mendatangi mereka dalam keadaan hamil 6 bulan untuk menikah dengan ayah sang janin untuk membantu agar ia dapat terdaftar secara resmi dan mengambil nama ayahnya. Ia pun mengikuti saran tersebut, lalu menceraikan suaminya seminggu kemudian.

Otoritas Palestina semestinya mencabut persyaratan surat nikah untuk melakukan pencatatan kelahiran, kata Human Rights Watch. Mereka semestinya mengizinkan perempuan untuk mencatatkan kelahiran anak mereka dengan nama keluarga yang mereka inginkan, dan memastikan bahwa anak-anak tidak mengalami diskriminasi karena status pernikahan orang tua.

Kriminalisasi Aborsi

Baik Undang-Undang Hukum Pidana tahun 1960 yang berlaku di Tepi Barat, maupun Undang-Undang Hukum Pidana 1936 yang berlaku di Gaza, sama-sama mengkriminalisasi aborsi. Perempuan yang melakukan aborsi ilegal bisa mendapatkan keringanan hukuman jika mereka mencantumkan “martabat” sebagai alasan aborsi.

Pada praktiknya, pihak berwenang dapat mengizinkan aborsi dalam empat bulan pertama kehamilan karena aborsi atau inses, atau jika si ibu memiliki disabilitas atau nyawanya dalam bahaya. Akan tetapi, Sufan, direktur tempat perlindungan perempuan di Nablus, mengatakan, “prosesnya sulit, karena mufti [hakim ulama], rumah sakit, dan pengadilan harus bersama-sama setuju untuk mengizinkan aborsi dilakukan.” Salhieh, jaksa utama, mengatakan bahwa jaksa memperoleh izin untuk melakukan aborsi bagi tujuh perempuan pada 2017. Dalam ketujuh kasus ini, para perempuan mengakui kehamilan mereka disebabkan oleh pemerkosaan atau hubungan inses, dan mereka masih berada di tahap awal kehamilan.

Menurut Human Rights Watch, otoritas Palestina semestinya menghapus kriminalisasi terhadap aborsi.

Peringanan Hukuman dalam Pembunuhan ‘Atas Nama Martabat Keluarga’

Yang termasuk pembunuhan atas nama martabat keluarga ialah kasus-kasus di mana keluarga membunuh salah satu anggota keluarga mereka karena tindakan yang dianggap telah menghancurkan “nama baik” keluarga. WCLAC mendokumentasikan 23 kasus pembunuhan terhadap perempuan dan anak perempuan dalam 2016 di seluruh wilayah Palestina, banyak di antaranya ditengarai demi menjaga “nama baik keluarga,” atau setidaknya diklaim demikian oleh pelaku pembunuhan. Media dan Pembangunan Perempuan (TAM) menyatakan dalam laporannya pada 2016 bahwa pembunuhan utamanya terkait dengan warisan, balas dendam, atau alasan-alasan lain yang diklaim oleh pelaku terkait dengan nama baik keluarga karena pelaku mengharapkan peringanan hukuman.

Sejumlah langkah reformis telah diupayakan dalam beberapa tahun terakhir untuk mengatasi pemanfaatan berbagai ketentuan hukum oleh hakim untuk meringankan hukuman dengan dalih “martabat.”

Pada 2011, Abbas mengeluarkan keputusan untuk menghapus pasal 340 dari Undang-Undang Hukum Pidana 1960, yang memungkinkan diringankannya hukuman bagi pelaku laki-laki yang diputus bersalah telah membunuh atau menyerang istri atau anggota keluarga perempuannya jika pelaku mengatakan bahwa ia mendapati korbannya melakukan zina atau hubungan seks di luar nikah. Pada 2014, presiden menerbitkan keputusan untuk mengamendemen pasal 98 dari Undang-Undang Hukum Pidana 1960, yang mengizinkan peringanan hukuman bagi mereka yang melakukan tindak kejahatan “dalam keadaan marah besar” [atau prinsip “fit of fury”] akibat “tindakan korban yang melawan hukum atau berbahaya.” Amendemen ini melarang penggunaan delik pembelaan ini “terhadap korban perempuan dengan alasan mempertahankan martabat.” Keputusan ini juga memberlakukan amendemen serupa pada pasal 18 Undang-Undang Hukum Pidana, yang berlaku di Gaza.

