Skip to main content

Pemilu Presiden Mesir yang Direncanakan Tidak Adil dan Bebas

Seharusnya Uni Eropa dan Amerika Serikat Angkat Bicara

Para anggota kampanye Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi menghitung sejumlah kotak berisi kertas pencalonan presiden yang baru di Otoritas Pemilihan Nasional, yang bertugas mengawasi pemilihan presiden 2018 di Kairo, Mesir, 24 Januari 2018. © 2018 Reuters/Amr Abdallah Dalsh

(Beirut) – Menurut 14 organisasi hak asasi manusia regional dan internasional, pemerintah Mesir melibas prasyarat minimum terciptanya pemilu presiden yang bebas dan adil pada 26-28 Maret 2018. Pemerintahan Presiden Abdel Fattah al-Sisi sudah mengekang kebebasan asasi dan menangkap beberapa kandidat potensial serta menahan para pendukung mereka.
 

“Sekutu Mesir seharusnya menyatakan kesalahan pemilu lelucon ini, alih-alih terus mendukung pemerintahan yang kini berkuasa di tengah krisis HAM terburuk di Mesir selama puluhan tahun terakhir,” ujar kelompok tersebut.

Amerika Serikat, Uni Eropa dan negara-negara Eropa yang mengalirkan bantuan finansial signifikan pada pemerintah Mesir, semestinya mengintegrasikan HAM secara konsisten di dalam hubungan mereka dengan Mesir. Negara-negara ini seharusnya menunda bantuan keamanan yang berpotensi digunakan untuk melakukan represi dalam negeri, dan memusatkan bantuan pada pemajuan konkret untuk melindungi hak-hak dasar.

Penindasan yang terjadi sebelum pemilu presiden Mesir antara lain adalah meningkatnya secara signifikan kekangan dalam lingkungan politik yang menyangkal hak orang-orang atas partisipasi politik dan kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul secara damai. Organisasi-organisasi tersebut mengatakan, pemerintah Mesir seharusnya segera membebaskan semua orang yang ditangkap karena bergabung dalam kampanye politik, atau mereka yang ingin maju sebagai calon presiden.

Pemerintah Mesir sudah berhasil menyingkirkan para penantang kunci yang mengumumkan niat mereka untuk maju sebagai calon presiden. Pemerintah sudah menahan dua kandidat potensial, yaitu Purnawirawan Letnan Jenderal Sami Anan dan Kolonel Ahmed Konsowa. Kandidat potensial ketiga, Ahmed Shafik (mantan Perdana Menteri dan Komandan Angkatan Udara) kini tengah berada dalam tahanan rumah tidak resmi di sebuah hotel untuk menunggu pengunduran dirinya dari bursa pencalonan presiden. Dua kandidat potensial lainnya, Mohamed Anwar al-Sadat, mengundurkan diri dari proses pendaftaran resmi karena suasana politik yang represif, kekhawatiran atas keselamatan para pendukung dan manipulasi pemerintah.

Satu-satunya kandidat penantang al-Sisi adalah Mousa Mostafa Mousa, pemimpin partai Al-Ghad  selaku pendukung pemerintah. Ia mendaftarkan pencalonannya pada hari terakhir, 29 Januari, setelah dibujuk oleh sejumlah anggota parlemen pro-pemerintah yang meyakinkannya untuk bertarung dalam pemilihan presiden. Sehari sebelum pendaftaran, ia merupakan anggota dari tim kampanye yang mendukung al-Sisi sebagai petahana. Dalam konteks ini, hak setiap warga untuk ikut dan memilih dalam pemilu yang mengekspresikan keinginan sebagai pemilih tampak sia-sia.

