“Dana Liar”

Konsekuensi Pembalakan Liar dan Korupsi di Sektor Kehutanan Indonesia pada Hak Asasi Manusia

“Dana Liar”

Konsekuensi Pembalakan Liar dan Korupsi di Sektor Kehutanan Indonesia pada Hak Asasi Manusia

ingkasan
Metodologi
Rekomendasi
Untuk pemerintah Indonesia
Untuk Mitra Dagang Utama Indonesia, termasuk China, Jepang, Malaysia, Korea Selatan, Amerika Serikat dan Uni Eropa
Untuk Donor Internasional termasuk Bank Dunia, Australia, Uni Eropa dan Amerika Serikat
I. Latar Belakang: Tinjauan Singkat Sektor Kehutanan Indonesia
Desentralisasi Pengawasan Hutan
II. Hilangnya Kayu Indonesia
Analis Selisih Kayu
III. Menguapnya Pendapatan Indonesia Atas Kayu
Kalimantan Barat: Provinsi Kaya Hutan, Miskin Pendapatan
IV. Anatomi Korupsi pada Sektor Kehutanan
Korupsi di Instansi Kehutan
Korupsi dalam Penegakan Hukum..
Korupsi di Peradilan
Sebuah Operasi Penertiban Pembalakan Liar di Kalimantan Barat
V. Upaya Reformasi Kehutanan dan Pemberantasan Korupsi Saat Ini
Komisi Pemberantasan Korupsi: Kemajuan dan Ancaman
VI. Dampak Pada Hak Asasi Manusia
Kegagalan Peradilan
Kesalahan Menteri Dalam Melakukan Interpretasi Atas Undang-Undang Kehutanan Berakibat Lolosnya Pembalak Liar Dari Cengkeraman Hukum..
Kegagalan Transparansi
Dana untuk Layanan Kesehatan Dasar Mengalir ke Kantong Pembalak Liar dan Pejabat Korup
Kalimantan Barat: Industri Kehutanan Melimpah Tapi Kekurangan Dana Kesehatan
Hak atas Kesehatan Menurut Hukum Internasional
Kesetaraan Akses
Hak Perempuan atas Kesehatan
VII. Konsekuensi Internasional
Penegakan Peraturan Perbankan dan Mendapatkan Kembali Hasil Korupsi
Undang-Undang Lacey di Amerika Serikat
Kesepakatan Kemitraan Sukarela dengan Uni Eropa
Pasar Penyeimbang Karbon
VIII. Lampiran: Metodologi Penghitungan Kerugian Pendapatan Kayu
Royalti dan Dana Reboisasi
Harga Transfer
IX. Ucapan Terima Kasih

Ringkasan

Sebagai negara yang memiliki salah satu sisa wilayah hutan terbesar didunia, Indonesia juga merupakan salah satu negara yang mengalami lajupenggundulan hutan tercepat dari semua negara yang mempunyai hutan. Dalam tahun 2007, nilai ekspor sektor perkayuan Indonesia tercatat sebesar 6,6 milyar dolar Amerika yang menempatkan posisi Indonesia nomor dua setelah Brazil serta 2 milyar dolar lebih besar dibandingkan nilai ekspor gabungan dari negara-negara Afrika dan Amerika Tengah. Namun dalam beberapa tahun terakhir, hampir setengah dari seluruh kayu bulat di Indonesia ditebang secara liar. Pada akhirnya hal ini menimbulkan dampak kerugian secara luas terhadap kesejahteraan masyarakat serta perekonomian negara.

Dalam laporan ini Human Rights Watch akan memaparkan kerugian-kerugian tersebut serta dampak yang ditimbulkan terhadap hak asasi manusia (HAM). Dengan menggunakan metodologi industri yang telah dibakukan, kami memperkirakan bahwa pada tahun 2005. pemerintah Indonesia telah kehilangan 2 milyar dolar Amerika pertahun akibat pembalakan liar, korupsi dan salahkelola. Jumlah tersebut berasal dari pajak dan royalty yang tidak dapat dipungut terhadap kayu ilegal, defisit akibat subsidi siluman yang diberikan secara besar-besaran kepada industri kehutanan (termasuk penerapan pajak yang didasari oleh manipulasi harga pasar dan nilai tukar mata uang sehingga lebih rendah dari harga riil) dan kerugian akibat penghindaran pajak oleh para eksportir yang melakukan rekayasa “harga transfer.” Ringkasan dari temuan kami tergambar pada gambar berikut:

Gambar ringkasan (a):

Walaupun jumlah kehilangan diatas terlihat sangat besar, perhitungan kami masih belum mencakup kehilangan akibat penyelundupan, perilaku penghindaran pajak lainnya seperti pajak pendapatan serta pungutan yang tidak dilakukan atas kayu legal yang telah diperhitungkan pajaknya. Lebih dari itu, perhitungan kehilangan dari kegiatan pembalakan liar juga belum mencakup sejumlah besar industri penggergajian kayu, dimana penggergajian yang memiliki kapasitas produksi kurang dari 6.000 meter kubik pertahun tidak diwajibkan melapor konsumsi kayu mereka ke Departemen Kehutanan (Dephut).

Kehilangan pendapatan pemerintah dan salahkelola sektor kehutanan memiliki konsekuensi domestik yang sangat luas. Hal ini telah terdokumentasi dengan baik dimana perilaku korupsi dan salahkelola telah memberikan dampak yang sangat merusak terhadap hutan alamiah yang sudah sangat terbatas serta mata pencarian penduduk miskin pedesaan yang menggantungkan kehidupannya terhadap hutan-hutan tersebut.

Dalam laporan ini, kami mendokumentasikan akibat kerusakan yang sering terabaikan yaitu efek limpahan korupsi yang sangat buruk pada tata kelola dan HAM. Para oknum penyebab kerugian tersebut jarang dituntut pertanggungjawabannya karena sebagian dari aparat penegak hukum dan pejabat pengadilan juga terbebat dalam kepentingan pembalak liar. Pembiaran ini jelas mencederai rasa hormat terhadap HAM. Hal tersebut ditambah oleh ketidakmampuan warga negara untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah karena kurangnya akses terhadap informasi publik.

Lebih dari itu, hilangnya kesempatan disebabkan pendapatan yang menguap sungguh sangat besar: kucuran dana yang sangat diperlukan untuk menyediakan layanan mendasar, yang dapat membantu negara dalam upaya memenuhi kewajibannya atas HAM, seperti layanan kesehatan, justru mengalir ke kantong para pengusaha kayu dan pejabat korup. Korupsi, ketidakjelasan dan juntaian aliran dana yang tidak dapat dipertanggungjawabkan begitu merajalela di Indonesia sehingga memicu kemunculan istilah yang kini sering terdengar atas keberadaan uang yang tak terkontrol tersebut yaitu “dana liar.”

Berikut merupakan contoh untuk memperjelas gambaran keadaan tersebut: antara tahun 2003 hingga 2006, pendapatan yang hilang pertahunnya yang disebabkan oleh korupsi dan salahkelola dalam sektor perkayuan sama dengan gabungan anggaran layanan kesehatan yang dikeluarkan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten. Berdasarkan perkiraan Bank Dunia, jumlah kehilangan senilai 2 milyar dolar Amerika tersebut cukup untuk penyediaan layanan kesehatan mendasar bagi 100 juta penduduk termiskin selama dua tahun.

Masyarakat yang tinggal paling dekat dengan hutanlah yang harus menanggung beban dari pengrusakan hutan yang terus berlangsung, sementara mereka tetap terkungkung dalam kemiskinan dan ketiadaan layanan dasar. Diagram gambar dan kalimat yang ada dalam laporan ini akan memberi gambaran dan paparan rinci terhadap konsekuensi-konsekuensi yang terjadi di Kalimantan Barat yang dulunya memiliki wilayah hutan sangat lebat. Pada tahun 2006 jumlah pendapatan yang hilang akibat pembalakan liar melebihi seluruh anggaran provinsi. Sehingga, sekalipun pemerintah propinsi menggabungkan anggaran kesehatan dan pendidikannya, hal itu tetap tidak berarti jika dibandingkan dengan jumlah kehilangan yang terjadi.

Gambar ringkasan (b): tingkat kehilangan di Kalimantan Barat akibat pembalakan liar pada tahun 2006 dan subsidi tidak resmi untuk industri kayu, dibandingkan total anggaran belanja pemerintah provinsi

Kegagalan dalam sektor perkayuan juga menimbulkan implikasi penting pada dunia internasional. Tekanan untuk mengatasi masalah perubahan iklim mencetuskan minat institusi keuangan internasional, negara donor dan para pelaku pasar sektor swasta untuk menyeimbangkan emisi karbon dengan memberikan kompensasi pendanaan langsung ke negara-negara seperti Indonesia yang memiliki wilayah hutan sangat luas dan berfungsi sebagai penyerap karbon global tetapi terancam kelestariannya. Tanpa adanya perbaikan yang berarti terhadap sektor perkayuan di Indonesia, seperti peningkatan transparansi dan penerapan peraturan kehutanan serta undang-undang anti korupsi, para investor tidak yakin bahwa pembayaran yang sebenarnya berfungsi sebagai upaya kompensasi itu (offset) memang benar-benar digunakan untuk melestarikan hutan guna mengurangi emisi karbon dan bukan menyuapkan dana kepada sistem yang sudah terlanjur salah kelola dan korup.

Pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono nampaknya mampu melakukan beberapa perubahan dalam perhutanan. Berdasarkan perhitungan Bank Dunia yang mengukur pengendalian korupsi, antara tahun 2003 hingga 2007 skor Indonesia meningkat hampir dua kali lipat berkat berbagai keberhasilan dalam usaha-usaha pemberantasan korupsi. Pengesahan undang-undang menyangkut kebebasan memperoleh informasi publik dan pembentukan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPTAK) juga pengesahan undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang, serta peraturan perbankan guna mengidentifikasi nasabah beresiko tinggi serta pelaporan terhadap transaksi yang mencurigakan, semuanya merupakan perkembangan yang positif. Sayangnya, perangkat-perangkat hukum tersebut masih kurang diberdayakan untuk menganggulangi pencurian dan korupsi yang mencengkeram sektor kehutanan. Baru-baru ini, Departemen Kehutanan justru membekukan proyek pengumpulan data yang sudah berlangsung selama tiga tahun dibawah payung Sistem Pemantauan dan Penilaian Hutan (FOMAS) milik Dephut sendiri yang seyogyanya digunakan sebagai pilar utama bagi komiten Departemen terhadap transparansi. Hal lain yang lebih sistematis lagi adalah berbagai kemajuan yang diperoleh dengan susah payah untuk memerangi kleptokrasi justru mendapat ancaman nyata dari oknum pejabat yang tengah diselidiki. Ini menunjukkan bahwa reformasi lebih lanjut benar-benar sangat diperlukan.

Upaya-upaya pemberantasan korupsi sangat rentan terhadap ancaman atas kemandirian dan wewenang Komisi Pemberantasan Komisi (KPK) dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) serta pengawasan publik. Sebagai contoh, dua pimpinan KPK dicopot dari jabatannya setelah dituduh menyalahgunakan wewenang karena melanggar prosedur internal dalam mengeluarkan perintah pencekalan terhadap dua tersangka pelaku korupsi kelas kakap yang belakangan memang melarikan diri keluar negeri. Contoh lain adalah ketika Kejaksaan Agung (Kejagung) menuntut para aktivis telah melakukan pencemaran nama baik karena memantau dan mengkritik pernyataan Kejagung seputar jumlah aset yang disita dari kasus-kasus korupsi.

Laporan ini akan memberi rekomendasi langkah yang harus diambil oleh pemerintah dan para donor untuk memperbaiki tatakelola dan mencegah korupsi pada sektor yang penting dan vital ini.

*              *              *

Tambahan: Ketika laporan ini sedang memasuki tahap akhir penyusunan, kami melihat data baru dari situs internet Dephut yang menyebutkan kenaikan tajam jumlah produksi kayu legal dan menukiknya konsumsi kayu selama tahun 2007. Jika data baru tersebut benar adanya, hal ini menunjukkan kemajuan melawan pembalakan liar yang luar biasa dan layak mendapat pujian, serta merupakan langkah menuju pengelolaan hutan yang berkesinambungan. Akan tetapi, banyak pertanyaan yang belum terjawab serta masih banyak pula alasan untuk mempertanyakan kebenaran data tersebut.

Data tersebut menunjukkan bahwa produksi kayu dari perkebunan swasta meningkat dua kali lipat antara tahun 2006 dan 2007. Banyak alasan mengapa hal ini kurang memungkinkan, diantaranya tidak ada peningkatan penanaman yang berarti pada tahun-tahun sebelumnya. Walaupun begitu, jumlah volume penebangan yang dilaporkan pada tahu 2007 meningkat sebanyak seratus persen, atau 10 juta meter kubik, yang merupakan target paling optimis dari penelitian bersama antara Dephut dan donor internasional.

Kami bukan satu-satunya yang tidak memiliki keyakinan atas data yang dikeluarkan oleh Dephut tersebut. Laporan resmi yang disusun atas permintaan Dephut yang diterbitkan pada tahun 2005 menyatakan, “secara umum menerima temuan-temuan penting...data yang dimiliki oleh departemen sangat kurang sehingga mempersulit upaya penyusunan peraturan tentang pengelolaan hutan yang baik.”[1] Bank Dunia juga menyatakan bahwa kurangnya keakuratan data merupakan tembok penghalang bagi mengelolaan hutan dan penegakan hukum.[2]Selain itu Organisasi Kayu Tropis Internasional (ITTO) dalam laporannya untuk tahun 2006 dan 2007 menyatakan bahwa “Indonesia...belum pernah memberikan data produksi resmi yang akurat”[3]dan pada 2008 melaporkan bahwa sejak tahun 2006, Indonesia belum memberikan data mengenai kayu lapis yang merupakan sektor industri kehutanan terbesar setelah kertas dan bubur kertas.[4]Lebih lanjut ITTO dalam laporannya tahun 2008 mencatat bahwa “angka-angka perdagangan masih tidak konsisten”[5] dan “pada tahun 2007, ketidakcocokan data yang cukup besar masih terdapat dalam laporan resmi ekspor Indonesia ke Malaysia dan China.”[6]

Terlepas apakah data baru tersebut benar atau tidak, yang jelas Indonesia terus mengalami kerugian besar akibat pembalakan liar dan tidak mampu melacak secara efektif apa yang terjadi dengan sisa hutan yang ada serta tidak tahu kemana semua uang itu mengalir. Kesimpulannya, tidak ada satu pun, baik ITTO, Dephut atau publik, yang mengetahui dengan pasti apa yang terjadi atas hutan Indonesia dan kemana uang yang dihasilkan dari sana. Hal itulah yang menjadi temuan penting dalam laporan ini. Kami, dengan sepenuh hati, berkeyakinan bahwa badan-badan pemerintah serta para pakar bidang kehutanan harus mengatasi masalah ini sesegera mungkin karena dampaknya terhadap tata kelola dan penyediaan anggaran publik sangat besar.

Metodologi

Selama delapan minggu dalam bulan Mei sampai Oktober 2008, Human Rights Watch melakukan perjalanan ke Jakarta dan Kalimantan Barat, pada bulan Mei 2008 ke London serta Washington D.C. pada bulan November 2008 untuk mengumpulkan informasi guna menyusun laporan ini. Selama masa itu, kami melakukan wawancara kepada pejabat pemerintah, pengamat, aktivis, wartawan, dan donor di bidang kehutanan, tata kelola, dan kesehatan. Laporan ini dilengkapi dengan wawancara melalui telepon dan penelitian tambahan sepanjang antara bulan Agustus dan Oktober 2009. Kami mengumpulkan data pemerintah tentang produksi dan konsumsi kayu, impor dan ekspor kayu, pendapatan hasil hutan, statistik kesehatan, anggaran, sekaligus juga berbagai analisis independen dari para pakar terkait data tersebut. Kami juga mengumpulkan data perdagangan dan produksi hutan dari badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang menangani bidang pangan dan pertanian (FAO) dan ITTO.

Laporan ini juga memperlihatkan betapa sulitnya mengumpulkan informasi seputar upaya penegakan hukum dan peradilan. Oleh karena itu, kami melengkapi penelitian ini dengan data seputar kedua institusi tersebut yang dikumpulkan oleh para pengamat dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang secara khusus mencermati proses hukum, kehutanan dan korupsi. Kami juga mengumpulkan informasi dari para ahli bidang kesehatan masyarakat dan aktivis di daerah terkait berbagai hambatan dalam pemberian layanan dasar kepada masyarakat.

Penjelasan rinci tentang metode yang kami gunakan untuk menghitung jumlah pembalakan liar dan kerugian yang ditimbulkan dapat dilihat pada bagian lampiran.

Kami sadar bahwa setiap penelitian seputar masalah-masalah korupsi dan dampaknya pada kegagalan tata kelola akan bersinggungan dengan hal-hal yang peka, oleh karena itu kami memutuskan untuk tidak mengungkap identitas narasumber yang telah berbicara dengan kami untuk menghindari kemungkinan aksi balas dendam.

Rekomendasi

Untuk pemerintah Indonesia

Berantas pembalakan liar dengan menegakan undang-undang kehutanan, tindak pidana pencucian uang serta anti korupsi yang sudah ada sekarang

  • Pemerintah harus menuntut bank untuk mematuhi persyaratan-persyaratan yang berlaku, yaitu mengidentifikasi nasabah, serta memantau dan melaporkan tansaksi yang mencurigakan, khususnya yang melibatkan pejabat tinggi di bidang kehutanan dan pemerintahan. Aparat penegak hukum harus menempuh jalur-jalur hukum untuk melakukan pengembalian aset baik di dalam maupun luar negeri, guna mengganti kehilangan akibat pembalakan liar dan korupsi.
  • Aparat pengadilan, termasuk KPK, harus menggunakan undang-undang tindak pidana pencucian uang dan Tipikor untuk menahan mereka yang bertanggung jawab atas aliran dana hasil kegiatan pembalakan liar atau yang terlibat dalam perilaku penyuapan untuk melanggengkan kegiatan tersebut. Petugas penegak hukum harus aktif berkoordinasi dengan negara lain untuk meminta bantuan dari penegak hukum dan lembaga keuangan yang berwenang di negara tempat buronan berada atau tempat pengendapan dana hasil kejahatan tersebut.
  • Menteri Kehutanan harus menghentikan berbagai interpretasi yang salah atas peraturan kehutanan yang melindungi pemegang ijin pemanfaatan hutan dari jangkauan hukum.

Terapkan mekanisme pelacakan kayu dan aliran dana

  • Menteri Kehutanan harus memperbarui komitmen pemerintah dengan segera membentuk mekanisme pelacakan kayu dan aliran dana melalui Penegakan Hukum Kehutanan, Tata kelola dan Perdagangan (FLEGT) yang dicetuskan Uni Eropa. Selain itu, menyelesaikan negosiasi Kesepakatan Kemitraan Sukarela (VPA) yang akan melarang impor kayu hasil pembalakan liar ke Uni Eropa.
  • Dephut harus mewajibkan penerapan sistem pelacakan kayu dan pendapatan yang melingkupi hasil penebangan kayu dari pembukaan lahan dan perkebunan. Lingkup sistem pelacakan ini seharusnya tidak hanya sampai kilang penggergajian saja tetapi juga mencakup gerbang ekspor. Keberadaan sistem pemantauan yang independen untuk menjamin mekanisme pelacakan berjalan dengan baik merupakan hal yang sangat penting. Pemantauan juga seharusnya mencakup semua elemen komoditas dan rantai pendapatan, namun upaya ini harus diterapkan secara proporsional mengingat adanya resiko ketidakpatuhan. Pemantauan ini dilakukan secara terjadwal namun tetap memberi ruang bagi pemeriksaan mendadak sekaligus mencakup penilaian terhadap keefektifan upaya penindakan terhadap ketidakpatuhan. Disamping itu, risalah temuan pemantauan sebaiknya terbuka bagi public.
  • Semua departemen terkait harus menunda proyek pendanaan karbon baru sampai ada sistem pelacakan yang memadai. Departemen tersebut harus mewajibkan semua proyek baru diberikan melalui tender terbuka dan melalui proses sertifikasi berstandar internasional yang ketat.

Implementasikan kebijakan transparansi

  • Departemen Kehutanan harus menerapkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik dan memenuhi komitmennya untuk menerapkan keterbukaan. Pejabat departemen harus mengembangkan dan menerapkan sistem yang menjamin ketepatan waktu bagi akses publik terhadap data kayu dan pendapatannya dan menjatuhkan sanksi pada instansi yang tidak mematuhi peraturan transparansi. Disamping itu data yang dihasilkan oleh FOMAS harus terbuka bagi publik.

Perkuat usaha pemberantasan korupsi

  • Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terpilih harus melakukan amandemen undang-undang pengadilan Tipikor yang baru disahkan untuk membatalkan jangkauan wewenang pengadilan hingga wilayah kabupaten dan provinsi sampai kemampuan dan sumberdaya benar-benar telah tersedia serta penerapan pengawasan yang melekat untuk memastikan kemandirian pengadilan. Amandemen juga harus dilakukan untuk mengembalikan peran hakim ad-hoc. Proses pemilihan hakim-hakim tersebut harus disebutkan dengan jelas dalam undang-undang dan dilakukan secara terbuka untuk menjamin kemandirian hukum dalam pengadilan tersebut.
  • Lembaga perwakilan pusat dan daerah seyogyanya mengeluarkan peraturan untuk menghilangkan pertentangan kepentingan dengan membatasi usaha sektor kehutanan dari pejabat pemerintah termasuk mereka yang berhubungan dengan instansi kehutanan, pegawai sipil instansi lain, dewan perwakilan, polisi dan militer.

Meningkatkan anggaran layanan kesehatan dan memperbaiki akses terhadap perawatan

  • Menteri Kesehatan harus meningkatkan keterbukaan anggaran kesehatan dan kumpulan data hasil perkembangan kesehatan yang diperoleh di tingkat kabupaten sehingga masyarakat dapat meminta pertanggungjawaban dana yang telah dikeluarkan pemerintah dalam memberikan layanan publik.

Untuk Mitra Dagang Utama Indonesia, termasuk China, Jepang, Malaysia, Korea Selatan, Amerika Serikat dan Uni Eropa

Hindari keterlibatan dengan kegiatan pembalakan liar

  • Guna menghindari keterlibatan dari kegiatan pembalakan liar, negara-negara pembeli produk kayu Indonesia dalam jumlah besar harus mengeluarkan peraturan yang melarang perdagangan kayu ilegal. Uni Eropa harus segera mengeluarkan peraturan yang saat ini masih dalam pembahasan yang mensyaratkan dokumen keabsahan agar kayu ilegal tidak memasuki pasarEropa.

Hindari peredaran dana liar

  • Pemerintah masing-masing negara harus memastikan bahwa lembaga keuangan swasta tidak menerima dana yang berasal dari pembalakan liar serta korupsi dan melakukan penindakan jika terjadi ketidakpatuhan. Langkah yang terpenting adalah menjalankan aturan perbankan yang sudah ada dan mewajibkan pemeriksaan serta pemantauan atas transaksi yang mencurigakan pada rekening milik pejabat senior atau anggota keluarga dekat dan rekan bisnis mereka. Perhatian khusus harus diberikan pada mereka yang memiliki jabatan beresiko tinggi, seperti pejabat-pejabat penting dalam departemen dan dinas pertambangan dan mineral, dewan perwakilan, gubernur dan bupati, aparat militer dan polisi, serta hakim dan jaksa.
  • Pemerintah harus mengunakan undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tipikor untuk membantu upaya pengembalian aset hasil kejahatan di luar negeri.

Untuk Donor Internasional termasuk Bank Dunia, Australia, Uni Eropa dan Amerika Serikat

Hindari penggunaan inisiatif perubahan iklim yang mendorong berkembangnya korupsi

  • Para donor harus menghindari penggunaan jalan pintas dari apa yang telah tercantum dalam kriteria ”kesiapan” bagi pendanaan karbon, dan sebaliknya, justru harus memastikan pelaksanaan prosedur yang ketat dan transparan dalam melacak kayu dan pendapatannya sejak sebelum penebangan hingga gerbang ekspor bagi semua jenis kayu. Selain itu, jaminan atas sistem pembayaran berdasarkan kinerja harus sudah tersedia sebelum melakukan pendanaan terhadap proyek karbon.
  • Negara-negara konsumen harus membantu pembentukan badan sertifikasi yang diakui secara internasional untuk proyek-proyek tersebut, dan meminta adanya pengesahan dari pihak ketiga atas kinerja badan tersebut.

 

I. Latar Belakang: Tinjauan Singkat Sektor Kehutanan Indonesia

Indonesia adalah negara yang miliki wilayah hutan ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Republik Demokratik Kongo dan provinsi-provinsi di luar Pulau Jawa yang memiliki daerah hutan merupakan pemberikan sumbangan terbesar bagi pendapatan kayu. Pada tahun 2004, para ahli memperkirakan bahwa dalam dua dekade sebelumnya,keempat provinsi di Kalimantan telah menghasilkan kayu melebihi total jumlah produksi Amerika Latin dan Afrika.[7]

Hutan Indonesia memiliki nilai tinggi karena keanekaragamannya,[8]potensinya untuk menghasilkan devisa dari perdagangan produk hutan, serta perananya dalam budaya dan kelangsungan hidup masyarakat setempat. Hutan Indonesia memiliki nilai komersil tinggi karena ditumbuhi oleh pohon berkayu keras (seperti meranti, ramin, merbau), yang menjadikannya lebih berharga jika ditebang dibandingkan dengan hutan tropis lainnya yang jarang memiliki pohon-pohon yang dapat diperjualbelikan dan biasanya juga bernilai sangat murah.

Berbagai masalah perhutanan berakar pada kebijakan di masa mantan Presiden Soeharto yang memanfaatkan sumber daya alam Indonesia untuk memperoleh dukungan politik. Jendral Soeharto mengambil alih kekuasaan melalui kudeta pada tahun 1967 dimana keadaan ekonomi negara saat itu tengah karut-marut. Selama 32 tahun masa pemerintahannya yang otokratis, pengawasan hutan memiliki dua fungsi utama yaitu sebagai imbalan dan modal kekuasaan negara. Industri kayu mulai merebak kemudian Soeharto dengan bebas (tanpa prosedur pelelangan)membagi-bagikan, ijin penebangan dan perkebunan kepada keluarga dan rekan bisnisnya serta pejabat penting militer dan elit politik lainnya, guna membeli kesetiaan mereka.

Menjelang akhir 1970-an, Indonesia menjadi negara pengekspor kayu tropis terbesar di dunia. Mereka yang memiliki kendali terhadap hutan menjadi sangat kaya dan berpengaruh. Sejalan dengan pertumbuhan sektor kayu di Indonesia, ekspor kayu lapis dan kertas menjadi salah satu sumber pendapatan ekspor terbesar di tahun 1990-andan tentu saja sektor ini dikuasai oleh segelintir orang tertentu yang ditempatkan untuk meraup keuntungan luar biasa besar.[9]

Hal itu ditambah dengan pejabat yang mengendalikan pendapatan pemerintah yang didapat dari hasil hutan juga memanfaatkanya untuk menjaga jejaring pengaruh politik mereka. Soeharto telah menggunakan milyaran dolar dana reboisasi milik pemerintah sebagai dana talangan untuk membiayai program-program yang tidak ada hubungannya dengan perhutanan tanpa harus melalui proses pembahasan anggaran secara resmi.[10]Sementara sebagian besar dana reboisasi diberikan kepada pemegang konsesibubur kertas dan kertas dalam bentuk subsidi, sebagian lagi disalahgunakan untuk proyek-proyek non-kehutanan, termasuk untuk ASEAN Games 1997 di Jakarta.Bob Hasan menerima pinjaman dana reboisasi sebesar Rp 250 milyar (100 juta dolar AS) untuk membangun pabrik bubur kertas dengan bunga pinjaman 4 persen di bawah bunga bank komersial. Penggunaan dana dengan tidak jelas dan sangat ironis lainnya adalah pengalokasian dana sebesar Rp 500 milyar untuk membuka proyek “Lahan Gambut Satu Juta Hektar” dengan membabat hutan alam dan mengubah lahan gambut yang tidak subur serta mudah terbakar menjadi ladang padi. Pelaksanaan proyek ini memicu kebakaran hutan yag sangat hebat pada tahun 1997. Tahun 1994, Soeharto memerintahkan pemberian pinjaman bebas bunga sebesar Rp 400 milyar (185 juta dolar AS) dari Dana Reboisasi bagi Industri Pesawat Terbang Nusantara yang dipimpin Menteri Riset dan Teknologi BJ Habibie untuk mengembangkan pesawat penumpang.[11]Pada tahun 1997, Menteri Kehutanan menyangkal adanya dana reboisasi yang disalahgunakan untuk proyek “mobil nasional” (dibiayai oleh bank pemerintah) yang gagal milik Tommy Soeharto. Namun menteri tersebut menambahkan bahwa “itu bisa saja terjadi jika diperintahkan oleh presiden.”[12]

Pada tahun 1998, temuan audit pada pajak kehutanan atas Dana Reboisasi menyatakan bahwa dalam lima tahun sebelumnya, sekitar 5,2 milyar dolar AS uang yang hilang akibat korupsi (termasuk penggelembungan anggaran proyekdan pelipat gadaan daerah tanam guna memperoleh subsidi yang lebih besar), ketidakefisienan, dan penggelapan pajak melibatkan perusahan-perusahaan teman dekat dan anggota keluarga Soeharto.[13]Dalam kepeminpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Dewan Perwakilan Rakyat memeriksa anak perempuan Soeharto, Tutut, dan adik iparnya, Probosutedjo, terkait penyalahgunaan dana reboisasi. Meskipun Tutut tidak pernah dituntut, Probosutedjo dijatuhi hukuman dipenjara selama empat tahun oleh pengadilan Jakarta, yang kemudian dikurangi menjadi dua tahun oleh Pengadilan Tinggi, karena penyalahgunaan dana reboisasi yang merugikan negara sebesar Rp 100 milyar (11 juta dolar AS). Probosutedjo mengajukan banding ke Mahkamah Agung dan mengaku telah menyuap pengadilan sebesar 660 ribu dolar AS, tapi permohonan bandingnya ditolak. Hal yang perlu digaris bawahi dari pengakuan tersebut adalah, Probosutedjo tidak pernah dituntut karena melakukan penyuapan kepada pengadilan.[14]

Desentralisasi Pengawasan Hutan

Setelah kejatuhan Soeharto pada tahun 1998 dan pedasnya kecaman masyarakat atas kekayaan para kroninya yang korup selama ia berkuasa, kebijakan baru mengenai otonomi daerah pun digulirkan dengan cepat. Kebijakan ini ditujukan untuk memberikan wewenang lebih banyak pada pemerintah daerah untuk memperbaiki pengelolaan dan memastikan pendapatan yang diperoleh dari sumber daya alam lebih banyak dialokasikan ke daerah penghasil.Di bawah undang-undang otonomi, sebagian besar pendapatan dari industri yang mengambil dan pemrosesan sumber daya alam memang dimaksudkan untuk dikembalikan kepada pemerintah lokal untuk dibagikan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten penghasil serta daerah lain dalam bentuk “Bagi Hasil.

