Skip to main content

Zulfa Nur Rohma, siswa Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 7 Semarang, Jawa Tengah, gagal naik ke kelas XII karena agama yang dianutnya. Pihak sekolah memberitahu Zulfa, penganut kepercayaan tradisional Jawa bernama Hayu Ningrat, bahwa dia tidak bisa naik ke kelas 12 karena menolak ikut serta dalam “pelajaran praktek berupa baca Al-Quran dan salat” dalam pelajaran wajib Agama Islam.

Zulfa adalah korban diskriminasi birokratis rutin dan merugikan terhadap umat beragama minoritas di Indonesia. Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965 (biasa disebut PNPS 1965 tentang Penodaan Agama) hanya mengakui enam agama resmi yang dilindungi di Indonesia: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu. Namun statistik pemerintahan menunjukkan bahwa Indonesia memiliki 245 agama asli dengan lebih dari 400,000 penganut.

© 2015 Reuters

Mereka adalah korban dari sejumlah regulasi yang diskriminatif terhadap umat agama minoritas, mulai dari ketentuan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP), akta kelahiran, surat nikah, pendidikan agama hingga akses layanan pemerintahan lainnya.

Seperti semua orang tua lain di Indonesia, orang tua Zulfa harus mencantumkan agamanya saat mendaftarkannya ke Taman Kanak-Kanak. Karena Hayu Ningrat tidak masuk pilihan agama resmi, orang tua Zulfa memutuskan untuk mendaftarkannya sebagai seorang Muslim. Staf sekolah menganggap, karena Zulfa adalah seorang Muslim menurut formulir pendaftarannya, ia diwajibkan untuk mengikuti mata pelajaran Agama Islam. Karena menolak, Zulfa terpaksa mengulang kelas 11, termasuk mata pelajaran tersebut. Zulfa selalu mengikuti mata pelajaran non-praktik hingga dia duduk di kelas 11 dan diminta salat dan melafalkan syahadat.

Kepala SMKN 7 Semarang Sudarmanto tidak menyesali keputusan pihak sekolah yang mejatuhkan sanksi pada Zulfa karena menolak ikut salat berjamaah.

“Diingatkan, kalau tidak bersedia mengikuti pelajaran praktek agama Islam, anaknya tidak mendapat nilai pelajaran agama Islam. Dampaknya, dia tidak naik kelas,” kata Sudarmanto pada Tempo. Zulfa menolak masuk sekolah selama staf pendidik mengevaluasi permintaan orang tuanya untuk membatalkan keputusan itu.

Sejumlah kebijakan pemerintah Indonesia telah memicu pengajaran agama yang diskriminatif pada sistem sekolah negeri. Presiden saat itu Susilo Bambang Yudhoyono pada 2007 mengajukan Peraturan Pemerintah No.55 yang menempatkan pendidikan agama di bawah ranah Kementerian Agama. Hal tersebut memberikan hak pada Kementerian Agama untuk turut andil merumuskan kebijakan pendidikan formal bersama Kementerian Pendidikan. Yudhoyono juga memperkenalkan sebuah persyaratan bahwa seluruh sekolah, baik negeri maupun swasta, harus menyediakan pendidikan peribadatan dalam enam agama resmi di Indonesia, mulai TK hingga universitas. Perintah itu secara otomatis meminggirkan agama-agama minoritas seperti Hayu Ningrat yang dianut Zulfa.

Pada 2010, Menteri Agama saat itu Suryadharma Ali menerbitkan Peraturan Menteri Agama No.16 Tentang Pengelolaan Pendidikan Agama Pada Sekolah yang mengharuskan sekolah untuk menyediakan seorang guru agama dari salah satu di antara enam agama resmi, yang memiliki sekurangnya 15 siswa penganut salah satu agama itu. Peraturan tersebut menghalangi pelajar penganut agama minoritas untuk mendapatkan pendidikan agama yang mereka yakini.

Hukum Indonesia juga menghalangi umat Islam minoritas—khususnya Syiah dan Ahmadiyah—dari akses terhadap guru-guru pada agama mereka di sekolah negeri. Komunitas-komunitas minoritas ini telah menjadi sasaran intimidasi dan serangan fisik oleh Islamis militan di beberapa provinsi Sunni konservatif seperti Jawa Barat, Aceh, dan Sumatra Barat, yang melibatkan pejabat pemerintah dan aparat keamanan.

Diskriminasi sebagai hukuman yang dijatuhkan oleh pemerintah mungkin akan terus berlangsung lama setelah Zulfa lulus sekolah. Saat menginjak usia 17 tahun nanti, dia akan diperbolehkan untuk mengajukan pembuatan KTP. Meski sejak 2006 hukum Indonesia tidak mewajibkan warganya untuk secara resmi mencantumkan agama mereka, banyak Pegawai Negeri Sipil (PNS) belum mengetahui hal tersebut dan menolak permohonan KTP dari para penganut minoritas agama jika mereka tak mau memilih satu di antara enam agama.

Umat agama minoritas yang memilih mengosongkan kolom agama pada KTP dapat dituduh ateis oleh pejabat pemerintah—yang dapat dihukum berdasarkan Pasal Penodaan Agama. Jika mereka memilih satu dari enam agama yang sekarang ditawarkan, meski berbeda dengan keyakinan mereka sesungguhnya, mereka bisa dituduh memalsukan identitas.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan kabinetnya seharusnya meninjau kembali serta menghapuskan seluruh undang-undang dan peraturan yang diskriminatif terhadap umat beragama minoritas di Indonesia. Hingga nanti Zulfa dan ribuan umat agama minoritas lainnya memiliki hak setara dengan para penganut agama lain yang diakui negara, kebebasan beragama yang dijamin konstitusi Indonesia hanya akan tetap menjadi janji-janji kosong.

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country