Skip to main content

World Report 2013: Indonesia

Events of 2012

Pemilihan gubernur DKI Jakarta dan Kalimantan Barat yang kompetitif, kredibel, dan jujur pada 2012 menegaskan transisi yang sedang berlangsung setelah puluhan tahun pemerintahan otoriter di Indonesia. Kesediaan pemerintah untuk menerima sejumlah rekomendasi dari negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) selama Tinjauan Periodik Universal (UPR) di PBB atas catatan hak asasi manusia Indonesia menjadi pertanda lain yang memberi harapan meningkatnya komitmen untuk menghormati hak asasi manusia.

Namun, Indonesia tetap diselimuti masalah hak asasi manusia serius. Kekerasan dan diskriminasi terhadap minoritas agama, terutama Ahmadiyah, Bahai, Kristen, dan Syiah, menjadi lebih intens. Kurangnya akuntabilitas atas pelanggaran yang terus dilakukan polisi dan militer di provinsi Papua dan Papua Barat berdampak pada kehidupan warga di sana.

Kebebasan Berekspresi

Media di Indonesia begitu bersemangat dan gencar melaporkan isu-isu sosial dan politik penting, termasuk korupsi, perusakan lingkungan, dan kekerasan terhadap minoritas agama. Tapi meningkatnya iklim intoleransi beragama serta landasan hukum nasional dan lokal yang diskriminatif mengingkari kebebasan berekspresi minoritas agama di Indonesia.

Pada Mei, pemerintah Indonesia menolak rekomendasi selama UPR untuk membebaskan lebih dari 100 tahanan politik, mayoritas dari Kepulauan Maluku dan Papua. Para aktivis ini menjalani hukuman hingga 20 tahun penjara karena aksi protes damai, termasuk mementaskan tarian atau mengibarkan bendera yang dinilai separatis. Pada Januari, pemerintah menolak menerima pendapat Kelompok Kerja PBB tentang Penahanan Sewenang-Wenang, dirilis September 2011, yang menyatakan aktivis kemerdekaan Papua Filep Karma adalah tahanan politik. Kelompok Kerja meminta Indonesia membebaskan Karma segera dan tanpa syarat.

Polisi dan pemerintah Indonesia gagal memberikan perlindungan memadai terhadap seniman, penulis, dan perusahaan media yang jadi target ancaman dan protes dari kelompok Islam militan. Pada Mei, polisi maupun pejabat pemerintah tak turun tangan untuk mencegah kelompok-kelompok Islam mengacaukan acara diskusi buku karya penulis Muslim-Kanada Irshad Manji di Jakarta dan Yogyakarta. Pada Juni, Polda Metro Jaya tunduk pada tekanan Front Pembela Islam, organisasi Islam militan, yang memprotes rencana konser bintang pop AS, Lady Gaga, dan mencabut izin promotor konser itu, dengan menganjurkan pembatalan konser.

Reformasi dan Impunitas Militer

Pembiaran pelaku kejahatan dari tanggungjawab hukum, atau impunitas, terhadap aparat keamanan Indonesia tetap menjadi keprihatinan serius, dengan sedikitnya catatan penuntutan yang dilakukan pengadilan militer dan tidak adanya peradilan sipil untuk mengadili tentara yang terlibat pelanggaran HAM serius. Pada 6 Juni, lebih dari 300 tentara dari Batalyon 756 mengamuk di desa Wamena, Papua, sebagai balasan atas sebuah insiden di mana penduduk desa memukul hingga tewas dua tentara yang terlibat dalam kecelakaan lalu-lintas fatal. Tentara menembakkan senjata secara brutal ke arah pusat perbelanjaan, membakar 87 rumah, menikam 13 penduduk, dan membunuh seorang pegawai negeri sipil asli Papua.

Meski para pejabat militer pada 12 Juni meminta maaf atas insiden itu dan menjanjikan ganti-rugi, para korban mengatakan penyelidik militer tak menanyai mereka tentang insiden tersebut. Mereka mengatakan, alih-alih membayar ganti-rugi, militer menanggapi kekerasan itu ala kadarnya dengan mengadakan upacara tradisional “bakar batu” dan menyatakan kasus itu selesai.

