Skip to main content

Indonesia: Melonjaknya Kekerasan Sektarian, Penyerangan di Papua

Tangkap Pelaku untuk Mempertanggungjawabkan Perbuatannya, Bebaskan Tahanan Politik

(New York) – Pihak berwenang di Indonesia selama tahun 2011 telah menggunakan kekerasan yang berlebihan terhadap pelaku unjuk rasa damai di wilayah paling timur Papua dan tak berbuat apa pun saat massa menyerang jemaah agama minoritas di Jawa (Java) dan Sumatra, Organisasi Hak Asasi Manusia (Human Rights Watch) mengungkapkannya hari ini di dalam Laporan Dunia 2012 (World Report 2012).

Pemerintah Indonesia harus segera melepaskan seluruh tahanan yang ditangkap karena mengekspresikan pandangan yang berlawanan dengan pemerintah secara damai, terutama para aktivis dari Papua dan Maluku, menurut Human Rights Watch. Pemerintah juga harus secara menyeluruh melakukan investigasi dan memidanakan aksi kekerasan terhadap kelompok etnik dan agama minoritas.

“Kekerasan polisi di Papua dan serangan terhadap kelompok agama minoritas bertambah buruk pada tahun 2011,” kata Ilein Pirsen (Elaine Pearson), wakil direktur Human Rights Watch untuk wilayah Asia. “Benang merahnya adalah kegagalan pemerintah Indonesia untuk melindungi hak-hak seluruh warga negaranya.”

Di dalam laporan setebal 676 halaman tersebut, Human Rights Watch menilai perkembangan di bidang hak asasi manusia selama setahun terakhir di lebih dari 90 negara, termasuk pemberontakan massa di dunia Arab yang sebelumnya hampir tak terbayangkan dapat terjadi. Mengingat kerasnya upaya untuk memadamkan gerakan “Musim Semi Arab (Arab Spring),” komunitas internasional perlu memainkan peranan penting dalam membantu lahirnya demokrasi yang menghormati hak asasi di wilayah tersebut, ungkap Human Rights Watch dalam laporannya.

Pada bulan Oktober, polisi menggunakan kekerasan yang berlebihan saat menangkap lebih dari 300 orang Papua yang terlibat dalam Kongres Rakyat Papua (Papuan Congress) selama tiga hari di ibukota provinsi, Jayapura. Sedikitnya tiga orang tewas dan lebih dari sembilan puluh orang luka-luka. Tak seorang pun aparat kepolisian dihukum, tetapi lima tokoh rakyat Papua didakwa melakukan makar. Sedikitnya 15 orang Papua lainnya termasuk Filep Karma, yang dipenjara sejak Desember 2004, telah divonis melakukan makar atas aktivitas politik yang damai. Sekitar 60 orang lainnya dari daerah lain di Indonesia, sebagian besar aktivis dari Kepulauan Maluku, juga dipenjara dengan berbagai tuntutan yang berhubungan dengan tindakan damai dari kebebasan berekspresi.

Beberapa tahanan telah menderita sakit cukup lama dan diperparah oleh penanganan medis yang buruk selama di penjara. Contohnya, Leonard Joni Sinay, seorang tahanan politik asal Ambon (Ambonese) di rumah tahanan Malang, telah menderita sakit kepala yang parah dan gejala penyakit lainnya sejak ia ditangkap pada tahun 2007, dan ia tidak mendapatkan perawatan yang memadai. Sinay menduga aparat kepolisian dari Detasemen 88 telah melakukan penyiksaan terhadap dirinya ketika menjalani pemeriksaan. Ia dijatuhi hukuman 15 tahun penjara atas tuduhan makar setelah ikut melakukan tarian protes ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengunjungi Ambon pada bulan Juni 2007. Pada kasus lainnya, pihak berwenang di penjara Nabire menolak untuk menerbangkan Kimanus Wenda, seorang tahanan asal Papua yang menderita tumor perut, ke Jayapura untuk operasi.

Lima tahanan politik asal Papua – Simon Tuturop, Tadius Weripang, Benediktus Tuturop, Tomas Nimbikendik, dan Teles Piahar – telah dilepaskan dari penjara Fakfak pada 23 Desember, setelah menyelesaikan masa hukuman penjara 4 tahun karena makar. Kelima orang tersebut turut berpartisipasi dalam pengibaran bendera separatis Papua, Bintang Kejora, yang merupakan simbol terlarang di Indonesia, pada bulan Juli 2008 di Fakfak.

“Tindakan pemerintah Indonesia memenjarakan rakyatnya karena mengekspresikan pandangan politiknya secara damai merupakan noda hitam dalam catatan hak asasi manusia di negara itu,” tutur Pirsen (Pearson). “Reputasi Indonesia sebagai negara demokrasi yang menghormati hak asasi manusia akan ternoda hingga seluruh tahanan ini dibebaskan.”