Akan tetapi, sebagaimana yang dikemukakan kejaksaan umum dalam sebuah laporan pada 2014, para hakim di Tepi Barat sering menggunakan pasal 99 dari Undang-Undang Hukum Pidana untuk mengurangi setengah hukuman dalam kasus-kasus di mana keluarga korban - dalam kasus-kasus pembunuhan atas nama “martabat”, juga berarti keluarga korban yang adalah pelakunya - mencabut hak mereka untuk melakukan penuntutan hukum. Pasal 99 itu memberikan pengurangan hukuman karena faktor-faktor meringankan tetapi tidak menetapkan apa itu. Dalam praktiknya, pengadilan menganggap bahwa korban dan keluarga mereka berhak untuk mengesampingkan penuntutan sebagai faktor yang meringankan. Studi dari Kantor Komisi Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia pada 2014 menemukan bahwa dalam 14 dari 37 putusan pengadilan yang merupakan sampel acak kasus-kasus antara 1993 hingga 2013, para hakimlah yang pertama kali mencatut pasal 99 untuk meringankan hukuman pembunuhan terhadap perempuan yang keluarganya mencabut hak mereka untuk melakukan penuntutan hukum.

Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 pada dasarnya menutup celah ini dengan mengamendemen pasal 99 yang melarang peringanan hukuman dalam kasus-kasus kejahatan terhadap perempuan dan anak-anak. Namun, amandemen ini tidak akan berlaku untuk kasus-kasus yang tertunda ketika amandemen disahkan. Salhieh mengatakan bahwa Kejaksaan Umum secara rutin mengajukan banding terhadap kasus-kasus yang pengadilannya memutuskan meringankan hukuman untuk pembunuhan terhadap perempuan. Laporan kejaksaan umum pada 2014 mencatat bahwa dalam 90 persen kasus yang melibatkan kekerasan berbasis gender di pengadilan tahap pertama dan pengadilan banding, kejaksaan umum mengajukan banding terhadap peringanan hukuman dikarenakan pembelaan “fit of fury” atau faktor-faktor peringan yang tidak beralasan atau didasari oleh pencabutan hak penuntutan oleh keluarga.

Salhieh dan Randa Siniora dari WCLAC memberi tahu Human Rights Watch tentang sebuah kasus menonjol yang kini masih tertunda dan terkait suami dari Suha al-Deek. Ia dituduh menikam istrinya sebanyak 25 kali, membunuhnya di depan anak-anak mereka pada Januari 2014. Pada 2016, pengadilan tingkat pertama di Nablus awalnya menghukum sang suami atas pembunuhan dengan sengaja, namun menggunakan pasal 97 dan 98 untuk mengurangi hukumannya menjadi pidana penjara selama dua setengah tahun. Kejaksaan umum mengajukan banding, dan pada 2017 pengadilan banding menjatuhkan hukuman untuk pembunuhan berencana dengan penjara selama 25 tahun, tetapi menggunakan pasal 99 dan masa tahanan yang telah dijalani untuk mengurangi hukumannya menjadi 10 tahun.

Pengacaranya lalu mengajukan perlawanan hingga ke mahkamah kasasi, yang lantas mengurangi hukumannya menjadi pembunuhan dengan sengaja dan mengembalikan kasusnya ke pengadilan banding. Pengadilan banding lalu menghukumnya 15 tahun dan kembali menggunakan pasal 99 untuk mengurangi hukumannya menjadi setengah. “Kami akan kembali mengajukan banding ke Mahkamah Kasasi,” tegas Salhieh.

