Skip to main content

Beberapa polisi sedang beristirahat saat berjaga di dalam ashram Asaram Bapu, sebelum pengadilan menghukumnya karena memperkosa seorang gadis remaja, di Ahmedabad, India, 25 April 2018.    © 2018 Reuters / Amit Dave
“Pada malam hari, saya tidak bisa tidur karena saya selalu takut mati oleh regu tembak terdakwa ... Saya ingin hidup setidaknya sampai saya menyelesaikan kesaksian saya,” kata Rahul Sachan, mantan asisten pribadi Asumal Harpalani (yang dikenal sebagai Asaram), dalam surat pernyataan yang diserahkannya ke Mahkamah Agung pada bulan Agustus 2015.

Sachan, saksi di dua sidang pemerkosaan Asaram, dan sidang ketiga terhadap putra Asaram, Narayan Sai hilang tiga bulan kemudian dan nasibnya tidak diketahui. Awal tahun itu, dia ditikam di luar pengadilan di kota Jodhpur.

Pada 25 April, Asaram, seorang multi-jutawan yang dilaporkan memiliki 20 juta pengikut, dijatuhi hukuman penjara seumur hidup setelah dinyatakan bersalah memperkosa seorang gadis berusia 16 tahun di ashramnya di Jodhpur. Namun dalam persidangan, yang dimulai pada 2013, tiga saksi tewas, setidaknya lima lainnya diserang, satu orang hilang, dan bahkan perwira polisi senior yang memimpin penyelidikan mengatakan mereka diancam. Sidang Asaram dan putranya dalam dua kasus lain terkait dengan dugaan perkosaan dua saudara perempuan ditunda.

Asaram, hingga belum lama ini, dianggap bagian dari pemimpin politik top baik dari partai yang berkuasa dan oposisi, yang meningkatkan tantangan bagi para korban dugaan kejahatannya untuk mendapatkan keadilan.

Asaram mungkin memiliki koneksi sangat kuat, tetapi seperti yang dicatat oleh Human Rights Watch dalam laporan November 2017, “Semua Orang Menyalahkan Saya”, ancaman, intimidasi, dan pelecehan dari terdakwa kerap terjadi dalam kasus-kasus kekerasan seksual.

Sejumlah gadis dan perempuan dewasa yang melaporkan kejahatan semacam itu bahkan lebih berisiko ketika mereka menjadi bagian dari masyarakat yang terpinggirkan secara sosial atau ekonomi. Jika pelakunya adalah orang berpengaruh, polisi juga sering menekan para pelapor untuk “menyelesaikan” atau “berkompromi”dalam kasus seperti itu. Pelecehan dan kurangnya perlindungan seperti itu, serta sikap menyalahkan korban dan stigma sosial, menyebabkan banyak korban gagal melaporkan pemerkosaan kepada pihak berwenang .

Misalnya, polisi di Unnao Uttar Pradesh bukannya menuntut seorang anggota parlemen dari partai berkuasa BJP yang diduga terlibat dalam pemerkosaan beramai-ramai terhadap seorang gadis berusia 17 tahun pada Juni 2017, malah menangkap ayah korban, yang meninggal dalam tahanan polisi pada April 2018. Pengadilan Tinggi Allahabad yang mengecam polisi negara bagian karena gagal mengajukan laporan sang gadis dan menangkap terdakwa, mencatat bahwa laporan oleh tim investigasi khusus yang

menerima mandat pemerintah negara bagian menemukan bahwa “petugas medis dan polisi - semuanya bekerja sama dengan terdakwa untuk menyelamatkan mereka.”

Demikian pula, di Kathua di Jammu dan Kashmir, dua polisi telah didakwa berusaha menutupi bukti dalam penculikan, pemerkosaan beramai-ramai, dan pembunuhan terhadap seorang gadis Muslim berusia 8 tahun pada Januari 2017.

Pada Agustus 2017, menanggapi permintaan dari keluarga korban dan saksi dalam kasus Asaram untuk mendapatkan perlindungan, Mahkamah Agung mengeluarkan pemberitahuan kepada semua pemerintah negara bagian untuk menyusun program perlindungan saksi nasional.

