Skip to main content

(New York) – Undang-undang pidana baru yang disahkan parlemenprovinsi Aceh memberlakukan penyiksaan, melanggar hak-hak dasar akan privasi, dan gagal melindungi korban kekerasan seksual, menurut Human Rights Watch hari ini. Human Rights Watch mendesak pemerintah Indonesia untuk meninjau dan menolak semua pasal yang berkaitan dengan hukuman mati, rajam, dan cambuk, serta meminta Departemen Dalam Negeri untuk segera membatalkan undang-undang ini.

Undang-undang baru ini menetapkan pelaku zina yang sudah menikah dihukum rajam sampai mati dan mencambuk mereka yang berhubungan seksual atas dasar suka sama suka – hukuman cambuk dilakukan 100 kali bagi homoseksual dan hubungan seksual usia matang di antara individu yang belum menikah. Undang-Undang No 11/2006 tentang PemerintahanAceh disahkan pada 14 September 2009, meski Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, mengatakantakkan menandatanganinya, tapi ia akan berlaku efektif pada pertengahan Oktober kecualiada intervensi dari otoritas pemerintah pusat.

“Hukuman rajam dan cambuk merupakan penyiksaan dalam situasi apapun,” kata Elaine Pearson, wakil direktur Asia Human Rights Watch. “Memaksakan hukuman kejam ini padaperilaku privat dan hubungan seksual suka sama suka menyiratkan pemerintah mengatur kehidupan pribadi individu.”

Selain mengkriminalisasi semua hubungan seksual di luar nikah, undang-undang baru ini gagalmempidanakan perkosaan dalam perwakinan serta mengajukan persyaratan pembuktiandiskriminatif dan tidak adil untuk mengusut pemerkosaan. Dengan demikian, undang-undang ini menempatkan korban kekerasan seksual dalam resiko dihukum karena terlibat dalam hubungan seksual yang dianggap “ilegal”, bukannya menyediakan akses jelas untuk mencari keadilan bagi para korban kekerasan dan pelecehan seksual.

Aceh relatif telah lama menikmati otonomi dari pemerintah pusat sebagai Daerah Istimewa,termasuk sistem hukum semi-independen, dan pemerintah Aceh sebelumnya mengenalkan pasal-pasal syariat tertentu, termasuk aturan berpakaian dan wajib shalat. Aceh mendapatkan otonomi tambahan sebagai bagian dari perjanjian damai pada 2005 yang mengakhiri pemberontakan 30 tahun di provinsi ini. Sementara mayarakat Aceh memiliki wewenangmembuat hukum mereka sendiri, semua hukum yang mengatur warga negara dan penduduk Indonesia harus konsisten dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.

“Undang-undang baru Aceh berlawanan dengan konstitusi Indonesia, yang melanggar hak yang melekat pada diri individu untuk bebas dari penyiksaan,” kata Pearson. “Selanjutnya, undang-undang nasional Indonesia tidak mempidanakan perilaku homoseksual atau mengakuirajam sebagai bentuk hukuman untuk setiap kejahatan.”

Undang-Undang Pemerintahan Aceh melanggar prinsip-prinsip fundamental hak asasi manusia internasional, termasuk hak untuk hidup dan bebas dari penyiksaan atau perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat, yang dilindungi Pasal 6 dan 7 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Komis PBB Anti Penyiksaan, yang memantau pelaksanaan Konvensi Menentang Penyiksaan, mengakui tanpa syarat bahwa rajam dan cambuk merupakan penyiksaan. Indonesia meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan pada 1998 dan menyetujui konvensi ini pada 2006. Undang-undang Hukum Pidana Islam Aceh bertentangan secara langsung dengan kewajiban Indonesia di bawahkonvensi-konvensi ini.

Dalam putusan penting kasus Toonen versus Australia pada 1994, Komisi HAM PBBmemutuskan dengan penafsiran otoritatif kovenan dan memantau kepatuhan negara di dalamnya, menemukan bahwa kriminalisasi hubungan homoseksual atas dasar suka sama sukamelanggar hak atas privasi dan prinsip non-diskriminasi yang tercermin dalam kovenan.Kriminalisasi atas hubungan seksual usia matang juga melanggar hukum internasional yang mengakui perlindungan kehidupan pribadi. Pasal 17 konvensi secara khusus mengatur perlindungan hukum atas privasi individu dari campur tangan sewenang-wenang.

Human Rights Watch juga mendesak pemerintah nasional dan parlemen Aceh yang baru untuk menolak usulan kriminalisasi hubungan seksual usia matang, termasuk hubungan homoseksual, pranikah, dan di luar nikah.

“Ini merupakan tugas pemerintah Indonesia untuk membela hak-hak semua warga negara dan menolak langkah-langkah kriminalisasi seperti dalam undang-undang pemerintahan Aceh,” kata Pearson.  

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country
Topic