Tetapi ternyata pemberian wewenang kehutanan tidak diikuti oleh perbaikan dalam pertanggungjawaban, bahkan, penegakan hukum menjadi berkurang akibat perilaku aparat penegak hukum dan pejabat pemerintah di daerah saling memperebutkan bagian dari keuntungan yang didapat. Hasilnya, otonomi tanpa pertanggungjawaban memberikan ruang bagi merebaknya korupsi dan salah kelola di daerah.

Salah satu contoh pemberian insentif yang buruk yang mengakibatkan menjamurnya korupsi di daerah adalah perubahan peraturan kehutanan nasional yang memberikan wewenang terhadap daerah untuk mengeluarkan ijin memperbolehkan pengusaha melakukan pembukaan lahan dengan luas hingga 100 hektar tanpa melalui proses perijinan dari pemerintah pusat yang tentu saja harus melewati persyaratan ketat seperti analisis dampak lingkungan dan konsultasi ke daerah.

Peraturan ini memicu penebangan kayu besar-besaran karena kepala daerah dan pengusaha bersekongkol untuk menghindari proses perijinan nasional dimana sebuah lahan yang sangat besar kemudian dikapling-kapling per 100 hektar.Pengusaha kayu secara rutin memberikan uang suap untuk menghindari proses perijinan resmi untuk penebangan dan pengangkutan kayu. Disamping itu, undang-undang yang melarang penebangan pohon di hutan lindung, pohon dalam ukuran kecil, pohon di tebing curam, atau dekat sungai sering diabaikan, sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan yang meluas.Dalam banyak kasus, alih-alih mengambil langkah menghentikan pembalakan liar, DPRD setempat justru mengeluarkan peraturan untuk menarik pajak dari kayu hasil pembalakan liar, dengan begitu pemerintah daerah memperoleh pendapatan dari tindakan pengrusakan hutan yang melanggar hukum dan sekaligus menyuburkan korupsi.

Dinamika tersebut akhirnya memaksa upaya pemusatan kembali beberapa aspek pengawasan hutan. Dalam hal ini, Dephut mengambil alih kembali wewenang untuk mengeluarkan ijin pembukaan dan “konversi lahan” terutama yang diperuntukan sebagai perkebunan.[15]Namun, karena Dephut hanya memiliki kemampuan yang terbatas untuk mengawasi perubahan ini di lapangan, banyak pemerintahan daerah mengabaikan peraturan ini dan tetap saja mengeluarkan ijinnya sendiri, sehingga melipatgandakan jumlah kayu hasil pembukaan lahan dan memberikan payung hukum terhadap kayu yang pada dasarnya ilegal.

Disamping itu, pemerintah daerah sering menolak memberikan informasi yang berkenaan dengan produksi dan pendapatan karena adanya resiko penindakan dari pihak yang berwenang di tingkat provinsi atau nasional. Sayangnya hanya ada sedikit insentif yang diberikan pada dinas kehutanan daerah untuk memperbaiki proses pengumpulan dan pelaporan data karena sebagian besar dana mereka berasal dari pemerintah pusat sementara otonomi daerah membuat mereka tidak lagi berada di bawah pengawasan langsung provinsi atau pun Dephut. Pemerintah daerah juga tidak menerima pengurangan dari dana bagi hasil dengan pemerintah pusat karena peraturan anggaran memiliki pasal yang melarang pengurangan alokasi dana tahunan.

Salah seorang pejabat Bank Dunia menyatakan,“Semua proses penentuan besaran yang akan dialokasikan kembali untuk pemerintah daerah sangat tidak jelas.Jadi tidak satu rupiah pun yang bisa dilacak mengenai bagaimana uang itu dihimpun dalam anggaran hingga kembali ke daerah dimana pohon itu ditebang.”[16]Seorang pengamat aliran dana pemasukan di Kalimantan Timur berkomentar, “Pejabat daerah tidak akan menghadapi konsekuensi apapun baik secara pribadi maupun politis jika tidak melaporkan pemasukan dari kayu. Tidak adanya prosedur yang jelas serta kurangnya pemberian insentif yang layak mengakibatkan pemerintah pusat beresiko tidak dapat mengumpulkan pendapatan dengan jumlah sesungguhnya.”[17]

II. Hilangnya Kayu Indonesia

Antara tahun 2003 hingga 2006, catatan resmi pasokan kayu dari Indonesia berkisar 20 juta meter kubik pertahun, sementara jumlah kayu yang dikonsumsi industri kayu Indonesia (bubur kertas dan kertas, kayu lapis, saput kayu, dan produk berbahan dasar kayu lainnya) adalah lebih dari 50 juta meter kubik. Ini berarti terdapat selisih sebesar 150 persen dari pasokan resmi atau sekitar 30 juta meter kubik per tahun,[18]seperti yang tergambar pada Gambar 1 dibawah. Selisih, sebagaimana ditunjukkan dengan bagian yang berwarna abu-abu, adalah jumlah kayu yang berasal dari pembalakan liar atau kayu impor selundupan.

Gambar 1: Laporan Volume Konsumsi Kayu oleh Industri Kayu Indonesia, Dibandingkan dengan Pasokan Kayu Legal (termasuk kayu impor), 2003-2006

Analisis Selisih Kayu

Angka dalam diagram di atas berasal dari metodologi yang biasanya digunakan oleh analis kehutanan dan pakar industri untuk memperkirakan volume kayu hasil pembalakan liar:[19]

  • Volume kayu illegal = [konsumsi kayu]–[pasokan kayu resmi]
  • Pasokan kayu resmi = [hasil konsesi penebangan] + [pembukan lahan] + [hasil perkebunan] + [impor]
  • Konsumsi kayu = [jumlah konsumsi oleh seluruh industri kayu] x [padanan kayu bulat]

Untuk melakukan perhitungan tersebut, kami menggunakan data terakhir yang diterbitkan  Dephut (ketika laporan ini disusun pada tahun 2008, data terakhir yang dikeluarkan oleh Dephut adalah untuk tahun 2006) guna menghitung pasokan kayu resmi, dengan menambahkan volume kayu impor (walaupun memiliki hasil kayu yang sangat besar, Indonesia masih mengimpor beberapa jenis kayu) terhadap volume kayu yang dilaporkan sebagai hasil konsensi kayu, pembukaan lahan berijin untuk konversi hutan alam ke penggunaan lain (perkebunan atau pengembangan lain), dan perkebunan kayu yang sudah ada.Untuk menghitung total volume kayu yang dikonsumsi oleh berbagai jenis industri perkayuan (untuk membuat kayu lapis, kayu gergajian, saput kayu (veneer), bubur kertas dan kertas, dan produk kayu lain) kami menggunakan angka produksi yang tercantum sumber data standard-industri, Laporan Tahunan ITTO.[20]Agar volume kayu yang dikonsumsi industri pengolahan kayu lainnya dapat dibandingkan satu dengan yang lain–termasuk terhadap pasokan resmi–jumlah volume kayu yang memang digunakan oleh tiap industri diseragamkan menjadi “padanan kayu bulat,” yang mewakili jumlah kayu mentah yang diperlukan untuk menghasilkan satu meter kubik produk jadi. Sebagai contoh 2,3 meter kubik kayu mentah dihabiskan untuk menghasilkan 1 meter kubik kayu lapis.

Penggunaan kayu yang melebihi pasokan resmi merupakan perbuatan tidak legal.[21]Dengan begitu hal ini menunjukkan bahwa antara 2003 dan 2006 lebih dari setengah kayu yang dihasilkan tiap tahun di Indonesia sebenarnya tidak legal, bahkan Dephut sendiri secara terbuka mengakui hal tersebut dalam rencana restrukturisasinya.[22]

Ketika penyusunan laporan ini memasuki tahap akhir, data terbaru dalam situs internet milik Dephut menyebutkan bahwa selisih antara pasokan kayu resmi dan tingkat konsumsi industri sudah semakin kecil, bahkan pada tahun 2007 hampir mendekati angka nol sebelum naik sedikit pada tahun 2008. Jika peryataan ini benar adanya, hal ini merupakan kemajuan dramatis yang patut mendapat pujian terhadap pengelolaan hutan yang berkesinambungan. Sayangnya, banyak alasan untuk mempertimbangkan kebenaran data tersebut.

Menurut data Dephut, selisih yang terdapat pada pasokan kayu resmi pernah hampir tertutupi oleh dua perubahan luar biasa dalam sektor perkayuan: 1) jumlah kayu yang dihasilkan oleh perkebunan dilaporkan meningkat lebih dari empat kali lipat antara tahun 2004 hingga 2007; dan 2)jumlah kayu yang digunakan oleh penggergajian dan perusahaan kayu lapis dilaporkan turun dua per tiga antara tahun 2005 hingga 2007. Kebenaran kedua laporan di atas masih diragukan.

Dephut melaporkan bahwa pasokan kayu dari perkebunan swasta naik dua kali lipat dari 11 juta meter kubik pada tahun 2006 menjadi 21 juta pada tahun 2007 dan naik kembali menjadi 25 juta pada tahun 2008–empat kali lipat dari hasil kayu pada tahun 2004. Akan tetapi kenyataan alam dilapangan memberikan alasan yang sangat kuat untuk meragukan angka-angka tersebut karena pada dasarnya perkebunan sangat dipengaruhi oleh variasi tebing, tanah dan kondisi kelembaban.

Pohon bahan baku bubur kertas memerlukan waktu setidaknya tujuh tahun untuk tumbuh dewasa (bahkan akan lebih lama jika ditanam pada tanah gambut yang umumnya terdapat di Riau, Sumatera yang merupakan asal bagi 70 persen produksi perkebunan kayu yang memasukan laporan). Peningkatan tajam hasil perkebunan kayu pada tahun 2007 tentu memerlukan peningkatan yang sama terhadap pengembangan konsesi antara tahun 2000 hingga 2001 agar kayu siap ditebang pada tahun 2007 dan 2008. Sebaliknya, data yang dikeluarkan oleh Dephut justru menunjukkan penurunan tajam atas wilayah tanam antara tahun 2000 hingga 2001.

Memang benar bahwa tingkat produksi pada tahun 2007 lebih tinggi dari perkiraan seperti yang dilaporkan oleh penelitian bersama antara Dephut dan lembaga donor internasional. Bahkan angka produksi tersebut mampu melampaui angka yang paling optimis yaitu lebih dari 10 juta meter kubik.[23]Jumlah angka yang dilaporkan juga 3 juta meter kubik lebih tinggi dari target departemen yang paling ambisius pada tahun 2007 dan 6 juta meter kubik lebih tinggi pada tahun 2008.[24]Lebih dari itu, Human Rights Watch mendapat informasi dari para penasihat di Dephut bahwa data yang digunakan oleh departemen hanya yang berasal dari laporan yang disampaikan oleh industri kayu tanpa melalui pemeriksaan kembali oleh pejabat kehutanan.[25]Kami khawatir bahwa ada tekanan politik yang cukup berat terhadap sektor ini untuk memenuhi skenario penataan kembali dan membangun kepercayaan internasional guna memanfaatkan dana yang tersedia pada pasar kompensasi karbon yang sedang menjamur.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah ketika ITTO, lembaga yang bertanggungjawab mengeluarkan laporan pasar global untuk kayu tropis, melakukan revisi perhitungan atas konsumsi kayu oleh industri dalam tahun-tahun belakangan ini. Dalam laporan tahun 2007, lembaga itu menyebutkan volume kayu yang digunakan oleh industri di Indonesia tahun 2006 adalah sebesar 16,3 juta meter kubik (sepadan dengan kayu bulat)–separuh dari jumlah yang semula diperkirakan yaitu 30,4 juta meter kubik. Dalam tabel data yang termuat pada laporan ITTO tersebut, tercantum catatan kaki menyebutkan adanya korespondensi surat elektronik dari pejabat Dephut yang menyatakan bahwa jumlah tersebut baru taksiran terendah akibat “tersendatnya arus informasi” dari daerah ke departemen dan berkurangnya mekanisme pelaporan setelah penerapan otonomi daerah tahun 2000. Sejauh yang dapat dipahami, laporan ini mengakui bahwa tidak ada kesahihan data serta mekanisme pelaporan antara wilayah penebangan dan kantor departemen.[26]Walaupun pengurangan produksi industri kayu gergajian dan kayu lapis (yang berujung pada konsumsi kayu) memang dimungkinkan, kami benar-benar tidak berkeyakinan atas kebenaran data tersebut untuk melakukan pengukuran.

Kami bukan satu-satunya yang tidak memiliki keyakinan atas data yang dikeluarkan oleh Dephut tersebut. Laporan resmi yang disusun atas permintaan Dephut yang diterbitkan pada tahun 2005 menyatakan, “secara umum menerima temuan-temuan penting...data yang dimiliki oleh departemen sangat kurang sehingga mempersulit upaya penyusunan peraturan tentang pengelolaan hutan yang baik.”[27]Bank Dunia juga menyatakan bahwa kurangnya keakuratan data merupakan tembok penghalang bagi mengelolaan hutan dan penegakan hukum.[28]Selain itu ITTO dalam laporannya untuk tahun 2006 dan 2007 menyatakan bahwa “Indonesia...belum pernah menyampaikan data produksi resmi yang akurat”[29] dan pada 2008 melaporkan bahwa sejak tahun 2006, Indonesia belum memberikan data mengenai kayu lapis yang merupakan sektor industri kehutanan terbesar setelah kertas dan bubur kertas.[30] Lebih lanjut ITTO dalam lapornnya tahun 2008 mencatat bahwa “angka-angka perdagangan masih tidak konsisten”[31]dan “pada tahun 2007, dalam laporan resmi ekspor Indonesia ke Malaysia dan China masih terlihat selisih data yang cukup besar.”[32]Sebagai contoh, China mengekspor kembali lebih dari 22 ribu meter kubik kayu bulat yang diimpor dari Indonesia (walaupun ada larangan ekspor kayu bulat dari Indonesia), sementara itu Indonesia melaporkan bahwa ekspor kayu bulat ke China hanya sebesar 4 meter kubik.[33]

Permasalahannya tidak terletak pada keakuratan data antara Indonesia dan China dan dengan segala alasan yang telah dijabarkan dalam laporan ini, sangatlah mungkin jika terdapat kesalahan pada keduanya. Hal yang ingin kami tekankan adalah tidak ada satupun–apakah ITTO, Dephut atau bahkan publik sekalipun–yang secara pasti mengetahui apa yang terjadi dengan aset hutan negara dan pemasukan yang dihasilkan dari sana.

III. Menguapnya Pendapatan Indonesia Atas Kayu

Pada tahu 2006, pemerintah Indonesia mengalami kerugian lebih dari 2 milyar dolar AS dalam bentuk pajak yang tidak terpungut akibat pembalakan liar sebesar 1,3 milyar AS, manipulasi royalti hutan agar lebih rendah dari yang seharusnya sebesar 563 juta dolar AS dan praktik transfer harga yang illegal sebesar 138 juta dolar AS. Secara keseluruhan, sejak tahun 2003 hingga 2006, perilaku tersebut telah merugikan negara lebih dari 5 millyar dollar AS, seperti yang ditampilkan pada Gambar 2 berikut ini.

Gambar 2: Pajak Hutan Terhitung, dibandingkan dengan kerugian pendapatan negara akibat harga transfer, penebangan liar, dan subsidi siluman (berdasarkan data produksi ITTO)

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, angka di atas adalah angka yang konservatif, belum termasuk penyelundupan atau kegiatan lain yang tidak dilaporkan dan walaupun tidak ada data yang dapat diandalkan sebagai dasar perhitungan namun tetap harus ditambahkan dalam total kerugian. Lebih dari itu, sekalipun menggunakan data pemerintah tentang produksi industri kayu (dimana laporan konsumsi industri kayu jauh di bawah data yang dilaporkan ITTO),[34]kerugian tahunan rata-rata akibat pembalakan liar adalah sebesar 630 juta dolar AS dan kerugian atas subsidi siluman senilai 332 juta dolar, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 3 di bawah ini:

Gambar 3: Pajak Hutan Terhitung, sebagaimana dibandingkan dengan hilangnya pemasukan pemerintah akibat harga transfer, pembalakan liar, dan subsidi siluman (mengunakan data produksi Dephut)

Meningkatnya tindakan penegakan hukum di lapangan dan naiknya hasil perkebunan kayu menyebabkan turunnya kerugian negara akibat pembalakan liar, dimana ,sejak tahun 2003, hanya sekitar seperlima dari kayu yang dikonsumsi berasal dari sumber yang sah. Akan tetapi, seperti yang diperlihatkan pada gambar di atas, walaupun ada perbaikan disana-sini, tingkat pembalakan liar dan kerugian akibat tata kelola hutan yang tidak tepat masih teramat besar.

Penyebab utama atas hilangnya pemasukan adalah kerugian dari biaya yang tidak tertagih terhadap hasil panen kayu ilegal. Seperti dijelaskan pada bab sebelumnya, kami memperkirakan bahwa hampir separuh dari seluruh penebangan hutan di Indonesia dilakukan secara liar. Antara tahun 2003 hingga 2006, menurut perhitungan pemerintah sendiri, seluruhnya lebih dari 130 juta meter kubik kayu telah dicuri–panen curian yang setara dengan hilangnya 4 milyar dolar AS pendapatan negara.[35] Meskipun angka terbaru yang dikeluarkan pemerintah menunjukkan bahwa akhir-akhir ini terjadi pengurangan selisih pasokan legal, tetapi pemerintah tetap menderita kerugian dari perdagangan ini sekitar 500 juta dolar AS setiap tahunnya,[36]dan seperti sebelumnya, angka tersebut belum termasuk penyelundupan dan penggergajian tanpa ijin. Akan tetapi jika menggunakan data ITTO, selisih pasokan kayu legal tahunan ini setara dengan 1 milyar dolar AS.

Hasil analisis kami terhadap angka perdagangan ,berdasarkan laporan hasil ekspor yang sebagian besar berasal dari sektor kayu lapis dan bubur kertas, menunjukkan adanya kehilangan pemasukan negara yang cukup besar akibat penghindaran pajak dengan menggunakan “harga transfer.” Dalam konteks ini, “harga transfer” merupakan praktik melanggar hukum, ketika perusahaan penghasil mengaku menjual kayu dengan harga yang lebih rendah dari harga yang sebenarnya kepada anak perusahaannya di luar negeri sehingga mengurangi pajak ekspor berbasis nilai di Indonesia. Sebagai contoh, perbandingan yang kami lakukan antara laporan nilai ekspor Indonesia tahun 2006 dengan nilai impor dari negara penerima menunjukkan bahwa negara pengimpor melaporkan telah menerima kelebihan impor sebesar 725 juta dolar AS dalam bentuk kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis, dan bubur kertas daripada jumlah ekspor yang dilaporkan Indonesia. Lebih lanjut, data perdagangan juga menunjukkan terjadinya kegiatan penyelundupan yang cukup besar; misalnya, negara pengimpor melaporkan telah menerima 73 persen lebih banyak volume kayu lapis daripada laporan ekspor Indonesia. Analisis ini menunjukkan, bahwa pada tahun 2006, kerugian pajak yang diderita Indonesia adalah sekitar 138 juta dolar AS (Lihat Gambar 8 pada halaman lampiran). Namun, sekali lagi perlu diingat, bahwa angka tersebut hanyalah nilai taksiran terendah karena mengabaikan kayu yang diselundupkan dan tidak dilaporkan baik oleh pihak Indonesia maupun negara pengimpor.

Sejumlah dana yang cukup banyak juga hilang akibat berbagai subsidi yang begitu mudahnya diberikan oleh Dephut kepada industri. Artinya, dalam memperhitungkan pajak hutan, pihak departemen memperbolehkan perusahaan-perusahaan untuk menggunakan harga kayu bulat dan nilai tukar rupiah terhadap dollar yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga pasar sesungguhnya. Pajak Sumber Daya Hutan (PSDH) yang dikenakan oleh Departemen Kehutanan dalam rangka menutupi kehilang dari pengambilan aset-aset negara, dihitung dengan nilai sebesar 10 persen dari indeks harga kayu bulat di pasar domestik. Sejak tahun 2002, pihak departemen masih menetapkan nilai indeks tersebut pada harga Rp 500 ribu (53 dolar AS)per meter kubik untuk jenis kayu terbanyak (meranti), sementara harga asli kayu tersebut di pasar domestik sudah mencapai lebih dari dua juta rupiah (240 dolar per meter kubik) di tahun 2006 (lihat Gambar 1, Lampiran).[37]Disamping itu, pihak departemen menetapkan Dana Reboisasi (DR) dalam dolar[38]tapi mengijinkan perusahaan membayarkannya dalam rupiah dengan menggunakan nilai tukar yang telah ditetapkan seharga Rp. 5.000 per 1 dollar, yang tentunya jauh lebih kecil daripada nilai tukar sebenarnya, yang saat ini berada pada kisaran Rp 9.000 dan Rp 10.000 per 1 dollar AS (Lihat Gambar 7, Lampiran).

Sebagai contoh, satu meter kubik kayu meranti yang dipanen di Kalimantan Barat, akan dikenakan PSDHsebesar Rp 50.000 danDR sebesar Rp 80.000 yang kesemuanya kurang dari 13 dolar AS. Jika menggunakan harga pasar dan nilai tukar rupiah yang sesungguhnya pada tahun 2006, dari jumlah kayu yang sama pemerintah berpotensi untuk menerima pendapatan tiga kali lebih besar, atau senilai 40 dolar. Kami memperkirakan, ada pengaruh kepentingan bisnis terhadap kebijakan departemen[39]sehingga ada penetapan harga royalti dan biaya reboisasi yang nilainya jauh lebih kecil daripada nilai pasar sesungguhnya yang menimbulkan kerugian negara rata-rata senilai 330 juta dolar AS setiap tahunnya.

Dari apa yang dapat kami hitung, secara keseluruhan pemerintah setidak-tidaknya hanya dapat mengantongi sekitar 20 persen dari pendapatan yang seharusnya dapat diperoleh terhadap hasil panen kayu setiap tahun. Hal itu terjadi karena adanya praktik-praktik biaya taksiran yang sengaja dibuat lebih rendah, pembalakan liar, dan harga transfer. Jika kecurangan-kecurangan ini masih belum seberapa, tampaknya ada upaya pemutihan tunggakan, seperti yang dilaporkan oleh departemen bahwa pada tahun 2006 (tahun terakhir dimana data masih tersedia) ada pemasukan denda sekitar 8.000 dolar, sebuah jumlah yang lebih kecil daripada pendapatan dari pajak parkir di Jakarta Selatan.[40]

Masih ada elemen kerugian lain yang tidak kami kaji, akan tapi dianggap memberikan kontribusi penting pada jumlah kerugian pemasukan negara. Elemen-elemen tersebut termasuk pajak pendapatan perusahaan dan pajak ekspor yang tidak dibayar karena pembalakan liar dan kayu selundupan yang tidak dilaporkan baik dari negara pengekspor maupun negara pengimpor. Pengeluaran pemerintah juga terbuang percuma oleh perilaku korup (pinjaman bebas bunga bagi perkebunan yang tidak pernah dikembangkan, dana talangan yang disalahgunakan, dll), termasuk oleh perusahaan kayu yang dimiliki oleh kerabat dan rekan bisnis pejabat pemerintahan. Hasil audit tahun 1998 menemukan bahwa selama lima tahun sebelumnya, penyalahgunaan dana reboisasi saja mencapai 5,5 milyar dolar.[41]Nampak pula berbagai kejanggalan baik dalam laporan pasokan maupun hasil produksi yang dikeluarkan oleh Dephut, yang oleh sejumlah pengamat disebut-sebut memang sengaja diperkecil untuk menyembunyikan hasil penebangan liar.[42]Faktor-faktor inilah yang mendorong kerugian tahunan kas negara akibat salah kelola yang sangat korup, bahkan jauh lebih tinggi daripada angka-angka yang tertera dalam laporan ini.

Kalimantan Barat: Provinsi Kaya Hutan, Miskin Pendapatan

Tidak seperti Indonesia pada umumnya yang memiliki beragam sektor manufaktur, perekonomian provinsi Kalimantan Barat masih sangat bergantung pada hasil hutan sebagai pendapatan daerah. Di Kalimantan Barat, tahun 2005 hingga 2006 (data terakhir yang tersedia) sektor kehutanan merupakan kontributor tunggal yang paling besar terhadap produk domestik provinsi yaitu sekitar 15 persen. Sektor perkebunan, termasuk kelapa sawit yang sedang berkembang (sebagian besar dikembangkan melalui penebangan hutan alam), berada pada posisi berikutnya dengan jumlah kontribusi sebesar 10 persen.[43]

Sebenarnya, mungkin dampak dari sektor kehutanan jauh lebih besar lagi, karena Kalimantan Barat menanggung akibat pembalakan liar yang tersebar luas sehingga menghancurkan mata pencarian masyarakat setempat serta merusak modal alami terbesar yang dimilikinya. Walaupun pembalakan liar terkesan menurun bila dibanding masa jayanya pada akhir tahun 1990an, menurut perkiraan kami yang paling konservatif sekalipun, antara tahun 2005-2006, paling tidak dua pertiga dari jumlah hasil penebangan kayu Kalimantan Barat merupakan hasil dari pembalakan liar (sekitar 3 juta meter kubik per tahun),[44]sehingga menimbulkan kerugian pendapatan pemerintah rata-rata per tahunnya sebesar 1,2 triliun rupiah (130 juta dollar), atau sekitar 20 kali lebih besar dari jumlah anggaran pemerintah provinsi untuk kesehatan dan pendidikan. Lebih dari sekedar itu, kerugian yang sebenarnya dialami bisa saja jauh lebih besar akibat alasan yang sama dengan hal-hal yang merongrong pemasukan negara yaitu keberadaan penggergajian liar dan penyelundupan. Contohnya, Kalimantan Barat merupakan sumber utama kayu selundupan yang dikirim melintasi perbatasan menuju Sarawak, Malaysia, sementara pencatatan dan ketersedian data sangat tidak lengkap. Berdasarkan pengamatan peneliti Human Rights Watch dan dokumentasi yang telah dilakukan oleh LSM-LSM lokal melalui investigasi terselubung, jalur-jalur penyelundupan kayu adalah dari Ketapang, Sambas, Sintang dan Kapuas Hulu menuju Serawak, Malaysia, dan dilakukan dengan menggunakan kapal, truk, bahkan dengan sepeda.[45]Ditambah dengan keberadaan penggergajian kecil yang tersebar di Kalimantan Barat dan tidak tercatat dalam statistik produksi secara resmi. Tidak ada data yang bisa memberikan perkiraan tentang jumlah penggergajianyang ada, namun ketika kami melakukan perjalanan dengan menggunakan kapal kecil dari ibukota provinsi, Pontianak menuju Kabupaten Ketapang (daerah yang kaya kayu dan rawan pembalakan), kami mengamati banyak penggergajian yang beroperasi di sepanjang sungai.