Ini bukan kali pertama Mahkamah Agung mengamati bahwa India membutuhkan skema perlindungan saksi. Tahun 2006, Komisi Hukum telah mencatat perlunya melindungi saksi dan korban serta identitas saksi dalam kasus pelanggaran serius, tidak hanya terbatas pada terorisme atau penyerangan seksual. “Saksi-saksi berbalik memusuhi karena meningkatnya ancaman dalam kasus-kasus kejahatan seperti itu, perlindungan tampaknya menjadi perlu,” kata Mahkamah Agung.

India memiliki angka vonis untuk kasus pemerkosaan sekitar 26 persen, sedangkan untuk kejahatan terselubung lainnya di bawah hukum pidana India (IPC) 47 persen, menurut data pemerintah tahun 2016. Salah satu alasannya, kata para aktivis dan pengacara, adalah saksi, terlalu sering, mengubah kesaksian mereka di pengadilan karena diancam.

Baik IPC dan UU Perlindungan Anak terhadap Penyerangan Seksual (POCSO) memiliki ketentuan untuk melindungi korban dan saksi di pengadilan seperti melakukan sidang tertutup, tanpa dihadiri pengunjung dan media. Dalam kasus anak-anak, POCSO juga menyediakan pengadilan khusus yang harus memastikan bahwa identitas anak tidak diungkapkan selama penyelidikan atau persidangan.

Namun, India tidak memiliki hukum perlindungan saksi atau korban nasional, membuat saksi dan korban rentan saat berada di luar ruang sidang.

Pada 2015, Delhi menjadi satu-satunya negara bagian yang mengadopsi Skema Perlindungan Saksi. Otoritas Layanan Hukum Negara Bagian Delhi (DSLSA) mengesahkan perintah perlindungan dalam setiap kasus setelah mengevaluasi ancaman. Komisaris polisi, yang mengepalai kepolisian Delhi, bertanggung jawab atas pelaksanaan keseluruhan perintah perlindungan saksi. Tindakan perlindungan dapat mencakup perlindungan bersenjata, patroli rutin di sekitar rumah saksi, pemasangan kamera pengawas, dan relokasi.

Bahkan tanpa adanya skema perlindungan saksi, pengadilan telah memerintahkan perlindungan bagi saksi dan korban dalam kasus-kasus sensitif atau yang memiliki kerentanan tinggi. Namun, seperti ditunjukkan dalam pola ancaman, serangan, pembunuhan, dan penculikan dalam yang muncul pada kasus Asaram, keamanan seringkali tidak memadai.

Mahendra Chawla, mantan asisten pribadi dari putra Asaram, Narayan Sai, adalah saksi kunci lainnya dalam semua kasus terhadap ayah dan anak itu. Pada Mei 2015, dua lelaki yang mengendarai sepeda motor menembak Chawla di desanya di Haryana, menyebabkan tubuhnya cacat sebagian. Chawla diserang sehari setelah polisi yang ditugaskan menjaganya dicopot karena melalaikan tugas, meninggalkannya tanpa perlindungan polisi dan rentan terhadap serangan. Setelah serangan itu, tiga orang polisi ditugaskan menjaganya tetapi tepat sebelum vonis Asaram pekan ini, Chawla meminta peningkatan perlindungan, karena ia mengaku takut kehilangan nyawa.

Setiap skema perlindungan saksi yang sukses harus mengevaluasi ancaman dan menentukan kebutuhan perlindungan dalam setiap kasus secara hati-hati, memungkinkan fleksibilitas, dan termasuk tindak lanjut secara teratur. Pada saat yang sama, dalam kasus-kasus sensitif, khususnya kekerasan seksual, pengadilan harus mencatat pernyataan dan memeriksa korban dan saksi yang rentan dengan segera, mengurangi risiko mereka dari terdakwa.

India membutuhkan reformasi sistem peradilan yang kritis untuk menghilangkan hambatan kelembagaan bagi korban kekerasan seksual. Dan mereka, seperti gadis berusia 16 tahun dalam kasus ini, yang cukup berani untuk menghadapi penyerang mereka atau memberikan kesaksian mereka terhadap orang-orang yang berkuasa, berhak mendapatkan perlindungan dari hukum perlindungan saksi dan korban, bukannya takut akan — dan kadang-kadang kehilangan — hidup mereka.

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country