Pelapor Khusus PBB tentang kekerasan terhadap perempuan menyatakan dalam laporannya pada 2017 bahwa ia menerima informasi bahwa pelaku juga seringkali mencatut pasal 62 dari Undang-Undang Hukum Pidana 1960, yang mengizinkan orang tua untuk “mendisiplinkan” anak-anak mereka dengan adat yang berlaku umum, sebagai bentuk pembelaan terhadap dakwaan bahwa mereka telah menganiaya atau membunuh anak perempuan mereka.

Otoritas Palestina semestinya memantau perkara yang telah diputuskan dan penghukuman dalam kasus-kasus kekerasan berbasis gender, termasuk pembunuhan, untuk memastikan bahwa para hakim tidak menggunakan ketentuan hukum lain untuk mengurangi hukuman, kata Human Rights Watch. Mereka juga seyogianya menyediakan pelatihan berbasis gender untuk hakim, khususnya mengenai kekerasan terhadap perempuan.

Diskriminasi dalam Pernikahan, Perceraian, dan Keputusan-Keputusan Terkait Anak

Keputusan Dewan Menteri pada Maret lalu yang membolehkan perempuan membuka rekening bank untuk anak mereka, memindahkan anak ke sekolah lain, dan mengajukan paspor, merupakan suatu kemajuan. Akan tetapi, perempuan masih memiliki status inferior di hadapan hukum. “Berbagai reformasi yang dilakukan ini hanyalah prosedur administratif dan belum lengkap,” kata Sabah Salameh, koordinator Forum Muntada untuk Memerangi Kekerasan terhadap Perempuan - yang merupakan koalisi 17 organisasi nonpemerintah - kepada Human Rights Watch. Ia mengatakan bahwa karena sang ayah masih menjadi wali resmi, berdasarkan hukum hukum status pribadi, terlepas dari apakah ayah memiliki hak asuh atau tidak, mereka tetap dapat menarik uang dari rekening bank milik anak bahkan jika rekening itu dibuka oleh sang ibu.

Undang Undang tentang Anak Palestina Tahun 2004 mengatur bahwa negara, termasuk pengadilan, harus mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak dalam semua tindakannya. Akan tetapi, undang-undang status pribadi mendiskriminasi perempuan dengan mengizinkan ayah mempertahankan hak perwalian bahkan ketika anak tinggal bersama ibunya, dan mengakui bahwa perempuan akan kehilangan hak asuh apabila ia menikah kembali.

Dalam undang-undang status pribadi yang berlaku bagi warga Muslim, laki-laki bisa memiliki empat istri, sementara perempuan tidak bisa menikah tanpa izin wali laki-laki, kecuali sebelumnya pernah menikah, atau memperoleh persetujuan pengadilan untuk menikah tanpa wali laki-laki atau jika pernikahan ditentang oleh wali laki-laki. Hukum ini juga mewajibkan perempuan untuk menuruti suaminya - termasuk jika suami berganti alamat atau melarang istrinya bekerja - sebagai timbal balik dari hak nafkah dan akomodasi dari suami. Laki-laki memiliki hak penuh untuk bercerai, sementara perempuan harus mengajukan permohonan cerai ke pengadilan dan hanya untuk alasan-alasan tertentu.

Ikhlas Sufan, direktur sebuah tempat perlindungan perempuan di Nablus, memberitahu Human Rights Watch bahwa “kasus-kasus perceraian bisa berlangsung selama dua hingga tiga tahun karena sang suami bisa saja mengklaim ia ingin rujuk padahal tidak demikian.” Ini berkaitan dengan kasus-kasus di mana perempuan mengajukan cerai karena alasan “cekcok dan perselisihan” berdasarkan pasal 132 dari Undang-Undang Status Pribadi di Tepi Barat atau alasan “kerugian” berdasarkan pasal 97 dari Undang-Undang Hak-Hak Keluarga di Gaza, setelah pasangan menjalani proses mediasi wajib. Di Tepi Barat, meski sang istri mengklaim mengalami kekerasan dalam rumah tangga, pengadilan tetap mewajibkan adanya upaya rujuk, dan apabila upaya ini gagal, harus melibatkan mediator yang juga melakukan upaya rekonsiliasi sebelum pada akhirnya merekomendasikan perceraian dan menetapkan siapa pihak yang bersalah.