Langkah-langkah pemerintah Mesir tersebut bertentangan dengan Konstitusi Mesir dan pelanggaran nyata terhadap komitmen serta kewajiban internasional negara tersebut, termasuk Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Piagam Afrika Mengenai Hak Asasi Manusia (ACHPR) dan Deklarasi Perserikatan Afrika tentang Prinsip-Prinsip Pengelolaan Pemilihan Umum Demokratis di Afrika tahun 2002. Pasal 25 dalam ICCPR dan Pasal III Deklarasi Perserikatan Afrika menghubungkan partisipasi politik, baik sebagai pemilih maupun kandidat, pada kebebasan berkumpul, berekspresi dan berserikat. Buku pedoman Uni Eropa tentang pengawasan pemilu, yang menjabarkan standar penyelenggaraan pemilu yang adil, menyatakan bahwa tanpa hak-hak tersebut, “pemilu tidak bisa dijalankan secara berarti.”

Atmosfer politik di Mesir saat ini dipenuhi aksi balasan terhadap mereka yang berbeda pendapat. Penindakan keras terhadap para pembela HAM dan organisasi HAM independen mengakibatkan pengawasan efektif terhadap pemilu oleh organisasi asing dan domestik sangat sulit untuk dilakukan. Laporan media massa menyebutkan bahwa jumlah organisasi yang diizinkan untuk mengawasi pemilu menurun sebanyak 44% dibandingkan pemilu presiden tahun 2014, sementara permintaan untuk menjadi pengawas secara umum juga mengalami penurunan.

Beberapa partai oposisi menyerukan boikot terhadap pemilu presiden tersebut. Sehari setelahnya, al-Sisi mengancam akan menggunakan kekuatan, termasuk militer, terhadap mereka yang menganggu “Stabilitas dan keamanan Mesir.” Pada 6 Februari, Jaksa Agung Mesir memerintahkan penyelidikan terhadap 13 figur pemimpin oposisi yang menyerukan boikot, dengan tuduhan memprakarsai “menjatuhkan rezim berkuasa.”

“Tujuh tahun setelah pemberontakan 2011, pemerintah Mesir kini tidak mengindahkan hak-hak asasi yang diperjuangkan oleh para demonstran. Pemerintah Mesir mengklaim tengah menjalankan ‘transisi demokratis’ yang nyatanya bergeser semakin jauh di setiap pemilu,” kata kelompok gabungan tersebut.

Penandatangan

Institut Kairo untuk Studi Hak Asasi Manusia

CIVICUS “Aliansi Dunia untuk Partisipasi Warga”

CNCD-11.11.11

EuroMed Rights “Jaringan Hak Asasi Manusia Euro-Mediterania”

Human Rights First

Human Rights Watch

Komisi Hakim Internasional

Federasi Internasional untuk Hak Asasi Manusia (FIDH)

International Service for Human Rights (ISHR)

Project on Middle East Democracy

Reporters Without Borders (RSF)

Robert F. Kennedy Human Rights

Solidar

Organisasi Global Penentang Penyiksaan (OMCT)

 

Penahanan serta Gangguan Terhadap Penantang Penting dan Kandidat Potensial

Kolonel Ahmed Konsowa

Pada 19 Desember, Pengadilan Militer Kairo Utara menjatuhkan hukuman enam tahun penjara pada Konsowa atas tuduhan “melakukan aksi yang melemahkan sistem militer,” tiga minggu setelah ia menyatakan pencalonannya sebagai presiden melalui video YouTube. Konsowa, seorang prajurit angkatan darat berpangkat kolonel dan arsitek untuk Kementerian Pertahanan, beberapa kali menyatakan mundur dari jabatannya di kementerian selama empat tahun terakhir. Dirinya mengatakan ingin mencalonkan diri sebagai presiden, tapi pencalonan tersebut ditolak secara “sewenang-wenang” tanpa alasan. Di Mesir, anggota militer aktif tidak dibolehkan untuk mencalonkan diri sebagai presiden.

Banding di pengadilan militer menguatkan hukumannya pada 29 Januari. Ia masih bisa mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Banding Militer. Soal pengunduran dirinya, Konsowa telah mengajukan beberapa tuntutan pada Kementerian Pertahanan di pengadilan administratif terkait pengunduran dirinya itu. Satu kasus tengah berlangsung dan kasus lainnya sedang ditinjau oleh Pengadilan Mahkamah Konstitusi.

Masa penahanan Konsowa tampaknya sangat tidak sepadan dan menurut Human Rights Watch pemerintah seharusnya memberinya izin untuk mengakses semua dokumen legal mengenai kasusnya, dan mungkin menantang sejumlah tuduhan tersebut.