Gambar 4: Pajak Hasil Hutan Terhitung Kalimantan Barat, Dibandingkan dengan kerugian akibat pembalakan liar dan subsidi siluman

Di atas semua kerugian ini, konsep hasil audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap dana kehutanan provinsi Kalimantan Barat tahun 2005 dan 2006 menunjukkan defisit yang luar biasa. Auditor menemukan hampir 215 milyar rupiah (sekitar 23 juta dolar) yang hilang akibat kegagalan mengumpulkan denda dan biaya keterlambatan lainnya. Ditambah lagi, temuan BPK yang menunjukkan bahwa terdapat 94 milyar rupiah (10 juta dolar) pendapatan “di luar rekening,” biaya yang dikumpulkan oleh kabupaten namun tidak pernah disetorkan ke rekening departemen. Berdasarkan dokumentasi tersebut, dalam jangka waktu satu tahun total kerugian negara akibat biaya yang tidak tertagih atau penyelewengan dana adalah sebesar 309 milyar rupiah (33 juta dolar).[46] Untuk dapat memahami kerugian tersebut, dana yang hilang ini hampir sama besarnya dengan separuh anggaran provinsi untuk tahun 2005 (Rp 737 milyar) dan hampir mencapai 10 kali lipat jumlah gabungan anggaran tahunan provinsi untuk kesehatan dan pendidikan (Rp 38 milyar). Kerugian ini hanya terhitung dari kejanggalan yang didokumentasikan oleh BPK atas biaya yang seharusnya telah diterima dari kayu-kayu resmi. Perhitungan ini tidak termasuk perkiraan kerugian akibat pembalakan liar atau akibat penjualan kayu di bawah harga pasar dan harga nilai tukar mata uang yang murah sebagaimana ditetapkan oleh Dephut.

Bagaimana suatu daerah yang tingkat perekonominya tidak begitu baik bisa mengalami kehilangan pemasukan yang begitu besar? BPK menyebutkan bahwa kerugian ini terjadi akibat adanya “itikad tidak baik” dari mereka yang memiliki kewajiban untuk membayar dan “kurangnya intensitas dalam melakukan pemantauan dan pengawasan” dari pihak kehutanan yang berwenang.[47] 

IV. Anatomi Korupsi pada Sektor Kehutanan

Pola dasar korupsi yang terjadi di sektor kehutanan semakin mudah dikenali berkat investigasi dan laporan yang dilakukan oleh kelompok lingkungan hidup di Indonesia dan organisasi yang mengawasi kinerja pemerintah seperti Indonesian Corruption Watch (ICW), Telapak (organisasi lingkungan hidup yang melakukan investigasi seputar perdagangan kayu dan memantau peradilan pembalakan liar), CIFOR, serta sejumlah penelitian dan analisis yang dilakukan oleh penasehat di Dephut sendiri. Tinjauan yang disajikan berikut ini berdasarkan pada sumber-sumber tadi,[48]ditambah dengan wawancara yang dilakukan oleh Human Rights Watch dengan penyelidik yang melakukan penyamaran dan penasehat ahli di Dephut.

Korupsi di Instansi Kehutanan

Begitu ijin untuk menebang kayu dikeluarkan, sistem “adminstrasi kayu” milik Dephut untuk mengendalikan, mencatat dan memantau kegiatan panen, mulai menarik biaya (berdasarkan volume dan jenis kayu yang ditebang), serta mengendalikan pengangkutan, pengolahan dan distribusi produk-produk kayu tersebut. Para aktivis di daerah dan para peneliti telah mencatat praktik korupsi di setiap fase dan semua tingkatan proses tersebut.

Pada tingkat kabupaten, Dinas Kehutanan memiliki wewenang untuk:

  • memberi ijin atas rencana volume kayu yang akan dipanen dan mengeluarkan “Laporan Hasil Cruising” (memperkirakan berapa banyak kayu yang sebenarnya tersedia untuk ditebang) bagi setiap konsesi;
  • memungut biaya yang harus dibayarkan pengusaha dan menyetorkannya pada rekening Dephut(dan menerbitkan bukti pembayaran); dan
  • memeriksa volume dan jenis kayu yang dipanen berdasarkan ijin tebang dan biaya yang dibayarkan.

Praktik korupsi yang biasa terjadi pada tingkat ini meliputi:

  • memperbolehkan panen yang lebih banyak dari yang tertera pada Laporan Hasil Cruising (LHC) tanpa pelaporan (tanpa ada biaya tambahan atau denda);
  • memanipulasi pengkategorian kayu yang dipanen untuk menghindari biaya yang lebih tinggi atas jenis kayu yang berkualitas baik;
  • pencucian kayu: memperbolehkan sebuah perusahaan untuk merencanakan penebangan lebih banyak daripada yang diperbolehkan dalam ijin yang dimiliki. Hal ini memberi peluang bagi kayu yang ditebang secara ilegal atau berasal dari tempat lain dicampurkan dengan pasokan kayu yang ditebang secara resmi; dan
  • menerbitkan bukti pembayaran palsu.[49]

Para pengusaha daerah melaporkan bahwa ada banyak ijin yang dibutuhkan untuk mendapat konsesi pengelolaan hutan dan pada setiap tahapannya perusahaan wajib memberikan suap yang besar untuk dapat melengkapi proses tersebut. Suap ini meliputi, antara lain:

  • uap untuk memperoleh surat rekomendasi dari kantor kabupaten, bupati/walikota dan kantor dinas provinsi untuk dapat mengajukan ijin awal konsensi;
  • “pengeluaran operasional” untuk pengawas lapangan untuk rencana pengelolaan dan LHC, termasuk biaya “hiburan” yang tidak jelas. (dalam sebuah kasus, seorang pejabat melaporkan bahwa biaya ini mencapai Rp 5.000.000 sampai Rp 7.000.000 (550–750 dolar) per orang, per perjalanan. Hal ini bahkan harus dilakukan sebelum rencana penebangan disetujui, dimana masih membutuhkan biaya “tak terduga” lainnya); dan
  • Uang pelicin” di luar biaya-biaya tadi dengan tujuan memperoleh dokumen untuk operasional rutin.[50]

Kabarnya pembayaran suap ini diberikan melalui seorang makelar, yang justru banyak diantaranya bekerja di dalam kantor kehutanan. Seperti yang diakui oleh seorang informan, “Ini bukti bahwa di kantor-kantor tersebut ada beberapa pegawai yang memiliki kekuasaan yang sangat besar padahal mereka sebenarnya hanya pegawai rendahan.[51]

Perilaku korupsi yang sistematis seperti ini merongrong tata kelola hutan yang berkelanjutan dan mendorong terjadinya pembalakan liar serta kegiatan lain yang merusak hutan. Berdasarkan dari penuturan para penasehat Dephut yang pernah mewawancarai berbaga perusahaan mengenai “pembayaran tidak resmi,” mengatakan bahwa banyak perusahaan mengakui bahwa mereka mencoba untuk menutupi biaya-biaya tambahan ini dengan melakukan tindakan-tindakan yang ilegal seperti menghindari pajak dan biaya royalti, melakukan panen di luar wilayah ijin, atau membeli kayu murah dari perusahaan ilegal.[52]

Dinas Kehutanan provinsi memiliki wewenang untuk memeriksa dokumen harga dan membandingkannya dengan produksi kayu sebenarnya guna memastikan perusahaan telah membayar biaya dengan benar. Namun di bawah undang-undang otonomi, kantor dinas di kabupaten tidak lagi dibawah kantor provinsi maupun kantor nasional, dan oleh sebab itu kantor dinas dapat menahan informasi tanpa terkena sanksi. Seperti yang terjadi di tingkat kabupaten, korupsi juga terjadi di tingkat provinsi ketika pejabat mengijinkan terjadinya kelebihan volume, sehingga memungkinkan terjadi pemutihan atas kayu ilegal; ketika mereka mengijinkan perusahaan untuk menunggak pembayaran; atau ketika mereka menutup mata jika ada perusahaan yang menggunakan bukti pembayaran palsu.

Di tingkat nasional, Dephut memiliki wewenang untuk:

  • Menghimpun pembayaran dari kantor dinas kabupaten dan menyetorkan ke rekening Departemen Keuangan; dan
  • Memeriksa bukti pembayaran dan dokumen rencana produksi serta produksi kayu yang sebenarnya guna memastikan bahwa pembayaran atas sejumlah volume dan nilai kayu yang diproduksi (jika data disediakan oleh kantor terkait) telah dilakukan dengan benar.

Suap juga dapat diberikan di kantor pusat agar kelebihan produksi tidak dikenakan biaya yang tepat. Disamping itu, karena pembayaran yang dimasukkan dalam rekening Dephut tersebut dapat diendapkan selama satu minggu sebelum dana tersebut ditransfer dalam rekening Departemen Keuangan, dana tersebut dapat ditransfer ke “rekening sweep” pribadi untuk diinapkan semalam sehingga memperoleh bunga yang cukup besar, dan tidak dilaporkan.[53]

Departemen Keuangan merupakan penanggungjawab akhir atas pemungutan pendapatan hasil hutan dan pendistribusiannya kembali ke daerah-daerah. Proses ini sudah terkenal lamban dan tidak transparan, dan korupsi dikabarkan dapat terjadi untuk menaikkan jumlah dana yang hendak didistribusi dan mempercepat pencairan dana agar segera diperoleh pemerintahan daerah.[54]

Satu hal yang sering terabaikan tapi semakin menjadi lahan penting bagi korupsi hasil hutan adalah pembayaran suap untuk mengubah wilayah hutan yang telah ditentukan sebelumnya. Banyak pengamat yang mengatakan bahwa upaya penegakan hukum sering terlalu difokuskan pada operasi lapangan untuk menangkap basah penebang liar. Padahal, kegiatan ilegal juga terjadi ketika oknum pengusaha memberi suap pada pejabat setempat untuk menyuap gubernur, bupati, anggota dewan di daerah dan nasional, agar mereka memfasilitasi zonasi ulang kawasan yang digolongkan sebagai Hutan Produksi (wilayah sistem tebang pilih), atau yang lebih parah lagi, mengubah daerah konservasi dalam hutan lindung menjadi kawasan hutan konversi yang boleh ditebang habis dan diubah menjadi perkebunan atau dikembangkan, semuanya itu dengan ijin yang “sah.”[55]

 

Korupsi dalam Penegakan Hukum

Pembalakan liar yang meluas dan terus-menerus juga memerlukan keterlibatan aparat penegak hukum, jaksa, dan hakim. Organisasi lingkungan hidup yang memiliki kredibilitas di Indonesia mendokumentasikan praktik-praktik korupsi yang dilakukan oleh pihak kepolisian baik pada saat melakukan penyidikan maupun saat melakukan penangkapan. Informasi yang disajikan pada bagian ini pada dasarnya diambil dari hasil investigasi orgnisasi-organisasi tersebut.

Pertama, apakah sebuah laporan benar-benar berlanjut menjadi penyidikan kriminal sering kali tergantung tawar menawar dengan calon tersangka.[56]Bila harga sesuai, penyelidikan dapat dihentikan dengan serta merta atau kasus ditutup dengan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), tanpa mengindahkan bukti-bukti yang ada.[57]Penyidik juga dapat memanipulasi bukti-bukti fisik dan saksi-saksi dalam membuat berkas acara pemeriksaan (BAP) untuk mengurangi kemungkinan dakwaan atau untuk menghilangkan kemungkinan untuk didakwa.[58]

Cara lainnya adalah menggelar “operasi penertiban,” dimana operasi tersebut semata-mata dilakukan untuk mencuci kayu ilegal. Para cukong kayu berkolusi dengan polisi dalam melakukan “penyisiran” untuk menyita kayu hasil pembalakan liar (diatur sedemikian rupa sehingga tidak ada pelaku di lokasi untuk ditangkap). Selanjutnya melaksanakan pelelangan kayu yang disandiwarakan sehingga mereka dapat membeli kembali kayu-kayu mereka dengan harga yang murah dan dengan dokumen yang sah pula. Dalam beberapa kesempatan, para investigator bahkan dapat melihat dengan jelas kayu-kayu yang disita sedang dimuat dalam kapal sebelum pelelangan dilaksanakan.[59]

Korupsi di Peradilan

Korupsi juga terjadi ketika laporan penyidikan masuk ke kantor kejaksaan. Dengan uang suap, jaksa bisa dengan mudah menutup kasus “karena tidak cukup bukti” dan memerintahkan pembebasan tersangka. Jika kasus masih terbuka, jaksa dapat membantu terdakwa memenangkan kasusnya dengan menerapkan dakwaan yang tidak sesuai dengan kejahatan yang dilakukan, atau mendakwa hanya pada bagian yang tidak memiliki kekuatan bukti. Jaksa dapat pula memilih untuk menahan bukti kuat dari pengadilan, atau bahkan dapat memeras para saksi agar tidak ada dakwaan yang justru kemudian dapat ditujukan kepada mereka.[60]

Ketika perkara akhirnya masuk ke pengadilan, terdakwa dapat memastikan hakim yang “diinginkan” (dapat dipengaruhi) akan menangani kasus tersebut. Negosiasi ini sering kali diatur oleh petugas penitera, walaupun kepala pengadilan negeri sering kali juga dapat memastikan bahwa ia ditunjuk untuk mendengar kasus yang diduga “basah” (sumber bagi suap yang besar). Ketika seorang hakim yang diinginkan telah ditunjuk, baik dakwaan maupun putusan dapat diatur.[61]Petugaspanitera juga dapat disuap untuk menambah atau mengurangi bukti dari rekaman pengadilan, karena merupakan hal penting bagi proses banding di Pengadilan Tinggi.[62] Setelah terdakwa dibebaskan, jaksa dapat menunda pengajuan banding ke Pengadilan Tinggi, dimana pengajuan tersebut harus dilakukan dalam jangka waktu dua minggu atau banding akan ditolak.[63]

Salah satu tehnik kolusi yang paling berani dikenal sebagai “peran pengganti,” dimana si terdakwa yang menghadiri persidangan dan menerima vonis adalah orang suruhan. Ini merupakan praktek yang mahal karena pembayaran yang dibutuhkan tidak hanya untuk pemeran pengganti tapi juga untuk polisi dan jaksa.[64]

Sebuah Operasi Penertiban Pembalakan Liar di Kalimantan Barat

Satu contoh dramatis atas keterlibatan oknum dalam korupsi sektor kehutanan terungkap pada bulan April 2008 di Kabupaten Ketapang yang terlilit praktik pembalakan liar. Untuk memberikan bayangan betapa parahnya kejahatan hutan di wilayah itu, berdasarkan perkiraan pemerintah atas nilai perdaganan kayu illegal yang melewati pelabuhan kota Ketapang adalah Rp 32 trilyun (3 milyar dolar AS) pertahunnya.[65]Jika hasil perdagangan ini dapat dikenai pajak, maka dana yang berpotensi untuk dikumpulkan akan sekitar tujuh kali anggaran provinsi.

Beberapa aparat pemerintah dilaporkan juga mereguk keuntungan dari perdagangan ilegal ini. Sebagai contoh, seorang reporter daerah yang sempat mewawancarai pelaku pemberi suap bertutur kepada Human Rights Watch bahwa pelaku mengaku untuk setiap kapal yang mengangkut kayu hasil pembalakan liar berlayar dari Ketapang ke Serawak, ia harus membayar antara Rp 10 juta hingga Rp 25 juta (3.000 dolar) untuk diberikan kepada Kapolres setempat.[66]Sementara reporter dari majalah Tempo menceritakan bahwa menurut sumber yang ia dapat di pelabuhan Ketapang, untuk menjamin suatu pengiriman bebas dari campur tangan aparat maka biaya yang harus dikeluarkan setidaknya adalah sebesar Rp 125 juta (13.000 dolar) yang merupakan uang suap bagi semua aparat penegak hukum dan kehutanan yang berkepentingan. Sumber Tempo lainnya menyebutkan bahwa pemberian suap kepada oknum aparat bervariasi antara Rp 60 juta hingga Rp 80 juta (6.500-20.000 dolar) tergantung jabatan dan posisi masing-masing. Sumber tersebut menyatakan bahwa dia sendiri pernah melakukan transaksi pengiriman uang sebesar Rp 400 juta (43.000 dolar) kepada oknum aparat kepolisian Ketapang menggunakan bank pemerintah.[67]Tempo juga menyatakan bahwa dalam satu hari setidak-tidaknya ada 30 kapal yang sarat dengan kayu ilegal berangkat dari pelabuhan Ketapang yang masing-masing mampu mengangkut 800 meter kubik kayu meranti, kruing and bengkirai[68]yang bernilai 200 ribu dolar. Dari jumlah suap yang dilaporkan, diperkirakan bahwa setidaknya sekitar 500 ribu dolar AS telah berpindah tangan untuk meloloskan kayu selundupan bernilai 6,6 juta dolar setiap harinya. Uang sogokan tersebut hanya mewakili 8 persen dari harga kayu dan uang tersebut hanyalah 15 persen dari biaya yang harus dibayarkan kepada pemerintah jika kayu-kayu tersebut diperoleh secara sah.

Sengkarut pembalakan liar di Ketapang yang sudah dikenal dan tak terkendali mendorong Polisi Republik Indonesia (Polri) dan Dephut membentuk tim gabungan dan menggelar operasi penertiban selama dua minggu pada bulan April 2008. Operasi penertiban ini direncanakan dan digelar tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada aparat penegak hukum dan kehutanan di daerah karena adanya dugaan keterlibatan mereka terhadap kegiatan ilegal. Beberapa yag di tangkap dalam operasi tersebut adalah mereka yang secara langsung terlibat membiayai pembalakan liar, koordinator operasi lapagan, pejabat yang member suap dan nahkoda kapal pengangkut. Selain itu penangkapan juga dilakukan terhadap Kasat dan Wakasat Serse Polres Ketapang, Kepala Kesatuan Pelaksana Pengamanan Pelabuhan, Kepala Dinas Kehutanan dan enam aparat kehutanan lainnya serta calon Wakil Bupati Ketapang. Polri juga menyidik Kapolda Kalimantan Barat yang akhirnya dimutasi dari jabatannya. Mengingat dalamnya cengkraman korupsi di Kalimantan Barat, Polri memutuskan untuk menahan dan mengadili para tersangka di Jakarta. Namun pada awal bulan Juni mereka dikembalikan untuk diadili di Ketapang. Walaupun begitu pada tanggal 21 Desember 2008 pengadilan menjatuhkan vonis 3 tahun penjara dan denda sebesar Rp 5 juta kepada masing-masing aparat dari Polres Ketapang. Kasus ini masih dalam tahap banding.[69] Sementara itu, lebih dari 6.300 meter kubik kayu sitaan dari kegiatan operasi penertiban itu diam-diam dilelang oleh polisi dengan harga 10 persen dari harga pasaran.[70]

V. Upaya Reformasi Kehutanan dan Pemberantasan Korupsi Saat Ini

Upaya penegakan hukum dalam bidang kehutanan telah meningkat tajam dibandingkan pada masa pemerintahan Soeharto.Ketika terpilih tahun 2004, President Susilo Bambang Yudhoyono mengampanyekan rencana pemberantasan korupsi dan telah membuat kemajuan yang sangat berarti dengan membentuk KPK.Presiden Yudhoyono juga berusaha membuat rancangan kebijakan yang ketat terkait pembalakan liar sebagai salah satu gebrakan pertamanya.Peraturan ini, meskipun tidak mendapat dukungan DPR, menetapkan hukuman minimal bagi mereka yang terbukti melakukan penebangan liar dan memberikan hak pada pemerintah untuk membekukan aset tersangka pelaku pembalakan hutan.[71]

Tahun 2005, presiden juga mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) tentang pemberantasan penebangan kayu secara ilegal yang menjanjikan adanya peningkatan upaya penegakan hukum.[72]Departemen Kehutanan juga menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan PPTAK untuk memperbesar kemungkinan penuntutan hukum yang lebih efektif atas pembalakan liar dengan menggunakan amandemen undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang yang memasukkan pembalakan liar sebagai salah satu bentuk kejahatan.[73]

Inpres tersebut menetetapkan adanya badan koordinasi di bawah Kementerian Koordinasi Politik, Hukum dan Keamanan yang melaporkan langsung ke Presiden dan berwenang mengkoordinasikan 18 instansi, termasuk Dephut dan Departemen Keuangan, Polri dan polisi daerah, Kejaksaan Agung, Badan Intelijen Nasional, militer, dan pemerintah daerah.[74] Polri yang bekerja sama dengan Dephut, telah melakukan serangkaian tindak penegakan hukum di daerah rawan penebangan seperti Papua, Kalimantan dan Sumatera. Ratusan tersangka telah ditahan, ribuan meter kubik kayu ilegal disita dan dilelang. Sebagai hasil dari tindakan ini, organisasi pemantau perdagangan kayu ilegal melihat adanya penurunan arus kayu ilegal, dan industri di Malaysia dan China yang mengandalkan kayu murah ilegal mengalami kesulitan karena keterbatasan pasokan. [75]

Akan tapi, organisasi pemantau tersebut menekankan bahwa saat ini belum waktunya untuk menyatakan kemenangan karena masalah pembalakan liar masih tetap besar.Meskipun dengan adanya Inpres No. 4/2005 telah meningkatkan ketegasan tindakan penegakan hukum di lapangan dan mengurangi pembeludakan pembalakan yang menandai tahun-tahun awal pasca Soeharto, langkah-langkah ini masih belum berhasil mengontrol aksi pembalakan liar. Cukong-cukong pembalakan liar yang terkenal masih terus bebas berkeliaran dan sebagaimana yang kami dokumentasikan dalam laporan ini, korupsi dan penggelapan pajak dalam bentuk penghindaran peraturan kehutanan dan pajak masih merajalela. Lembaga donor dan bahkan pejabat departemen pada umumnya mengetahui bahwa konsumsi kayu domestik untuk sektor bubur kertas dan kertas, kayu lapis, saput kayu, dan kayu gergajian hampir dua kali lipat dari pasokan legal, sehingga industri-industri ini tidak dapat menyangkal ketergantungannya pada kayu ilegal.[76]Hal ini berarti pemerintah mengenali, dan parahnya, memberikan toleransi pencurian aset negara secara besar-besaran.

Komisi Pemberantasan Korupsi: Kemajuan dan Ancaman

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Presiden Yudhoyono terpilih karena rencananya untuk mengambil tindakan tegas memberantas korupsi.Dalam satu aspek, Yudhoyono sudah membuat satu kemajuan nyata yang gagal dilakukan presiden-presiden sebelumnya yaitu membentukKPK. Kekuatan komisi ini bertumpang pada kemandiriannya. KPK memilih, menyelidiki, dan mengadili kasusnya pada pengadilan khusus yaitu pengadilan Tipikor. Walaupun pendanaannya harus disetujui oleh DPR, KPK bertanggung jawab langsung kepada presiden. Para ketuanya tidak terikat dengan persyaratan pegawai negeri sipil, artinya mereka mendapat gaji yang lebih tinggi dan mereka dilarang untuk menduduki posisi lain atau menerima “uang saku” lain yang biasanya diberikan pada pegawai negeri sipil. Karakteristik ini membantu mencegah komisioner dari pertentangan kepentingan dan sumber korupsi lainnya. Selain itu, mandat KPK mensyaratkan batasan waktu yang ketat untuk penyelesaian penyelidikan dan pengajuan kasus, sehingga dapat menghindari taktik mengulur waktu yang biasa digunakan jaksa penuntut umum, yang korup, untuk diam-diam menutup kasus.[77]

Aspek-aspek ini memungkinkan KPK menuai berbagai keberhasilan, memenangkan dakwaan dan mulai sedikit demi sedikit menggerus pengabaian hukum yang telah berlangsung puluhan tahun. Karena mandat yang diberikan terbatas pada kasus yang melibatkan pejabat tinggi, kerugian negara dalam jumlah besar, dan isu masyarakat yang mendesak, jumlah kasus yang ditangani menjadi kecil. Akan tapi, KPK memiliki pencapaian yang besar–sejak komisi ini memulai penyelidikannya pada tahun 2006, KPK berhasil memenangi semua 32 kasus yang diajukan selama ini–dan hal ini memberikan pesan kuat sebagaimana tercermin dari naiknya peringkat Indonesia dalam berbagai survei tentang korupsi. Indikator korupsi yang dikumpulkan oleh Bank Dunia dan survei persepsi terkait korupsi (Tabel 1) telah menunjukkan peningkatan sejak 2004 dan pembentukan KPK. Tidak seperti kemunduran yang terjadi di Thailand, China, Vietnam, Filipina, Timor Leste dan Kamboja, peningkatan nilai Indonesia mencapai hampir dua kali lipat. Akan tapi, Indonesia masih berada pada peringkat ke sembilan dari empat belas negara. Tahun 2007, berdasarkan survey yang dilakukan oleh Transparansi Internasional Indonesia hampir menempati peringkat 20 persen negara yang paling dipengaruhi oleh korupsi, dimana 31 persen yang diteliti dilaporkan pernah melakukan suap, walaupun begitu, peringkat yang ditepati Indonesia lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.[78]

Tabel 1: Indikator tata kelola terkait pengendalian korupsi di Asia Tenggara menurut Bank Dunia (dari terbaik ke terburuk)

Peringkat

Negara

2007

2006

2005

2004

2003

1

Singapura

96.1

97.1

98.1

98.1

98.5

2

Hong Kong

92.3

92.7

92.2

92.2

91.3

3

Taiwan

70.0

71.8

73.3

76.2

74.3

4

Korea Selatan

68.1

64.6

68.9

64.1

64.6

5

Malaysia

62.3

65.0

63.6

68.0

62.6

6

Thailand

44.0

49.0

53.9

51.0

50.0

7

China

30.9

35.4

31.1

32.5

43.2

8

Vietnam

28.0

25.2

26.7

23.8

32.5

9

Indonesia

27.1

21.8

18.9

18.0

14.1

10

Filipina

22.2

22.8

35.9

34.0

39.8

11

Timor Leste

16.9

19.4

24.3

37.9

36.9

12

Laos

13.0

12.6

11.7

12.6

13.6

13

Kamboja

8.2

7.8

11.2

13.6

17.0

14

Burma

1.4

0.5

0.5

0.5

2.9

Meskipun telah membuat gebrakan yang kuat dalam menghentikan ketidakpedulian atas korupsi, KPK masih memiliki beberapa titik kelemahan. Walaupun dalam mandatnya KPK memiliki kewenangan untuk memperoleh informasi tentang aset para pejabat publik, tampaknya KPK belum pernah menggunakan kewenangan ini untuk mewajibkan para pejabat menyediakan laporan yang dimaksud ataupun juga melakukan usaha nyata untuk menyelidiki laporan-laporan tersebut untuk membandingkan aset dengan penghasilan guna menemukan indikasi penghasilan yang tidak sah. Lebih jauh, meskipun berjanji akan melakukannya,[79]KPK belum membuat laporkan pengungkapan aset secara terbuka sehingga masyarakat bisa ikut melakukan pengawasan.[80]

Mandat yang diberikan dan terbatasnya sumber daya menghalangi KPK untuk mengungkap kasus-kasus korupsi secara lebih komprehensif. Banyak pengamat mengkritik bahwa KPK memiliki kepentingan politik karena melakukan tebang pilih terhadap kasus yang ditangani. KPK menekankan pengejaran koruptor yang meduduki jabatan tinggi di lembaga eksekutif dan legislatif. Walaupun posisi-posisi tersebut merupakan garis mulai yang baik, tapi sejauh ini baru sedikit tuntutan yang diajukan KPK terhadap polisi dan lembaga peradilan, meskipun penelitian oleh KPK sendiri, seperti juga yang dilakukan banyak LSM, menemukan bahwa korupsi paling merajalela di kedua institusi ini.[81]Tambahan pula, belum ada menteri yang sedang menjabat yang dikenai tuntutan, meskipun beberapa telah dimintai keterangannya berulang kali, diantaranya adalah Menteri Kehutanan Malam Sambat Kaban. M.S. Kaban dituduh terlibat dalam skandal korupsi sehubungan dengan penyalahgunaan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada saat krisis ekonomi di akhir 1990an, saat ia menjadi anggota Komisi Keuangan DPR, namun tuduhan tersebut dibantah oleh Menteri.[82]

Keluhan lain adalah meskipun banyak pejabat pemerintah yang sudah dihukum, beberapa diantaranya menjalani masa penjara yang lama, KPK belum menangkap pelaku korupsi kelas “kakap” dalam kelompok pelaku usaha. Hukuman terberat yang pernah diberikan pengadilan korupsi (20 tahun penjara menurut hukum) adalah terhadap mantan jaksa Urip Tri Gunawan, yang terbukti menerima suap sebesar 660.000 dolar AS (Rp 1 milyar) untuk membatalkan dakwaan terhadap pengusaha terkenal Sjamsul Nursalim, salah satu penerima dana BLBI. Rekan Nursalim, Artalita Suryani, yang mengantarkan uang suap, dikenai hukuman 5 tahun penjara dan denda 27.000 dollar (Rp 250 juta). Terlepas dari dakwaan-dakwaan tersebut, kasus Nursalim tetap dipetieskan.

