Skip to main content

Para perempuan bekerja di divisi penjahitan di sebuah pabrik di Phnom Penh, ibukota Kamboja. Perempuan mencapai 90 persen dari tenaga kerja industri garmen di Kamboja, yang memproduksi untuk berbagai merek pakaian internasional. Dokumentasi Human Rights Watch mencatat bahwa para pekerja di Kamboja seringkali mengalami lembur paksa, diskriminasi karena hamil, dan penolakan cuti melahirkan tanpa pemotongan upah.  © 2014 Samer Muscati/Human Rights Watch

Musim semi tahun ini menandai sebuah tonggak bersejarah. Lebih lima tahun berselang sejak serangkaian peristiwa kebakaran dan kecelakaan bangunan di Pakistan dan Bangladesh yang secara keseluruhan menewaskan lebih dari 1.500 buruh pabrik dan mencederai ribuan lainnya.

Sesaat setelah musibah-musibah itu terjadi, para aktivis pembela hak-hak buruh menyisir reruntuhan dan mayat-mayat di tempat kejadian atau mewawancarai para pekerja yang trauma dan meminta mereka mengingat-ingat nama merek. Gambaran ini mencerminkan betapa pincangnya pendekatan perusahaan pakaian terhadap hak-hak pekerja pada saat itu.

Kini, lima tahun setelah itu, kita masih harus meraba-raba informasi yang diperlukan tentang sejumlah merek busana yang diproduksi oleh para pekerja, guna memastikan bahwa hak-hak mereka dihormati dan keselamatan mereka dilindungi.

Informasi tentang label merek menjadi penting tak hanya untuk keamanan bangunan dan penanggulangan kebakaran. Industri pakaian yang bernilai $2,4 triliun ini, yang utamanya mempekerjakan perempuan sebagai pekerja garmen, menjadi saksi berbagai bentuk tindak penindasan terhadap buruh. Penindasan itu mencakup upah yang rendah, penolakan dari pemilik dan pengelola pabrik untuk memberi tunjangan dan cuti melahirkan atau bahkan memecat para pekerja yang hamil, intimidasi terhadap pemimpin serikat pekerja, lembur paksa, hingga pelecehan seksual di tempat kerja.

Pada dasarnya, kondisi kerja dan kepatuhan terhadap undang-undang ketenagakerjaan menjadi tanggung jawab pemerintah negara-negara produsen. Akan tetapi, menurut standar internasional, perusahaan pakaian dan alas kaki global juga bertanggung jawab untuk memastikan agar hak-hak pekerja tetap ditegakkan di seluruh rantai pasokan.

Salah satu komponen penunjang utama demi terjaminnya kondisi kerja yang lebih layak adalah visibilitas. Perusahaan merek busana seharusnya memastikan bahwa pekerja dan publik mengetahui pabrik mana yang memproduksi merek apa. Meski beberapa perusahaan mengabaikan tanggung jawab tersebut, banyak pula yang mulai terbuka membeberkan informasi penting ini.

Pada 2016, Human Rights Watch bergabung dengan delapan organisasi hak-hak buruh dan serikat pekerja global untuk menyerukan transparansi mendasar di industri garmen. Koalisi ini menyepakati “Persetujuan Transparansi,” sebuah standar transparansi minimum yang seragam, dengan mengambil contoh praktik-praktik terbaik di industri. Persetujuan ini menjadi titik awal sederhana demi mendorong perusahaan agar membagikan informasi.

Setidaknya 17 perusahaan terkemuka telah berkomitmen mempublikasikan seluruh informasi yang diminta dalam persetujuan tersebut. Sementara itu, 18 perusahaan lainnya, meski tidak memenuhi seluruh standar persetujuan, untuk pertama kalinya telah berkomitmen mempublikasikan informasi pabrik pemasok mereka.

Saat ini, sejumlah perusahaan terkemuka seperti Adidas, ASOS, Benetton, C&A, Esprit, Gap Inc., H&M, Hugo Boss, Levi’s, Marks and Spencer, New Balance, Nike, Patagonia, Primark, dan Puma, telah membeberkan setidaknya nama dan alamat pabrik-pabrik pemasok mereka.