Kebebasan Beragama

Pada 2012, peristiwa demi peristiwa kekerasan terhadap minoritas agama terus terjadi dan kadang menimbulkan korban jiwa. Para militan Islam memobilisasi massa untuk menyerang minoritas agama tanpa mendapat hukuman. Hukuman penjara yang ringan terhadap mereka yang dituntut pengadilan memberi pesan adanya toleransi resmi atas kekerasan massa semacam itu. Puluhan peraturan, termasuk peraturan menteri tentang pembangunan rumah ibadah, membiakkan diskriminasi dan intoleransi.

Selama 2012, puluhan jemaah minoritas Kristen, termasuk gereja GKI Yasmin di Bogor dan gereja HKBP Filadelfia di Bekasi, di pinggiran Jakarta, melaporkan bahwa para pejabat pemerintah daerah secara sewenang-wenang menolak untuk mengeluarkan izin yang mereka perlukan sesuai Surat Keputusan Bersama dua menteri tahun 2006 tentang pembangunan rumah ibadah. Kedua gereja itu telah memenangi putusan Mahkamah Agung yang mengizinkan pembangunan gereja. Para pejabat tinggi pemerintah, termasuk Menteri Agama Suryadharma Ali dan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, terus membenarkan pembatasan kebebasan beragama atas nama ketertiban umum. Mereka menawarkan “relokasi” ketimbang memberikan perlindungan hukum atas hak-hak mereka.

Suryadharma Ali sendiri menambah ketegangan dengan membuat pernyataan diskriminatif yang menyebut Ahmadiyah dan Syiah sesat. Pada September 2012, dia menyatakan bahwa “solusi” atas intoleransi beragama terhadap Syiah dan Ahmadiyah adalah dengan “bertobat” dan pindah ke Sunni yang dianut mayoritas Muslim di Indonesia. Pada bulan yang sama, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendorong dan mengusulkan pengembangan instrumen internasional tentang “penodaan agama,” yang bisa digunakan untuk membatasi kebebasan berekspresi dan kebebasan agama minoritas.

Menurut Setara Institute, organisasi yang memantau kebebasan beragama di Indonesia, serangan atas nama agama naik dari 216 pada 2010 menjadi 244 pada 2011. Sembilan bulan pertama tahun 2012, terdapat 214 kasus.

Pada 29 Desember 2011, militan Sunni menyerang sebuah kampung Syiah di kabupaten Sampang, Pulau Madura, membakar rumah-rumah dan madrasah, yang mengakibatkan sekitar 500 pengikut Syiah mengungsi. Polisi menangkap dan mendakwa hanya seorang militan atas serangan pembakaran itu. Pada 26 Agustus, di akhir liburan Idul Fitri, ratusan militan Sunni kembali menyerang kampung Syiah yang sama dan membakar sekitar 50 rumah, menewaskan satu orang Syiah dan melukai beberapa orang lainnya. Beberapa polisi di lokasi kejadian tak turun tangan untuk menghentikan serangan.

Pada Maret, pengadilan di Jawa Tengah memvonis empat tahun penjara terhadap Andreas Guntur, pemimpin kelompok Amanat Keagungan Ilahi, dengan dakwaan penodaan agama karena menyalahgunakan ajaran dari ayat-ayat Alquran.

Pada Juni, pengadilan Sumatra Barat memvonis Alexander An, pengelola grup “Atheis Minang” di Facebook, dengan hukuman 30 bulan penjara dan denda Rp 100 juta karena “menghasut keresahan masyarakat” via posting Facebook yang mendukung ateisme.

Pada Juli, pengadilan negeri Jawa Timur menghukum ulama Syiah, Tajul Muluk, dua tahun penjara karena menodai agama Islam. Pengadilan tinggi Jawa Timur kemudian memperberat hukumannya menjadi empat tahun dua bulan karena menyebabkan “kerusuhan” pada peristiwa di bulan Agustus.