Human Rights Watch berbicara dengan “Aisha,” yang namanya disamarkan untuk alasan keamanan, seorang perempuan berusia 30 tahun di Nablus yang mengajukan cerai pada 2016 setelah selama bertahun-tahun diduga mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Ia mengatakan bahwa hakim belum mengabulkan perceraiannya dan malah mencoba mendamaikan pasangan ini. Ia mengatakan: “Terakhir kali saya ke pengadilan pada Maret [2018], hakim memberi lelaki itu waktu sebulan untuk memperbaiki diri untuk melihat apakah kami masih bisa tinggal bersama. Hakim bertanya kepada saya, dan saya menjawab, ‘Tidak, setelah dua tahun saya rasa kami tidak akan bisa rujuk.’”

Seorang pejabat di Kementerian Urusan Perempuan mengatakan bahwa pada Maret, pemerintah telah membentuk komite kementerian untuk meninjau undang-undang status pribadi.

Otoritas Palestina semestinya memastikan bahwa perempuan memiliki hak yang setara dengan laki-laki dalam hal pernikahan perceraian, tempat tinggal [hak asuh] dan perwalian terhadap anak, serta warisan, kata Human Rights Watch.

Minimnya Pelindungan untuk Kekerasan dalam Rumah Tangga

Survei nasional pada 2011 oleh Biro Pusat Statistik Palestina (PCBS), yang melakukan survei mengenai kekerasan berbasis gender di 5.811 rumah tangga, menemukan bahwa 30 pesen responden perempuan di Tepi Barat yang telah menikah dan 51 persen di Jalur Gaza telah mengalami setidaknya satu bentuk kekerasan oleh suami mereka. Kurang dari satu persen yang mengatakan mereka pernah meminta bantuan polisi. Sufan mengatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga terus berlanjut karena “tak ada upaya jera secara legal maupun sosial” dan pelaku “sadar bahwa ia bisa lolos dari tanggung jawab.”

Organisasi hak-hak perempuan telah mendesakkan adanya hukum yang mengatur kekerasan dalam rumah tangga sejak 2007. Komite Harmonisasi Kementerian tengah meninjau rancangan Undang-Undang Pelindungan Keluarga, di mana organisasi hak-hak perempuan juga telah mengusulkan sejumlah perbaikan. Human Rights Watch telah meninjau rancangan undang-undang tersebut dan menemukan sejumlah ketentuan yang positif, seperti menyusun perintah pelindungan darurat (juga dikenal dengan restraining order) untuk melarang kontak antara korban dengan tertuduh pelaku, termasuk secara paksa memindahkan pelaku dari rumah; mengkriminalisasi berbagai bentuk kekerasan seperti pernikahan paksa; memperberat hukuman untuk kekerasan fisik; dan menetapkan tugas-tugas kepolisian dan unit pelindungan keluarga untuk menerima keluhan, menginvestigasi, dan mendampingi serta melindungi para penyintas.

Tapi, rancangan undang-undang ini secara eksplisit tidak menetapkan kewajiban utama pemerintah untuk mencegah kekerasan, melindungi penyintas, dan menuntut pelaku penindasan. Pihak berwenang semestinya mengamendemen undang-undang hukum pidana untuk mendefinisikan pemerkosaan sebagai penyerangan fisik yang bersifat seksual kepada anggota badan korban dengan menggunakan benda tertentu atau organ seksual, tanpa persetujuan korban atau dengan memaksakan kehendak pelaku. Hukum pidana juga semestinya mengindikasikan bahwa pelecehan seksual merupakan kategori luas dan termasuk bentuk-bentuk pelecehan tanpa penetrasi seksual, dan seyogianya secara eksplisit mengkriminalisasi pemerkosaan dalam pernikahan.