Para pendukung KPK berpendapat bahwa di samping masalah terbatasnya sumber daya dan mandat yang luas (termasuk program pendidikan dan kegiatan pencegahan korupsi lainnya), KPK juga menghadapi masalah rumit yaitu balas dendam dari sejumlah tokoh berkuasa yang diselidiki. Mantan ketua KPKAmien Sunaryardi menyatakan bahwa KPK tidak menghindari pengusutan terhadap orang-orang dekat presiden tapi menanti saat yang tepat. “Ada dua hal yang harus diperhitungkan dalam mengajukan tuntutan dan memprioritaskan kasus–bukti yang tersedia dan waktu. KPK sedang menunggu waktu yang tepat. Seringkali semua bukti telah terkumpul seperti untuk banyak kasus di DPR misalnya. Mereka tidak bisa lari. Anda lihat saja nanti, KPK sedang menunggu waktu yang tepat.”[83]Ahli tata kelola Bank Dunia menyatakan,Saya tidak yakin kalau KPK bermain di bawah tangan. Tapi KPK harus mempertimbangkan efek dari gerakannya di segala aspek, salah satunya adalah aspek politik. KPK juga harus mempertimbangkan keberlanjutan dirinya.... Memang benar bahwa belum ada penuntutan terhadap menteri yang masih menjabat...tapi dalam hal ini bukan masalah perlindungan melainkan masalah pragmatis bagi kelangsungan institusi. Sekarang KPK mampu mengajukan kasus-kasus besar karena KPK telah mapan tapi KPK tetap harus memainkan kartunya dengan hati-hati.”[84]

Memang KPK telah menghadapi perlawanan yang cukup berat, yang dimulai ketika berhasil membentuk Pengadilan Tipikor, tempat KPK mengadili kasusnya tanpa berlandaskan undang-undang.Beberapa pengamat melihat kondisi ini sebagai kesempatan bagi mereka yang berada dalam penyelidikan KPK untuk merongrong dan melemahkan komisi ini, termasuk juga pengadilannya.[85]Putusan hasil peninjauan hukum pada tahun 2006 menyebutkan bahwa pembentukan Pengadilan Tipikor tidak sah dan perlu payung undang-undang tersendiri. Perlu diketahui bahwa putusan tersebut member peluang bagi DPR untuk membentuk pengadilan Tipikor yang baru dalam jangka waktu tiga tahun, namun pembahasan berjalan lambat hingga menjelang masa reses ketika dewan akhirnya mengeluarkan undang-undang yang berisi pasal-pasal yang mengurangi kemandirian dan efisiensi KPK.

Sementara itu, Kejaksaan Agung sebagai lembaga yang tugas keseharianya mengajukan tuntutan terhadap kasus-kasus korupsi, kemudian memanfaatkan peninjauan hukum tersebut sebagai penghalang bagi upaya organisasi-organisasi masyarakat madani yang ingin mengawasi kinerja Kejaksaan dalam menangani kasus-kasus korupsi. Pada bulan Januari 2009, Juru Bicara Kejaksaan Agung mengajukan tuntutan pencemaran nama baik terhadap aktivis ICW yang mengawasi kegiatan Kejaksaan. Kejaksaan menyatakan bahwa pihaknya telah berhasil menyita aset negara yang dicuri sejak tahun 2004 sebesar Rp 8,2 trilyun (850 juta dolar), tetapi ICW meragukan pernyataan tersebut dengan menyadur pernyataan BPK yang menunjukan bahwa Kejaksaan hanya menyetorkan aset curian tersebut ke Departemen Keuangan sebesar Rp 382,67 juta (40 juta dolar) saja. Ketika ICW meminta klarifikasi atas perbedaan angka tersebut, Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus (JAM Pidsus) Marwan Efendi menanggapi bahwa sebagian aset sitaan tersebut telah disetorkan kedalam rekening “pihak ketiga” dan sebagian lagi masih ada dalam rekening Kejaksaan.[86]Pihak Kejaksaan menyatakan bahwa dalam konferensi media yang di gelar ICW, organisasi tersebut seolah menuduh Kejaksaan telah melakukan penggelapan. Tetapi ICW membantah pernyataan tersebut. “Organisasi non-pemerintah sebaiknya memperhatikan pernyataannya ketika mengajukan kritik terhadap Kejaksaan,” ujar Juru Bicara Kejaksaan Jasman Panjaitan.[87]Pada tanggal 12 Oktober 2009, dua anggota ICW Emerson Yuntho dan Illian Deta Arta Sari dituntut pasal pencemaran nama baik. Pasal ini memperbolehkan dijatuhkanya vonis dengan ancaman pidana yang diperpanjang (hingga empat tahun) kepada mereka yang terbukti mencemarkan nama baik pejabat pemerintah.[88]

Sudah jelas KPK tidak memiliki sumberdaya dan mandat untuk menangani semua kasus korupsi dan mendongkel ketidakacuhan terhadap korupsi dengan sendirinya. Akan tetapi ada kemajuan yang menggembirakan bahwa KPK mampu bertindak sebagai ujung tombak dan menggoyahkan ketidakpedulian para pejabat pemerintah yang korup. Yang pasti keberadaan KPK telah mengubah perhitungan mereka yang memberi dan menerima suap dan bertindak sebagai pencegah bagi mereka yang berniat melakukannya. Keberhasilan komisi ini mengirimkan pertanda kuat terutama kepada mereka yang menyalahgunakan jabatannya bahwa mereka tidak lagi berada diluar jangkauan hukum.

Namun saat ini KPK berada di persimpangan yang menentukan. Jika peran KPK benar-benar diwujudkan, maka korupsi di kepolisian dan proses peradilan harus ditangani dengan lebih sistematis lagi. Institusi seperti Polri, Kejaksaan Agung dan Peradilan juga memerlukan perangkat pertanggungjawaban korupsi sebelum mereka ikut menangani berbagai kasus korupsi yang tidak ditangani oleh KPK. Sebagaimana yang di lontarkan oleh salah satu aktivis LSM, “Kita tidak bisa membersihkan lantai dengan sapu yang kotor.”[89]Pemeriksaan atas aset yang dilaporkan, sesuai dengan mandat yang diterima KPK,[90]harus dilaksanakan dan dapat diketahui oleh publik. Selain itu, walaupun pendidikan seputar korupsi dan penanggulangannya memang penting, mengingat keterbatasan sumber daya dan kemampuan KPK, sebaiknya ditugaskan kepada badan lain sehingga KPK dapat berkonsentrasi pada peran penanggulangannya.

Ketika laporan ini mulai masuk dalam tahap penyelesaian, semakin terlihat peningkatan tanda-tanda bahwa mereka yang terancam dengan keberadaan KPK mulai melancarkan balik untuk merongrong keefektifan komisi ini. Perseteruan dengan kepolisian merebak kepermukaan setelah Kepala Bareskrim Mabes Polri Komjen Pol Susno Duadji mengeluh di media bahwa percakapannya melalui telepon selular berkaitan dengan penyidikan kasus bank Century telah disadap.[91]Selanjutnya media kemudian melaporkan bahwa berdasarkan penyadapan KPK, Susno terdengar meminta setoran sebesar 1 juta dolar dari seorang pejabat bank Century yang tengah dalam penyelidikan oleh polisi dan KPK. Susno membantah bahwa peryataan seputar uang dalam rekaman penyadapan tersebut merupakan maksud perintaan suap. Susno menjelaskan, “Saya sadar kalau sedang disadap. Itu sebabnya saya memang sengaja berbicara seenaknya dengan meminta uang dan emas agar yang menyadap menjadi iri.”[92]Susno kemudian membantah tuduhan atas dirinya dengan berkata, “Itu jumlah yang terlalu kecil untuk saya,” dan “Kalau ada yang mengatakan bahwa saya minta uang dari Bank Century, saya akan periksa mereka.”[93]Ketika ditanya oleh wartawan majalah Tempo mengenai bukti penyadapan yang dipunyai KPK atas dirinya, Susno berkomentar, “Sebagai perbandingan, coba bayangkan satu sisi ada cicak dan satu sisi ada buaya. Jadi ada cicak yang ingin menyerang buaya. Apakah buaya akan marah? Tidak, hanya kecewa karena cicak itu pasti bodoh.”[94] Ketika para aktivis melancarkan protes keras atas apa yang menurut mereka merupakan upaya mengintimidasi KPK, Susno menjawab, “Saya hanya menceritakan perumpamaan antara hewan. Saya tidak menyangkut pautkan hewan tersebut dengan institusi apapun.”[95]

Perseteruan publik ini berpuncak pada dakwaan polisi terhadap dua ketua KPK yang kemudian dipecat dari jabatannya dengan tuduhan “penyalahgunaan wewenang” ketika mengeluarkan perintah pencekalan terhadap tersangka korupsi kelas kakap (yang kemudian melarikan diri keluar negeri). Sementara Ketua KPK lainnya tengah menghadapi kasus hukum dan didakwa melakukan pembunuhan atas tersangka kasus korupsi.

Menjelang akhir bulan September 2009, Presiden Yudhoyono mengeluarkan Keputusan Presiden mengenai pembentukan tim pemilih pimpinan sementara KPK (berdasarkan persetujuan presiden) sebagai pengganti ketiga ketua komisi tersebut yang tengah mengalami kasus hukum. Hal ini dianggap oleh para aktivis sebagai salah satu usaha untuk mengendalikan kepemimpinan institusi dan pelanggaran terhadap undang-undang KPK yang secara jelas menyebutkan bahwa DPR lah yang memiliki wewenang untuk menunjuk para ketua tersebut.[96]

Salah satu potensi yang menggerogoti keefektifan KPK datang dari pasal yang ada dalam undang-undang baru, yang dikeluarkan oleh DPR diujung masa sidang terakhirnya, yang mengurangi peran hakim non-karir pada Pengadilan Tipikor. Hakim-hakim ini, yang merupakan pejabat di luar institusi, berpotesi tidak terlalu mudah untuk dipengaruhi. Dan dengan demikian membantu menjaga kemandirian dan ketidakberpihakan Pengadilan Tipikor.[97] Dalam undang-undang yang baru, jajaran hakim ini ditentukan secara khusus oleh Kepala Pengadilan Negeri. Seperti yang sudah ditulis di bagian lain di dalam laporan ini, banyak yang beranggapan bahwa pengadilan negeri adalah institusi yang juga korup. Proses pemilihan hakim-hakim tersebut tidak secara khusus disebutkan dalam undang-undang dan tidak ada pengawasan terhadap proses tersebut.

Undang-undang baru tersebut juga memberikan jalan bagi rencana pembentukan Pengadilan Tipikor di 33 propinsi, dan pada akhirnya akan dibentuk di semua daerah tingkat dua. Walaupun tujuan pembentukan pengadilan di semua wilayah merupakan niat yang baik, keberadaan pengadilan-pengadilan tersebut akan menimbulkan kesulitan pengawasan, menggerogoti kemampuan teknis dan pendanaan daerah dan berpotensi memakan biaya yang sebenarnya diperlukan untuk mengoperasikan kegiatan pengadilan yang sudah ada secara efektif. Dengan adanya janji kampanye Presiden Yudhoyono untuk memerangi korupsi, kami khawatir bahwa partai milik Presiden dan pemerintah akan mendukung perubahan-perubahan yang akan membahayakan efektivitas KPK tersebut.

Masih belum jelas bagaimana kelangsungan koalisi yang besar dalam pemerintahan ini, hasil penunjukan kabinet baru serta hutang-hutang politik yang dijanjikan selama kampanye presiden dan legislatif akan berpengaruh pada dukungan pemerintah terhadap kinerja KPK. Kita tunggu apakah dibawah kepemimpin baru yang ditunjuk oleh tim bentukan presiden KPK akan dengan efektif terus memburu para pelaku korupsi kelas kakap.

VI. Dampak Pada Hak Asasi Manusia

Korupsi di sektor kehutanan memiliki dampak limpahan yang sangat luas terhadap tata kelola dan HAM. Individu-individu yang bertanggung jawab atas kerugian ini jarang sekali dimintai pertanggungjawabannya oleh penegakan hukum serta sistem peradilan yang tercemari oleh korupsi dan kepentingan-kepentingan pembalakan liar, sehingga mencederai penghormatan pada HAM. Selain itu, warga negara tidak mampu menuntut pertanggungjawaban pemerintahan karena akses terhadap informasi publik sangat terbatas. Dan kesempatan yang hilang akibat menguapnya pemasukan sangatlah besar: dana yang sangat dibutuhkan untuk layanan-layanan dasar yang dapat membantu negara dalam memenuhi kewajiban HAM-nya seperti untuk bidang kesehatan hilang begitu saja mengalir ke kantung-kantung para cukong kayu dan pejabat negara yang korup.

Kegagalan Peradilan

Bahkan dengan pembentukan KPK, kebanyakan kasus korupsi di Indonesia, termasuk kasus-kasus yang melibatkan pembalakan liar dan kejahatan lain yang berkaitan dengan kehutanan, sering digelar di pengadilan-pengadilan negeri yang memiliki citra yang jauh lebih buruk lagi.

Keadilan masih sering dijadikan komoditas yang diperjualbelikan, khususnya dalam kasus yang melibatkan banyak uang seperti pada kasus-kasus pembalakan. Pada tahun 2003, Pelapor PBB untuk Kemandirian Peradilan mengutuk korupsi di lembaga peradilan Indonesia sebagai “salah satu yang terburuk yang pernah saya lihat.”[98]Bank Dunia mencatat pada tahun 2006: “Kemampuan sektor ini untuk melaksanakan mandatnya terpenggal oleh sebuah kombinasi menyedihkan antara standar profesionalitas yang rendah dan korupsi yang tersebar luas. Masyarakat Indonesia melihat bahwa institusi-institusi sektor peradilan merupakan organisasi yang terkorup dan paling tidak efisien di negeri itu.”[99] Aparat yang bertanggung jawab atas penegakan hukum selalu menjadi bagian dari masalah. Sebagai buktinya, pada tahun 2007 Kepala Divisi Hubugan Masyarakat Markas Besar Kepolisian, Inspektur Jenderal Sisno Adiwinoto, tidak hanya mengancam hendak menuntut Transparansi Internasional Indonesia (TI) dengan tuduhan pencemaran nama baik karena menyebutkan kepolisian di antara institusi yang terkorup di negeri ini,[100]tapi juga untuk menggunakan kemampuan intelijen polisi guna menemukan siapa saja yang telah berpartisipasi dalam survei TI yang menyamarkan para narasumber tersebut, “untuk meyakinkan tidak adanya kelompok ekstrimis didanai oleh para koruptor” dan lebih lanjut lagi menyatakan hasil survei tersebut mengindikasikan adanya “campur tangan asing.”[101]

Upaya-upaya untuk memberantas korupsi dengan mereformasi bidang peradilan juga melesu. Selain dari reformasi KPK, yang sudah dibahas di atas, upaya reformasi peradilan masih setengah hati dan membuahkan hasil yang sedikit. Rencana untuk mereformasi Kejaksaan Agung, yang diumumkan pada bulan Juli 2008,dianggap “hanya sekedar angan-angan” oleh Komisi Kejaksaan (sebuah badan yang dibentuk pada tahun 2005 melalui Kepres dan bertanggungjawab langsung pada presiden). Seorang anggota komisi mengeluh, “Rencana itu tidak menunjukkan usaha apapun untuk melakukan reformasi internal dalam tubuh Kejaksaan, yang dibayangi oleh penyuapan, pemerasan dan pejabat-pejabat yang tidak punya orientasi pada pelayanan.”[102]

Walaupun dalam beberapa tahun belakangan ini tampak sejumlah penangkapan dan penyitaan kayu-kayu curian, catatan Indonesia dalam membawa kasus-kasus pembalakan liar ke pengadilan dan menghasilkan dijatuhkanya vonis masih saja buram. Lebih dari itu, justru buruh rendahan (pada umumnya miskin) yang harus menanggung akibat tindakan penegakan hukum. Kelompok aktivis lingkungan hidup Indonesia, Telapak, yang memantau perdagangan kayu dan kasus-kasus pembalakan liar melaporkan bahwa, “Meskipun Indonesia sering menggembar-gemborkan penanganan kasus pembalakan liar, tidak ada satu pun penjahat kayu kelas kakap yang telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan.”[103]

Ada cukup bukti yang mendukung pernyataan ini bahwa banyak yang bertanggung jawab atas pembalakan liar justru dibebaskan atau hanya dijatuhi hukuman ringan saja. Dalam operasi penertiban besar-besaran di Kalimantan dan Papua pada tahun 2005 dengan sandi “Operasi Hutan Lestari (OHL)II, 186 orang ditangkap, termasuk 18 perwira senior militer dan polisi. Pemerintah menyatakan telah menghabiskan lebih dari 1 juta dolar AS untuk menyelenggarakan operasi ini, hanya 13 orang yang akhirnya dinyatakan bersalah atas kejahatan terkait, dengan hukuman terlama adalah dua tahun. Tidak ada pejabat senior yang dijatuhi hukuman.[104]

Sebenarnya, banyak yang mencurigai bahwa operasi-operasi penertiban justru sering digunakan sebagai kesempatan untuk melakukan korupsi yang lebih banyak lagi, baik untuk menerima suap dari tersangka ataupun untuk memanipulasi lelang kayu-kayu sitaan. Seorang perwira senior di Markas Besar Polisi mengakui bahwa lelang kayu-kayu sitaan hanya menghasilkan Rp 40 milyar (4 juta dolar), padahal targetnya adalah Rp 2 trilyun (220 milyar dolar), hal ini terjadi karena keterlibatan polisi dalam mencurangi penjualannya.[105]Sejumlah penduduk setempat dilaporkan mengejek bahwa polisi yang terlibat dalam OHL II “datang dengan M-16 dan pulang membawa 16 M.[106]

Para aktivis juga mencatat bahwa operasi-operasi memberantas pembalakan liar kadang-kadang digunakan sebagai senjata politik untuk menyerang reputasi dan keuangan dari pihak oposisi, sebuah motif yang diduga oleh banyak pihak ada di balik Operasi Ketapang (seperti yang digambarkan pada kotak sebelumnya tentang Kalimantan Barat) yang berhasil menyingkirkan seorang penantang kuat dalam pemilihan kepala daerah. Seorang investigator menuturkan:

Di daerah-derah yang kaya dengan sumber daya alam, akan terlihat peningkatan pembalakan liar pada masa pemilihan kepala daerah. Pembalakan liar digunakan sebagai rekening bank untuk mendanai dana kampanye. Ketua “tim sukses sering terlibat dengan operasi-operasi pembalakan liar. Dan tentu saja jika kampanye berhasil, para pembalak minta sejumlah ‘ucapan terima kasih’ dari pejabat baru.[107]

Secara keseluruhan, ada tujuh operasi besar pemberantasan pembalakan liar yang telah digelar di Indonesia sejak tahun 2000. Walaupun operasi lapangan sudah sedemikian agresifnya, pertanggungjawaban hukum masih sulit dicapai dalam sektor ini sehingga upaya tersebut tidak memberikan dampak jangka panjang dalam memperbaiki atau mencegah kerugian akibat pembalakan liar. LSM-LSM yang memantau kasus-kasus di pengadilan melaporkan bahwa dari sekitar 3000 tersangka yang terjaring operasi-operasi selama ini, mereka yang divonis atas kejahatan terkait bisa dihitung dengan jari tangan.[108]

Lebih jauh, bukti-bukti pengadilan menunjukkan bahwa mereka yang paling sering terjerat operasi ini hanyalah buruh kecil atau orang-orang setempat yang bersusah payah untuk mendapatkan penghidupan. Sementara orng yang memberikan dukungan ekonomi dan politik yang ada di belakang kegiatan pembalakan liar –yang paling bertanggung jawab dan mengeruk keuntungan terbesar–sering lolos dari operasi penertiban di lapangan. ICW melansir bahwa dari 205 kasus pembalakan yang dipantau antara tahun 2005-2008, 156 tuntutan hukum (76 persen) diajukan kepada buruh rendahan. Dari 49 kasus melawan pejabat pemerintah atau pebisnis kakap, 35 kasus (71 persen) berujung pada pembebasan. Dari 14 pelaku kelas kakap yang dinyatakan bersalah, 9 diantaranya hanya dijatuhi hukuman 2 tahun penjara atau lebih rendah.[109]

Ketidakpedulian hukum terus berpihak pada pelaku-pelaku yang paling diuntungkan oleh pembalakan liar. Telapak mencatat bahwa saat M.S. Kaban memasukkan 19 cukong kelas kakap sebagai tersangka dalam laporan yang diserahkan ke Kejaksaan Agung pada tahun 2004 (daftar yang kemudian dilaporkan bertambah menjadi 59 orang), lima tahun selanjutnya tidak satu pun dari mereka yang ditangkap.[110]Ketika seorang bos pembalak liar mendapat vonis bebas padahal bukti-bukti yang disertakan cukup kuat, Menteri yang frustrasi melihat kejadian tersebut kemudian menyerukan kepada LSM dan masyarakat untuk mengawasi pengadilan kasus-kasus pembalak liar karena dia mengamati bahwa kalaupun sampai ada penuntutan, mereka justru sering divonis bebas.[111]

Dalam satu kasus tingkat tinggi di kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, bos kayu Tian Hartono (alias Bun Tia) telah dicurigai selama bertahun-tahun sebagai pembalak liar, termasuk atas aksi penebangan di area konservasi. Dinas Kehutanan Kabupaten melaporkan hasil penyelidikan pada polisi tapi nampaknya tidak ada langkah hukum yang diambil. Para aktivis menyatakan bahwa hal ini bisa terjadi dikarenakan kedekatan Bun Tia dengan aparat penegak hukum dan anggota dewan.[112] Akhirnya, LSM setempat melakukan investigasi sendiri dan menyerahkan temuan-temuan mereka pada Kejaksaan Tinggi, yang menghasilkan tuntutan atas pembalakan liar dan penggunaan mesin berat tanpa ijin. Bun Tia awalnya dinyatakan bersalah pada tahun 2006 dan dihukum 10 tahun penjara serta denda 2 milyar rupiah (sekitar 200.000 dolar). Namun, pengadilan banding membatalkan tuntutan pembalakan liar dan hukuman untuk penggunakan alat berat dikurangi menjadi 16 bulan dan denda 1 milyar rupiah (100.000 dolar).

Dalam kasus terkenal yang lain, PPATK mengajukan bukti ke pengadilan mengenai adanya transfer yang mencurigakan selama 14 bulan kedalam rekening atas nama Marthen Renouw, Komisaris Polisi di Sorong, Papua yang merupakan tempat di mana pembalakan hutan merajalela. Jumlah keseluruhan transfer yang mencurigakan ini adalah sebesar Rp 1,06 milyar (120,000 dolar) dan berdasarkan penelusuran, berasal dari para direktur dari dua perusahaan kayu yang nantinya tertangkap pada OHL II dan memiliki 15.000 meter kubik kayu illegal. Memahami bahwa ia tertangkap, Renouw mengakui telah menerima transfer itu, tapi dia mengklaimnya sebagai “bantuan dana” untuk membiayai operasi anti pembalakan liar. Pihak pengadilan mengambil penjelasannya mentah-mentah dan, dengan mengklaim bahwa hilangnya seorang saksi kunci sehingga melemahkan bukti terhadap terdakwa, akhirnya membebaskan Renouw. Jaksa gagal untuk melakukan banding dalam batas 14hari yang ditetapkan, dan permintaan bandingnya pun ditolak.[113]

Belum lagi cukong pembalak yang juga terkenal, Prasetyo Gow (alias Asong), yang ditangkap di Kalimantan Barat pada tahun 2005 karena memuat 13.000 meter kubik kayu (seharga lebih dari 2,5 juta dolar AS) ke kapal tanpa dokumen sah. Pihak jaksa menuntut empat-tahun penjara tapi Gow dibebaskan dari semua tuduhan, karena menurut hakimnya, “Secara hukum tidak bersalah karena kapalnya belum berlayar pada waktu penangkapan.” Bagaimana pun, hakim mengakui bahwa terdakwa tidak mempunyai dokumen sah yang diperlukan saat kayu diangkut, yang menurut para ahli hukum kehutanan di Indonesia adalah jelas pelanggaran hukum kehutanan.[114]Setelah mendengarkan putusan itu, M.S. Kaban mengeluh, “Saya mencurigai adanya permainan kotor. Saya curiga mereka telah menyimpang dari hukum.”[115]

Namun, menteri sendiri juga telah menunjukkan ketidakkonsistenan yang mengkhawatirkan dalam penegakan hukum. Sebagai contoh, Meteri beberapa kali melakukan campur tangan untuk membela para pembalak liar di pengadilan.Dalam sejumlah kasus melawan para cukong kayu yang dituduh melakukan pembalakan liar di luar ijin konsesi mereka–salah satunya dilakukan di dalam lingkup taman nasional–menteri melakukan campur tangan dengan berargumen bahwa, menurut penafsirannya yang kontraversial terhadap pasal 80 Undang-Undang Pokok Kehutanan (lihat kotak teks di bawah), mereka yang mempunyai ijin konsesi resmi seharusnya hanya dituntut dengan denda administratif atas tindakan-tindakan ilegal dan bukan diancam dengan tuntutan kriminal.[116]

Kesalahan Menteri Dalam Melakukan Interpretasi Atas Undang-Undang Kehutanan Berakibat Lolosnya Pembalak Liar Dari Cengkeraman Hukum

Pasal 50 Undang-Undang Kehutanan tahun 1999 mendefinisikan tindak pidana dan pasal 78 mengatur hukuman maksimal atas tindakan-tindakan berikut ini:

 

Tindak pidana yang diidentifikasikan dalam Undang-Undang Pokok Kehutanan 1999

Melakukan kegiatan yang

menimbulkan kerusakan hutan”

5 tahun penjara,

Denda Rp 5 milyar

Menebang pohon tanpa ijin

10 tahun

Rp 5 milyar

Mengangkut atau menerima kayu ilegal

5 tahun,

Rp 5 milyar

Membakar hutan

15 tahun

Rp 5 milyar

 Rp 5 milyar

Teks asli dari pasal 80 berbunyi:

  1. “Setiap perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam undang-undang ini, dengan tidak mengurangi sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78, mewajibkan kepada penanggung jawab perbuatan itu untuk membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan atau akibat yang ditimbulkan kepada Negara, untuk biaya rehabilitasi, pemulihan kondisi hutan, atau tindakan lain yang diperlukan.
  2. Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan, atau izin pemungutan hasil hutan yang diatur dalam undang-undang ini, apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78 dikenakan sanksi administratif.

Adanya klausa “dengan tidak mengurangi sanksi pidana” pada paragraf pertama dalam pasal ini serta tidak adanya istilah yang mengindikasikan bahwa sanksi administratif sebenarnya akan menggantikan saksi kriminal sebagaimana didefinisikan pada pasal 78 membuat Human Rights Watch menyimpulkan bahwa pasal 80 juga memberikan sanksi administratif sebagai tambahan atas sanksi kriminal, bukan sebagai penggantinya, sebagaimana yang diargumentasikan oleh Menteri.[117]Dengan demikian sudah jelas bahwa ini merupakan interpretasi yang masuk akal karena akan sangat aneh jika jenis-jenis pelanggaran sudah ditentukan tapi member peluang kepada para pemegang ijin untuk melanggar aturan tersebut tanpa adanya sanksi hukum atas mereka.

Salah satu kasus yang memicu cercaan adalah kasus yang melibatkan Adelin Lis, bekas direktur keuangan perusahaan kayu PT Keang Nam dan komisaris PT Inanta Timber. Kedua perusahaan ini dipercaya terlibat dalam pembalakan liar di luar konsesi mereka di Sumatra Utara dan dituduh melakukan pembakaran untuk membersihkan lahan, yang menyebabkan polusi asap tebal sampai ke Malaysia dan Singapura. Saat penyelidikan awal polisi, Adelin melarikan diri dari Indonesia tapi ditangkap di Beijing pada tahun 2006 saat dia berusaha untuk memperbarui paspor dan membuat pegawai konsulat Indonesia curiga karena menyatakan dirinya berada di China sebagai seorang pelajar (Adelin berusia 50 tahun).

Jaksa di Pengadilan Negeri Sumatra Utara menuntut hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 1 milyar, disamping pembayaran tunggakan biaya royalti hutan sebesar Rp 119,8 milyar (1,3 juta dolar) dan DR sebesar 2,9 juta dolar Amerika. Tapi, hakim menyatakan bahwa bukti-bukti terhadap Adelin tidaklah cukup dan mengatakan kesaksian saksi ahli dari Institut Pertanian Bogor “tidak kredibel.” Tambahan lagi, surat yang ditulis oleh M.S. Kaban kepada majelis hakim yang berargumentasi bahwa “tindakan yang dilakukan oleh tersangka Adelin Lis bukanlah kriminal, tapi sekedar merupakan keteledoran administrasi...Karenanya, pihak yang berwenang untuk penanganan kasus ini adalah Departemen Kehutanan, bukanlah pengadilan.” Adelin dilaporkan dibebaskan dari penjara dan, setelah koran setempat memberitakan niat polisi untuk menangkapnya kembali atas tuduhan pencucian uang, Adelin menghilang sebelum polisi menangkapnya dengan tuduhan baru ini. Pembebasan Lis dibatalkan oleh Mahkamah Agung dan dia dihukum penjara selama 10 tahun serta denda sebesar Rp 119.8 milyar (1.938 juta dolar), tapi sampai sekarang dia masih buron dan denda serta pajaknya belum dibayarkan.