Pada November, warga Aceh menyerang kelompok aliran kepercayaan Muslim di Bireuen, Aceh, dengan menyasar rumah pemukanya, Tengku Aiyub Syakuban. Ulama-ulama arus-utama menuduh Syakuban menyebarkan “ajaran sesat.” Ratusan warga kampung membakar serta membunuh Syakuban dan muridnya, Muntasir. Seorang penyerang, Mansyur, juga tewas dalam serangan itu.

Papua/Papua Barat

Pada Maret, pengadilan Jayapura menyatakan bersalah lima orang Papua –Selpius Bobii, aktivis media sosial; August Sananay Kraar, seorang pegawai negeri sipil; Dominikus Sorabut; seorang pembuat film; Edison Waromi, mantan tahanan politik; dan Forkorus Yaboisembut; pemimpin adat Papua– dan menghukum tiga tahun penjara karena pernyataan yang dibuat dalam Kongres Rakyat Papua pada Oktober 2011. Aparat keamanan bertindak brutal atas kongres tersebut, menewaskan sedikitnya tiga orang Papua.

Pada Mei, lebih dari selusin negara anggota PBB mengajukan pertanyaan dan membuat rekomendasi selama UPR mengenai Indonesia di Jenewa tentang masalah hak asasi manusia di Papua, termasuk impunitas atas pelanggaran yang dilakukan aparat keamanan, pembatasan hak kebebasan berekspresi, serta pembatasan dan pengawasan berlebihan atas peneliti HAM dan wartawan asing di sana. Pada September, Indonesia menolak semua rekomendasi UPR terkait Papua. Pemerintah Indonesia membantah memiliki tahanan-tahanan politik serta menegaskan tak ada impunitas di Papua dan “wartawan dalam negeri” bisa bepergian dengan bebas di sana.

Dari Mei hingga Agustus terjadi kenaikan kekerasan yang kentara ketika aparat keamanan Indonesia berusaha melakukan tindakan keras terhadap aktivis-aktivis Papua. Empatpuluh tujuh insiden kekerasan yang dilaporkan dalam periode ini menewaskan 18 orang, termasuk seorang personel TNI, dan puluhan lainnya luka-luka, termasuk seorang turis Jerman.

Pada 14 Juni, polisi menembak dan membunuh Wakil Ketua Komite Nasional Papua Barat Mako Tabuni, yang memicu kerusuhan di Wamena, tetangga Jayapura, yang meyakini Tabuni adalah korban pembunuhan di luar hukum. Polisi Papua menuduh Tabuni terlibat sejumlah penembakan.

Aceh

Pada Juni, mantan pemimpin gerilyawan Aceh, Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf, menjabat gubernur dan wakil gubernur setelah memenangi pemilihan kepala daerah pada 9 April.

Pada Mei, kabupaten Singkil menutup 19 gereja dan sebuah rumah ibadah milik pengikut Pambi, aliran kepercayaan lokal di antara kelompok etnis Pakpak Dairi, setelah adanya protes dari Front Pembela Islam yang menyatakan bangunan-bangunan itu “ilegal.” Gubernur Zaini menolak campur tangan dalam sengketa itu, menyalahkan “orang luar” tak dikenal atas terjadinya ketegangan agama itu.

Pemerintah provinsi Aceh terus menerapkan aturan berpakaian “sesuai” syariat yang represif dan hukum tentang “khalwat,” yang melarang pasangan belum menikah melakukan “perbuatan bersunyi-sunyi.” Ketentuan-ketentuan ini dijalankan terutama oleh polisi syariat yang melakukan pelecehan, intimidasi, serta penangkapan dan penahanan sewenang-wenang terhadap laki-laki dan perempuan.

Pada September, seorang gadis 16 tahun, yang ditangkap polisi syariat di kabupaten Langsa, gantung diri setelah dua suratkabar memberitakan bahwa dia seorang “pelacur.” Dalam surat yang ditulis sebelum bunuh diri, dia membantah tuduhan itu dan menyatakan dia tak kuat lagi menanggung malu.