Letnan Jenderal Sami Anan

Pada 19 Januari, Purnawirawan Letnan Jenderal Sami Anan mengumumkan pencalonannya melalui sebuah video. Anan adalah Kepala Staf Angkatan Darat hingga ia diperintahkan untuk pensiun oleh mantan Presiden Mohamed Morsy pada Agustus 2012.

Beberapa jam setelah Anan mengumumkan niatnya untuk mencalonkan diri sebagai presiden, al-Sisi merilis pernyataan soal pemilu presiden mendatang dalam sebuah konferensi pers, sembari mengulas “pencapaiannya”selama empat tahun belakangan: “Saya tahu siapa saja yang melakukan korupsi, saya tahu betul… Saya tidak akan mengontrol siapa yang Anda pilih. Anda bisa memilih siapa saja yang Anda inginkan. Namun para koruptor ini masih ada. Saya tidak akan membiarkan mereka untuk mendekati posisi presiden,” ujar al-Sisi.

Aparat keamanan, sebagian besar merupakan petugas Intelijen dan Pengawasan Militer yang berada di bawah Kementerian Pertahanan, menangkap Anan atas tuduhan tak berdasar pada 23 Januari. Menurut laporan Amnesty Internasional, saat itu Anan berada dalam mobilnya di jalanan Kairo, kemudian aparat menutup akses komunikasinya selama beberapa hari. Pengacaranya, Nasser Amin, dan putranya Samir Anan, hanya bisa menemuinya di dalam penjara militer pada 27 Januari. Beberapa jam sebelum ia ditangkap, Kementerian Pertahanan merilis pernyataan berisi tuduhan pemalsuan dokumen dan “menghasut angkatan bersenjata” terhadap Anan. Kementerian mengklaim, Anan perlu meminta izin militer untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Kementerian Pertahanan menyatakan akan menempuh “jalur hukum yang dibutuhkan.”

Sumber yang dekat dengan Anan, yang ingin menjaga identitasnya karena alasan keamanan, menyatakan pada Human Rights Watch bahwa jaksa militer telah menginterogasi Anan pada 23 Januari dan memerintahkan agar ia ditahan selama 15 hari untuk menunggu hasil investigasi. Anan hanya dituduh melanggar peraturan militer dan aktif berpolitik. Menurut keterangan sumber tersebut, jaksa memperpanjang masa penahanannya sebanyak tujuh hari, pada 6 Februari.

Pada 27 Januari, tiga lelaki bersenjata pisau menyerang Hakim Hesham Geneina, anggota tim sukses Anan dan mantan kepala Badan Audit Pusat. Ia diserang saat sedang mengendarai mobil bersama istrinya, putrinya, serta seorang sopir di area perumahannya di Kairo. Kementerian Dalam Negeri dalam sebuah pernyataan mengatakan, Hesham mengalami cedera akibat perkelahian antara Geneina dan keluarga dengan tiga orang laki-laki di mobil berbeda, menyusul perselisihan akibat kecelakaan mobil ringan.

Namun, kepada awak media pengacara Geneina menyatakan bahwa serangan tersebut adalah sebuah usaha “penculikan“. Geneina berteriak meminta pertolongan dan akhirnya diselamatkan oleh para pejalan kaki. Keesokannya, jaksa memerintahkan penahanan terhadap tiga laki-laki yang menyerang Geneina, juga menunda penyelidikan serta melayangkan tuduhan pencurian bersenjata api kepada mereka. Beberapa hari kemudian, Geneina mengatakan kepada awak media bahwa serangan itu bermotif politik karena terjadi saat ia ingin mengajukan banding untuk membatalkan penganuliran Anan.

Gamal Abdel Rahim, dewan direksi Sindikat Jurnalis juga menduga bahwa seseorang dari tiga tersangka tersebut pernah terlihat sedang bersama aparat keamanan yang menggerebek Sindikat pada Mei 2016 dan menyerang para wartawan.

