Skip to main content

(London) – Dua tahun setelah pembunuhan Munir Said Thalib, aktivis hak asasi manusia terkemuka dari Indonesia, para perancang pembunuhnya tetap bebas,demikian Human Rights Watch hari ini. Meski ada keyakinan seorang pilot maskapai penerbangan terlibat dalam pembunuhan, kepolisan dan Kejaksaan Agung terus mengabaikan bukti dan rekomendasi-rekomendasi dari Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir, yang dibentuk presiden, bahwa pembunuhan ini melibatkan perwira senior intelijen dan pejabat maskapai penerbangan.

Dikenal pendiri dan direktur Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Munir menjabat direktur Imparsial, organisasi hak asasi manusia berbasis di Jakarta, sebelum dia dibunuh. Advokat berusia 38 tahun ini salah satu aktivis HAM paling menonjol di Indonesia.

Human Rights Watch berpendapat agar Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono,terlibat secara personal guna memastikan mereka yang bertanggung-jawab atas pembunuhanMunir diadili, sekecil apapun bukti-bukti tersedia. Yudhoyono harus membentuk penyelidikanmengapa rekomendasi dan temuan kunci dari Tim Pencari Fakta tampaknya diabaikan. Selain itu, Human Rights Watch meminta Badan Intelijen Negara Indonesia (BIN) memperpanjangkerjasama penuh kepada polisi dan setiap badan investigasi independen.

“Mengidentifikasi dan menghukum otak di balik pembunuhan Munir adalah ujian bagikomitmen Yudhoyono terhadap hak asasi manusia dan penegakan hukum,” ujar Brad Adams,direktur Asia dari Human Rights Watch. “Yudhoyono dikenal luas sebagai reformis, tapi jikadia tidak bisa menjamin keadilan atas pembunuhan aktivis HAM terkenal di negara ini, akan ada keraguan serius tentang komitmennya terhadap reformasi."

Munir ditemukan tewas pada 7 September 2004, dalam penerbangan pesawat Garuda dari Jakarta ke Amsterdam. Hasil otopsi Institut Forensik Belanda, dirilis November 2004,menunjukkan Munir meninggal karena dosis fatal racun arsenik. Pada Desember 2005,Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda yang bepergian sebagai penumpang di pesawatyang sama dengan Munir, dihukum atas konspirasi pembunuhan terencana dan divonis 14tahun penjara. Putusan itu dikuatkan pada tingkat banding pada April 2006. Vonis hakim,bagaimanapun, mencatat bahwa bukti selama persidangan menunjukkan Pollycarpus tak bertindak sendirian. Hakim mendesak polisi menyelidiki lebih lanjut guna mengungkap mereka yang paling bertanggung-jawab atas kematian Munir.

Dalam sambutannya, Presiden Yudhoyono menginstruksikan polisi, jaksa dan petugas intelijen untuk meneruskan penyelidikan setelah vonis Pollycarpus. Namun hampir 10 bulan sesudah vonis itu, polisi dan jaksa bekerja terlalu lamban mengungkap kasus ini.

“Sudah jelas bahwa Pollycarpus mengikuti perintah seseorang untuk membunuh Munir,” ujar Adams. “Masyarakat sipil di Indonesia tidak dapat beroperasi dengan kebebasan dan keamanan selama otak pembunuhan ini dibiarkan bebas.”

Dua tahun setelah pembunuhan Munir, Human Rights Watch mendesak pemerintah Indonesia untuk:

  • Membuka dan mempublikasikan laporan dan rekomendasi-rekomendasi akhir dari TimPencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir guna menyelidiki pembunuhan ini;
  • Membentuk badan independen untuk memeriksa penyelidikan polisi dan respon Jaksa Agung dalam kasus pembunuhan Munir;
  • Membentuk tim pencari fakta independen lain dengan mandat yang kuat dan jelas untuk melanjutkan penyelidikan terhadap kemungkinan peran aparat keamanan dalam pembunuhan Munir, dan memastikan kerjasama penuh dari semua lembaga negaradengan polisi dan badan independen yang menyelidiki pembunuhan Munir, terutamaBIN, serta dari pegawai senior lain dari maskapai penerbangan yang mungkin memfasilitasi tindakan Pollycarpus di pesawat, dan
  • Memperpanjang undangan kepada Utusan Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Situasi Pembela HAM, serta Pelapor Khusus PBB untuk Pembunuhan Sewenang-wenang, guna berkunjung ke Indonesia sehubungan kasus Munir.

Human Rights Watch juga mendesak otoritas jaksa untuk mengabaikan semua tuduhan pidana pencemaran nama baik yang diajukan Hendropriyono terhadap Usman Hamid dan RachlandNashidik, anggota Tim Pencari Fakta Independen. Pidana pencemaran nama baik melanggarhukum internasional tentang hak kebebasan berekspresi dan berdampak mengerikan padakebebasan berbicara.

 

Latar Belakang

Munir dikenal pendiri dan direktur KontraS, selain direktur Imparsial, organisasi HAM berbasis di Jakarta.