Buruh Migran

Lebih dari empat juta perempuan Indonesia bekerja di Malaysia, Singapura, dan negara-negara Timur Tengah sebagai pekerja domestik. Mereka kerap menghadapi segudang perlakuan kejam, termasuk eksploitasi tenaga kerja, pelecehan psikologis, fisik, dan seksual, serta situasi kerja paksa bagai budak. Pemerintah Indonesia terus meningkatkan advokasi untuk buruh migrannya, dan berhasil menegosiasikan pengampunan terhadap 22 perempuan Indonesia yang hendak dihukum pancung di Arab Saudi, mendesak perlindungan buruh yang lebih baik, dan meratifikasi Konvensi Buruh Migran.

Namun, Indonesia juga tetap gagal mengekang agen-agen nakal yang menyalurkan tenaga kerja ke luar negeri. Banyak agen membebankan biaya tinggi sehingga para buruh migran terlilit utang dan memberi mereka informasi palsu atau tak lengkap tentang kondisi kerja mereka. Revisi undang-undang buruh migran masih tertunda.

Di Indonesia, sebuah rancangan undang-undang penting yang memperluas perlindungan pekerja domestik masih mendekam di parlemen. Undang-undang ketenagakerjaan mengecualikan pekerja domestik dari hak-hak dasar buruh yang diberikan kepada pekerja formal, seperti upah minimum, upah lembur, batas jam kerja, hari istirahat mingguan, dan hari libur. Ratusan ribu gadis, sebagian besar berusia 11 tahun, bekerja sebagai pekerja domestik. Kebanyakan bekerja 14-18 jam sehari, tujuh hari seminggu, tanpa hari libur. Banyak majikan melarang pekerja domestik yang masih anak-anak meninggalkan rumah tempat mereka bekerja dan menerima sedikit upah atau tak digaji sama sekali. Dalam kasus-kasus terburuk, para gadis ini mengalami serangan fisik, psikologis, dan seksual dari majikan atau anggota keluarga majikan mereka.

Pengungsi dan Pencari Suaka

Indonesia menahan dan menganiaya ribuan pencari suaka, termasuk anak-anak, dari Sri Lanka, Afghanistan, Burma, dan negara-negara lain. Para pencari suaka menghadapi penahanan, perlakuan kejam di dalam tahanan, terbatasnya akses pendidikan, dan menerima sedikit atau tak ada bantuan dasar. Pada Februari 2012, seorang pencari suaka Afghanistan tewas akibat luka-luka yang diduga dilakukan oleh sipir di Pusat Tahanan Imigrasi Pontianak. Terdapat sedikitnya 1.000 anak-anak imigran, yang tanpa saudara atau orangtua, di Indonesia –sekitar 200 di antaranya ditempatkan di tahanan orang dewasa. Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, dan tak membuka ruang bagi para imigran untuk memperoleh status hukum, seperti meminta suaka. Kebanyakan imigran mempertimbangkan pergi ke Australia dengan perahu, yang diatur para penyelundup sebagai pilihan paling logis, meski menghadapi risiko tenggelam di tengah laut yang berbahaya.

Aktor Kunci Internasional

Pada April 2012, Perdana Menteri Inggris David Cameron datang ke Jakarta. Cameron memuji kemajuan politik Indonesia, tapi menantang pemerintah untuk berdiri melawan “kekerasan dan penganiayaan keji” terhadap minoritas agama.

Banyak kebijakan AS terhadap Indonesia difokuskan pada memperkokoh hubungan militer, termasuk dengan Komando Pasukan Khusus atau Kopassus –elit tempur Tentara Nasional Indonesia– yang sekian lama terlibat pelanggaran hak asasi manusia serius. Pada September, AS mengumumkan penjualan delapan helikopter tempur Apache ke Indonesia.

Pada November, Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Navi Pillay datang ke Jakarta dan mendesak pemerintah Indonesia mengatasi “meningkatnya angka kekerasan dan kebencian terhadap minoritas agama serta pandangan Islam yang sempit dan keras.”