Skip to main content

Pengadilan Sipil Mesti Memproses Tindak Kriminal Tentara

Kasus Pembunuhan Menegaskan Pentingnya Reformasi, Yurisdiksi Sipil Mengadili Aparat Militer

(New York) – Pemerintah Indonesia harus segera amandemen peraturan di Indonesia sehingga serdadu yang didakwa pelanggaran hak asasi manusia bisa diproses di pengadilan biasa, menurut Human Rights Watch hari ini. Persoalan ini mencuat lagi karena peradilan militer akan dipakai untuk atasi dakwaan terhadap anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus), yang terlibat pembunuhan empat tahanan di penjara Cebongan, Yogyakarta, pada 23 Maret 2013.

Mahkamah militer di Indonesia sangat kurang transparansi, independensi, dan imparsialitas, serta gagal menyelidiki dan menuntut secara memadai atas tuduhan pelanggaran hak asasi manusia oleh para tentara, menurut Human Rights Watch.

“Pemerintah Indonesia harus menjamin bahwa keadilan dituntaskan dalam kasus-kasus hak asasi manusia dengan menuntut tersangka militer melaluipengadilan sipil,” ujar Phelim Kine, wakil direktur Asia Human Rights Watch. “Sudah begitu lama pengadilan militer Indonesia ikut suburkan kultur impunitas dengan membiarkan para tentara, yang bertindak kejam, hanya dihukum macam tamparan saja—atau tanpa hukuman sama sekali.”

Sebelas prajurit Komando Pasukan Khusus ditangkap pada 2 April atas tuduhan mendobrak penjara Cebongan di Yogyakarta, pada 23 Maret, dan membunuh empat tahanan di ruang sel penjara: Hendrik Angel Sahetapi, Yohanes Juan Manbait, Gameliel Yermianto Rohi Riwu, dan Adrianus Candra Galaja.

Polisi militer menyatakan para tersangka Kopassus, dengan sebo dan senapan serbu AK-47, memaksa masuk ke dalam penjara, memukul dua sipir yang lantas dirawat di rumahsakit, dan mengeksekusi empat tahanan. Setelah serangan 15 menit itu, mereka merampas CCTV (closed circuit television) penjara, menurut sipir penjara dan investigator militer. Investigator mengatakan motif pembunuhan itu balas dendam atas kejadian pembunuhan tiga hari sebelumnya terhadap kawan sesama Kopassus, Sersan Satu Heru Santoso, dengan dugaan oleh empat tahanan itu. Santoso dan 11 tersangka bertugas di Grup II Kopassus di Kartasura, sekitar dua setengah jam dengan kendaraan dari Yogyakarta.

Pada 24 Maret, Panglima Kodam Jawa Tengah, Mayor Jenderal Hardiono Saroso, yang kewenangannya termasuk membawahi Grup II Kopassus, membantah tudingan media bahwa Kopassus terlibat pembunuhan itu. Sembilan hari kemudian, 2 April, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Pramono Edhie Wibowomengindikasikan bahwa anggota Kopassus terlibat dalam serangan penjara. Pada 4 April, sebuah tim investigasi militer mengungkapkan sembilan prajurit Kopassus lakukan serangan dan dua orang lagi berusaha mencegah. Pada 6 April, TNI mengumumkan bahwa Saroso dicopot dari jabatannya terkait insiden penembakan itu.

Kendati militer menegaskan kesalahan Kopassus dalam aksi pembunuhan di penjara, perwira senior dan pejabat pemerintah membela para tersangka dan meremehkan beratnya tindak kejahatan, menurut Human Rights Watch.

Pada 4 April, investigator militer Brigader Jenderal Untung Yudhoyono berulangkali menyatakan empat tahanan yang tewas sebagai “preman” dan berkata pembunuhan itu merupakan ungkapan loyalitas Kopassus, atau menyebutnya solidaritas korps “jiwa komando satu rasa (korsa)”. Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoropada 12 April menyangkal di depan umum bahwa pembunuhan di penjara sebagai pelanggaran hak asasi manusia, dengan alasan penembakan itu “spontan [dan] tidak dilakukan terencana.” Komandan Kopassus Mayor Jenderal Agus Sutomo pada 16 April menegaskan serangan penjara itu merupakan tindak “insubordinasi” ketimbang suatu pelanggaran hak asasi manusia.