Ahmed Shafik

Pada 8 Januari, Shafik (mantan perdana menteri di 2011 dan marsekal angkatan udara sejak 1996 hingga 2002) mengundurkan diri dari pencalonannya setelah lepas dari masa tahanan rumah tanpa putusan pengadilan, selama berminggu-minggu. Shafik telah mengumumkan pencalonannya pada 29 November 2017 melalui tayangan video di Al Jazeera. Beberapa jam setelahnya, dalam pernyataan lain, pihak berwenang di Uni Emirat Arab telah mencegahnya untuk tinggal di negeri itu. Ia tinggal di UEA sejak tahun 2012.

Pada 3 Desember, Dina Adly (pengacara Shafik) menuliskan di laman Facebook-nya bahwa Shafik sudah ditangkap dan sedang dideportasi dari UEA ke Kairo. Sesampainya Shafik sampai di bandara Kairo, media massa menyatakan bahwa keluarga dan pengacaranya mengakui tak mengetahui keberadaan Shafik. Mereka akhirnya mengetahui bahwa Shafik diculik ke sebuah hotel di pinggiran kota Kairo. Menurut pengacara dan keluarganya, Shafik menjalani tahanan rumah selama beberapa pekan di hotel tersebut, selagi dikelilingi agen keamanan yang memutus jalur komunikasinya dengan sejumlah wartawan untuk memaksanya mundur dari bursa pencalonan presiden.

Setidaknya tiga pendukung Shafik, Ahmed al-Dahshory, Hani Fouad, dan Mohamed Imam, ditangkap pada 13 Desember. Mengutip dua sumber anonim di bidang kemanan, Reuters menyatakan bahwa ketiganya dituduh menerbitkan berita yang “membahayakan keamanan nasional.” Shafik kemudian membuat pernyataan berisi “permintaan maaf” pada mereka yang ditangkap karena keterkaitan dengan tim kampanyenya pada 16 Desember melalui siaran pers.

Menurut pernyataan sanak saudara (yang ingin tetap anonim) salah satu pendukung tersebut kepada Human Rights Watch, sejumlah anggota keluarganya dibebaskan beberapa saat kemudian. “Kami meminta ampun pada Tuhan. Kami tidak akan lagi terlibat dalam politik,” ujarnya. Human Rights Watch tidak dapat memastikan apakah dua orang lainnya masih berada dalam tahanan.

Khaled Ali dan Anwar al-Sadat

Ali (pengacara HAM) dan al-Sadat (mantan anggota parlemen) menyudahi kampanye kepresidenan mereka karena suasana represif di negara itu. Pada 27 Desember, al-Sadat menyatakan bahwa ia telah mengirim pengaduan ke Komisi Pemilihan Nasional yang menyatakan bahwa Badan Intelijen Nasional  mencegahnya menggelar konferensi pers.

Dalam konferensi pers pada 24 Januari untuk mengumumkan pengunduran dirinya,  Ali mengatakan bahwa para pendukungnya telah ditangkapi sejak musim panas 2017. Menurut keterangan ketua timses Hala Fouda pada Human Rights Watch, pihak berwenang telah menahan beberapa anggota Partai Roti dan Kebebasan yang saat itu belum dibentuk, serta aktivis dari beberapa partai lain yang telah menyatakan dukungan pada Ali sejak pertengahan 2017. Melalui dua gelombang besar penangkapan di bulan April dan Juni, pemerintah menahan setidaknya 190 aktivis politik yang sebagian besar ditahan saat menggelar demonstrasi anti-pemerintah.

Menurut Fouda, walau tidak ada seorangpun yang ditahan selama penyelenggaraan kampanye untuk mengumpulkan dukungan, ada beberapa “intervensi keamanan” lain seperti intimidasi agen intelijen Fouda mengatakan bahwa mereka yang tidak tergabung dalam tim sukses Ali juga tengah mengumpulkan dukungan dan tandatangan dari warga walau mereka, tapi menolak untuk mengajukan berkas tersebut.