Contoh lain dari campur tangan kementerian adalah dalam kasus pembatalan operasi pemberantasan pembalakan liar di Riau pada tahun 2007. Kapolda Riau, Brig. Jen. Sutjiptadi, yang memelopori pemberantasan pembalakan liar, dilaporkan telah menyebutkan sekitar 250 orang sebagai tersangka termasuk sejumlah pejabat senior di dinas kehutanan daerah atas kejahatan terkait dengan pembalakan liar, pengangkutan kayu ilegal, penghindaran pajak dan pemalsuan dokumen.[118]Atas jerih payah tersebut Sutjiptadi diperingatkan oleh Menteri Kaban karena dianggap melakukan penegakan hukum secara berlebihan dan bertidak di luar kewenangannya dengan menangkap mereka yang memiliki ijin resmi penebangan dan berakibat mengganggu kegiatan industri bubur kertas dan kertas besar di provinsi itu.[119]Brig. Jen. Sutjiptadi akhirnya dipindahkan dari posisinya dengan ‘dipromosikan’ menjadi pengajar di Akademi Kepolisian di Jawa.[120]Kapolda yang baru menghentikan penyidikan terhadap 13 dari 14 perusahaan yang dituduh melakukan pembalakan liar, yang kesemuanya memasokan dua perusahaan kertas dan bubur kertas besar di provinsi itu (terbesar di negara ini), yang merupakan pemakai kayu terbesar di negeri ini.[121]

Seperti yag telah disinggung sebelumnya, KPK, berpeggangan dengan Undang-Undang Tipikor, telah beberapa kali berhasil memburu pemodal dan pejabat tinggi yang paling diuntungkan dari pembalakan liar. Mantan anggota DPR Indonesia, Al Amin Nur Nasution, dihukum 8 tahun penjara dan denda Rp 250 juta (23 ribu dolar) karena mengijinkan pembalakan hutan lindung di area Banyuasin di Sumatra Selatan dengan memfasilitasi perubahan pada status kawasan wilayah tersebut. [122]Empat anggota parlemen yang duduk di komisi IV (membidangi kehutanan, pertanian dan kelautan) dituduh terlibat dalam kasus ini.[123]Dalam pembelaannya, salah satu dari anggota DPR, Sarjan Tahir, yang berperan penting dalam menentukan pembayaran antara pihak pengembang dan anggota dewan, hanya bisa member kesimpulan bahwa “Anggota dewan sudah biasa menerima uang dari seseorang sebagai tanda balas budi.... jika kami tidak menerima uangnya, teman-teman [di DPR] akan mempertanyakan alasannya, menuduh saya telah mengambil semua uang untuk diri sendiri.”[124]

Walaupun masih sporadis, operasi penertiban di lapangan telah menjadi efek penangkal, terutama diantara para operator dengan kelas rendah yang menanggung beban dari upaya penegakan hukum. Tetapi dalam segi pertanggungjawaban hukum dan pengembalian aset negara dari mereka yang paling bertanggung jawab atas kejahatan hutan masih mengecewakan. Terkait buramnya hasil analisis tentang meningkatnya upaya penegakan hukum akhir-akhir ini, Telapak menyimpulkan, “Pelajaran utama dari OHL II adalah peringatan bagi mereka yang berpikir bahwa sistem hukum di Indonesia saat ini mampu menangkap juragan-juragan kayu–pengalaman pahit ini menunjukkan bahwa sistem ini masih belum mampu mencapai tujuannya.”[125]

Kegagalan Transparansi

Kemampuan warga negara untuk mengetahui apa yang terjadi dan mengawasi kinerja pemerintah sangat penting dalam pemberantasan korupsi. Indonesia mengambil langkah penting untuk memperbaiki transparansi dengan disahkannya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) pada tanggal 3 April 2008, setelah dibahas selama delapan tahun di DPR. Namun, public yang berupaya untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah selalu menemui halangan. Dalam kasus yang dijelaskan di bawah ini, seorang penasehat hukum bidang kepentingan publik bahkan ditolak permintaannya untuk memperoleh informasti seputar keputusan Mahkamah Agung, yang mewajibkan pemberian akses publik atas keputusan yang sudah dibuat.

Seandainya publik memiliki akses informasi tentang jumlah uang yang diterima negara untuk bidang-bidang anggaran atau jumlah anggaran yang direncanakan, mereka memiliki perangkat yang cukup untuk meminta pertanggungjawaban negara. Sebagai contoh di Uganda, saat LSM mempublikasikan anggaran untuk sekolah-sekolah di daerah, masyarakat berhasil mendesakkan alokasi anggaran yang lebih besar dan hasil layanan pendidikan yang lebih baik.[126]

Di Indonesia, penelitian terbaru mengungkapkan bahwa korupsi yang terjadi pada tingkat anggaran daerah sudah sangat umum. Pengusaha dan pejabat daerah seringkali bersekongkol untuk memalsukan dan menggelembungkan anggaran serta memanipulasi pengadaan proyek.[127] Para aktivis setempat mulai semakin meningkatkan pengawasan tapi mengeluhkan bahwa mereka hanya bisa mendapat informasi tentang anggaran dan pengeluaran melalui bocoran orang dalam atau dengan memfoto sembunyi-sembunyi atau bahkan dengan mencuri salinan dokumen anggaran. [128]

Dalam bidang peradilan, transparansi sangat penting mengingat perhatian publik pada kasus-kasus hukum, khususnya ketika ada sejarah perilaku korupsi di peradilan, dapat membantu memastikan pertanggungjawaban dan penerapan hukum yang adil. Di Indonesia, pengawasan seperti itu terhambat oleh kurangnya akses publik pada berkas-berkas penuntutan, dokumen-dokumen pengadilan serta keputusan pengadilan yang tersedia hanya untuk ‘pihak-pihak’ tertentu (jaksa, pembela dan hakim) kecuali melalui jalur informal.Banyak organisasi masyarakat madani bergantung pada liputan media untuk informasi-informasi yang terkait dengan pengadilan.

Seorang penasehat hukum bidang kepentingan umum mengatakan pada Human Rights Watch, “Pengawasan peradilan sangat sulit dilakukan kecuali jika kita punya waktu dan staff untuk menghadiri pengadilan setiap hari pada setiap kasus. Jika tidak, untuk mendapat akses pada dokumen-dokumen pengadilan tanpa koneksi dari dalam sangat tidak mungkin.”[129]Sebuah contoh yang ironis tentang kurangnya transparansi pada sektor peradilan adalah kasus dimana seorang pengacara lingkungan hidup daerah bertutur kepada Human Rights Watch bahwa dia pergi ke Mahkamah Agung untuk mendapatkan salinan dari keputusan MA yang memberi akses kepada public atas putusan pengadilan,[130]setelah menunggu berjam-jam, pengacara tersebut mendapat pemberitahuan bahwa dia tetap tidak bisa mengakses dokumen tersebut sebab 1) keputusan itu bersifat “politis,” 2) sudah ada banyak permintaan untuk hal itu, dan 3) dokumen itu sangat panjang.[131]Walaupun putusan itu sendiri adalah langkah menuju ke arah yang benar, penerapannya tetaplah menghadapi banyak kesulitan.

Pada sektor kehutanan, walaupun menteri telah menandatangani arahan mengenai transparansi,[132]kepatuhan atas arahan itu tidak berlaku seragam. Para aktivis dan penasehat kementerian mengeluhkan bahwa sejumlah bagian dalam kantor kementerian dan kantor dinas provinsi serta kabupaten tetap mempertahankan ‘budaya internal’ yang cenderung mempertahankan ketidakjelasan sebagai tameng untuk menghindari kritik.Para aktivis, akademisi, dan profesional yang bekerja di sektor ini, secara berulangkali menjelaskan kepada Human Rights Watch, bahwa mereka selalu dihalangi untuk memperoleh informasi yang seharusnya menjadi milik publik, baik melalui bantahan terang-terangan ataupun bentuk penghalangan dan penghindaran yang sifatnya lebih pasif terhadap permintaan informasi. Sebagaimana dideskripsikan di bawah ini, para peneliti dari Human Rights Watch sendiri mengalami hal yang sama.[133]   

Walaupun ada pembahasan seputar peningkatan “Pusat Informasi Kehutanan” di tingkat provinsi yang berfungsi untuk menampung dan membuka semua data kehutanan kepada publik, salah seorang konsultan untuk proyek ini menuturkan, “Mereka masih menolak konsep informasi ‘publik’, yang terbuka untuk semua. Mereka ingin membatasi orang-orang yang tidak punya alasan ‘yang sah’ untuk meminta informasi tersebut. Mereka tidak ingin data-data mereka dipakai untuk mengkritik mereka, khususnya pada isu-isu sensitif seperti ijin tebang habis dan perubahan status wilayah serta pemasukan. Mereka beranggapan bahwa itu [pemberian informasi] merupakan hak mereka.”[134]Penasehat yang lain berkomentar lebih tegas lagi, “Pada prinsipnya banyak di departemen yang tertarik, tapi itu tergantung sedalam apakah informasi yang diinginkan. Beberapa orang juga sangat hati-hati terhadap apa yang ingin mereka sampaikan, dan perlu disebutka juga bahwa ada sejumlah orang yang nyata-nyata terlibat dalam pembalakan liar dan tidak ingin siapapun melihat catatan mereka.”[135]

Ketika berada di Kalimantan Barat, peneliti Human Rights Watch mengunjungi kantor Dinas Kehutanan di empat kabupatan (Ketapang, Sambas, Sintang dan Kapuas Hulu) dan kantor Dinas Kehutanan Provinsi di Pontianak, sebagai upaya untuk mendapatkan data produksi hutan tahunan seputar industri kayu utama (kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis dan saput kayu)di wilayah provinsi, pasokan kayu resmi dari ijin pembukaan lahan dan perkebunan, serta pendapatan dari hasil hutan yang diterima oleh pemerintah. Di tiga kabupaten, para peneliti setempat tidak diberikan akses terhadap data apapun, dan di satu kabupaten (Sintang) perlu beberapa hari untuk melakukan negosiasi guna mendapatkan aksesnya. Akhirnya, Dinas Kehutanan tidak memberikan data terkait ijin tebang bersih atau pendapatan dari hasil hutan, jika data tersebut ada, biasanya hanya memuat data jumlah penebangan tahunan yang diijinkan bagi sebuah konsesi penebangan—dengan tulisan tangan. Petugas Kehutanan di Ketapang khususnya sangat kasar dan menolak permintaan informasi disebabkan pelaksanaan operasi pembalakan liar yang ramai dipublikasikan akhir-akhir ini, yang seperti disebutkan di atas yang berujung ditangkapnya Kepala Dinas Kehutanan.

Aparat menggunakan siasat menghindar seperti menggunakan alasan bahwa orang yang berwenang untuk mengeluarkan data yang diminta sedang tidak ada di kantor. Kunjungan berulang kali ke kantor itu pada hari-hari selanjutnya dan upaya menghubungi telepon selular pegawai yang dimaksud juga tidak berhasil. Di daerah lain, alasan yang dipakai adalah bahwa para pegawai tidak punya waktu untuk menyediakan informasi tersebut karena mempersiapkan kunjungan menteri (Kapuas Hulu), informasi yang dibutuhkan telah terbakar atau dipindahkan ke lokasi penyimpanan yang tidak bisa diakses (Sambas). Akhirnya kami bisa mendapatkan sejumlah informasi yang terbatas dari jalur informal melalui jaringan pertemanan dengan pegawai yang bekerja di kantor itu.

Peneliti setempat yang lain menegaskan bahwa pengalaman semacam itu sudah biasa terjadi, khususnya di kantor-kantor kehutanan tingkat kabupaten. Dia menekankan pentingnya hubungan antar pribadi serta suap untuk mengakses apa yang sebetulnya merupakan informasi publik tentang pengelolaan pemerintah atas aset dan pemasukan negara. Satu kesulitan dalam mengandalkan hubungan pribadi, tentu saja, adalah hubungan tersebut sangat rentan terhadap perubahan polik. Dia mengatakan:

Menurut pengalaman saya, untuk mendapatkan data, kita harus mempunyai hubungan pribadi dengan orang dalam yang mempercayai kita dan mempunya pandangan yang sama dengan kita. Jalan lain hanyalah dengan membayar orang dalam untuk membantu “mencuri” data. Jika kita datang ke kantor, sebagai seorang “tamu”–yakni untuk bertemu dengan seseorang yang belum kenal kita–lantas kita pasti akan dimintai surat permohonan resmi dari tempat kita bekerja yang menerangkan mengapa kita memerlukan informasi itu. Walaupun begitu, bukan berarti kemudian mereka akan menyediakan apa yang kita minta. Pengalaman saya yang terakhir dengan kantor dinas pendapatan dan kehutanan di Kalimantan Timur tahun lalu adalah walaupun saya sudah membawa surat itu, saya masih belum bisa mendapatkan datanya. Kami diberitahukan untuk menunggu persetujuan dari petugas yang berwenang yang pada waktu itu tidak berada di kantor, tanpa kejelasan kapan mereka akan kembali. Akhirnya, saya hanya mendapatkan data dari teman lama di departemen itu yang juga berwawasan reformasi. Itupun bukannya tanpa hambatan, karena jelas ada beberapa orang di kantor itu yang tidak suka dengan hal ini... Delapan belas tahun lalu saya bisa mendapatkan data dari kantor dinas hanya dengan sepucuk surat dari LSM tempat saya bekerja di Jakarta, sebab waktu itu orang-orang masih menghormati orang dari Jakarta. Tapi sekarang orang-orang pemerintah daerah tidak lagi menghormati orang dari Jakarta. Kalau ditanya apakah transparansi menjadi lebih buruk. Mungkin karena semua takut ditangkap oleh KPK.[136]

Dalam penelitian sektor kehutanan yang baru dilakukan oleh Bank Dunia, disebutkan bahwa berdasarkan perhitungan yang dilakukan mengenai pengelolaan hutan dan skenario masa depan, keduanya bermasalah pada kurangnya ketersediaan data yang akurat. Bank Dunia mengakui bahwa:

Banyak pemangku kepentingan meyakini bahwa hal utama yang menjadi penghalang kemajuan yang berhubungan dengan tata kelola dan korupsi adalah kurangnya informasi terkini, akurat dan dapat dipertanggungjawabkan atas hutan dan sumber daya kayu Indonesia. Keadaan ini menimbulkan adanya perbedaan pandangan mengenai kerusakan hutan dan nilai kerusakan, produksi kayu, pembalakan liar, konversi hutan, pengelolaan hutan, kebutuhan pembagunan komunitas, kurangnya kesepakatan mengenai langkah selanjutnya dan prioritas serta sengketa penggunaan hutan. Kurangnya informasi juga mengurangi kemampuan[Dephut] untuk menerapkan tata kelola hutan yang baik, mendorong keterbukaan, menerapkan upaya penegakan hukum yang efektif, mengeluarkan kebijakan kehutanan yang benar dan untuk memanfaatkan sumber daya hutan guna mengurangi kemiskinan di pedesaan serta mendorong pembangunan yang berkelanjutan.[137]

Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa masalah-masalah ini akan ditangani melalui Sistem Penilaian dan Pengawasan Hutan (FOMAS) milik Dephut, untuk meningkatkan pengelolaan melalui perbaikan akses terhadap informasi. FOMAS merupakan sebuah proyek Badan Planologi (Baplan) di Departemen Kehutanan yang melibakan pengumpulan dan publikasi semua data kehutanan yang ada, termasuk peta zonasi hutan, konsesi penebangan, dan perusahaan perkebunan, dengan tujuan selain untuk mengembangkan kapasitas manajemen dari kementerian, juga untuk meningkatkan keterbukaan. Setelah hampir tiga tahun, semua data yang ada di Baplan dikumpulkan dalam compact disk (CD), yang kemudian disalin sebanyak 300 buah untuk disebarkan kepada publik.

Tapi, setelah salinan terbatas itu “diluncurkan” di Dephut pada bulan Oktober 2008, badan-badan lain dalam Kementerian menyatakan bahwa mereka tidak mau informasi itu menjadi milik umum. Sisa salinan CD tetap disimpan di kotak. Pihak kementerian telah juga kemudian mengubah nama FOMAS menjadi Sistem Informasi Sumber Daya Hutan (FRIS), menghilangkan semua rujukan untuk “pengawasan” dan “penilaian.

Dalam sebuah presentasi untuk lokakarya seputar transparansi di sektor kehutanan, seorang staf ahli kementerian memberikan informasi terkini terkait dengan kemajuan dari inisiatif transparansi di kementerian, dan menggambarkan kecurigaan yang selalu muncul mengenai “publik mana” yang akan mengakses jenis data yang seperti apa. Staf ahli itu mengakui bahwa salah satu hambatannya adalah “budaya birokrasi internal.”[138]Walaupun ia sudah menekankan bahwa ini merupakan karakter dari “orde sebelumnyaketika menjelaskan proses penerapan akses terhadap informasi kehutanan, ia gagal menjelaskan bagaimana keputusan dibuat untuk menentukan informasi apa yang akan dikecualikan dari jangkauan publik,[139]siapa yang terlibat dalam pengambilan keputusan, dan apakah nanti akan ada proses banding. Secara khusus staf tersebut mengatakan bahwa informasi yang mengandung “ancaman terhadap ekonomi nasional” tidak akan tersedia. Secara khusus disebutkan bahwa salah satu data yang masuk dalam kategori ini adalah informasi terkait “potensi hutan.”[140]Artinya, sikap kementerian dalam hal ini adalah pendokumentasian publik atas jumlah kayu yang tersedia untuk panen resmi, suatu fakta yang bisa mempengaruhi besar kecilnya nilai konsesi yang mau dibayarkan oleh peserta lelang, dianggap sebagai ancaman untuk perekonomian nasional. Komentar ini mengkhawatirkan karena mengesankan bahwa proses lelang sutu konsesi akan mudah dipengaruhi atau tidak akan ada proses lelang terbuka, dengan resiko terjadinya korupsi, nepotisme dan berarti berlanjutnya kerugian atas pemasukan negara.

Perlu diakui bahwa kemampuan institusi pemerintah yang sangat terbatas merupakan jantung dari beberapa permasalahan transparansi. Kadang-kadang data tidak tersedia karena memang tidak dikumpulkan dan dicatat secara sistematis dalam suatu format yang mudah dan cepat untuk diakses. Kegagalan untuk mengumpulkan dan menyimpan data atas penggunaan hutan dan pemasukan yang dihasilkan secara sistematis, telah menjegal kemampuan masyarakat untuk mengawasi dan menuntut pertanggungjawaban pemerintah, dan menunjukan bahwa Dephut kerepotan untuk bisa mengelola aset-aset yang merupakan kepercayaan publik dengan baik.

Seorang penasehat internasional yang memiliki pengalaman puluhan tahun bekerja dengan Dephut berkomentar, “Ini seperti loteng di rumah ibu saya. Bisa saja di dalamnya ada barang yang berharga, tapi siapa yang tahu di mana barang itu disimpan. Tanpa perhatian untuk peningkatan kemampuan teknis, transparansi penuh tidak serta-merta membuat kita mendapatkan apa yang kita inginkan,” karena data sering hilang atau tercatat secara tidak akurat.[141]

Meskipun benar, banyak yang bekerja dekat dengan kementerian mencurigai bahwa “kesulitan-kesulitan” ini timbul karena disengaja.Penasehat yang sama, setelah mengomentari masalah kapasitas, juga langsung berkomentar bahwa, “keterbatasan kemampuan memang diharapkan oleh beberapa orang di departemen. Ada kalanya terlihat bahwa upaya untuk memperbaiki penyimpanan data dilakukan dengan setengah hati.”[142] Sebenarnya, ketidakmampuan, terutama setelah mendapat bantuan internasional untuk penguatan kapasitas selama bertahun-tahun, bisa dijadikan indikator dari kurangnya kemauan politik. Perlu dipahami bahwa kurangnya kemauan politik tidak berlaku seragam di dalam seluruh jajaran kementerian, tapi para pejabat yang mereformasi pemikirannya sering kali dikucilkan. Seorang penasehat lainnya yang sudah lama berkecimpung di sektor kehutanan berkata bahwa, “ada pejabat dalam kementerian yang melihat nilai penting dari peningkatan transparansi, tapi sayangnya, mereka bukanlah orang yang dipromosikan pada posisi berarti.”[143]

Rendahnya transparansi mengurangi kemampuan warga negara Indonesia untuk mendapatkan hak mereka atas informasi sebagaimana dijamin dalam Pasal 19 (2) Konvensi Internasional atas Hak Politik dan Sipil (ICCPR) yang menyatakan, “... setiap orang memiliki hak atas kebebasan mengemukakan pendapat; hak ini mencakup kebebasan untuk mencari, menerima dan mengolah informasi dan ide dari berbagai sumber, tanpa batasan, baik secara oral, tulisan ataupun dalam bentuk cetakan, dalam bentuk seni, atau melalui media lain yang dipilihnya.”[144]Hak atas informasi juga dijamin oleh Undang-Undang Dasar.[145] Kurangnya transparansi saat ini secara sistematis mengurangi pemenuhan hak-hak lain karena menghalangi kemampuan warga untuk menuntut pertanggungjawaban pemerintah atas keputusan dan kebijakan yang mempengaruhi mereka.

Walaupun dalam banyak hal sudah cukup kuat, UU KIP masih mengandung beberapa aspek yang bermasalah:

  • Sanksi pidana (termasuk penjara) terhadap “penyalahgunaan informasi secara sengaja” yang tidak didefinisikan;[146]
  • Persyaratan untuk mengungkap sumber yang digunakan untuk infomasi publik dalam penerbitan; [147]
  • Sanksi pidana untuk memberikan atau menerima informasi yang dikategorikan sebagai yang tidak bisa diungkapkan; [148]
  • Sejumlah anggota dari Komisi Informasi yang harus dibentuk berdasarkan Undang-Undang ini adalah pejabat pemerintah, yang mana akan mempengaruhi kemandirian komisi.[149]

Keberadaan sanksi menimbulkan masalah khusus bagi whistleblower (saksi yang bukan tersangka) yang akan mengungkap kesalahan pemerintah, dan menurut sejumlah aktivis transparansi keberadaan sanksi ini tidak terdapat dalam aturan kebebasan informasi di negara lain.[150]Lebih dari itu, kemajuan ke arah transparansi ini juga terancam oleh RUU Kerahasiaan Negara, yang mungkin merupakan upaya untuk mengumpulkan sejumlah besar informasi negara sebagai informasi yang tidak dapat diungkap di bawah UU KIP. Walaupun para pejabat mengucapkan kata “transparansi,” upaya bagi masyarakat sipil untuk mendapatkan akses atas informasi publik tetaplah belum memberikan hasil.

Penjegalan yang biasa dilakukan oleh para pejabat yang bertugas menjaga informasi, dan ditambahan dengan penggunaan bahasa pada UU Keterbukaan Informasi Publik yang memberikan hukuman untuk “penyalahgunaan” dan “penggunaan yang melawan hukum” atas informasi publik, menunjukan bahwa banyaknya perlawanan atas ide transparansi mungkin buah dari kritik terhadap pemerintah yang bercampur dengan upaya merusak nama baik. Penggunaan informasi publik untuk mengajukan tuduhan palsu terhadap individu atau lembaga tertentu merupakan tindakan melawan hukum; akan tetapi masyarakat yang bebas tidak menangani masalah ini dengan menutup akses pada informasi, melainkan dengan cara memastikan adanya sistem hukum yang berfungsi dan tidak memihak yang bisa dengan adil menangani tuduhan semacam itu. Karena ada kecenderungan yang jelas untuk menghalangi dan mengintimidasi mereka yang mencari informasi dengan alasan khawatir jika mereka akan menggunakannya untuk mengkritik pemerintah, lembaga harus mampu untuk menyediakan informasi secara lebih proaktif daripada reaktif, memberi kesempatan para pengguna untuk mendapatkan informasi secara anonim.

Dana untuk Layanan Kesehatan Dasar Mengalir ke Kantong Pembalak Liar dan Pejabat Korup

Indonesia harus kehilangan kesempatan yang sangat berharga akibat kegagalan yang terus berlangsung untuk mendongkel akar korupsi dan salah kelola pada sektor kehutanan. Dana yang seharusnya bisa dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan umum dan memajukan kemampuan yang wajib dimiliki negara untuk “secara progresif memenuhi” hak-hak sosial dan ekonomi, justru tersedot untuk memperkaya sejumlah individu tertentu saja.

Upaya pengadaan layanan kesehatan umum merupakan sektor yang paling tepat guna memberikan gambaran kerugian yang terjadi. Indonesia memiliki indikator kesehatan yang sangat buruk yang berkaitan langsung dengan kurangnya pendanaan terhadap sektor ini. Jika kecenderungan ini terus berlangsung, Indonesia tidak dapat memenuhi Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) terkait angka kematian ibu dan gizi buruk,[151]yang menurut pengamatan Bank Dunia merupakan persoalan secara khusus sebabkan oleh kurangnya pertanggungjawaban sektor kesehatan umum, kurangnya dana dan tidak efisiennya pengeluaran publik, serta kurangnya tenaga terlatih di daerah-daerah terpencil di luar pulau Jawa.[152]

Para ahli kesehatan mengatakan bahwa dengan menggunakan hampir semua kriteria penilaian, Indonesia memang terlihat kurang melakukan investasi di bidang perawatan kesehatan. Bank Dunia mengamati bahwa, “Tingkat pembelanjaan bersamaan dengan indikator hasil kesehatan menunjukkan bahwa Indonesia belum memprioritaskan anggaran kesehatan, atauuntuk mendapatkan hasil yang diperlukan untuk mencapai target MDG.”[153]

Prosentasi anggaran pembelanjaan pemerintah untuk kesehatan merupakan yang terendah diantara semua negara di Asia (untuk pertama kalinya melebihi 1 persen dari Penghasilan Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2007), kecuali jika dibandingkan dengan Burma. Secara kontras, kebanyakan dari negara tetangga Indonesia membelanjakan lebih banyak dan mendapatkan nilai lebih baik untuk hampir semua ukuran standar atas hasil kesehatan, seperti DPT (diptheria, pertusssis dan tetanus) dan vaksinasi campak, serta pada angka kematian ibu dan anak. [154]Sebagai contoh, dengan tingkatan PDB per-kapita yang hampir sama, Filipina dengan angka kasar mencatat jumlah kematian ibu (setiap 100,000 kelahiran) setengah lebih sedikit daripada Indonesia. SementaraVietnam, yang PDB-nya separuh dari Indonesia, mencatat hampir sepertiga dari jumlah kematian ibu dibandingkan Indonesia, (lihat Tabel 2).

Tabel 2: Beberapa Perbandingan Regional Tingkat Kematian Ibu

Negara

PDB per kapita

Kematian Ibu

(per 100.000 kelahiran)

% kelahiran yang didampingi oleh profesional medis

Malaysia

4970

62

100

Thailand

2720

110

97

CinaTiongkok

1740

45

98

Filippina

1290

230

60

Indonesia

1260

420

69

India

730

450

48

Vietnam

620

150

90

Kamboja

430

540

44

Sumber: Bank Dunia, Kajian Pembelanjaan Kesehatan, hal 19. Disarikan dari Statistik KesehatanDunia, Unicef, Indikator Pembangunan Dunia, dan Lancet (2007) “Estimates of maternal mortality worldwide between 1990 and 2005: an assessment of available data,” Vol 370, hal. 1311-1319,13 Oktober; Sistem Informasi Statistic WHO (apps.who.int/whosis/data/Search.jsp).

Kerugian tahunan sebesar 2 milyar dolar Amerika dari pemasukan sektor kehutanan menjadi sangat berarti ketika dilihat secara khusus dari pembelanjaan yang rendah dan kinerja yang buruk. Kerugian riil tahunan akibat pengelolaan hutan yang salah, pembalakan liar dan korupsi sebenarnya lebih besar dibanding total anggaran nasional untuk kesehatan (Rp16,8 trilyun atau 1,7 milyar dolar AS pada tahun 2008).

Dalam egara or kesehatan lainnya, Indonesia masih masuk dalam peringkat yang buruk. Jumlah ketersediaan layanan kesehatan dan petugas medis merupakan yang paling rendah di kawasan Asia Tenggara, bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara, yang memiliki PDB lebih rendah daripada Indonesia.[155] Berdasarkan temuan Bank Dunia, pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) rata-rata melayani sekitar 23.000 orang dalam wilayah seluas 242 kilometer. Puskesmas sering kekurangan infrastruktur dasar seperti air bersih, sanitasi, dan listrik. Selain itu, masalah-masalah persediaan obat-obatan pokok yang memadai, perlengkapan medis dan peralatan tetap terjadi khususnya di daerah-daerah terpencil.[156]

Kurangnya ketersediaan layanan kesehatan ini bahkan lebih parah saat ditelaah berdasarkan tiap provinsi. Kebanyakan daerah pedesaan mempunyai kurang dari satu puskesmas (yang biasanya hanya dilayani oleh seorang perawat, bukan dokter) untuk setiap 100,000 penduduk dan dibeberapa wilayah (misalnya di Nusa Tenggara Barat dan Banten) bahkan tidak ada satu rumah sakit pun yang tersedia untuk melayani satu juta orang.

Tabel 3: Perbandingan Regional Atas Akses Rumah Sakit

Negara

Tempat tidur rumah sakit/ 10.000 orang

Tahun

Sri Lanka

30

2001

Thailand

22

2000

Malaysia

18

2001

Vietnam

14

2002

Filipina

12

2002

Laos

9

2002

India

7

2002

Kamboja

6

2001

Indonesia

2.5

2005

Sumber: Bank Dunia 2008 2008, hal. 31, dikompilasi dari Statistik Kesehatan Dunia, 2007.