Pada tahun 2011, pemerintah Indonesia membentuk sebuah unit untuk mempercepat pembangunan ekonomi Papua dan menunjuk utusan khusus untuk membuka dialog dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM/Free Papua Movement) yang pro-kemerdekaan. Presiden Yudhoyono juga mengundang empat pemimpin gereja Papua untuk membicarakan masalah hak asasi manusia di Papua. Namun demikian, hanya sedikit kemajuan yang dicapai dalam menangani kekerasan yang dilakukan OPM maupun pemerintah di provinsi tersebut. Akses ke Papua di tahun 2011 masih dikontrol secara ketat. Tidak banyak jurnalis asing dan peneliti hak asasi manusia yang dapat berkunjung secara bebas tanpa pengawasan ketat atas aktivitas mereka.

Insiden kekerasan terhadap kelompok agama minoritas menjadi semakin mematikan dan sering terjadi di tahun 2011, seperti ketika kelompok militan Islam memobilisasi massa untuk menyerang kelompok agama minoritas. Hukuman penjara yang singkat dijatuhkan pada segelintir penyerang tidak memiliki dampak pada meluasnya impunitas kepada mereka yang paling bertanggung jawab atas serangan yang buruk tersebut. Pemerintah tidak mencabut sejumlah peraturan yang mendiskriminasi agama-agama minoritas, sehingga mendorong masyarakat untuk semakin tidak toleran.

Massa Islam fundamentalis menyerang para anggota komunitas Ahmadiyah dan masjid mereka di 14 lokasi, termasuk di Banten, Jawa Barat (West Java), dan Sulawesi Selatan (South Sulawesi). Bahkan pada serangan paling mematikan terhadap Ahmadiyah yang terjadi pada bulan Februari 2011, ketika tiga anggota jemaah Ahmadiyah terbunuh, para penyerang hanya mendapat hukuman penjara singkat antara tiga dan enam bulan atas tuduhan mengganggu ketenteraman masyarakat, penghasutan, dan penyerangan. Mereka tidak dituntut dengan pasal pembunuhan. Polisi tidak melakukan investigasi menyeluruh, dan pihak kejaksaan tidak memanggil saksi-saksi kunci, termasuk orang yang merekam video penyerangan tersebut.

Kelompok Islam fundamentalis juga menyerang tiga gereja Kristen di Temanggung, Jawa Tengah (Central Java), di bulan Februari, setelah pengadilan negeri setempat menjatuhkan hukuman terhadap seorang tokoh pendeta kontroversial atas penistaan agama. Komunitas agama minoritas melaporkan bahwa petugas pemerintahan secara semena-mena menolak untuk memberikan izin yang diwajibkan menurut Peraturan Bersama Menteri tahun 2006 untuk pendirian rumah ibadah. Pihak yang berusaha melakukan kegiatan ibadah tanpa izin menghadapi pelecehan dan kekerasan.

Di bulan Januari 2011, Mahkamah Agung memutuskan bahwa gereja Presbiterian setempat yang lebih dikenal sebagai GKI Yasmin harus dibuka kembali, sehingga membatalkan keputusan pemerintah Kota Bogor untuk mencabut izin pembangunan gereja. Walikota Diani Budiarto menolak untuk mematuhi putusan tersebut, dan aparat pemerintah telah menawarkan “relokasi” gereja. Sejak Oktober, sejumlah organisasi Islam fundamentalis melakukan pelecehan terhadap jemaat gereja yang secara rutin mengadakan kebaktian Minggu di trotoar di luar gereja yang disegel, dan melarang jemaat mengadakan perayaan Natal di sana. Preman melontarkan ancaman dan makian, mengejar-ngejar jemaat gereja, dan mengancam merusak mobil gereja. Sementara itu polisi hanya diam, tidak mengambil tindakan apa pun. Pemerintah Indonesia harus menghormati keputusan Mahkamah Agung dan mengizinkan gereja untuk mengadakan kebaktian dengan perlindungan penuh dari kepolisian, ungkap Human Rights Watch.

“Insiden kekerasan sektarian kini bukan sekadar kasus-kasus terpisah di Indonesia, tapi kian meningkat hingga mencapai tingkatan yang mengkhawatirkan,” kata Pirsen (Pearson). “Pemerintah Indonesia perlu mengubah keadaan dan mulai menindak tegas aksi kekerasan terhadap kelompok agama minoritas dan mengganti peraturan-peraturan yang diskriminatif yang hanya mendorong serangan-serangan seperti itu terjadi.”  

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country