Fouda mengambil contoh seperti seorang perempuan non-timses yang mengumpulkan ratusan dukungan di kota Tala di provinsi al-Monuffia, kemudian menolak mengirimkan berkas tersebut. Fouda menyatakan bahwa timsesnya telah mengajukan keluhan resmi tentang insiden tersebut pada Komisi Pemilihan Nasional namun tak mendapat tanggapan.

Hukum elektoral mengharuskan calon presiden untuk mengantongi 20 pencalonan dari anggota parlemen atau 25.000 dukungan resmi dari warga, 1.000 di antaranya harus berasal dari 15 provinsi berbeda. Komisi Pemilihan Nasional hanya memberi waktu selama 20 hari bagi para kandidat untuk mengumpulkan dukungan tersebut. Sebanyak 549 (sekitar 92%) dari 596 anggota parlemen, termasuk Ketua Parlemen telah menyatakan dukungan resmi terhadap pencalonan al-Sisi. Mousa, satu-satunya kandidat resmi lain, hanya mendapatkan 20 nominasi dari anggota parlemen setelah pihak pro-pemerintah membujuknya untuk maju dalam pemilu.

Prasyarat Dasar untuk Pemilu yang Bebas dan Adil

Pemerintah Mesir dan hukum yang berlaku telah menerapkan beberapa batasan tambahan untuk mengikis kemungkinan digelarnya pemilu yang bebas dan adil. Undang-Undang Demonstrasi nomor 107 tahun 2013 Mesir yang sangat ketat itu mengharuskan penyelenggara aksi demonstrasi dan pertemuan untuk mengantongi izin dari Kementerian Dalam Negeri. Kebijakan ini melemahkan peluang para kandidat dari kalangan oposisi. Undang-Undang itu plus Undang-Undang Majelis Nomor 10 tahun 1914 juga mengkriminalisasi pertemuan kelompok lebih dari lima orang, kemudian menjatuhkan masa tahanan panjang sebagai sanksinya.

Pada praktiknya, kepolisian justru menunjukkan toleransi begitu luas pada aksi unjuk rasa dan pertemuan yang mendukung al-Sisi. Al-Sisi juga mendeklarasikan keadaan gawat darurat nasional sejak April 2017, yang sudah diperpanjang sebanyak tiga kali. Dalam keadaan gawat darurat, mereka yang dituduh melanggar UU Demonstrasi akan diadili oleh Pengadilan Keamanan Negara Darurat (kembali aktif di bulan Oktober), yang keputusannya tidak dapat dibanding.

Pemerintahan al-Sisi juga amat mengekang kebebasan pers dan berekspresi yang secara efektif hampir memusnahkan ruang publik akan kritik terhadap pemerintah, dan khususnya kritik terhadap presiden. Sejak Mei hingga Desember, kelompok hak asasi manusia lokal bernama Asosiasi Kebebasan Berpikir dan Berekspresi telah mengidentifikasi setidaknya 496 situs web yang diblok di Mesir. Situs-situs tersebut termasuk berita dan media massa, serta gerakan-gerakan politik dan HAM.

Menurut Reporters Without Borders dan beberapa laporan media lain, Pemerintah secara ketat mengontrol media negara, dan perusahaan yang punya hubungan langsung maupun tidak langsung dengan badan-badan intelijen telah mengambil alih beberapa stasiun televisi dan surat kabar swasta. Komite Perlindungan Wartawan (CPJ) juga mencatat sebagian besar penangkapan wartawan, setidaknya 20 orang di antara mereka masih berada dalam tahanan. Hal ini melejitkan peringkat Mesir sebagai negara yang paling banyak menahan pekerja media di dunia.

Di bulan Mei, pemerintah Mesir mencanangkan undang-undang baru yang membatasi dengan ketat kebebasan berasosiasi dan kelompok-kelompok nonpemerintah. Pemerintah Mesir juga mengusik aktivis hak asasi dengan mengulur penyelidikan kasus 173 tahun 2011, dengan tuduhan menerima aliran dana asing oleh kelompok nonpemerintah. Aparat keamanan kemudian menyita aset mereka, memasukkan mereka dalam daftar larangan bepergian, dan kerap memanggil mereka demi penyidikan. Gangguan tersebut telah secara efektif membatasi organisasi independen Mesir dan organisasi nonpemerintah internasional untuk mengawasi pemilihan umum.