Diantara egara-negara sewilayah, Indonesia juga menduduki peringkat yang terburuk dalam hal kepadatan dokter dengan rata-rata hanya 13 dokter dan 36 tenaga medis (termasuk perawat dan bidan) per 100.000 orang, dibanding dengan 58 ahli kesehatan per 100.000 orang di Fillipina, yang mempunya PDB hampir sama. Sekali lagi, jika dibagi menurut provinsi dan kabupaten, ketimpangan yang ada bahkan menjadi lebih serius, khususnya bagi masyarakat miskin yang bergantung pada dokter yang memberikan pelayanan publik. Di beberapa provinsi, rasionya hanya 6 dokter per 100.000 orang. Papua, Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan Barat berperingkat paling rendah di negara ini untuk cakupan dokternya, semuanya kurang dari 10 dokter per 100.000 warga.[157]Di Kalimantan Barat, bagi warga miskin yang tidak mampu membayar dokter-dokter swasta, secara rata-rata hanya ada satu dokter layanan umum per 600 kilometer persegi. [158]Masalah ini ditambah dengan kurangnya persediaan obat-obatan di puskesmas-puskesmas serta sering tidak hadirnya tenaga kesehatan, yang diakibatkan, setidaknya sebagian, oleh karena gaji yang rendah dan kebutuhan mereka untuk mencari pendapatan tambahan dengan membuka praktek sendiri. Masalah-masalah ini sangat parah khususnya di daerah-daerah pelosok. Dalam pemeriksaan yang dilakukan secara acak, tingkat ketidakhadiran pekerja kesehatan tanpa sebab yang jelas kira-kira 40 persen dari jam kerja yang ada, [159]sekali lagi angka ini merupakan yang tertinggi diantara negara-negara yang disurvei (lebih tinggi daripada Uganda, Peru dan Bangladesh).[160]

Tabel 4: Perbadingan Regional Tingkat Kepadatan Dokter

Negara

Dokter/100.000 orang

Tahun

Filipina

120

2006

Malaysia

70

2006

India

60

2006

Vietnam

60

2006

Thailand

40

2006

Cambodia

20

2006

Indonesia

10

2006

Kalimantan Barat

9

2006*

Sumber: WHO, (http://apps.who.int/whosis/data/Search.jsp)

* Biro Statistik Kalimantan Barat, http://kalbar.bps.go.id/tabel/Tabel%205%20Sehat.htm, (diakses pada 29 September 2009).

Perempuan miskin di daerah terpencil sering tidak mendapatkan akses untuk layanan kesehatan reproduktif dan layanan kandungan darurat yang sangat dibutuhkannya. Di Papua, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan Barat, kurang dari setengah jumlah kelahiran yang dibantu petugas medis dan di beberapa kabupaten di Kalimantan Barat rata-ratanya mencapai 34 persen saja, dibanding 67 persen untuk rata-rata nasional.[161]Berdasarkan data yang tersedia[162] angka kematian ibu pada daerah-daerah tersebut jauh lebih besar dibandingkan angka rata-rata nasional dan delapan kali dari angka MDG yakni 100 per 100.000 kelahiran.[163]

Berdasarkan penghitungan biaya yang telah dilakukan oleh ahli Bank Dunia dan Departemen Kesehatan menyimpulkan bahwa paket dasar tahunan kesehatan bagi orang miskin–termasuk layanan dasar pencegahan dan pengobatan serta alokasi khusus untuk masalah yang berhubungan dengan tempat dan lokasi, sanitasi atau peningkatan kejadian penyakit menular di daerah miskin–hanya akan memakan biaya sekitar 9 dolar AS per kepala.[164]Agar terlihat lebih nyata: hilangnya pendapatan yang disebabkan oleh korupsi di sektor kehutanan dalam satu tahun saja dapat dengan mudah mencukupi layanan kesehatan dasar bagi lebih dari 100 juta orang miskin di Indonesia.

Masalah tersebut tidak akan bisa diselesaikan hanya dengan uang saja sementara sistem pengelolaan layanan kesehatan tidak diperbaiki, dan tidak memberikan perhatian yang lebih besar agar investasi layanan kesehatan memberikan layanan yang lebih baik kepada masyarakat miskin, terutama para perempuan di daerah terpencil yang sangat rentan terhadap layanan kesehatan yang terbatas. Tanpa adanya perubahan, kurangnya pertanggungjawaban, ketidakefisiensian, dan pengeluaran yang sifatnya justru membebani masyarakat pendapatan rendah tetapi menguntungkan sektor-sektor masyarakat yang lebih kaya akan meredam dampak peningkatan anggaran terhadap indikator kesehatan secara menyeluruh.[165]

Walaupun masalah petanggungjawaban dan pengelolaan juga harus ditangani untuk meningkatkan layanan kesehatan, peningkatan pengeluaran yang seharusnya bisa didapat dari pendapatan sektor kayu yang hilang sebenarnya mampu memberikan pengaruh langsung dan luar biasa khususnya terhadap 100 juta orang miskin yang penderitaan akibat buruknya layanan kesehatan. Pengeluaran untuk hal-hal penting dalam sektor kesehatan–seperti penyediaan air bersih dan sanitasi, pemberantasan buta huruf untuk perempuan dan gizi untuk anak-anak balita–juga akan meningkatkan hasil kesehatan di Indonesia.

Kalimantan Barat: Industri Kehutanan Melimpah Tapi Kekurangan Dana Kesehatan

Situasi di Kalimantan Barat memberikan gambaran yang jelas mengenai permasalahan yang dimaksud pada judul di atas. Provinsi ini kaya dengan sumber daya hutan dan industri perhutanan tapi selalu menempati posisi hampir yangterendah dibanding provinsi-provinsi lain dalam indikator pembangunan manusia. Berbeda dengan provinsi-provinsi lain yang ada di peringkat bawah, Kalimantan Barat tidak menderita akibat minimnya sumber daya alam, seperti Nusa Tenggara Timur dan Barat yang gersang atau daerah yang bergunung-gunung dan diwarnai konflik selama puluhan tahun seperti Papua.

Kalimantan Barat terletak pada salah satu rute perdagangan dunia paling penting.Ke arah barat adalah Singapura dan Selat Malaka menuju India dan Eropa serta ke arah timur menuju Hong Kong, Jepang, and China. Walaupun wilayah provinsinya luas, tapi permukaan tanah cukup datar, sehingga wilayah yang paling dalam sekalipun dapat dijangkau dari ibukota provinsi baik dengan jalan darat (yang menembus jalur internasional sampai ke Sarawak, Malaysia) maupun dengan menelusuri sungai. Provinsi ini juga mempunya sungai yang paling besar dan paling dalam di Indonesia, dan dapat dilayari oleh kapal-kapal bermuatan besar hingga ke wilayah yang terpencil sekalipun. Dengan populasi hanya sedikit di atas 4 juta jiwa,[166] Kalimantan Barat tidak mengalami permasalahan sebagaimana yang dihadapi provinsi-provinsi yang berpenduduk lebih padat sehingga harus mendistribusikan anggaran publik kepada banyak warga, atau dikesampingkan dan tidak diprioritaskan seperti provinsi kecil lainnya.

Sejak maraknya pembalakan liar pada akhir tahun 1990-an, ibukota provinsi, Pontianak, mulai ditumbuhi oleh hotel-hotel dan pusat-pusat perbelanjaan baru yang merupakan bukti adanya aliran uang ke kota yang dulunya sepi ini. Walaupun sejumlah orang jelas-jelas sudah menjadi kaya dari hasil pembalakan hutan Kalimantan Barat, kondisi ini tidak membawa angin perubahan bagi kesejahteraan sebagian besar dari 4 juta penduduk setempat. Dari anggaran total tahunan (pada tahun 2008 sejumlah Rp 1,16 milyar atau 120 juta dolar, rata-rata 30 dolar perkapita) pemerintahan provinsi menghabiskan kurang dari 5 persen anggarannya untuk kesehatan.[167]Sementara, sekitar 50 kali lipat dari anggaran kesehatan provinsi hilang akibat korupsi di sektor kehutanan tiap tahunnya.

Gambar 5: Anggaranpendidikan dan kesehatan Kalimantan Barat, dibandingkan dengan kehilangan pendapatan pemerintah akibat pembalakan liar dan subsidi siluman

Human Rights Watch mengunjungi sebuah desa yang terletak di hulu sungai di Kalimantan Barat dimana seorang bayi berusia tiga tahun baru saja meninggal karena kekurangan cairan akibat diare. Perawat yang bertugas di puskesmas desa itu tidak ada di tempat dan menurut penduduk setempat hal itu memang sudah biasa. Orang tua balita tersebut tidak memiliki penghasilan tetap dari pekerjaan sehari-harinya sebagai pembuat ikan asin yang dijual ke pedagang berperahu setempat. Mereka tidak tega membawa anaknyauntuk menempuh satu hari perjalanan dengan perahu motor atau bus menuju rumah sakit terdekat karena tidak memiliki kemampuan untuk membeli obat. Mereka lebih memilih membawa sang anak ke dukun, yang menggunakan cara-cara penyembuhan tradisional tapi ternyata tidak berhasil menyelamatkananak tersebut. Akibat kejadian itu keluarga ini telah kehilangan anggota keluarga untuk kedua kalinya dalam satu tahun akibat kematian yang sebenarnya bisa dicegah. Nenek anak tersebut sebelumnya meninggal dunia akibat radang paru-paru dan menolak untuk berobat karena tidak ingin keluarganya dibebani oleh biaya perawatan.

Contoh ini menggambarkan dampak yang sudah sering terjadi akibat tidak tersedianya layanan kesehatan dasar di daerah-daerah paling rawan dimana kegiatan pembalakan sedang berlangsung. Lebih parah lagi, data sesudah krisis moneter tahun 1997 menunjukkan penurunan hasil kesehatan, dan penurunan ini bahkan mungkin lebih serius lagi karena krisis ekonomi yang kembali terjadi saat ini: selama krisis moneter 1997, masyarakat pedesaan di daerah pelosok terbantu oleh peningkatan harga komoditas seperti minyak sawit, karet, lada, kopi dan coklat, tapi krisis tahun 2008 telah mengakibatkan penurunan harga-harga komoditas secara drastis dan hutang yang menumpuk sementara jaring pengaman bagi mata pencarian masyarakat pedesaan semakin sedikit.[168]

Human Rights Watch secara umum tidak bermaksud membuat resep bagimana pemerintah seharusnya mempertimbangkan prioritas anggaran yang saling berkompetisi. Namun menurut kami, sangat wajar jika kami mendokumentasikan bukti-bukti yang jelas betapa parahnya salah kelola dan pencurian aset publik sehingga menjauhkan sumberdaya dari upaya untuk memenuhi hak asasi manusia.

Dalam pidato untuk menyusun rancangan udang-undang anggaran 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhono menyatakan, “Menciptakan kesejahteraan yang lebih besar bagi rakyat merupakan prioritas utama dan kunci menuju kemajuan bangsa. Anggaran nasional dan pembelanjaan pemerintah memainkan peranan penting dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat kita.”[169]Dengan 49 persen dari populasi Indonesia–lebih dari 100 juta orang–hidup dengan kurang dari 2 dolar AS per hari,[170] kerugian yang tidak perlu akibat hilangnya pemasukan sektor kehutanan yang seharusnya bisa digunakan untuk meningkatkan anggaran layanan kesehatan kabupaten, provinsi dan nasional sungguh-sungguh tidak dapat diterima. Paling tidak, mendapatkan kembali pemasukan yang hilang tersebut dapat menjadi sumber daya yang peting bagi pemerintah sehingga sejalan dengan waktu mampu memenuhi hak atas kesehatan. Jika tidak berhasil, berarti pemerintah telah gagal memenuhi kewajibannya sebagai peserta Kovensi Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (IESCR).

Hak atas Kesehatan Menurut Hukum Internasional

Berdasakan hukum internasional, kegagalan Indonesia untuk menyediakan anggaran yang cukup bagi layanan kesehatan, sementara ada sumber daya yang tersedia untuk memenuhinya, merupakan kegagalan atas tanggung jawab negara dalam memenuhi hak standar perawatan kesehatan tertinggi sesuai dengan kemampuan pencapaian. Kovensi Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESR), yang ditandatangani Indonesia pada tahun 2006, mensyaratkan negara peserta untuk mengambil langkah-langkah secara masing-masing dan melalui kerjasama internasional untuk menuju kearah terwujudnya hak atas kesehatan melalui pencegahan, perawatan dan pengendalian penyakit serta penyediaan layanan kesehatan bagi semuanya.[171] Seperti juga hak-hak asasi manusia yang lain, hak ini menggariskan kewajiban negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak tersebut. Konvensi ini mengakui bahwa hak ini bergatung pada “perwujudan progesif” sesuai dengan sumber daya maksimal yang ada, tapi menuntut negara penandatangansecara khusus dan terus menerus kewajiban untuk bergerak seefektif dan secepat mungkin menuju perwujudan [hak tersebut][172] Disamping itu, Undang-Undang Dasar juga mewajibkan pemerintah untuk menyedikan perawatan kesehatan yang cukup.[173]

Menurut Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, badan pengawas ICESR, negara yang telah menandatangani konvensi harus menjamin pelaksanaan kewajiban-kewajiban inti sebagai bagian dari hak atas kesehatan, termasuk memastikan akses terhadap kesehatan tanpa diskriminasi, khususnya terhadap kelompok lemah atau terpinggirkan; menyediakan obat-obatan dasar; memastikan distribusi yang mencukupi atas semua fasilitas, barang-barang dan jasa kesehatan; mengadopsi dan menerapkan strategi dan rencana aksi nasional tentang kesehatan publik dengan tolok ukur dan batas waktu yang jelas; serta mengambil langkah untuk mencegahdan mengendalikan penyakit epidemik dan endemik.[174]

Guna menjelaskan bagaimana mematuhi kewajiban untuk memenuhi hak atas kesehatan, Komite ini juga mengatakan kepada negara-negara peserta bahwa pelanggaran atas kewajiban bisa terjadi ketika “tidak tersedia anggaran yang mencukupi atau kesalahan alokasi sumber daya publik yang berakibat pada tidak terpenuhinya hak atas kesehatan bagi individu ataupun kelompok, khususnya yang lemah atau terpinggirkan.”[175]

Hal yang sama dikemukakan dalam Panduan Maastricht tentang Pelanggaran pada Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang menyebutkan bahwa sebuah pelanggaran “melalui tindakan langsung” terhadap ICESCR bisa terjadi jika pemerintah terlibat dalam “pengurangan atau pengalihan pengeluaran publik tertentu, dimana pengurangan atau pengalihan semacam itu berakhir dengan tidak terpenuhinya hak-hak tersebut dan tidak disertai dengan langkah-langkah yang cukup untuk memastikan pemenuhan hak-hak minimal bagi setiap orang.”[176]

Bank Dunia baru-baru ini menyebutkan bahwa “walaupun sulit mencari hubungan langsung antara kinerja pembelanjaan makro Indonesia dengan hasil kesehatan yang telah didiskusikan sebelumnya, namun bisa dikatakan bahwa hasil kesehatan yang tidak seragam mungkin sebagian disebabkan oleh pengeluaran kesehatan yang tidak efisien, tidak merata dan tidak cukup.”[177]

Kesetaraan Akses

Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya mengidentifikasi bahwa ketersediaan dan aksesibilitas sebagai komponen yang penting atas hak-hak kesehatan.[178]Ketersediaan mengacu pada keberadaan layanan kesehatan, tenaga medis, dan materi-materi lain dalam “jumlahnya yang mencukupi.[179]Akses mengacu baik pada akses fisik maupun ekonomi, dan termasuk tidak ada diskriminasi dalam kesempatan mengakses.[180]Sebagaimana disebutkan oleh Komite, “jika menyangkut pada hak kesehatan, penekanan harus diberikan pada kesetaraan dalam mengakses perawatan dan layanan kesehatan.”[181]Secara eksplisit, Komite ini menyebutkan tanggung jawab pemerintah yang relevan dengan akses ekonomi yaitu “memastikan bahwa layanan-layanan ini, baik disediakan secara pribadi maupun secara publik, bisa dijangkau oleh semua, termasuk kelompok-kelopok yang kurang beruntung secara sosial. Kesetaraan menuntut kondisi dimana rumah tangga yang miskin harus tidak terbebani secara berlebihan dengan biaya kesehatan sebagaimana bila dibandingkan dengan rumah tangga yang lebih kaya.”[182]

Kesenjangan dalam mengakses perawatan dan pelayan kesehatan yang dialami oleh mereka yang hidup di daerah terpencil seperti Kalimantan Barat mengundang pertanyaan, apakah Indonesia telah mengambil langkah-langkah yang tepat untuk memenuhi tanggung jawabnya dalam memastikan kesetaraan akses. Peringkatnya yang rendah dalam penyediaan layanan kesehatan dan tenaga medis serta adanya puskesmas di bawah standar adalah indikasi kegagalan untuk memenuhi kewajiban negara atas hal-hal yang penting ini.

Hak Perempuan atas Kesehatan

Pasal 12 dari Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), yang mana Indonesia juga menjadi pesertanya, menyebutkan” negara penandatangan harus mengambil semua tindakan-tindakan yang tepat untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan di bidang perawatan kesehatan guna memastikan akses pada layanan perawatan kesehatan berdasarkan prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.”[183]CEDAW menyebutkan bahwa “negara peserta harus memastikan layanan yang sesuai terhadap perempuan terkait dengan kehamilan, kelahiran serta masa sesudah melahirkan, memberikan layanan gratis jika diperlukan, dan juga gizi yang cukup pada masa kehamilan dan menyusui.”[184]Walaupun laki-laki dan perempuan mungkin mengalami berbagai kekurangan dalam mengakses layanan perawatan kesehatan di Indonesia sehingga menimbulkan resiko-resiko kesehatan, kekurangan-kekurangan tertentu dapat digolongkan sebagai suatu pembedaan karena dampaknya yang berlebihan terhadap perempuan.

Tingkat kematian ibu yang tinggi di Indonesia, yang oleh Bank Dunia sebagiannya diakibatkan oleh pendanaan yang kurang, mencerminkan kegagalan pemerintah dalam menggunakan sumber daya yang ada untuk menyediakan layanan perawatan kesehatan yang memadai bagi perempuan.[185]

Lebih lanjut, tanggung jawab pokok yang digarisbawahi dalam Pendapat Umum No 14 menegaskan bahwa “Dalam menentukan tindakan atau perkecualian apa yang dipandang sebagai pelanggaran atas hak kesehatan, perlu dibedakan ketidakmampuan dari ketidakmauan negera peserta dalam memenuhi kewajibannya di bawah Pasal 12. Sebuah negara yang tidak mau menggunakan sumber daya yang tersedia secara maksimal untuk mewujudkan hak atas kesehatan berati melanggar kewajibannya dalam Pasal 12. Perlu ditekankan, bahwa negara peserta tidak bisa, apapun kondisinya, membenarkan ketidakpatuhan terhadap tanggung jawab utamanya [termasuk distribusi yang merata atas fasilitas kesehatan, barang-barang dan jasa]...yang tidak boleh ditiadakan.”[186]Mengingat besarnya dana yang hilang akibat korupsi di sektor kehutanan dan tidak adanya perhatian bagi penegakan hukum untuk mengurangi kerugian ini, serta efek yang tidak sebanding bagi kaum miskin di daerah pelosok, khususnya perempuan, merupakan bukti yang jelas untuk menganggap Indonesia mau mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna memastikan tersedianya dana yang mencukupi guna mewujudkan hak atas kesehatan. Kegagalan tersebut merupakan pelanggaran atas kewajiban yang digariskan oleh konvensi internasional.

 

VII. Konsekuensi Internasional

Bukan hanya para pembalak liar dan pejabat korup di Indonesia yang menfasilitasi kejahatan mereka yang mendapatkan keuntungan dari pengrusakan hutan: konsumen internasional yang membeli produk-produk kayu murah juga diuntungkan, begitu juga dengan bank-bank yang terlibat menerima laba dari lalu lintas perdagangan kayu ilegal. Lembaga donor internasional punya tanggung jawab untuk mendukung perbaikan kemampuan pemerintah Indonesia untuk mengendalikan kejahatan dan mengadili pelakunya, mencatat pendapatan dan membuat informasinya dapat diakses publik, dan pengelolaan aset-aset hutan yang berkelanjutan diemban atas dasar kepercayaan publik. Baik donor maupun mitra dagang juga memiliki tugas untuk memastikan bahwa mereka tidak terlibat dalam kejahatan dengan mengimpor kayu atau produk-produk kayu ilegal, atau mengijinkan sistem keuangan mereka digunakan untuk mencuci uang panas tersebut.

Penegakan Peraturan Perbankan dan Mendapatkan Kembali Hasil Korupsi

Walaupun bangga dengan peringkatnya yang tinggi dalam memerangi korupsi dalam negeri, Singapura secara khusus sering digunakan sebagai tempat untuk berlindung bagi konglomerat yang melarikan diri dari penegakan hukum Indonesia. Pada tahun 2006, petugas PPATK, melaporkan bahwa sebanyak 200 penduduk Singapura merupakan buron dalam kasus hutang di Indonesia.[187] Di antara mereka merupakan tersangka kasus pembalakan liar kelas kakap.[188]

Para buron ini tetap berada di luar jangkauan pengadilan Indonesia dan akuntan forensik meskipun pada bulan April 2007 Singapura telah menandatangani perjanjian ekstradisi dengan Indonesia setelah puluhan tahun bernegosiasi. Singapura benar-benar memastikan pelaksanaan undang-undang pencucian uang serta persyaratannya bagi bank-bank di sana untuk memastikan mereka tidak terlibat sebagai tempat penyimpanan uang haram (termasuk apa yang disebut aturan “Kenalilah Pelangganmu”[189]dan peraturan untuk melaporkan transaksi yang mencurigakan).[190]Sebenarnya udang-undang kerahasiaan bank Singapura yang ketat tidak bisa digunakan untuk melindungi dari tindak pidana dan Undang-undang tentang Korupsi, Penyelundupan Obat dan Kejahatan Serius Lainnya (Penyitaan Keuntungan) mempidanakan pencucian uang,[191]menganggap korupsi di luar negeri sebagai bagian dari pelanggaran pidana,[192] membolehkan penyitaan atas keuntungan yang tidak sah, dan menerapkan kewajiban lapor pada insitusi-institusi finansial terkait transaksi-transaksi yang mencurigakan.[193] Sebagai tambahan, pada pertengahan 2009 Singapura telah menyetujui untuk mengubah undang-undangnya kerahasian bank agar sesuai dengan rekomendasi-rekomendasi dari Organisasi untuk Pengembangan dan Kerjasama Ekonomi (OECD) tentang pertukaran informasi.[194]Selain itu, aset bisa disita atau dibekukan menurut peraturan anti-pencucian uang, jika merupakan hasil korupsi.

Perangkat hukum untuk memerangi pencucian uang hasil korupsi sebenarnya sudah ada di Indonesia dan Singapura, tapi yang pasti peraturan ini belum cukup ditegakkan karena para buron korupsi tetap dapat tinggal dengan tenang dan menyimpan aset mereka tanpa diganggu di Singapura. Tanggung jawab untuk membuka kasus dan meminta bantuan dari Singapura pertama-tama bertumpu pada penegakan hukum di Indonesia. Indonesia harus mengunakan Undang-Undang Anti Pencucian Uang dan Pemberantasan Korupsi untuk secara agresif mengejar kasus-kasus para pembalak liar, pengusaha dan pejabat yang korup dan secara aktif berkoordinasi dengan penegak hukum Singapura untuk memburu kasus-kasus ini, termasuk meminta pembekuan aset yang didapatkan melalui korupsi.

Pada waktu yang bersamaan, Singapura harus memastikan bahwa peraturan anti pencucian uang perbankannya juga betul-betul diterapkan serta menindak semua pelanggaran. Dalam penelitian yang baru dilakukan, Satuan Tugas Keuangan OECD (FATF-Financial Action Task Force) menyimpulkan bahwa Singapura masih setengah hati dalam melakukan penegakan hukum anti-pencucian uang, dengan mengatakan, “Pemberantasan pencucian uang belum diterapkan secara efektif sebagaimana terlihat dengan: rendahnya jumlah persidangan dan vonis atas tindak pidana pencucian uang, jika dibandingkan dengan besarnya sektor finansial Singapura dan tingkat resiko pencucian uang. Memang sudah terlihat ada upaya untuk mengejar kasus-kasus pelanggaran domestik, dimana pencucian uang dianggap sebagai tindak kejahatan tambahan, daripada sebagai pelanggaran yang terpisah, sehingga baru sedikit pengejaran kasus pencucian uang pihak ketiga dan tidak cukup perhatian pada penanganan kasus pencucian uang yang melibatkan pelanggaran pidana dari luar negeri.”[195]

 

Undang-Undang Lacey di Amerika Serikat

Jalan lain bagi masyarakat internasional untuk mendapatkan keuntungan dari hasil kejahatan dan korupsi kehutanan adalah lewat penggunaan produk-produk kayu murah yang dibuat dengan menggunakan kayu-kayu ilegal. Karena kayu-kayu ilegal bisa diperoleh dengan harga murah (berkat penghindaran pajak dan biaya lainnya), operator dan pabrik-pabrik resmi tidak bisa bersaing di pasar. Walaupun praktek pembalakan yang menghasilkan kayu ini merupakan kegiatan liar menurut hukum Indonesia, dibanya negara lain mengimpor produk-produknya hasil kegiatan tersebut masih dianggap sah.

Tetapi tahun lalu Kongres Amerika mengeluarkan terobosan peraturan yang, jika berhasil diterapkan, akan memastikan Amerika tidak lagi menjadi negara tujuan impor kayu dan produk kayu ilegal. Dalam Undang-Undang Pertanian tahun 2008, Kongres memasukkan langkah menyeluruh dimana sebuah tindakan dianggap melanggar hukum Amerika seseorang menjual produk-produk dari kayu yang dipanen, diangkut, atau dijual dengan melanggar hukum di negara asal, seperti undang-undang pengelolaan hutan dan peraturan lain di Indonesia.[196]

Sebagai perluasan Undang-Undang Lacey tahun 1900, yang pada awalnya digunakan untuk melarang perdagangan binatang yang ditangkap secara ilegal, peraturan baru ini mewajibkan pengimpor untuk menjelaskan jenis dan asal kayu, walaupun kayu hanya merupakan bagian yag sangat kecil dari suatu produk, dan bahwa kayu itu ditebang secara resmi. Pabrik manufaktur, eksportir, importir dan penjual ritel barang-barang yang terbuat dengan kayu yang mencurigakan bisa dibekukan, dikenakan sanksi, dan bahkan dipenjara serta dikenai denda tinggi untuk pelanggaran tersebut.[197]Yang lebih peting lagi, walaupun seseorang dan perusahaan bisa beresiko dikenakan denda yang lebih tinggi karena secara sadar mengangkut kayu curian, konsekuensi hukum tetap berlaku tanpa memandang apakah individu atau perusahaan tersebut mengetahui tentang keabsahan sumber kayu mereka. Hal ini menciptakan dorongan yang besar untuk melakukan uji kepatutan dan kelayakan secara sungguh-sungguh dalam industri yang dulunya tidak peduli terhadap asal-usul pasokan mereka.

Walaupun peraturan tersebut sudah diberlakukan sejak tanggal 22 Mei 2008, pelaksanaan peraturan bagi para importir baru diujicobakan pada tanggal 1 April 2009. Dalam tenggang waktu sebelum pelaksanaan diterapkan secara penuh, dapat dipastikan bahwa para importir akan sekuat tenaga melobi Layanan Inspeksi Kesehatan Tanaman dan Tumbuh-Tumbuhan (APHIS-Animal and Plant Health Inspection Service) dan badan-badan lain yang terkait dengan pelaksanaan peraturan tersebut guna mengendorkan batasan dan persyaratannya. Indonesia mengekspor 8 persen dari nilai total ekspor kayunya ke Amerika dan ini adalah porsi yang besar untuk permintaan kayu.Undang-Undang Lacey merupakan alat yang penting untuk memastikan bahwa perdagangan ini tidak mendorong terjadinya kejahatan hutan dan itu sebabnya mengapa keberadaan persyaratan yang ketat sangat penting.

Kesepakatan Kemitraan Sukarela dengan Uni Eropa

Berdasarkan nilai import sebesar 7 persen, Uni Eropa merupakan konsumen terbesar keempat untuk produk-produk kayu Indonesia. Saat ini Uni Eropa tengah membahas peraturan yang mirip dengan Undang-Undang Lacey. Walaupun Indonesia sudah menandatangani nota kesepahamanan untuk mengurangi perdagangan kayu ilegal dengan banyak mitra dagang, masih sedikit upaya yang sudah dilakukan untuk menerapkan persetujuan ini. Berbeda halnya dengan kemajuan yang diperoleh dalam proses negosiasi dengan Komunitas Eropa untuk Penegakan Hukum Dibidang Kehutanan, Tata Kelola danPerdagangan (FLEGT-Forest Law Enforcement, Governance and Trade) untuk membentuk sebuah Kesepakatan Kemitraan Sukarela (VPA-Voluntary Partnership Agreement) yang dirancang untuk memastikan bahwa kayu yang diimpor ke Eropa bukan barang ilegal. Jika diterapkan, VPA akan menjadi sebuah sistem untuk melacak kayu guna memastikan asal-usulnya dan sekaligus melibatkan pemantauan hutan yang mandiri, dengan demikian seharusnya bisa membantu meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan-peraturan panen hutan serta transparansi atas pendapatan dari sektor hutan.