Akan tetapi, sebagian besar pemain dalam industri ini, termasuk perusahaan-perusahaan besar seperti Walmart—yang merupakan salah satu pendiri Koalisi untuk Pakaian Berkelanjutan atau Sustainable Apparel Coalition—serta para pemimpin kategori fast-fashion lain seperti Inditex (pemilik Zara), Mango, Desigual, Urban Outfitters, dan Forever 21, masih belum mempublikasikan secara terbuka pabrik-pabrik mana saja yang memproduksi merek pakaian mereka.

Pengungkapan publik seperti ini amat penting di sektor pakaian, sebab industri ini terus-menerus bergulat dengan praktik sub-kontrak sembunyi-sembunyi. Sejumlah kasus eksploitasi buruh terparah terjadi di pabrik-pabrik yang disubkontrakkan secara ilegal. Pabrik-pabrik ini biasanya mempekerjakan para buruh secara tidak resmi—tanpa memberi mereka pelindungan seperti cuti sakit dan melahirkan. Para pekerja merasa lebih sulit membentuk serikat dan secara bersama-sama melakukan perundingan demi pelindungan pekerja yang lebih baik di pabrik-pabrik kecil tersebut. 

Ketika perusahaan pakaian membeberkan pabrik-pabrik produksinya, hal ini memungkinkan adanya pemantauan di tempat-tempat yang paling dibutuhkan. Para pekerja membutuhkan informasi ini, demikian juga orang-orang yang melakukan advokasi untuk mereka, termasuk perwakilan serikat, organisasi non-pemerintah baik lokal maupun internasional, pengacara, jurnalis, dan akademisi. 

Semakin banyak data rantai pasokan yang tersedia secara publik, kondisi eksploitatif akan semakin mungkin untuk dilaporkan—baik kepada publik maupun kepada merek-merek yang rantai pemasoknya terdampak—semakin besar pula kemungkinan masalah ini menjadi dapat teratasi.   

Transparansi tak hanya menyediakan informasi yang diperlukan para pekerja dan pembela hak-hak buruh saat muncul masalah.  Transparansi juga membangun kepercayaan para konsumen yang peduli akan praktik-praktik bisnis yang etis, serta memungkinkan para pekerja untuk berharap bahwa merek-merek yang mengambil keuntungan dari hasil jerih payah mereka akan mendengarkan keluh kesah mereka—dan turun tangan. ​


Argumen dari Pihak Merek

Beberapa merek yang menolak transparansi menggunakan alasan klise, yakni kelemahan kompetitif alias competitive advantage. Akan tetapi, perusahaan-perusahaan terkemuka yang telah membeberkan informasi pabrik mereka sejauh ini tidak mengaku mengalami kerugian finansial akibat tindakan mereka ini. Di samping itu, adanya informasi tentang pabrik pemasok akan memungkinkan merek-merek yang mengalihdayakan produksi mereka ke pabrik yang sama untuk dapat bekerja sama mencegah eksploitasi buruh atau kondisi kerja yang membahayakan.

Beberapa merek menyatakan bahwa keanggotaan mereka dalam inisiatif seperti Kesepakatan Bangladesh tentang Kebakaran dan Keselamatan Bangunan atau Bangladesh Accord on Fire and Building Safety, sebuah perjanjian mengikat antara perusahaan merek busana dan serikat pekerja global yang dibentuk setelah insiden runtuhnya Rana Plaza, sudah cukup menjadi bukti komitmen mereka untuk transparansi. Inisiatif ini memang telah berdampak positif terhadap keselamatan bangunan dan penanggulangan kebakaran di Bangladesh. Bergabung ke Bangladesh Accord adalah langkah penting - merek-merek lain semestinya bergabung ke Perjanjian yang telah diperluas ini, yang mencakup komitmen untuk meningkatkan pelindungan terhadap kebebasan berserikat para pekerja. Tapi, perjanjian yang berlaku hanya di Bangladesh ini bukanlah instrumen pengganti atas praktik-praktik transparansi perusahaan sehubungan dengan pabrik pemasok mereka di seluruh dunia.

Perlu ditekankan kembali bahwa bahkan program keselamatan bangunan dan penanggulangan kebakaran yang terbaik sekalipun tidak akan dapat mengatasi eksploitasi yang dialami oleh pekerja perempuan di pabrik. Tidak hanya harus menghadapi kondisi kerja yang tidak layak, para pekerja perempuan juga mengalami kesulitan meniti karier dari pekerja hingga dapat menjalankan peran pengawasan di tempat kerja. Perusahaan pakaian semestinya menaruh perhatian di semua jalur yang memungkinkan para pekerja untuk melaporkan tindakan eksploitasi dan mengupayakan ganti rugi. Transparansi menjadi sarana yang berpengaruh dan manjur, yang bisa digunakan secara efektif oleh pembela hak-hak buruh untuk membantu para pekerja.