Pemerintahan al-Sisi juga telah merusak independensi lembaga yudisial dengan memecat beberapa hakim yang berpandangan kritis, sekaligus menyetujui beberapa amendemen yang mengurangi proses hukum.

Lusinan bisnis milik pemerintah dan privat, seperti Perusahaan Kereta Api Mesir serta jaringan televisi Al-Asema juga kelompok seperti Sindikat Jurnalis, merilis pernyataan dukungan terhadap al-Sisi, pernyataan Kementrian Pertahanan terhadap Anan, atau keduanya. Beberapa lembaga pemerintah juga menerbitkan pernyataan terbuka mendukung al-Sisi, termasuk Komite Olimpiade Mesir dan Asosiasi Sepakbola Mesir, yang mengadakan konferensi pada 21 Januari di markas mereka di Kairo untuk mendukung al-Sisi.

Beberapa partai oposisi menggelar konferensi pers dan menyerukan pemboikotan pemilu. Sehari setelahnya, pada 31 Januari, al-Sisi melayangkan pernyataan bahwa ia tidak akan segan-segan menggunakan kekerasan pada mereka yang ingin merusak “keamanan atau stabilitas Mesir.”

“Sekarang saya melihat banyak orang bicara, maafkan saya (tertawa sarkas). Hati-hati!...Sepertinya kalian belum mengenal saya…Saya bukan seorang politisi,” ujar al-Sisi. Setidaknya 13 tokoh politik berpengaruh sudah diinvestigasi oleh jaksa penuntut umum.

Pada 8 Februari, aparat keamanan menggerebek rumah Mohamed al-Qassas (Kepala Deputi Partai Mesir Kuat) yang juga menyerukan aksi boikot. Menurut keterangan sahabat al-Qassas kepada Human Rights Watch, aparat keamanan menghancurkan dan menggeledah kediaman al-Qassas. Sementara menurut Amnesti Internasional, al-Qassas “kemungkinan tengah dihilangkan paksa” oleh aparat keamanan sejak 8 Februari lalu.

Setelah al-Qassas menghilang, para pengacara mendapat informasi bahwa ia dipanggil Jaksa Keamanan Negara. Ia ditahan selama 15 hari untuk menunggu penyelidikan terhadap dugaan “keikutsertaan dalam kelompok terlarang.” Istri Al-Qassas mengaku, saat mencoba untuk mengajukan laporan polisi tentang aparat keamanan yang merusak harta mereka, polisi menolak untuk melakukannya. Al-Qassas dituduh melanggar hak-hak dasar, termasuk kebebasan berserikat. Menurut Human Rights Watch, aparat berwenang seharusnya membebaskan al-Qassas sesegera mungkin.

Kegagalan Pihak Internasional Mengkritik Sikap Keras Mesir Terhadap HAM

Kelompok penyusun pernyataan ini mengatakan bahwa Amerika Serikat, Uni Eropa dan negara-negara Eropa harus menjujung tinggi prinsip mereka. Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah “tidak ada partisipasi efektif sebagai partai politik jika partai tersebut tidak bisa didaftarkan, para pendukungnya tidak bisa menghadiri kampanye dan opini dilarang untuk diterbitkan,” seperti yang disebut dalam Buku Panduan Pengamatan Pemilihan Umum Uni Eropa.

Sekutu internasional Mesir juga masih mendukung pemerintahan saat ini dan jarang melayangkan kritik secara terbuka. Pada kunjungan al-Sisi ke Washington, DC, bulan April, Presiden AS Donald Trump menyatakan bahwa “ia telah bekerja dengan fantastis di tengah situasi yang sulit.” Wakil Presiden Mike Pence dan Menteri Luar Negeri Rex Tillerson tak berpanjang kata soal pemilu Mesir atau lemahnya catatan HAM, saat mereka secara terpisah berkunjung pada bulan Januari dan Februari. Saat menghadapi pertanyaan para awak media di Kairo soal posisi AS soal pelanggaran sebelum pemilu presiden, Tillerson hanya menjawab secara normatif dengan menyatakan bahwa AS mendukung pemilu yang bebas. Namun Tillerson tak menunjukkan kekhawatiran apapun terhadap pemerintah Mesir.