Jika berhasil diterapkan, VPA bilateral dapat mengurangi impor kayu ilegal di negara-negara konsumen dan bisa membangun sistem yang akan membantu meningkatkan penegakan hukum dan tata kelola secara menyeluruh di negara penghasil. Namun, ada juga beberapa keterbatasan yang terkandung dalam kemampuan VPA untuk mengurangi pembalakan liar. Keprihatinan utama adalah bahwa perjanjian ini hanya mengikat perdagangan antar dua pihak dan dapat berujung dengan bergesernya tujuan pasar perdagangan ilegal. Masalah ini muncul khususnya ketika pihak konsumen terutama mengimpor barang-barang jadi dengan kualitas tinggi ketimbang kayu gergajian, sebagaimana hanya dengan pasar Eropa untuk produk kayu Indonesia. Banyak pengamat mencurigai kayu ilegal bisa mengalir ke negara ke tiga untuk kemudian diproses menjadi produk jadi dan diekspor ke Eropa. Mengingat tingginya volume dan rendahnya nilai ekspor kayu Indonesia ke negara-negara pusat manufaktur seperti China, Malaysia, dan Vietnam, sangat beralasan jikakeprihatinan ini kemudian muncul. Untuk menghindari impor kayu ilegal dari negara pihak ketiga yang tidak memiliki VPA, Uni Eropa harus segera mengeluarkan peraturan, yang saat ini sedang dibahas, yang mensyaratkan dokumen keabsahan untuk memastikan agar kayu ilegal tidak masuk ke pasar Eropa. Langkah ini, tentu saja, tidak membantu mengurangi jumlah kayu illegal yang pindahkan untuk dijual ke pasar-pasar di luar Uni Eropa. Tetapi setidak-tidaknya Eropa tidak lagi terlibat secara langsung dengan pembalakan liar.

Walaupun ada berbagai kekahwatiran,VPA merupakan langkah maju bagi Indonesia dan memberikan mendorong bagi reformasi kehutanan. Dari semua laporan yang ada, Indonesia patut dipuji karena berbagai negosiasi telah dilakukan selalu melibatkan mitra-mitra dari LSM. Kemajuan juga dimulai dengan percobaan berbagai perangkat kebijakan baru di lapangan, termasuk memulai sistem pembayaran dalam jaringan untuk biaya perhutanan. Sistem ini akan menyajikan hasil yang transparan dan seketika dari laporan berdasarkan provinsi dan kabupaten dengan menunjukkan produksi dan biaya yang dibayarkan oleh masing-masing perusahaan, sehingga memungkinkan pemeriksaan silang oleh berbagai instansi pemerintah dan juga pengawasan oleh publik. Langkah seperti ini akan membantu memperbarui citra Indonesia sebagai pemasok kayu dan produk-produk kayu legal yang terpercaya.

Tapi, berbagai kemajuan yang menggembirakan ini tiba-tiba berhenti pada titik yang mencemaskan. Beberapa orang dalam menyebutkan bahwa kelumpuhan ini sebagian disebabkan oleh pemilihan umum tahun ini yang hasilnya mungkin berujung pada penunjukan menteri baru dan kemungkinan adanya suasana kebijakan yang baru juga. Orang dalam yang lain, yang telah berurusan dalam negosiasi FLEGT di beberapa negara, berteori bahwa hambatan yang lain adalah kurangnya kemauan politik dari para pejabat tingkat menengah yang pada mulanya tidak terlibat di diskusi-diskusi tapi sekarang diserahi tugas untuk meneruskan proses ini: para pejabat ini bisa saja kemudian menyadari bahwa penerapan sistem baru tidak hanya seakin membebani pekerjaan mereka, tapi juga akan mengurangi akses mereka pada keuntungan dan suap yang tadinya biasa diberikan untuk mempengaruhi atau “melicinkan” proses birokrasi. Menurut pengamatan sumber iniMereka yang menduduki jabatan sebagai eselon tiga di departemen enggan untuk melangkahkan kaki. Mereka bisa menyelesaikannya jika ada menteri yang tegas, tapi menteri sekarang tidak tegas. Jadi [perintah] ini haruslah datang dari presiden. Sementara dia sendiri sering tidak jelas komitmennya.”[198]Disamping itu, ada laporan dari orang dalam bahwa perhatian dan entusiasme kementerian telah beralih pada milyaran dolar yang berpotensi tersedia dalam pasar perdagangan karbon. “Ada sejumlah orang yang dengan jelas-jelas bertanya-tanya, ‘Mengapa harus peduli dengan semua sistem-sistem yang merepotkan untuk pasar yang relatif kecil sementara ada banyak uang yang bisa didapatkan tanpa perlu melakukan semua jerih payah itu?’”[199]

Pasar Penyeimbang Karbon

Mengingat begitu gencarnya pembicaraan mengenai jumlah uang yang ada dalam lingkar perdagangan karbon, tidaklah mengherankan jika pasar karbon kemudian lebih menarik perhatian daripada reformasi yang lain. Dalam laporan tahunan pasar karbon global, Bank Dunia memperkirakan bahwa pasar karbon global tumbuh mencapai dua kali lipat menjadi 64 milyar dolar Amerika pada tahun 2007. Tahun lalu Bank “Dunia meluncurkan Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan (FCPC- Forest Carbon Partnership Facility) pada konferensi anggota (COP-Conference of the Parties) yang ke-13 yang masuk dalam Kerangka Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC-United Nations Framework Convention On Climate Change). Kemitraan tersebut saat ini telah mengelola uang sejumlah 2 milyar dolar AS.[200]

PBB juga mempunyai program Pengurangan Emisi dari Perusakan Hutan dan Degradasi Lingkungan (REDD- Reduced Emission from Deforestration and Degration), yang dilaksanakan oleh Program Pembangunan PBB, Program Lingkungan Hidup PBB, dan FAO, dengan pendanaan awal dari Norwegia sejumlah 35 juta dolar AS. Siaran pers tentang peluncuran program ini memperkirakan bahwa Indonesia bisa memperoleh 1 milyar dolar Amerika per tahun jika bisa mengurangi perusakan hutan seluas 1 juta hektar setiap tahunnya.[201] (Uang ini kebanyakan akan diberikan dalam dua tahap, pertama melalui FCPF untuk membantu negara-negara mengembangkan “kesiapan” teknis, peraturan dan kebijakan dalam melindungi karbon di hutan-hutan yang ada dan menjual “emisi yang terhindari” ini ke pasar perdagangan karbon yang sedang menjanjikan. Pada tahap kedua, Unit Finansial Karbon dari FCPF akan menghubungkan negara-negara yang telah disetujui dengan pembayaran dari masing-masing pemerintah untuk pengurangan emisi karbon, khususnya melalui program REDD).  

Secara teori, jika uang tambahan benar-benar digunakan sebagai pemicu bagi perbaikan penegakan hukum dan pengelolaan hutan, pembiayaan karbon bisa menjadi kekuatan positif bagi perubahan. Tetapi laporan ini bukanlah tempatnya untuk analisis mendalam seputar REDD, tapi kami mencatat bahwa ada juga aspek-aspek yang mengkhawatirkan mengenai bagaimana kemungkinan penerapan perdagangan karbon, jika tidak dilakukan dengan benar, dapat mempunyai akibat yang besar pada tata kelola hutan, korupsi dan hak asasi manusia. Khususnya ada keperluan mendesak bagi diterapkannya pengawasan yang cukup memantau secara akurat tingkat pembalakan riil dan kepatuhan terhadap hukum serta menghentikan aliran dana jika ternyata hutan tidak dilindungi. Pemisahan institusi antara yang mengawasi kinerja dan mereka yang mendapat keuntungan dari pembayaran karbon sangat penting untuk mencegah sengketa kepentingan. Tanpa pengawas, pasar perdagangan karbon hanya akan menyuntikkan lebih banyak uang ke dalam sistem yang sudah korup, menghambat reformasi yang diperlukan dan memperburuk keadaan.

Banyak alas an bagi munculnya kekhawatiran bahwa sistem pembayaran “berbasis kinerja” akan terbukti tidak efektif, walaupun ada jaminan-jaminan bahwa kejadian sebaliknya bisa saja terjadi. Upaya-upaya terdahulu dari para donor untuk menerapkan standar kinerja tidak memiliki rekam jejak yang baik. Belum hilang dari ingatan sejak paket penyelamatan krisis ekonomi 1998 ditawarkan oleh International Monetary Fund (IMF) yang secara teknis memberikan “persyaratan” reformasi hutan, termasuk menghentikan konversi hutan alam menjadi perkebunan, memperkecil industri hutan, dan kajian berkala atas royalti hutan untuk disesuaikan dengan harga pasar internasional.[202] “Persyaratan-persyaratan” ini belum dipenuhi, bahkan setelah 10 tahun kemudian, tanpa ada denda dalam bentuk pengurangan dana bantuan baik dari IMF ataupun dari Kelompok Konsultatif untuk Indonesia(CGI) yang dipimpin Bank Dunia. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, pengakuan Bank Dunia mengenai kurangnya data kehutanan yang dapat dipercaya merupakan penghalang besar bagi pemantauan dan pengelolaan. Tekanan terhadap inisiatif yang dicetuskan sendiri oleh kementerian untuk meningkatkan transparansi data melalui proyek FOMAS merupakan gejala dari kurangnya kemajuan yang berarti dalam masalah ini.

Indonesia dikabarkan telah menerima dana “kesiapan” dari Bank Dunia dan sebenarnya sudah mempunya satu proyek yang berjalan di area konservasi Ulu Masin di provinsi Aceh dan yang kedua yang sedang dalam tahap perencanaan di Kalimantan Tengah. Tetapi mengingat kelumpuhan VPA yangsemestinya bisa menjalankan mekanisme pelacakan kayu dan keuangan, ada alasan yang cukup khawatir bahwa dana akan terus mengalir ke proyek-proyek karbon tanpa kesiapan sistem pengawasan.

Tanpa pengaman yang cukup, sistem lama yang memberikan akses terhadap aset-aset publik dalam bentuk kekayaan sumber daya alam, baik dalam bentuk konsesi penebangan ataupun dengan persetujuan pendanaan karbon, akan terus didasarkan pada iming-iming dan koneksi orang dalam, sementara pertanyaan mendasar tentang siapa sebetulnya yang memiliki karbon terus diabaikan, termasuk siapa yang memiliki sumber daya dan bagaimana memastikan penggunaan pemasukan yang dihasilkan, setidak-tidaknya, dimanfaatkan untuk mengentaskan kemiskinan setempat dan pemenuhan hak-hak dasar. Kami menyerukan negara-negara dan pedagang-pedangan karbon swasta untuk tidak mengikat perjanjian perdagangan karbon dengan Indonesia hingga terjadi reformasi lebih lanjut yang akan menyediakan pengaman yang dibutuhkan.

VIII. Lampiran: Metodologi Penghitungan Kerugian Pendapatan Kayu

Royalti dan Dana Reboisasi

Hal pertama yang harus dilakukan untuk menghitung jumlah kerugian pendapatan pemerintah adalah memperkirakan berapa besar biaya yang seharusnya ditarik pemerintah atas panen kayu di Indonesia. Berikut adalah langkah-langkah yang kami lakukan.

Besaran pajak dan biaya yang harus dibayarkan atas panen kayu tertera dalam peraturan pemerintah. Sebagian besar pendapatan pemerintah berasal dari Dana Reboisasi (DR) dan dari royalti berupa Pajak Sumber Daya Hutan (PSDH). Royalti dihitung dari per volume (meter kubik) kayu yang diproduksi, sebagai bagian dari nilai kayu. Nilai pasar domestik untuk kayu meranti (jenis yang umum di hutan Indonesia bagian barat) ditentukan dengan peraturan pemerintah[203]sebesar Rp 500.000/meter kubik (53 dollar per meter kubik).Harga yang ditentukan pemerintah ini memberikan potongan yang sangat besar dari nilai riil kayu tersebut karena pada beberapa tahun terakhir nilai pasar sebenarnya[204]untuk kayu meranti hampir lima kali lipat, sebesar 240 dollar per meter kubik (lihat Gambar 6).

Gambar 6: Perbedaan index harga antara ketentuan Dephut dan harga pasar bagi kayu meranti

Dana Reboisasi juga dihitung berdasarkan volume dan berbeda-beda tergantung jenis kayu dan wilayah tebang. Tahun 1999, peraturan pemerintah menetapkan DR meranti sebesar 16 dolar per meter kubik.[205] Biaya dihitung dalam dolar tapi boleh dibayarkan dengan rupiah. Pemerintah menetapkan nilai tukar mata uang untuk pembayaran DR sebesar Rp. 5.000 untuk setiap 1 dolar atau Rp 80.000/meter kubik meranti. Nilai tukar mata uang ini memberikan potongan harga yang besar, karena nilai tukar mata uang yang sebenarnya jauh lebih tinggi selama satu dekade terakhir (lihat Gambar 7). Sekarang ini, harga pasar nilai tukar mata uang sekitar dua kali lebih besar dari nilai yang ditentukan pemerintah.

Gambar 7: Perbedaan antara nilai tukar yang ditentukan pemerintah untuk DR dan nilai tukar riil

Untuk menghitung jumlah kerugian pendapatan pemerintah, pertama-tama kami mengambil volume kayu resmi yang dihargai rendah akibat penggunaan nilai di bawah harga pasar, dan menghitung jumlah yang berpotensi diperoleh pemerintah jika menggunakan harga pasar dan nilai tukar mata uang yang sebenarnya.Kedua, kami mengambil volume kayu ilegal dimana tidak ada pajaknya ke kas pemerintah (sering kali uang suap kepada oknum disebut ”pajak,” tapi ”pajak” ini masuk ke saku oknum dan bukan ke anggaran negara) dan menghitung berapa yang seharusnya dapat diperoleh pemerintah jika menggunakan harga pasar yang sebenarnya.

Harga Transfer

Pada langkah akhir, kami memperkirakan jumlah kerugian pendapatan akibat satu bentuk penggelapan pajak di mana pengekspor menurunkan nilai ekspor kayu guna menghindari pajak berdasarkan nilai jual. Paktek ilegal ini disebut ”harga transfer.” Untuk membuat perhitungan jumlah harga transfer, kami menggunakan metode keuangan yang diakui secara internasional yang disebut ”statistik cermin.” Dengan metode ini, kami membandingkan nilai ekspor yang dilaporkan oleh Dephut dengan nilai impor negara penerima yang dilaporkan kepada FAO dan ITTO, seperti terlihat di Gambar 8 berikut ini. Selisih nilai antara apa yang disampaikan Indonesia tentang ekspornya ke suatu negara dan nilai yang dilaporkan oleh negara pengimpor setelah mereka menerima dari Indonesia adalah berkesesuaian dengan harga transfer, demikian juga dengan nilai kayu selundupan dari Indonesia tapi dilaporkan secara resmi oleh negara pengimpor.[206]

Gambar 8: Perbedaan nilai ekspor antara laporan ekspor Indonesia dan laporan impor negara konsumen (2003-2006)

Perkiran total kerugian pendapatan tahunan pemerintah Indonesia berasal dari penjumlahan dari penurunan harga yang dikenakan pada kayu dan nilai tukar mata uang (dengan kata lain, subsidi siluman), jumlah biaya yang tidak terkumpul atas pembalakan liar (dengan menggunakan harga kayu dan nilai tukar mata uang di pasar), dan perkiraan penghindaran pajak nilai ekspor akibat harga transfer (lihat table dibawah). Hal ini tidak termasuk kerugian akibat penghindaran pajak perusahaan dan pendapatan dan beberapa pajak kecil (yang secara kolektif merupakan sebagian kecil dari DR dan PSDH), kerugian akibat penyelundupan yang tidak dilaporkan dan penggunaan kayu oleh penggergajian (mungkin berjumlah ratusan) yang memiliki kemampuan produksi kurang dari 6.000 meter kubik per tahun.

Gambar 9: Kehilangan pendapatan = kemurahan karena penurunan penilaian atas kayu resmi + penghilangan pendapatan akibat pembalakan liar + penghilangan pendapatan akibat harga transfer

Bahkan dengan hanya menggunakan data pemerintah (daripada menggunakan data dari FAO/ITTO atas konsumsi kayu dalam negeri Indonesia), kerugiannya pun masih luar biasa:

Gambar 10: Kehilangan pendapatan = kemurahan karena penurunan penilaian atas kayu resmi + penghilangan pendapatan akibat pembalakan liar + penghilangan pendapatan akibat harga transfer (menggunakan data Dephut)

IX. Ucapan Terima Kasih

Laporan ini disusun dan ditulis oleh Dr. Emily Harwell, dengan bantuan dari Dr. Arthur Blundell dan seorang rekan di Indonesia yang namanya dirahasiakan demi alasan keamanan.

Laporan ini telah dibaca oleh Arnvin Ganesan, direktur Program dan Bisnis Human Rights Watch; Elain Pearson, wakil direktur Asia; Joe Amon, direktur kesehatan dan hak asasi manusia; Nisha Varia, wakil direktur hak-hak perempuan; Aisling Reidy, penasehat hukum senior; dan Joseph Saunders, wakil direktur program. Bantuan editorial dan produksi diberikan oleh Kristina DeMain dan Carly Tubbs, coordinator program hak asasi manusia dan bisnis. Grace Choi dan Fitzroy Hepkins telah meyiapkan laporan ini untuk dipublikasikan.

Informasi penting, laporan dan komentar diberikan oleh para staf di ICW, Telapak, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), CIFOR, Environmental Investigation Agency (EIA), Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT) Uni Eropa, Bank Dunia, UNDP, Australian Institute of Criminology, ITTO, Lembaga Ekonomi Lingkungan dan Sumber Daya Alam (ELSDA), staf ahli Menteri Kehutanan, serta individu lain yang namanya dirahasiakan demi perlindungan mereka.

Ucapan terima kasih secara khusus saya sampaikan kepada Todung Mulya Lubis yang telah membaca laporan ini dan kepada Yayasan Titian atas foto sampul.

Akhirnya kami sangat berterima kasih atas bantuan yang diberikan oleh Stichting DOEN dan Cordaid atas bantuan financial yang telah diberikan untuk mewujudkan laporan ini.

[1] T. Brown et al., “Restructuring and Revitalizing Indonesia’s Wood-Based Industry,” Departemen Kehutanan, Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), dan DIFD-MFP: Jakarta, 2005, hal. 11.

[2] Bank Dunia, Sustaining Economic Growth, Rural Livelihoods, and Environmental Benefits: Strategic Options for Forest Assistance in Indonesia (Jakarta: World Bank Group, 2007) http://siteresources.worldbank.org /INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1168483675167/IDWBForestOptions.pdf  (diakses pada tanggal 16 September 2009),  hal. 46.

[3]ITTO, 2006 Annual Review, hal. 16.

[4]ITTO, 2008 Annual Review, hal. 29.

[5]Ibid, hal. 19.

[6]Ibid, hal. 24.

[7] L. M. Curran et al., “Forest Loss in Protected Areas of Indonesian Borneo,” Science, vol. 303, no. 5660 (2004), hal. 1000–1003.

[8]Secara global terdapat 34 titik rawan yang merupakan 75 persennya adalah wilayah hunian bagi mamalia, burungdan amfibi yang sangat terancam kepunahan. Total luas daerah tersebut hanya melingkupi 2,3 persen dari seluruh permukaan bumi.  Seluruh wilayah Indonesia berada diantara dua titik rawan tersebut (paparan Sunda & garis Wallace); Conservation International, biodiversityhotspots.org (diakses pada tanggal 16 September 2009).

[9]David Brown, “Addicted to Rent: Corporate and Spatial Distribution of Forest Resources in Indonesia,” Indonesia U.K. Tropical Forestry Management Programme, Jakarta, September 1999; Christopher Barr, “Bob Hasan, the Rise of Apkindo, and the Shifting Dynamics of Control in Indonesia’s Timber Sector,” Indonesia, vol. 65 (1998), hal. 1-36. Lihat juga, Human Rights Watch, Without Remedy: Human Rights Abuse and Indonesia’s Pulp and Paper Industry, vol. 15, no. 1 (C), Januari 2003, http://www.hrw.org/reports/2003/indon0103/.

[10]William Ascher, “From Oil to Timber: The Political Economy of Off-Budget Development Financing in Indonesia,” Indonesia, vol. 65 (1998), hal. 37- 61.

[11] Ibid.

[12] “Mega Queries Use of Reforestation Fund,” Laksamana.net, 24 Januari 2002.

[13] Christopher Barr, Banking on Sustainability: Structural Adjustment and Forest Reform in post-Soeharto Indonesia (Bogor: Center for International Forestry Research, 2001); “Big Names Probed for Alleged Abuse of Forestry Funds,” Jakarta Post, 17 Pebruari 2000.

[14]“Probosutedjo admits to bribing judges,” Jakarta Post, 12 Oktober 2005.

[15]Konsesi penebangan diwajibkan oleh undang-undang untuk memenuhi rencana tahunan bagi tebang pilih terhadap kayu yang diperdagangkan dengan berdiameter di atas ukuran tertentu. Tetapi pada kenyataannya peraturan ini seringkali dilanggar. Ijin konversi lahan memperbolehkan penebangan pohon dari segala ukuran; kayu yang lebih kecil dan lebih murah harganya dapat dijual untuk pembuatan bubur kertas atau kayu serpih. Walaupun perkebunan dimaksudkan untuk menempati lahan ‘kurang subur’ , dan sering menerima dana hibah dan subsidi pemerintah untuk ‘rehabilitasi’, namun biasanya perkebunan dibuat dengan membuka lahan hutan alami dengan maksud untuk memperoleh pohon tua yang berharga yang tumbuh di lahan tersebut.  Sebenarnya, keuntungan ekonomis dari pembukaan lahan dan penjualan kayu dari hutan alami (di samping pinjaman dan subsidi pemerintah yang menarik dan dapat diinvestasikan dengan bunga besar) begitu besar sehingga perkebunan yang dimaksud sering kali justru tidak dilanjutkan setelah pembukaan lahan dilakukan. Christopher Barr, Banking on Sustainability: Structural Adjustment and Forest Reform in post-Soeharto Indonesia (Bogor: Center for International Forestry Research, 2001), hal. 64-71.

[16] Wawancara Human Rights Watch dengan pejabat Bank Dunia (nama narasumber dirahasiakan), Jakarta, 26 Mei 2008.

[17]Fred Stolle et al., Regaining Indonesia’s Lost Forest Revenue: A Study of Forest Revenue, Poverty, and Income (Washington, DC: World Resources Institute, dalam proses penerbitan).

[18]Cukup untuk mengisi 1 juta truk pengangkut kayu, yang akan membentuk antrian sepanjang 20.000 kilometer–empat kali lipat panjang bentang kepulauan Indonesia.

[19] Lihat, Bank Dunia, Sustaining Economic Growth, Rural Livelihoods, and Environmental Benefits: Strategic Options for Forest Assistance in Indonesia; Multi-stakeholder Forestry Programme, “Policy Brief: Timber Industry revitalization in Indonesia in the first quarter of the 21st century” (Jakarta: Departemen Kehutanan, 2006); N. Scotland, A. Fraser, and N. Jewell, “Roundwood supply and demand in the forest sector in Indonesia,” Indonesia-UK Tropical Forest Management Programme, Report No. PFM/EC/99/08, Jakarta, 1999; Barr, Banking on Sustainability.

[20] Untuk menghitung “padanan kayu bulat” kami menggunakan faktor konversi yang sudah diterima yang berasal dari ITTO, Komisi Ekonomi PBB untuk Eropa (UNECE), CIFOR, dan firma konsultan kehutanan terbesar di dunia Jaako Poyry.

[21]Perlu dicatat, bahwa ini hanyalah perkiraan terhadap kayu yang memenuhi standar legalitas minimun berdasarkan perijinan oleh Dephut. Kayu yang dilaporkan “legal” bisa saja menjadi  tidak legal jika, sebagai contoh, pengusaha melanggar hukum perburuhan, imigrasi, lingkungan hidup dan/atau perpajakan (misalnya menghindari pajak dengan cara mengurangi nilai produk ataupun dengan menjual ke anak perusahaan dengan harga diskon, yang disebut dengan harga transfer).

[22] Departemen Kehutanan Indonesia,” A Road Map for the Revitalization of Indonesia’s Forestry Industry,” 2007, hal. 10.

[23] Program Tata Kelola Kehutanan Multipihak (MFP) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), “Forest Future Scenario Analysis,” 2005. Arsip data mentah disimpan oleh HRW.

[24] Dephut, “A Road Map for the Revitalization of Indonesia’s Foresty Industry,” hal. 28.

[25] Komunikasi email antara Human Rights Watch dengan dua penasehat Menhut (nama dirahasiakan).

[26] ITTO, 2007 Annual Review and Assessment of the World Timber Situation, Lampiran 1, Tabel 1.1c, Catatan kaki atas data negara Indonesia.

[27] T. Brown et al., “Restructuring and Revitalizing Indonesia’s Wood-Based Industry,” hal. 11.

[28]Bank Dunia, Sustaining Economic Growth, Rural Livelihoods, and Environmental Benefits: Strategic Options for Forest Assistance, hal. 46.

[29]ITTO, 2006 Annual Review, hal. 16.

[30]ITTO, 2008 Annual Review, hal. 29.

[31]Ibid., hal. 19.

[32] Ibid., hal. 24.

[33]Ibid., hal. 19.

[34] Dalam laporan Dephut tahun 2006, terdapat selisih sekitar 7 juta meter kubik kayu gergajian dan 3 juta meter kubik produksi kayu lapis yang lebih sedikit daripada data ITTO/FAO (jika digabungkan dan dipadankan dengan kayu bulat akan sama dengan 20 juta meter kubik), jika perhitungan tersebut memang akurat, berarti dalam satu tahun telah terjadi 25% penurunan produksi, dibanding 5% kenaikan seperti yang dilaporkan ITTO/FAO.

[35]Menggunakan asumsi harga satu meter kubik kayu meranti sama dengan 230 dolar AS. Dikutip dari ITTO, “Market Information Service,”16-30 April 2009. http://www.itto.int/en/mis_detail/ (diakses padatanggal 27 April 2009).

[36] Bintang Simangungsong, “The Economic Performance of Indonesia’s Forest Sector in the Period 1980-2002,” Naskah untuk rapatDepartemen Kehutanan Indonesia dan GTZ-SMCP No.4, Jakarta, 2004.

[37] ITTO, “Market Information Service Reports,” berbagai tahun, http://www.itto.int/en/mis_back_issues/ (diakses pada tanggal 12 April 2009).

[38] 16 dolar AS per meter kubik untuk Kalimantan.

[39] Wawancara Human Rights Watch dengan penasehat ahli Dephut, Jakarta, Oktober 2008. Lihat juga, N. Kishor dan R. Damania, “Crime and Justice in the Garden of Eden: Improving Governance and Reducing Corruption in the Forestry Sector,” dalam J. E. Campos dan S. Pradhan, eds., The Many Faces of Corruption: Tracking Vulnerabilities at the Sector Level  (Washington, DC: Bank Dunia, 2007), hal. 89-114.

[40] Statistik Penerimaan Pajak Jakarta Selatan, 2006.

[41] Audit Ernst & Young, 1999, dikutip dari Christopher Barr, Banking on Sustainability: Structural Adjustment and Forest Reform in post-Soeharto Indonesia (Bogor: Center for International Forestry Research, 2001).

[42] Bambang Setiono, “Corruption and Forest Revenues in Papua,” Chr. Michelsen Institute (CMI), Juni 2008; Stolle et al, Forest Revenue in Indonesia.

[43] Biro Statistik Indonesia, 2006. http://kalbar.bps.go.id/tabel/Tabel%2012-1.htm (diakses pada tanggal 2 Januari 2008).

[44] Kami tidak dapat menghitung dengan pasti kecenderungan produksi dan pasokan yang berjalan dalam beberapa tahun karena peneliti Human Rights Watch tidak diberikan akses terhadap data yang lengkap, itu pun kalau data tersebut memang ada. Akan tapi, perhitungan kerugian tahunan untuk tahun 2006 karena pembalakan liar menggunakan cara yang sama dengan yang kami dipakai untuk perhitungan nasional. Peneliti dari Human Rights Watch mengunjungi kantor dinas kehutanan kabupaten dan provinsi dan meminta data pasokan kayu dan produksi industri. Selisih antara pasokan yang legal dan jumlah konsumsi adalah jumlah taksiran minimal dari pembalakan liar tiap tahun. Mengenai angka nasional, kami menghitung kehilangan pemasukan dari penjumlahan PSDH dan DR, menggunakan nilai pasar dan nilai tukar mata uang yang sesungguhnya. Kami tidak dapat menghitung menghitung besarnya kerugian akibat harga transfer karena data perdagangan yang dibutuhkan tidak tersedia di tingkat provinsi.  

[45] K. Obidzinski, A. Andrianto, C. Wijaya, “Cross-border timber trade in Indonesia: critical or overstated problem? Forest governance lessons from Kalimantan,” International Forestry Review, vol.9(1) 2007. Lihat juga Telapak/Environmental Investigation Agency (EIA), “Timber Trafficking: Illegal Logging in Indonesia, South East Asia and International Consumption of Illegally Sourced Timber,” 2001.

[46] Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, “Konsep Hasil Pemeriksaan Atas Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) Dan Dana Reboisasi (DR), Tahun 2005 Dan 2006 Pada Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat, Dinas Kehutanan Kabupaten Ketapang, Dinas Kehutanan Dan Perkebunan Kabupaten Kapuas Hulu, Sintang Dan Melawi”), 2007. Dokumen ada pada Human Rights Watch.

[47] Ibid, hal.28.