“Otoritas militer dan sipil Indonesia, yang mengumumkan tiada kesalahan prajurit-prajurit ini untuk kejahatan serius, paham betul bagaimana pengadilan militer akan menangani kasus ini,” ujar Kine. “Ini memalukan setelah satu dekade apa yang disebut reformasi militer, para tentara, yang diduga membunuh warga sipil, menerima pujian dan dukungan pejabat.”

Di bawah hukum Indonesia, personil militer tak bisa diproses di pengadilan sipil, dengan hanya sedikit sekali yang terungkap sebagai perkecualian. Undang-Undang Peradilan Militer 1997 mengatur pengadilan macam ini memiliki yurisdiksi hingga penuntutan semua kejahatan yang dilakukan para tentara. Selain itu, undang-undang ini menyatakan pengadilan militer hanya dapat menerapkan salah satu dari dua hukum: Hukum Acara Pidana Militer dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana umum. Artinya, sementara sipil dikenakan tanggungjawab pidana di bawah sejumlah pasal pidana di luar KUHP, tentara tidak. Adapun UU Pengadilan Hak Asasi Manusia 2000 mengatur pengadilan HAM mewenangi yurisdiksi atas kasus-kasus yang melibatkan tuduhan anggota militer terlibat pelanggaran berata hak asasi manusia. Ini hanya jika mereka terlibat kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusian. Pendeknya, pengadilan HAM tak punya wewenang spektrum luas dari perilaku yang dinilai pelanggaran hak asasi manusia.

Selama Tinjauan Periodik Universal Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk catatan hak asasi manusia Indonesia pada 2007 dan 2012, pemerintah Indonesia berkomitmen mereformasi sistem pengadilan militer. Janji reformasi ini termasuk menambahkan tindak penyiksaan dan kekerasan lain pada hukum acara pidana militer sehingga bisa menjamin penuntutan atas pelanggaran itu. Ia juga memastikan definisi pelbagai pelanggaran tersebut konsisten. Namun sampai saat ini pemerintah belum mencantumkan sejumlah pelanggaran itu ke dalam hukum acara pidana militer.

Meski Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia 2004 menempatkan pengadilan militer di bawah pengawasan Mahkamah Agung, praktiknya, militer terus mengontrol komposisi, organisasi, prosedur, dan administrasi pengadilan militer. Investigasi terhadap dugaan tindak pidana yang melibatkan para tentara dijalankan oleh polisi militer, dituntut oleh oditur militer, dan diputuskan oleh hakim militer. Hakim-hakim militer ini adalah anggota dinas aktif. Hakim militer dapat dipecat oleh Dewan Kehormatan Hakim yang anggotanya ditunjuk oleh komandan militer.

Catatan pelanggaran hak asasi manusia Kopassus dan kegagalan mengadili mereka yang bertanggungjawab atas kejahatan itu merentang di seluruh negeri, bermula pada 1960-an di Jawa dan melebar hingga Timor Leste, Aceh, dan Papua dalam dekade berikutnya. Dokumentasi yang solid atas pelanggaran di Timor-Leste telah mendorong Amerika Serikt menjatuhkan larangan untuk kerjasama militer dengan pasukan elit itu pada 1999. Pada 2010, AS mencabut larangan tersebut. Human Rights Watch dan organisasi HAM dalam negeri mengecam pencabutan itu mengingat militer Indonesia, dan terutama Kopassus, telah gagal menjalankan komitmen sungguh-sungguh untuk bertanggungjawab atas segudang pelanggaran berat hak asasi manusia.