Pada Agustus, AS memotong bantuan untuk Mesir sebesar 100 juta USD dan menahan 195 juta USD lainnya atas dasar pelanggaran hak asasi manusia, khususnya atas undang-undang yang mengatur kelompok nonpemerintah. Memo Departemen Dalam Negeri untuk Kongres AS pada 22 Agustus mewajibkan secara hukum untuk pembebasan keamanan nasional yang memungkinkan aliran bantuan dari AS, dan menyatakan: “Iklim HAM di Mesir secara umum terus memburuk,” seperti dilaporkan Associated Press.

Pada September, AS kembali menjalani latihan militer gabungan Bright Star dan Angkatan Darat Mesir, setelah ditangguhkan selama delapan tahun. Komite Apropriasi di bawah Senat AS telah menyetujui rancangan undang-undang yang menahan bantuan militer untuk tahun fiskal 2018 sebanyak 25% dari 1 miliar USD, hingga Menteri Luar Negeri bisa memastikan Mesir telah mengambil “langkah-langkah efektif untuk memajukan demokrasi dan hak asasi manusia.” Khususnya pembebasan tahanan politik dan pertanggungjawaban aparat keamanan. Walau telah disetujui komite, rancangan ini belum lolos. Rancangan undang-undang tersebut juga menahan bantuan ekonomi sebesar 75 juta USD hingga tuntutan pada staf kelompok non-pemerintah yang terlibat “kasus aliran dana asing” dibatalkan atau dikesampingkan.

Uni Eropa dan Negara-Negara Anggota

Pada bulan Juli, Dewan Asosiasi Uni Eropa-Mesir di Brussels bersidang untuk pertama kalinya dalam tujuh tahun dan mengadopsi Prioritas Kemitraan baru, sebuah dokumen acuan yang membentuk kebijakan di dalam hubungan bilateral Mesir-UE. Dalam dewan tersebut, soal pelanggaran HAM pemerintah Mesir tidak dianggap serius. Laporan UE soal hubungan Mesir-UE hanya menyebutkan sedikit hambatan di bawah judul “peningkatan stabilitas.” Pembahasan isu HAM yang lebih substansial, termasuk pembatasan kelompok hak asasi independen, muncul di dokumen “Posisi UE” milik Negara Anggota.

Pada 8 Februari, Parlemen Eropa mengadopsi sebuah resolusi yang mengkritisi pelanggaran hak asasi di Mesir, termasuk eksekusi, dan tindakan keras terhadap organisasi-organisasi nonpemerintah serta para pembela HAM. “Presiden Sisi dan pemerintahannya harus memenuhi komitmen mereka untuk mencapai reformasi politik sesungguhnya dan penghormatan pada hak asasi manusia.” Dokumen ini juga menyebut perlunya “pemilu yang sungguh-sungguh dan transparan.”

Resolusi menyerukan Uni Eropa dan negara-negara anggotanya untuk mengambil "posisi yang kuat dan bersatu di Mesir pada sesi Dewan Hak Asasi Manusia PBB berikutnya."

Beberapa negara Eropa seperti Italia, Prancis dan Inggris Raya sudah secara publik mendukung usaha-usaha kontraterorisme yang dilakukan pemerintah Mesir beberapa tahun belakangan, walau masih tutup mulut soal krisis HAM di Mesir.

Kanselir Jerman Angela Merkel mengunjungi Kairo pada Maret 2017, dan pada bulan April Parlemen Jerman menyetujui perjanjian keamanan dengan Kementerian Dalam Negeri Mesir yang memiliki ketentuan dan risiko hak asasi manusia yang lemah membuat otoritas Jerman terlibat dalam penyiksaan di Mesir. Pada Oktober, pemerintah Jerman menyatakan sudah membatalkan rencana latihan gabungan bersama kepolisian Mesir untuk membasmi kejahatan siber dengan alasan “keahlian tersebut bisa digunakan untuk memburu kelompok-kelompok lain.” 

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.