[48]Wawancara Human Rights Watch dengan sejumlah penasehat Departemen Kehutanan (nama dirahasiakan atas permintaan mereka), Jakarta, 15 dan 21 Oktober 2008; ICW, “Menyingkap Tabir Mafia Peradilan,” 2002. Telapak/Environmental Investigation Agency (EIA),  “Raksasa Dasamuka: Kejahatan Hutan, Korupsi dan Ketidakadilan di Indonesia,” Maret 2007; Bambang Setiono, Corruption and Forest Revenues in Papua.

[49]Setiono, “Korupsi dan Pendapatan Hasil Hutan di Papua,” Wawancara Human Rights Watch dengan penasehat Departemen Kehutanan (nama dirahasiakan), Jakarta, 15 Oktober 2008; Wawancara Human Rights Watch dengan aktivis lingkungan (nama dirahasiakan), Bogor, 27 Mei 2008, dan Pontianak, 3 Juni 2008.

[50]Setiono, Corruption and Forest Revenues in Papua.

[51]Wawancara Human Rights Watch dengan penasehat Dephut (nama dirahasiakan), Jakarta, 10 Oktober 2008.

[52] Ibid.

[53] Wawancara Human Rights Watch dengan penasehat Departemen Kehutanan (nama dirahasiakan), 10 Oktober 2008; Setiono, “Korupsi dan Pendapatan Hasil Hutan di Papua,” hal.3.

[54] Setiono, Corruption and Forest Revenues in Papua,” hal. 3.

[55] Wanwancara Human Rights Watch dengan peneliti senior Kehutanan, Bogor, 28 Mei 2008. Lihat juga ICW dan Greenomics Indonesia, “Praktik Korupsi Bisnis Exploitasi Kayu: Analisa Kinerja Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam dan Hutan Tanaman,” Agustus 2004.

[56] EIA/Telepak, “Raksasa Dasamuka,” hal. 7.

[57] Indonesian Corruption Watch, “Menyingkap Tabir;” EIA/Telepak, “Raksasa Dasamuka.”

[58] Ibid.

[59] EIA/Telepak, “Raksasa Dasamuka,” hal. 7;  EIA/Telepak,“Timber Trafficking,” hal. 21.

[60] ICW, “Menyingkap Tabir,” hal. 9.

[61] “Most Judges Are Not Independent: Chief Justice,” Jakarta Post, 17 Oktober 2009.

[62] Ibid.

[63] Wawancara Human Rights Watch dengan staf Indonesian Center for Environmental Law  (nama dirahasiakan), Jakarta, 20 Oktober 2008.

[64]Wawancara Human Rights Watch dengan staf Indonesian Center for Environmental Law  (nama dirahasiakan), Jakarta, 20 Oktober 2008.

[65] “Kasus Pembalakan Liar Di Ketapang: Ketapang Dirampok,” Tempo, 17 April 2008.

[66] Komunikasi surat elektronik antra Human Rights Watch dengan reporter harian Tribun Pontianak (nama dirahasaiakan), 12 Januari 2008.

[67] “Ketapang Dirampok,” Tempo, 21 April 2008.

[68] Ibid.

[69] “Mantan Kapolres Divonis Tiga Tahun Penjara,” Pontianak Post , 23 Desember 2008.

[70] Ibid.

[71] Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Tentang Permberantasan Tindak Pidana Penebangan Pohon di Dalam Hutan Secara Illegal, 2004. (Cited in EIA/Telapak, 2007. “Raksasa Dasamuka: Kejahatan Hutan, Korupsi dan Ketidakadilan di Indonesia,” hal. 4).

[72] Instruksi Presiden No. 4/2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Illegal di Hutan Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia.

[73] Undang-Undang No. 25/2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Bab 1, Pasal 2.1.v.

[74] Instruksi Presiden No. 4/2005.

[75] EIA/Telapak, 2007, “Raksasa Dasamuka,” hal. 5.

[76]Bank Dunia, Sustaining Economic Growth, Rural Livelihoods, and Environmental Benefits: Strategic Options for Forest Assistance in Indonesia.

[77] Stewart Fenwickt, “Measuring Up? Indonesian Anti Corruption Commission and the new corruption agenda,” dalam Timothy Lindsay, ed., Indonesia: Law and Society, 2nd ed. (Sydney: Federation Press, 2008), hal. 406-428.

[78] Transparency International, “2007 Global Corruption Barometer,” 6 Desember 2007.   

[79] "KPK Akan Umumkan Kekayaan Pejabat di Tiap Instansi," Koran Tempo, 22 Januari 2005.

[80] Sebenarnya, hal yang sama juga terjadi di Liberia, dimana aset yang diumumkan pada publik menghasilkan analisis rinci tentang kekayaan politisi, dan mendorong para wartawan untuk secara terbuka mempertanyakan bagaimana mereka memperoleh aset yang begitu besar dibandingkan dengan gaji mereka yang terbatas.

[81] “The Most Corrupt Institutions,Jakarta Post. 1 April 2008. Pandangan ini dikemukakan oleh penelitian ICW dan ketua KOMNAS HAM Ifdhal Kasim. ( “AGO reform nothing but a fantasy,” Jakarta Post. 27 Desember, 2008). Survei Transparansi International menempatkan Kepolisian sebagai lembaga terkorup (dengan nilai 4.2), yang segera diikuti oleh lembaga peradilan (4.1). Nilai 5 mengindikasikan “sangat korup.” (Transparansi International,  “2007 Global Corruption Barometer”). Perlu dicatat bahwa banyak aparat kepolisian yang sedang berada dalam “pengamatan” KPK sehubungan dengan laporan yang diterima. (Laporan Tahunan KPK, Desember 2007, http://www.kpk.go.id/modules/wmpdownloads/viewcat.php?op=&cid=13 (diakses pada tanggal 21 September 2009)).

[82] Pemerintah mengeluarkan Rp 144,5 triliun (18 milyar dolar AS) dana cair melalui Bank Indonesia (BI) untuk bank-bank besar yang berjatuhan karena kredit macet dan terpuruknya nilai tukar rupiah dalam krisis ekonomi Asia 1997. Akan tapi, kurangnya kemampuan BI untuk mengenali bank yang bisa diselamatkan menyebabkan banyak bank penerima bantuan tetap hancur, dengan dampak yang sangat besar pada nilai tukar rupiah dan kerugian negara sebesar lebih dari Rp 50 triliun (6.25 milyar dollar) karena pemerintah gagal mengumpulkan kembali aset bank untuk menutup dana likuidasi.  Banyak bank yang melikuidasi asetnya untuk membayar sebagian hutang BLBI mereka, dengan diskon besar.  Tapi pemerintah menemukan bahwa aset-aset bank tersebut telah ditaksir dengan nilai yang terlalu tinggi, sehingga perusahaan itu dapat menerima diskon hutang, dan menyebabkan pemerintah dalam gagal untuk memperoleh dananya kembali. Akibat terus menguatnya tekanan untuk menuntut pertanggungjawaban atas kerugian negara yang sangat besar ini, DPR menyiapkan RUU untuk mereformasi BI.  Mantan ketua divisi hukum BI bersaksi di Pengadilan Tipikor bahwa BI memberi suap kepada anggota komisi DPR tahun 2003 untuk meloloskan perundangan yang menguntungkan BI dalam penyelesaian kasus likuidasi ini. Salah seorang anggota komisi yang dituduh KPK menerima suap dari BI memberikan kesaksian bahwa ia telah mengeluarkan uang sebesar Rp 300 juta (37,500 dollar) untuk Kaban, tuduhan yang disangkal Kaban meskipun paling tidak tiga anggota komisi lain mengakui telah menerima suap.  (“Menhut: Saya Tidak Menerima Gratifikasi,” Modus Aceh. Mei 2008).

[83] Wawancara Human Rights Watch dengan para ahli tata kelola Bank Dunia, Amien Sunaryardi (mantan Ketua KPK) dan Staffan Sinnestrom, Jakarta, 17 October 2008.

[84] Ibid.

[85] Sebenarnya, keberatan ini diajukan sebagai bagian dari pembelaan salah seorang tertuduh yang diajukan KPK. “Court Orders New Law on Graft Tribunal,” Jakarta Post, 20 Desember 2006.

[86]Kronologis Pelaporan ICW oleh Kejaksaan Agung pada Mabes POLRI. Data tersimpan di Human Rights Watch.

[87] “ICW Accuses Prosecutors Of Overreacting to Criticism,” Jakarta Globe, 12 Januari 2008.

[88] Kitab Undang Undang Hukum Pidana pasal 311 dan 316.

[89] Wawancara Human Rights Watch dengan staf LSM anti korupsi (nama dirahasiakan), Jakarta, Oktober 2008.

[90] Undang Undang No. 30/2002 tentang KPK pasal 69.

[91] “Police Generals, KPK Facing House Summons over Tapping Allegations,” Jakarta Globe, 6 Juli 2009.

[92] “Yudhoyono Urged to End Row Between KPK, Police, Judiciary,” Jakarta Post, 13 Juli 2009.

[93] “Police Generals, KPK Facing House Summons Over Tapping Allegations,” Jakarta Globe, 6 Juli 2009.

[94] “Susno Duadji: Cicak Kok Mau Melawan Buaya,” Majalah TEMPO  20/XXXVIII. 6-12 Juli 2009.

[95] “Former Leaders Condemn Efforts To Weaken the KPK,” Jakarta Post, 13 Juli 2009.

[96] Undang Undang No. 30/2002 tentang KPK pasal 30.

[97] Ketua Mahkamah Agung (MA) sendiri sempat mengeluhkan keberpihakan dan korupsi dalam sistem peradilan, dengan memperkirakan bahwa hanya separuh dari hakim yang ada dalam MA yang “semakin mandiri.” “Most Judges Are Not Independent,” Jakarta Post, 17 Oktober 2009.

[98] “RI Judiciary Worse Than First Thought: UN Rapporteur,” Jakarta Post, 22 Juli 2002.

[99]Bank Dunia, Combating Corruption in Indonesia: Enhancing Accountability for Development, Oktober 2003, hal. 79. Lihat juga, Bank Dunia, Sustaining Economic Growth, Rural Livelihoods, and Environmental Benefits: Strategic Options for Forestry Assistance in Indonesia, hal. 43.

[100] Transparansi International, “2007 Global Corruption Barometer.”

[101] “Polisi Selidiki Transparansi International Indonesia,Tempo, 12 Desember 2007.

[102] “AGO Reform Nothing but a Fantasy,” Jakarta Post, 27 Desember 2008.

[103]“Court Fiasco as Fugitive Timber Boss Evades Jail: The latest illegal logging court case shambles reveals the need for urgent forest law reform in Indonesia,”Siaran Pers EIA/Telapak, 21 November 2007.Direktur kampanye EIA Julian Newman mengatakan pada Human Rights Watch di bulan Mei 2009, “Tidak ada yang berubah sejak laporan kami diluncurkan pada awal 2007.” Human Rights Watch, komunikasi melalui surat elektronik, 4 Mei 2009.

[104]EIA /Telapak, “Raksasa Dasamuka,” Lihat juga “Police, Minister Upset by Illegal Logging Verdicts,” Tempo, 2 April 2005.

[105]“Bad Cops Undermine Illegal Logging Raids,” Jakarta Post, 19 Desember 2005.

[106]EIA/Telapak, “Raksasa Dasamuka,” hal. 11.

[107]Wawancara Human Rights Watch dengan staff Yayasan Titian (nama dirahasiakan), 3 Juni 2008.

[108]Indonesian Center for Environtental Law, “Penegakan Hukum Illegal Logging: Permasalahan dan Solusi,” 2003; ICW, “Korupsi dalam Pemberantasan Illegal Logging: Analisis Kinerja dan Alternatif Kerangka Hukum,” 11 Agustus 2008; EIA/Telapak, “Raksasa Dasamuka.”

[109]ICW, “Korupsi dalam Pemberantasan Illegal Logging: Analisis Kinerja dan Alternatif Kerangka Hukum,” 11 Agustus hal. 5-6.

[110] EIA/ Telapak, ”Raksasa Dasamuka,” hal. 14; komunikasi lewat email Human Rights Watch dengan direktur kampanye EIA, Julian Newman, 5 Mei 2009.

[111]“Minister Complains of Weak Law Enforcement against Loggers,” Antara, 26 Januari 2006. 

[112] Wawancara Human Rights Watchdengan anggota Yaysan Titian (nama dirahasiakan), Pontianak, 3 Juni 2008, dan anggota Kontak Borneo (nama dirahasiakan), Jakarta, 2 November 2008.

[113] EIA/Telapak, “Raksasa Dasamuka,” hal. 7.

[114] EIA/Telapak, “Raksasa Dasamuka,” hal.8. Lihat juga Sahlan Said, “Catatan Kritis Atas Putusan Pengadilan Negeri Pontianak No. 453/PID.B/2004/PN.PTK,” 2005 (dikutip oleh EIA/Telapak, “Raksasa Dasamuka,” catatan kaki 23).

[115] “Bad Cops Undermine Illegal Logging Raids,” Jakarta Post, 19 Desember 2005.

[116]“Red Faces Over Lumber Boss's Acquittal,” StraitsTimes. 16 November 2007; “Pembalakan Liar: Vonis Pahit,” Tempo No. 38/VII, 22-28 Mei 2007; “Menteri Kehutanan M.S. Kaban: Dephut Memiliki Wewenang,” Tempo. No. 02/VIII. 11-17 September 2007.

[117] Penjelasan resmi undang-undang ini menyatakan bahwa pasal tersebut “cukup jelas,” sehingga tidak perlu ada penjelasan lebih lanjut.

[118] “Kaban dan Pembalakan Liar,” Tempo, 11 September 2007.

[119] Ibid.

[120] “Illegal Loggers Push Anti-Graft Police ChiefS: Walhi,” Jakarta Post, 5 Mei 2008.

[121] “Kaban Backs Decision to Close Illegal Logging cases,” Jakarta Post, 24 Desember 2008.

[122] “Ex-MP Gets 8 Years for Forest Bribe,” Reuters, 5 Januari 2008.

[123] “Five-Year Jail Term Sought for Lawmaker,” Jakarta Post, 8 Januari 2009.

[124] “Lawmaker: I’m Guilty of Graft, So is the House,” Jakarta Globe,15 Januari 2009.

[125] EIA / Telapak, “ Raksasa Dasamuka,” hal.11.

[126] Paul Collier, The Bottom Billion: Why the Poorest Countries are Failing and What Can Be Done About It (Oxford: Oxford University Press, 2007).

[127] Frankey Simanjuntak dan Anita Rahman, eds., Membedah Fenomena Korupsi: Analisa Mendalam Fenomena Korupsi di 10 Kota di Indonesia, (Jakarta: Transparansi Internasional Indonesia, 2008); Ratih Hardjono Stefanie Teggemann, eds, The Poor Speak Up: 17 Stories of Corruption (Jakarta: Partnership for Governance Reform, 2003).

[128] Wawancara Human Rights Watch dengan staf LSM pengamat anggaran (nama dirahasiakan), Pontianak, 6 Juni 2008.

[129] Wawancara Human Rights Watch dengan staff Indonesiaan Center for Environmental Law (ICEL) (nama dirahasiakan), Jakarta, 20 Oktober 2008; Firma hukum WNW (nama dirahasiakan), Jakarta, 13 Oktober 2008, dan ICW, Jakarta, 15 Oktober 2008.

[130] Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia no. 144/KMA/SK VIII/ 2007 tentang keterbukaan informasi di pengadilan.

[131] Wawancara Human Rights Watch dengan ICEL (nama dirahasiakan), Jakarta, 20 Oktober 2008.

[132]Pernyataan Menteri seputar transparansi operasi kehutanan,26 Februari 2006.

[133] Wawancara Human Rights Watch dengan ICEL(nama dirahasiakan), 20 Oktober.

[134]Percakapan telepon antara Human Rights Watch dengan penasehat Departemen Kehutanan (nama dirahasiakan), 18 Desember 2008.

[135] Wawancara Human Rights Watch dengan penasehat Departemen Kehutanan (nama dirahasiakan), 15 Oktober 2008.

[136] Komunikasi lewat surat elektronik antara Human Rights Watch dengan aktivis lingkungan di Kalimantan Timur (nama dirahasiakan), 10 Oktober 2008.

[137]Bank Dunia, Sustaining Economic Growth, Rural Livelihoods, and Environmental Benefits: Strategic Options for Forest Assistance, hal. 46.

[138] I Made Subagia Gelgel, Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Kelembagaan, “Mambangun era keterbukaan di Departemen Kehutanan.” Presentasi untuk Lokakarya FLEGT tentang good governance di bidang Kehutanan, Pontianak, 12-14 Juni 2008 (dihadiri oleh Human Rights Watch).

[139]Pasal 17 Undang-Undang KIP menjelaskan informasi yang dapat dikecualikan dari akses publik, termasuk informasi yang jika dibuka akan menghambat penegakan hukum (pasal 17.a), mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan persaingan usaha tidak sehat (pasal 17.b), membahayakan pertahanan dan keamanan negara (pasal 17.c),dapat mengungkapkan kekayaan alam Indonesia (pasal 17.d), dan dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional (pasal 17.e).

[140] Ibid.

[141] Wawancara telepon antara Human Rights Watch dengan penasehat Departemen Kehutanan (nama dirahasiakan), 18 Desember 2008.

[142] Ibid.

[143] Komunikasi surat elektronik Human Rights Watch dengan staf ahli Dephut (nama dirahasiakan), 11 Agustus 2009.

[144]Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, dideklarasikan pada tanggal 16 Desember 1966, G.A. Res. 2200A (XXI), 21 U.N. GAOR Supp. (No. 16) at 52, U.N. Doc. A/6316 (1966), 999 U.N.T.S. 171, mulai diberlakukan pada tanggal 23 Maret 1976, diratifikasi oleh Indonesia pada tanggal 23 Pebruari  2006, pasal. 19(2).

[145]Pasal 28.f merinci hak setiap orang “untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dengan tujuan mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

[146]UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Pasal 51.

[147]UU 14/2008, Pasal 5.

[148]UU 14/2008, Pasal 54.

[149]UU 14/2008, Pasal 25.

[150] “Sanctions for Information Misuse 'Should be Dropped',” Jakarta Post, 29 Maret 2008. 

[151] Petugas kesehatan menyampaikan bahwa mereka kesulitan mendapat data seputar kinerja sektor kesehatan di tingkat provinsi apalagi kabupaten, bahkan untuk tujuan MDG, dan besar kemungkinan angka rata-rata nasional akan menutupi kinerja yang buruk di daerah terpencil yang tidak terlayani. Komunikasi lewat surat elektronik antara Human Rights Watch dengan akademisi Indonesia yang mengkhususkan diri pada bidang kesehatan masyarakat (nama dirahasiakan), 10 Oktober 2008).  Ketiadaan data ini menimbulkan keraguan pada data tingkat nasional karena tidak ada kejelasan sumber data tersebut, dan data yang ada sering tidak dikelompokkan berdasarkan status sosial ekonomi, jender, agama atau ras, desa/ kota sehingga dapat mengungkapkan kesenjangan distribusi layanan dan hasil kesehatan.

[152] Bank Dunia Indonesia, Spending for Development: Indonesia’s National Public Expenditure Review (Jakarta, World Bank Group, 2007).

[153] Ibid, hal. 57.

[154] Bank Dunia Indonesia, Health Public Expenditure Review, (Jakarta, World Bank Group, 2008), hal. 5.

[155] Ibid, hal. 31.

[156] Ibid, hal. 15.

[157]WHO, “Ministry of Health Inventory,” 2001; Badan Pusat Statistik, “Survei Potensi Desa,” 2005.

[158]Bank Dunia Indonesia, Health Public Expenditure Review, hal. 33.

[159]Ibid, hal. 34.

[160]N. Chaudhury, J. S. Hammer, M. Kremer, K. Muralidharan, F. Halsey Rogers, Journal of Economic Perspectives, vol. 20(1) (2006), hal. 91-116.

[161] UNDP, National Human Development Report (Jakarta: UNDP, 2004), hal. 153. (Data paling mutakhir).

[162] Petugas kesehatan dan akademisi mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa angka kematian ibu tidak dikumpulkan dengan sistematis pada tingkat kabupaten dan provinsi.

[163]UNDP, UNDP Indonesia Human Development Indicators 2004: The Economics of Democracy, Funding Human Development in Indonesia (Jakarta: UNDP, 2004), hal. 31 menyatakan bahwa angka kematian ibu di Papua sebesar 1.025 (per 100.000 kelahiran).

[164] Menggunakan harga tahun 1999. BPS-Statistics Indonesia, Bappenas dan UNDP Indonesia, National Human Development Report 2004, (Jakarta: UNDP, 2004), hal. 45.

[165] Bank Dunia, Health Public Expenditure Review.

[166] Berdasarkan sensus terkini tahun 2000. Badan Pusat Statistik, http://www.bps.go.id/sector/population/table1.shtml (diakses pada tanggal 6 Mei 2009).

[167] Anggaran Belanja Provinsi Kalimantan Barat tahun 2005-2008, dikutip dari data yang diberikan pada Human Rights Watch oleh Jaringan Independen untuk Transparansi dan Akuntabilitas Pembangunan Indonesia, Pontianak, Mei 2008. Anggaran provinsi tidak diumumkan kepada publik pada situs pemerintahan provinsi (lihat bagian tentang transparansi).

[168] Jatuhnya harga minyak sawit, dilaporkan, telah menyebabkan beberapa petani bunuh diri “Credit Turmoil Takes Toll on Palm Oil Trade,Financial Times, 31 Oktober 2008. Lihat juga ‘When the Commodity Boom Went Bust,” Jakarta Post, 12 Desember 2008; “Palm Oil Crash Spells Misery of SE Asian Farmers,” AFP, 23 November 2008.

[169] Siaran Pers Pemerintah Indonesia. “Draft 2008 Budget: Sustaining the Momentum of Economic Recovery for Job Creation and Poverty Reduction Government Sharpens Efficiency and Effectiveness inExpenditures with Priority on 6.8 Percent Growth, Improvement in Infrastructure and Expanded Education and Health Programmes,http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/9A8714EF-F849-493B-82E1-F811BCD0BFE/9488/PressReleasedraftbudget2008.pdf. (diakses pada tanggal 16 September 2009).

[170] WFP, “Food Security Assessment,” 2007, http://beta.wfp.org/countries/indonesia (diakses pada tanggal 16 Oktober 2009).

[171]Kovensi Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, diadopsi pada 16 Desember 1966, mulai berlaku sejak 3 Januari 1976, diratifikasi oleh Indonesia tanggal 23 Februari 2006, U.N. Doc. A/6316 (1966), Pasal 2 dan 12.

[172]Komisi PBB untuk Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: General Comment No. 14, The Right to the Highest Attainable Standard of Health,2000, U.N. Doc. HRI/GEN/1/Rev.6 at 85 (2003), para. 31.

[173]Pasal 34.3.

[174]Komisi PBB untuk Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, “Substantive Issues Arising in the Implementation of the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights,” General Comment no. 14, The Right to the Highest Attainable Standard of Health, E/C.12/2000/4 (2000), paras. 52, 43, and 44.

[175]Ibid., para. 52.

[176]Masstricht Guidelines on Violations of Economic, Social and Cultural Rights, diadopsi di Maastricht, 22-26 Januari, 1997, dalam Pertemuan Para Ahli yang diselenggarakan oleh Commission of Jurists, the Faculty of Law of the University of Limburg dan Urban Morgan Institute for Human Rights.

[177]Bank Dunia Indonesia, Health Financing In Indonesia: A Reform Road Map (Jakarta: World Bank Group, Mei 2009), hal. 51.

[178]Komisi PBB untuk Hak Ekonomi, sosial dan Budaya (CESCR), "Substantive Issues Arising in the Implementation of the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights," Komentar Umum No. 14, Hak Untuk Memperoleh Standar Kesehatan Tertinggi, E/C.12/2000/4 (2000), para. 12, http://www.unhchr.ch/tbs/doc.nsf/(Symbol)/40d009901358b0e2c1256915005090be?Opendocument, (diakses pada tanggal 29 Sptember 2009).

[179]Ibid, para. 12.a.

[180] Komentar Umum No. 14, para 12.b.

[181] Ibid, para. 19.

[182]Ibid.

[183]Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskrimimasi Terhadap Perempuan, Dok PBB. A/34/46, diterima pada tanggal 18 Desember 1979, mulai diterapkan tanggal 3 September 1981, diratifikasi oleh Indonesia tanggal 13 September 1984. Pasal 12.1.

[184]Ibid.

[185]Lihat Bank Dunia Indonesia, Spending for Development: Indonesia’s National Public Expenditure Review. Bank Dunia memperkirakan adanya kenaikan sebesar 10 persen dalam anggaran Indonesia akan mengurangi kematian ibu sebesar hampir 7 persen (Health Public Spending Review, hal. 68).  Laporan ini juga menyebutkan bahwa hubungan antara pengeluaran dan hasil kesehatan seringkali sangat pelik, terkait dengan berbagai faktor seperti penargetan dan efisiensi belanja, akuntabilitas penyedia, dan faktor-faktor pelengkap di luar sistem kesehatan seperti akses terhadap jalan dan transportasi, air bersih, dan sanitasi.

[186]ICESCR, Komentar Umum No. 14, para 47.

[187] “No Haven for Indonesian Debtors,” Tempo, No. 08/VII/ 24–30 Oktober 2006.

[188] EIA/Telapak, “Raksasa Dasamuka,” hal. 14.

[189] Komite Basel untuk Pengawasan Bank mematok uji kepatutan dan kelayakan sehubungan dan peraturan “Kenali Nasabah Anda, “Costumer due diligence for banks” Okober 2001, http://www.bis.org/publ/bcbs85.pdf  (diakses pada tanggal 4 Mei 2009).

[190] “Singapore Denies Money Laundering Myanmar Leaders,” Reuters, 5 Oktober 2007.

[191]Corruption, Drug Trafficking and Other Serious Crimes (Confiscation of Benefits) Act, pasal.  44.

[192] Pasal 2.

[193] Pasal 39.

[194] “Singapore Acts on Bank Secrecy Laws,Financial Times, 6 Maret 2009. Standar pajak yang disetujui dunia untuk pertukaran informasi, sebagaimana dikembangkan oleh OECD dan didukung oleh PBB dan kelompok G20, memfasilitasi pertukaran informasi sepenuhnya dalam hal pajak, dengan mengabaikan peraturan kepentingan pajak domestik atau kerahasiaan bank untuk tujuan pajak.  OECD Center for Tax Policy and Administration, “Countering Offshore Tax Evasion: Some Questions and Answers on the Project,” 21 April, 2009,  http://www.oecd.org/dataoecd/23/13/42469606.pdf  (diakses pada tanggal 4 Mei 2009).

[195] FATF, “Third Mutual Evaluation On Anti-Money Laundering And Combating The Financing Of Terrorism” (Paris: FATF. 29 Februari 2008).

[196]“Food, Conservation, and Energy Act of 2008,” Bagian 8204.

[197]Menurut Undang-Undang Lacey, hukuman maksimal untuk perdagangan kayu ilegal adalah 5 tahun penjara dan denda sampai 500.000 dolar AS untuk perusahaan dan 250.000 dolar untuk individu atau dua kali lipat perolehan keuntungan transaksi dan penyitaan barang-barang yang tidak sah.

[198] Wawancara Human Rights Watch dengan narasumber yang sangat paham dengan proses negosiasi VPA (nama dirahasiakan), 20 Mei 2008.

[199] Ibid.

[200]Bank Dunia.”Carbon Finance, Development and the World Bank: At a glance,” April  2009, http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/NEWS/0,contentMDK:21520231~menuPK:34480~pagePK:64257043~piPK:437376~theSitePK:4607,00.html (diakses pada tanggal 16 September 2009).

[201]“UN and Norway Unite to Combat Climate Change from Deforestation,” INIP Press Release, 24 September 2008.  Perlu diketahui bahwa pernyataan pers ini tidak memberikan perkiraan tentang tingkat penggundulan hutan saat ini, yang pasti sudah menjadi topik perdebatan, tergantung pada metodologi dalam mendefinisikan “hutan” untuk perhitungan dan data satelit apa yang digunakan.  Data terakhir yang dilansir oleh departemen (selama 2004-2005) mengatakan bahwa tingkat penggungulan sudah mencapai 962.500 hektar per tahun, sehingga mengurangi kebutuhan untuk membuat pembayaran karbon guna mencapai 1 juta hektar per tahun.  Akan tapi, angka terkini yang dimiliki FAO (2000-2005) adalah dua kali angka yang dikeluarkan departemen, yaitu 1,8 juta, http://www.fao.org/forestry/fra2005/en/(diakses pada tanggal 4 Mei 2009).

[202] Indonesia Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP). Jakarta, 15 Januari 1998. Paragraph 50.

[203] Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 436/MPP/Kep/7/2004. 9 Juli 2004.

[204]Menurut statistik perdagangan ITTO, http://www.itto.int/en/annual_review/ (diakses pada tanggal 29 September 2009).

[205] Peraturan Pemerintah 92/1999.

[206] Sekali lagi, harus dicatat bahwa ini adalah jumlah minimal yang diekspor secara tidak sah, bukan hanya karena sejumlah kayu tampaknya legal sebenarnya tidak sah, sebagaimana dijelaskan di atas (supra 3), tapi juga karena sejumlah besar kayu Indonesia mungkin diselundupkan tetapi tidak melalui mekanisme pelaporan resmi (termasuk ITTO dan FAO) dan karena itu, tidak akan muncul dalam laporan negara pengimpor.