Undang-Undang Hukum Pidana 1960 di Tepi Barat tidak memiliki ketentuan yang mengatur perkosaan dalam pernikahan. “Jika seorang perempuan mengatakan bahwa suaminya telah memerkosanya, menurut undang-undang pidana dan pengadilan sharia, ini bukan termasuk tindak kejahatan,” ujar Salhieh. “Akan tetapi, jika perempuan itu bisa menunjukkan luka atau tanda-tanda pelecehan di tubuhnya, maka kami bisa menyelidikinya sebagai pelecehan fisik dan bukan pemerkosaan.” Akan tetapi, hukuman untuk pelecehan fisik yang menyebabkan luka ringan jauh lebih rendah daripada hukuman pemerkosaan.

Otoritas Palestina juga semestinya merevisi definisi “keluarga” dalam rancangan undang-undang untuk memasukkan pasangan yang tidak menikah sebagai keluarga dan memberi pendanaan untuk penegakan hukum, kata Human Rights Watch. Undang-Undang Lebanon tentang Pelindungan Perempuan dan Anggota Keluarga dan Kekerasan dalam Rumah Tangga, misalnya, menyediakan mekanisme untuk membiayai pendampingan bagi para penyintas dan memiliki ketentuan mengenai langkah-langkah pelindungan dan pencegahan kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana diatur oleh hukum. Di samping itu, Undang-Undang Maroko No. 103-13 tentang memerangi kekerasan terhadap perempuan juga memasukkan kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh tunangan.

Selama beberapa tahun terakhir, hampir setengah dari negara-negara dan wilayah otonom di Timur Tengah dan Afrika Utara telah menerapkan sejumlah legislasi atau peraturan tentang kekerasan dalam rumah tangga, termasuk Aljazair, Bahrain, Wilayah Kurdistan di Irak, Israel,  Yordania, Lebanon, Maroko, Tunisia, dan Arab Saudi. Undang-undang di tiap negara bervariasi dalam tingkat kepatuhan terhadap standar internasional.

Otoritas Palestina semestinya mengamendemen rancangan Undang-Undang Pelindungan Keluarga untuk memastikan pelindungan menyeluruh terhadap para penyintas, dan segera mengesahkannya, kata Human Rights Watch.

Kewajiban Palestina di Bawah Hukum Hak Asasi Manusia Internasional

Palestina menyetujui Konvensi PBB tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) pada April 2014 tanpa persyaratan maupun deklarasi resmi, menjadikannya sebagai satu-satunya negara di Timur Tengah dan Afrika Utara yang melakukan hal ini. Organisasi hak asasi manusia telah menyerukan kepada Otoritas Palestina untuk mempublikasikan CEDAW ke dalam Berita Negara agar dapat mengikat secara hukum dalam negeri di bawah Undang-Undang Dasar Palestina.

CEDAW mewajibkan negara-negara anggota untuk “mengambil langkah-langkah yang layak, termasuk mengesahkan legislasi, untuk memodifikasi atau menghapus undang-undang, peraturan, kebiasaan, dan praktik-praktik yang merupakan diskriminasi terhadap perempuan.”

Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak (CRC), yang juga disetujui Palestina tanpa syarat pada April 2014, menekankan kewajiban negara untuk mencatat kelahiran anak segera setelah lahir dan menyatakan anak berhak diberi nama sejak lahir. Akses ke pencatatan kelahiran tak dapat dihalangi oleh diskriminasi dalam bentuk apa pun, termasuk dengan basis jenis kelamin anak, orang tua, atau jenis kelamin dan juga status pernikahan wali sah dari si anak. Konvensi ini juga mewajibkan pemerintah untuk menjamin bahwa kepentingan terbaik anak menjadi pertimbangan utama dalam segala keputusan atau tindakan yang berhubungan dengan anak. 

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.