Skip to main content

Indonesia: Kegagalan hutan porak-porandakan ‘Pertumbuhan Hijau’

Asap di Singapura dan Malaysia menunjukkan perlunya pengawasan yang lebih baik: Kerugian lebih dari US$7 milyar

(Jakarta) – Korupsi dan salah urus pemerintah Indonesia melanda sektor kehutanan dengan dampak serius terhadap hak asasi manusia dan lingkungan hidup, menurut Human Rights Watch dalam laporan terbaru yang terbit hari ini. Asap yang berhembus di Indonesia dan negara tetangga, termasuk Singapura dan Malaysia,sebagian adalah hasil dari strategi apa yang disebut “pertumbuhan hijau” (green growth) Indonesia dengan membuka hutan untuk perluasan perkebunan kelapa sawit dan industri pulp.

Laporan 61halaman berjudul “Sisi Gelap ‘Pertumbuhan Hijau’: Dampak Tata Kelola yang Lemah dalam Sektor Kehutanan terhadap Hak Asasi Manusia di Indonesia,” menyatakan bahwa penebangan liar dan salah urus sektor kehutanan menyebabkan kerugian pemerintah Indonesia lebih dari US$7 milyar (sekira Rp 70 trilyun) antara 2007 sampai 2011. Indonesia baru-baru ini menggelar reformasi untuk menanggapi keprihatinan itu dan mengotak-atik beberapa kebijakan kehutanan sebagai model “pertumbuhan hijau” yang berkelanjutan. Namun sebagian besar penebangan di Indonesia tetap di luar pembukuan dan feedipatok sangat rendah, serta hukum dan peraturan yang ada tetap diabaikan. Kebijakan “pembakaran nol” dan moratorium pembukaan hutan tidak diwujudkan secara memadai.
 
“Munculnya persoalan asap bukan satu-satunya bukti nyata kerusakan akibat kegagalan Indonesia yang terus-menerus tak mengelola hutannya secara efektif,” kata Joe Saunders, wakil direktur program Human Rights Watch. “Penegakan hukum yang lemah, salah urus, dan korupsi bukan hanya penyebab asap, tapi juga penyebab hilangnya milyaran dollar pertahun yang benar-benar diperlukan untuk kebutuhan rakyat Indonesia.”

Kegagalan yang terus-menerus ini memiliki implikasi global. Asap yang menyebabkan penderitaan negara tetangga disebabkan oleh pembukaan hutan untuk perkebunan, suatu praktikyang begitu meluas,sehingga membawa Indonesia sebagai salah satu penyumbang emisi karbon terbesar di dunia. Pemerintahan Barack Obama pada 26 Juni 2013 mengumumkan bahwa mereka akan menambah investasi dalam kehutanan berkelanjutan di luar Amerika Serikat sebagai cara melawan perubahan iklim. Namun tanpa adanya perbaikan dalam tata kelolahutandi Indonesia, investasi lebih besar oleh komunitas internasional,bisa jadi takkan membawa perubahan signifikan terhadap keadaan kacau ini.

Belum lama ini, pemerintah Indonesia menggelar reformasi, yang sebagian ditujukan untuk mengatasi salah urus dan korupsi kehutanan, termasuk di dalamnya sistem sertifikasi legalitas kayu dan Undang-undang Keterbukaan Informasi, namun upaya-upaya itu jauh dari mencukupibuat reformasi. Laporan baru, sebagai update Human Rights Watch tahun 2009 “Dana Liar” (“Wild Money”) menganalisa data industri dan pemerintah, menyimpulkan bahwa sebenarnya terjadi peningkatan laju kerugian pada tahun-tahun belakangan ini. Pada 2011, total kerugian mencapai lebih dari US$2 milyar—lebih besar dari anggaran kesehatan negara Indonesia pada tahun yang sama, sehingga ia menurunkan kemampuan pemerintah untuk menyediakan layanan mendasar bagi wargaIndonesia, menurut Human Rights Watch.

Dampak dari salah urus hutan tak hanya terjadi pada musim keringketika ia bisa dilihat dari kebakaran. Kerugian pendapatan yang signifikan adalah salah satu faktor dari buruknya perkembangan pemerintah dalam sejumlah keprihatinan hak asasi manusia, terutama terkait dengan layanan kesehatan di pedesaan.

Warga masyarakat yang tinggal di hutan, salah satu kelompok termiskin di negara ini,sangat dirugikan dengan sistem yang ada saat ini. Banyak masyarakat ini mempunyai hak yang ditekankan dalam Undang-undang Dasar 1945 untuk menggunakan tanah hutan dan mendapatkan ganti rugi atas kehilangan mereka. Namun sistemsertifikasi legalitas tak memperhitungkan apakah kayu diperoleh dengan melanggar hak masyarakat atas tanah hutan.

