Skip to main content

Fantasi “Model Toleransi Beragama” di Indonesia

Wakil Presiden Mengabaikan Peraturan Diskriminatif

Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla menyampaikan pidato pada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di Markas Besar PBB di New York, Amerika Serikat, 21 September 2017. © 2017 Reuters

Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf Kalla, pekan lalu memuji toleransi beragama di Indonesia. Ia menyampaikan toleransi beragama di Indonesia “lebih baik dibandingkan negara-negara lain” dan merupakan sebuah model “bagi negara lain untuk belajar mengenai toleransi beragama.”
 

Seandainya saja.

Komentar Jusuf Kalla mencerminkan bahwa pemerintah secara sengaja mengabaikan pengaruh yang merusak dari sejumlah peraturan diskriminatif yang jelas-jelas mengancam penganut agama minoritas di negeri ini, serta tindakan resmi dari para penegak hukum. Pada September, tepatnya saat digelar Tinjauan Periodik PBB terhadap rekam jejak hak asasi manusia di Indonesia, pemerintah menerangkan bahwa pasal penodaan agama dalam KUHP, yang menyasar penganut agama minoritas, akan dipertahankan. Pemerintah pusat menunjukkannya dengan menolak rekomendasi negara-negara anggota PBB untuk menghapuskan pasal tersebut. Pemerintah pusat juga menolak rekomendasi untuk mengamandemen atau menghapus sejumlah peraturan yang membatasi hak atas kebebasan berpikir, kata hati, dan beragama  di Indonesia.

Penganut agama minoritas di Indonesia punya alasan kuat untuk merasa was-was. Sebab, Pasal Penodaan Agama dan undang-undang lainnya sering digunakan untuk mengadili dan memenjarakan penganut agama minoritas. Korban baru-baru ini termasuk tiga mantan pemimpin komunitas Gafatar, yang diadili atas tuduhan penodaan agama setelah penggusuran paksa terhadap lebih dari 7,000 anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) dari lahan mereka di Kalimantan. Korban lainnya adalah mantan gubernur Jakarta, Basuki “Ahok” Purnama yang diputuskan bersalah dan menjalani hukuman dua tahun penjara pada Mei lalu.

Dan pemerintah Indonesia tampaknya tidak puas dengan sekadar mengabaikan rekomendasi PBB untuk menghapuskan Pasal Penodaan Agama. Kementerian Agama ingin memperkuat dan memperluas cakupan Rancangan Undang-Undang tentang Pelindungan Umat Beragama, yang akan dibahas lebih lanjut akhir tahun ini.

Jusuf Kalla dan pejabat pemerintah senior lainnya mungkin akan berdalih bahwa mereka telah menerima rekomendasi ambigu lain – yang tak lebih dari sekadar lip-service terhadap kebebasan beragama – sebagai bukti komitmen mereka terhadap kebebasan berpikir, kata hati, dan beragama. Namun penganut agama minoritas sadar betul ada jarak antara retorika pemerintah soal kebebasan beragama dengan realita yang keras.

Jusuf Kalla seharusnya mengakui secara terbuka bahwa menjadikan Indonesia “model toleransi beragama” bukan hanya membohongi diri sendiri, namun juga penghinaan bagi penganut agama minoritas yang memiliki risiko tersasar berbagai undang-undang diskriminatif ini.

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country