Setidaknya satu perusahaan, Inditex (yang memiliki Zara dan merek-merek lain), menolak membeberkan nama dan alamat pabrik-pabrik pemasok mereka, dengan beralasan bahwa mereka telah menyampaikan data ini secara tertutup kepada perserikatan global yang telah menandatangani perjanjian bersama untuk meningkatkan kondisi kelayakan kerja di seluruh pabrik pemasok. Meski demikian, membeberkan informasi pabrik pemasok akan membantu meningkatkan keberhasilan perjanjian kerangka kerja seperti ini, sebagaimana telah dibuktikan oleh merek-merek lain seperti H&M, Tchibo, dan ASOS.

 

Tiada Tempat Untuk Bersembunyi

Investor, termasuk pengelola dana pensiun, dapat memanfaatkan peran mereka sebagai pemilik perusahaan untuk mendorong terciptanya transparansi dan tempat kerja yang sensitif gender. Grup investor seperti SHARE Canada dan Interfaith Center for Corporate Responsibility secara rutin berinteraksi dengan sejumlah perusahaan mengenai transparansi pada rantai pasokan. Ini tidak hanya sebuah kewajiban sosial, melainkan menjadi suatu cara untuk turut mengurangi risiko finansial mereka.

“Tak lama lagi, akan ada banyak hal yang tak dapat disembunyikan,” kata John Ruggie, mantan perwakilan khusus PBB untuk bisnis dan hak asasi manusia, kepada Human Rights Watch. Ia mencatat bahwa investor kian menaruh perhatian kepada indikator-indikator ekonomi, sosial, dan tata kelola. “Orang-orang yang berada di dalam atau yang melayani komunitas investasi akan memperoleh semua informasi yang tersedia di luar sana. Mereka menggunakan semuanya, mulai dari GPS hingga Google Earth, untuk mengumpulkan informasi.”

Inisiatif yang melibatkan banyak pemangku kepentingan seharusnya menjadikan transparansi rantai pasokan sebagai kriteria kelangsungan keanggotaan para perusahaan pakaian dalam inisiatif-inisiatif tersebut. Pemerintah juga semestinya mewajibkan transparansi dan proses-proses wajib lainnya tentang hak asasi manusia dalam rantai pasokan setiap perusahaan pakaian. Hanya pemerintah yang bisa memberlakukan penalti dan menetapkan standar-standar yang dapat ditegakkan.

Tragisnya, kombinasi antara keengganan meregulasi perusahaan di satu sisi, dengan sikap apatis pemerintah di sisi berbeda, berarti bahwa  belum ada upaya legislatif yang kuat di seluruh dunia untuk mengatasi isu-isu hak asasi manusia di industri garmen. Undang-undang yang secara khusus mewajibkan perusahaan pakaian dan alas kaki untuk membeberkan informasi pabrik pemasok mereka kiranya dapat menjadi sebuah langkah penting.

Meski demikian, pemerintah beberapa negara kian menggalakkan upaya untuk mengatur tanggung jawab perusahaan. Undang-Undang Perbudakan Modern Inggris, yang mewajibkan perusahaan memantau terjadinya perbudakan dalam rantai pasokan, secara spesifik memang tidak mengharuskan perusahaan untuk mempublikasikan informasi pabrik pemasok mereka. Akan tetapi, peraturan ini mendorong sejumlah perusahaan pakaian dan alas kaki Inggris untuk mempublikasikan informasi pabrik pemasok mereka sebagai bagian dari strategi penanggulangan risiko perbudakan modern yang terjadi dalam rantai pasokan mereka. Sebuah undang-undang di Prancis yang mewajibkan perusahaan untuk menjalankan uji tuntas hak asasi manusia juga menjadi salah satu contoh baik yang dapat dijadikan pijakan.

Sebagai konsumen, kita memiliki tanggung jawab moral kepada mereka yang memproduksi pakaian dan sepatu kita untuk menuntut agar tempat kerja mereka dipublikasikan. Oleh karena itu, sisihkanlah beberapa menit waktu Anda untuk memeriksa apakah merek-merek favorit Anda sudah transparan, dan tanyakan mengapa jika belum. 

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country