Kariernya sebagai advokat HAM dimulai di Surabaya pada 1989 , termasuk bertugas sebagaidirektur Lembaga Bantuan Hukum Semarang dan wakil ketua bidang operasional Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia di Jakarta. Dia mewakili para korban dan aktivis pelanggaran HAM dalam kasus-kasus penting. Dia menjadi pembicara rutin untuk keadilandalam menghadapi intimidasi, termasuk ancaman pembunuhan. Pekerjaannya mencakupsegudang perkara hak asasi manusia di Indonesia, dari pelanggaran militer dan polisi Indonesia terhadap para aktivis buruh, dari kebal-hukum kejahatan HAM di Aceh, Timor Timur danPapua hingga hak-hak minoritas etnis Tionghoa di Indonesia.

Atas prestasinya, Munir meraih sejumlah penghargaan, termasuk Man of the Year pada 1998 yang diberikan majalah Muslim terkenal UMMAT, dan “young leader for the Millenium” olehAsiaweek pada 2000. Pada tahun yang sama dia juga menerima “The Right Livelihood Award”—dikenal “Penghargaan Nobel Alternatif”—untuk “keberanian dan dedikasinya dalam memperjuangkan hak asasi manusia dan kontrol sipil atas militer di Indonesia.”

 

Pada Desember 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan, berdasarkan keputusan presiden, sebuah tim pencari fakta independen guna menyelidiki kasus pembunuhan Munir. Tim Pencari Fakta berakhir masa tugasnya selama enam bulan pada 23 Juni 2005. Tim membuat laporan panjang dengan hasil dan rekomendasi terperinci, yang disampaikan kepada presiden.

Tim Pencari Fakta terdiri dari sejumlah orang mengesankan dari masyarakat sipil, pejabat polisi senior dan jaksa dari kantor Kejaksaan Agung. Investigasi dilakukan dengan dukungan kuat dari Presiden Yudhoyono, yang mengeluarkan instruksi kepada semua lembaga negara untuk bekerjasama penuh bagi penyelidikan.

Ketika Tim Pencari Fakta mengajukan panggilan kepada purnawirawan Letnan Jenderal Hendropriyono, yang menjabat kepala Badan Intelijen Negara pada saat pembunuhan Munir, dia menolaknya. Dia menuduh tim bertindak “arogan” dan melakulan “pembunuhan karakter.” Hendropriyono kemudian melaporkan pencemaran nama baik terhadap Usman Hamid dari KontraS dan Rachland Nashidik dari Imparsial. Saat ini mereka diselidiki karena melanggar pasal 310, 311 dan 335 dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Polisi mengeluarkan surat panggilan kepada Usman Hamid untuk diminta keterangan.

Temuan yang dilaporkan Tim Pencari Fakta mengidentifikasi pilot Garuda, PollycarpusPriyanto, sebagai tersangka utama dalam kasus ini. Pollycarpus diberi penugasan “keamanan penerbangan” khusus untuk bepergian dengan pesawat Garuda 974, yang dilakukannya hingga pemberhentian pertama, dari Jakarta menuju Singapura. Menurut janda Munir, Pollycarpus juga menelepon beberapa kali ke rumah untuk menanyakan rencana penerbangansuaminya. Saat para penumpang naik pesawat di Jakarta, Pollycarpus diduga kuatmenawarkan Munir untuk pindah kursi ke kelas bisnis.

Tim Pencari Fakta memeriksa catatan panggilan telepon Pollycarpus dan melacak beberapanomor yang dihubunginya, salah satunya kontak rahasia ke badan intelijen yang dipimpin purnawirawan Mayor jenderal Muchdi Purwoprajoyo, wakil direktur BIN. Laporan menunjukkan terdapat 26 panggilan dari saluran Muchdi, sebelum dan setelah kematian Munir, dan ada beberapa panggilan antara nomor ponsel Pollycarpus dengan Muchdi.

Muchdi, mantan kepala Kopassus, elit pasukan tempur militer Indonesia, mengundurkan diri dari Badan Intelijen Negara pada 2005. Dia menolak dua permintaan panggilan Tim PencariFakta untuk dimintai keterangan. Dia membantah telah melakukan percakapan via telepon dengan Pollycarpus, menyatakan teleponnya mungkin dipakai orang lain.

Pada 9 Agustus 2005, sidang terhadap Pollycarpus dimulai di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Domu P. Sihite, jaksa penutut umum, membacakan dakwaan terhadap Pollycarpus. Pollycarpus didakwa melakukan atau berpartisipasi dalam pembunuhan terencana Munir, baik sendiri atau bekerjasama dengan dua tersangka lain, Yeti Susmiarti dan Oedi Irianto,staf Garuda yang bertugas di pesawat yang ditumpangi Munir. Namun, dalam dakwaan terhadapPollycarpus, jaksa tidak menyebutkan temuan Tim Pencari Fakta, yang menunjukkanketerlibatan pegawai senior maskapai Garuda dan pejabat teras intelijen.

Pada pertengahan Agustus, harian Koran Tempo melaporkan polisi telah menangkap seorangtersangka kedua dalam kasus ini. Mereka mengidentifikasi tersangka sebagai Ery Bunyamin,penumpang kelas bisnis dalam pesawat yang sama ditumpangi Munir. Pada Desember 2005, Pollycarpus dinyatakan bersalah atas konspirasi pembunuhan terencana. Dia divonis 14 tahun penjara. Putusan ini dikuatkan pengadilan di tingkat banding pada April 2006. 

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country