Pelanggaran berat oleh Tentara Nasional Indonesia dan kegagalan untuk sepenuhnya menuntut dan menghukum personil militer terjadi meluas di luar Kopassus, menurut Human Rights Watch. Pada sejumlah kasus selama dekade terakhir, sistem pengadilan militer Indonesia yang digelar rupanya sangat ringan menghukum tentara-tentara yang didakwa terlibat pelanggaran berat hak asasi manusia terhadap warga sipil:

·         Pada 6 Juni 2012, lebih dari 100 tentara dari Batalyon 756 mengamuk di kota Wamena, Papua, sebagai balasan atas kejadian di mana warga kampung mengeroyok dua tentara yang menabrak seorang anak kecil. Satu tentara tewas. Rekan-rekannya lantas menyerang Wamena, membakar 87 rumah, membunuh seorang pegawai negeri dan menikam parah 14 pria Papua lain. Tak ada satu pun tentara yang terlibat serangan ini dituntut.

·         Pada 30 Mei 2010, beberapa tentara Indonesia menangkap dua petani Papua, Tunaliwor Kiwo dan Telangga Gire, ketika melintasi pos militer di Tingginambut, Puncak Jaya, Papua. Beberapa tentara itu menyiksa mereka, memaksa kedua petani itu memberitahu dugaan senjata yang disembunyikan di kampung mereka. Sebuah video merekam serdadu-serdadu itu melakukan kekerasan seksual terhadap Kiwo dan mengancam akan membunuh Gire. Pengadilan militer hanya menuntut tiga tentara, yang terlibat dalam penyiksaan, dengan dakwaan “insubordinasi” dan dihukum antara delapan dan 10 bulan penjara.

·         Sebuah rekaman video menggambarkan pelanggaran yang dilakukan pada 17 Maret 2010, oleh 12 tentara dari Batalyon 753, pimpinan Letnan Cosmos di kampung Kolome, Papua, juga di Puncak Jaya. Video itu merekam kesatuan tentara menginterogasi penduduk kampung, memukul dengan helm dan menendangi mereka. Letkol CHK Adil Karo Karo, hakim militer, mengecam si tentara yang merekam kejadian itu, berkata “Bodoh. Tahu ini sensitif, kenapa kamu merekamnya?” Pada 12 November 2010, pengadilan militer Jayapura menghukum Comos dan tiga serdadu bawahannya dengan “insubordinasi.” Cosmos divonis tujuh bulan penjara, sementara tiga prajurit masing-masing lima bulan penjara.

·         Pada Juni 2008, pengadilan militer menjatuhkan hukuman kepada 12 marinir yang menembak sekelompok warga sipil di Pasuruan terkait sengketa lahan, di mana mereka disewa untuk menyediakan jasa pengamanan. Empat warga, termasuk seorang perempuan, meninggal kena peluru pada 30 Mei 2007. Kendati ancaman tindakan pidana itu maksimal 15 tahun penjara, para prajurit itu divonis antara 18 hingga 36 bulan penjara, dan dipecat dari militer.

·         Tiga tentara didakwa pada Juli 2005 karena menyiksa seorang warga sipil di Bogor, Jawa Barat, yang dicurigai mencuri sepasang sandal. Menurut laporan forensik, warga sipil itu tewas setelah sehari akibat luka penyiksaan. Pengadilan militer mendakwa ketiga tentara terlibat penyerangan dan vonis antara 1,5 dan 18 bulan.

·         Tiga serdadu dituntut pada Juli 2003 karena memperkosa empat perempuan di AcehUtara, seharusnya maksimum dihukum 12 tahun penjara, mereka divonis antara 2,5 tahun hingga 3,5 tahun serta dipecat dari militer.

“Pemerintah Indonesia mesti menunjukkan keseriusan untuk menyudahi pelanggaran militer dengan menyeret para tentara yang terlibat kejahatan terhadap warga sipil diadili di bawah yurisdiksi pengadilan sipil,” ujar Phelim Kine. “Reformasi yang seluas-luasnya di Indonesia memerlukan kendali sipil atas angkatan militernya secara nyata.”

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country