Menurut Human Rights Watch, meningkatnya keperluan tanah untuk perluasan perkebunan menciptakan sengketa tanah yang makin sarat kekerasan. Ia terjadi paling parah di Pulau Sumatra dimana terdapat mayoritas perkebunan kelapa sawit dan pulp di Indonesia –juga tempat mayoritas titik kebakaran hutan tahun ini, yang seringkali pada tanah yang diklaim masyarakatlokal.Kegagalan pemerintah dalam mematuhi peraturannya sendiri,dengan menerbitkan konsesi di tanah yang diklaim masyarakat serta kegagalan menuntut pertanggungjawaban perusahaan yang secara legalmelanggar kesepakatan ganti rugi, jadi pemicu meningkatnya sengketa tanah. Sebagai contoh, pada 2011, meningkatnya sengketa berkepanjangan dengan perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Mesuji, Sumatra Selatan, memicu kekerasan antara warga desa dengan pihak keamanan perusahaan. Ia mengakibatkan dua petani dan tujuh karyawan perusahaan tewas.

Pada Mei2013, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa praktikpemerintah mengalokasikan konsesi di wilayah tanah adat merupakan pelanggaran UUD 1945. Namun di tengah iklim tata kelola hutanyang keruh dan tidak akuntabel, tanpa partisipasi dan pengawasan yang mencukupi, mengidentifikasi dan mendaftar hak atas tanah-tanah hutan yang menggiurkan ini bisa mengakibatkan semakin banyak, bukan berkurangnya konflik,menurut Human Rights Watch.

Lebih jauh, alih-alih menangani akar sengketa tanah, pemerintah malah memperluas lingkup keterlibatan militer dalam“menjaga ketertibanmasyarakat.”Ini adalah langkah mundur di Indonesia, yang selama ini telah mengalami langkah maju,melepas militerIndonesia dari keterlibatan di sektor keamanan internal,yang sangat mendalam pada zaman Presiden Soeharto.

Pemerintah juga melakukan pembatasan yang tidak perlu terhadap informasi kehutanan, baik konsensi hutan maupun klaim tanah. Pihak berwenang juga sering lakukan intimidasi dan pelecehan terhadap aktivis yang mencoba menarik perhatian masyarakat terhadap pelanggaran sektor kehutanan. Sejumlah aktivis lingkungan hidup ditangkap dan dikriminalisasi karena persoalan tanah perkebunan.

Pemerintah Indonesia juga makin berupaya membatasi organisasi independen lewat UU Organisasi Masyarakat sehingga makin kokoh dinding penghalang terhadap pengawasan publik atas perilaku pemerintah dan perusahaan pada sektor kehutanan, menurut Human Rights Watch. Termasuk dalam hal ini penggunaan pasal pencemaran nama baik peninggalan Hindia Belanda, buat kriminalisasi pembicaraan yang dianggap “menghina” pejabat dan lembaga pemerintahan serta pasal dalam UU Keterbukaan InformasiPublik,yang memberi sanksi pidana atas “penyalahgunaan” informasi publik.

Sebagai tambahan, pada 2 Juli 2013, DPR mengeluarkan aturanbaru guna membatasi akses organisasi non-pemerintah ke donorinternasional serta memberi kuasa pemerintah untuk membubarkan organisasi yang dianggap membahayakan “kepentingan nasional.”

Tanpa tindakan pemerintah yang fokuspadapengawasan dan penegakan hukum, situasi di sektor kehutanan nampaknya akan memburuk, menurut Human Rights Watch. Indonesia sudah menjadi penghasil kelapa sawit dan pemain industri pulp dan kertas terbesar di dunia. Indonesia masih berencana meningkatkan produksi minyak sawit dan pulp. Ia akan membawa risiko hak asasi manusia jika sumberdaya tak dikelola secara bertanggung jawab. Sektor kehutanan, dengan keperluan tanah yang luas dan perampasan tanah masyarakat, dikenal luas di seluruh dunia karena dampak berkepanjangan pada hutan dan masyarakat sekitar hutan.
 
 “Pemerintah Indonesia menjual perluasan sektor kehutanan sebagai contoh pertumbuhan hijauyang berkelanjutan serta menangkap penangkal perubahan iklim dan kemiskinan. Namun bukti-bukti di lapangan menunjukkan sebaliknya,” kata Joe Saunders. “Dana yang seharusnya bisa digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan publik disedot untuk memperkaya segelintir orang dan hilang percuma karena salah urus. Demikian juga krisis asap regional menunjukkan bahwa lingkungan hidup dan kehidupan pedesaan adalah korban, bukannya penerima manfaat dari kebijakan kehutanan pemerintah.” 

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country